New Fate
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Happy reading
RnR
Eren menolak mengikuti kemiliteran. Ia akan melanjutkan jejak sang ayah sebagai dokter. Lalu mengungkap semua misteri yang menghantui umat manusia selama ini, dengan caranya sendiri.
Chapter 1
850. Tahun dimana umat manusia selalu dihantui teror dari makhluk besar yang memangsa mereka. Dilanda kegelisahan setiap saat. Tak memiliki satupun tempat aman di dunia mereka yang hanya dibatasi dinding tinggi dan kokoh. Dinding yang memisahkan dunia luar dengan dunia kecil umat manusia. Dinding agung yang entah sampai kapan melindungi manusia dari para pemangsa. Tidak ada yang tahu kapan para raksasa itu semakin pintar dan mampu menembus pertahanan dinding.
Umat manusia hanya bisa berdoa. Berharap ajal mereka tidak terlalu dekat. Atau alangkah lebih baik jika mati bunuh diri, bukan mati dimakan raksasa.
Tak ada yang menginginkan dunia seperti ini. Dunia yang selalu membuat manusia dilanda ketakutan yang mendalam. Putus asa.
Untuk saat ini, mari bergantung pada dinding pelindung itu. Berlindung, bukan berarti hanya diam didalam sangkar. Akan tetapi berlindung, untuk memikirkan cara ampuh memusnahkan keberadaan musuh besar mereka, untuk mendapatkan kebebasan abadi didunia tanpa pembatas dinding.
Keluarga Jaeger tengah menikmati sarapan pagi mereka. Dengan antusiasnya, anak mereka memperhatikan ayahnya yang terlihat menuliskan sesuatu diatas kertas.
"To-san, apa yang ditulis disana?" tanya Eren.
Sang ayah menoleh. Lalu tersenyum hangat menaggapi pertanyaan anaknya yang baru berumur 10 tahun tersebut.
"Ini penelitian yang ayah lakukan."
Dengan raut penuh rasa penasaran, Eren semakin mendekati kursi ayahnya. Melihat dengan lebih jelas apa yang tertulis disana. Tapi yang ia dapat ternyata hal yang sama sekali tidak ia mengerti. Memang Eren bisa membacanya, namun yang tertulis disana seperti sebuah rumus dengan beberapa kode angka juga kode yang belum pernah Eren lihat sebelumnya. Kecuali di buku kedokteran yang tidak sengaja Eren lihat isinya di perpustakaan sang ayah.
"Aku tidak mengerti.." keluhnya.
"Kau akan mengerti nanti, jika kau sudah besar dan jadi seperti ayah."
Eren tampak sedikit murung. Itu artinya ia harus menunggu dalam waktu yang lama sampai ia menjadi dokter seperti ayahnya.
Tiba-tiba sang ayah mengeluarkan sebuah kunci yang sebelumnya tergantung di leher. Menunjukkannya pada Eren.
"Eren, hora! Ini adalah kunci dari tempat yang bisa membantumu memecahkan rahasia dunia ini. Jika kau sudah besar, pergilah kesana dan ungkap semuanya."
Eren kembali tersenyum cerah. Ia menerima kunci pemberian ayahnya. Kemudian mengalungkannya.
"To-san! Memangnya tempat itu dimana?"
"Hm? Diluar dinding. Ditempat para raksasa berada."
Kekacauan itu terjadi begitu cepat. Bahkan Eren tidak ingat lagi kapan raksasa kolosal yang baru pertama kali ia lihat itu datang menghancurkan dinding sehingga raksasa lain bisa masuk, untuk memangsa manusia. Eren tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia berlari menuju rumahnya untuk memeriksa keberadaan sang ibu. Yang ada dikelapanya saat ini hanya bagaimana tubuh ibunya masuk kedalam mulut lebar raksasa. Sangat tragis disaat ia hanya bisa menyaksikan itu dalam diam, tanpa melakukan apa-apa. Yang ia lakukan saat itu hanya terus berlari menjauh, meski air mata masih berlinang, rasa takut dan marah bercampur menjadi satu.
Bukan salahnya tidak bisa menyelamatkan ibunya. Ini hanya masalah waktu. Andai saja hari itu ia tidak pergi bermain dan tetap berada di rumah bersama sang ibu, ia masih bisa membawa ibunya lari menjauh menyelamatkan diri dari para raksasa. Andai saja ia mampu melawan raksasa yang membawa tubuh ibunya, semua ini akan berubah cerita. Eren tidak akan meringkuk dengan tangan gemetar di tempat pengungsian ini, di bagian dinding yang masih terbilang aman dan jauh dari dinding yang berhasil ditembus.
Sesekali mata emeraldnya melirik kesana-kemari. Mencari seseorang yang mungkin ia kenal. Atau bahkan mungkin ia bisa menemukan sang ayah, ia tidak tahu keberadaan ayahnya sekarang.
Jujur saja. Eren ingin sekali cepat bertindak dari semua kekacauan yang terjadi. Tapi apa daya. Ia hanyalah seorang anak kecil yang belum memiliki banyak pengalaman. Ia tidak mungkin cepat-cepat mengambil tindakan. Buru-buru hanyalah akan menghasilkan sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba terbersit ruangan rahasia yang diberitahukan ayahnya. Itu adalah kunci segalanya. Kunci yang mungkin akan mengakhiri semua ketakutan umat manusia.
Dengan tekad yang mulai terkumpul, Eren mencengkram kunci dalam genggamannya. Ia yakin sekarang. Apa yang akan menjadi masa depannya, apa yang akan ia lakukan setelah ini, apa yang ingin ia pilih.
Demi kejayaan umat manusia, demi ibunya yang telah tiada, demi kebebasan yang ia inginkan, demi dunia barunya. Atarashi no sekai.
Suara hentakan kaki kuda menggema disepanjang jalan. Orang yang menungganginya tampak sangat berwibawa dengan jubah putihnya. Ia cukup terkenal meski masih terbilang muda. Ya bahkan itu terlalu muda untuk ukuran seorang dokter. 18 tahun. Benar kan?
Sesekali ada warga yang melihat takjub padanya. Beberapa gadis muda tampak terpesona dengan rambut brunettenya. Apalagi dengan sorot mata emerald penuh tekad miliknya menatap yakin ke depan.
"Dokter Jaeger! Senang bisa melihatmu disini!" seru salah seorang pria paruh baya.
Yang dipanggil membalas dengan anggukan yang dibarengi senyuman ramah. Sebagai satu-satunya dokter yang mendedikasikan penelitiannya untuk menguak rahasia raksasa, dia memang banyak mendapat dukungan dari segala pihak.
Hari yang cukup cerah ini ia bermaksud untuk datang ke markas militer, membicarakan sesuatu disana.
Selama 8 tahun mempelajari ilmu kedokteran dan beberapa pengetahuan lain tentang raksasa, kini ia berhasil mendapatkan gelar yang ia inginkan. Nama Dr. Eren Jaeger selalu terlihat di klinik kecil miliknya.
Eren yang sekarang bukanlah Eren yang dulu. Disaat dulu dia bermimpi ingin bisa mengalahkan raksasa dengan bertarung melawannya, kini tidak begitu. Ia lebih berpikir realistis. Tidak mungkin hanya dengan bertarung bisa memusnahkan semua raksasa yang begitu banyak. Ia akan melawan raksasa dengan mencari kelemahannya, asal usulnya, mengungkap rahasia misterius mereka selama ini. Ia akan melawan raksasa sampai makhluk itu benar-benar lenyap di muka bumi, tidak akan pernah muncul lagi sampai kapanpun.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya ia sampai. Markas militer pusat dimana pimpinan dari 3 divisi kemiliteran selalu berkumpul kini berada dalam jarak pandang Eren. Sebenarnya meski ia sudah mendapat gelar dokter, Eren tetaplah seorang bocah yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi juga bocah yang sangat kagum pada kemiliteran.
Perlahan ia turun dari kudanya dan langsung disambut oleh seorang pria berambut pirang. Dari lambang divisi di seragam militernya, Eren bisa mengetahui bahwa pria ini dari divisi siap mati, pasukan pengintai.
"Ano.."
"Nanaba. Panggil aku Nanaba. Kita seumuran, dokter Eren."
Eren tersenyum menanggapi keramahan Nanaba. Ia mulai merasa rencananya kali ini akan berjalan lancar dan didukung penuh oleh kemiliteran.
"Anda sudah ditunggu oleh para petinggi divisi." ucap Nanaba sambil terus mengarahkan Eren ke ruangan rapat dilakukan.
"Tidak usah seformal itu, Nanaba-san. Kau bilang kita seumuran, kan?"
"Ya. Tapi, anda adalah dokter dan saya hanyalah wakil kapten skuad."
"Itu hal yang hebat. Menjadi orang yang dipercaya menjadi wakil kapten di usia muda bukanlah hal yang sepele."
Nanaba cukup membalasnya dengan senyuman tipis. Tidak semestinya ia berbicara terlalu banyak pada orang yang belum dipastikan apakah ia kawan atau lawan. Ia harus tetap waspada, seperti yang diperintahkan kaptennya, Mike Zacarius.
Pada akhirnya pembicaraan mereka berdua memang terhenti disana. Mereka berjalan dalam diam sampai tiba di ruangan tujuan mereka.
"Silahkan masuk."
Eren pun masuk ke dalam ruangan yang sudah dibukakan pintunya oleh Nanaba. Disana terlihat beberapa orang yang sudah duduk dengan rapi dikursinya masing-masing, dalam satu meja panjang.
Dikursi utama ada jaksa ketiga divisi, disamping kanan komandan dan wakil divisi kepolisian, disampingnya lagi dari divisi penjaga dinding, lalu terakhir, disamping kiri, pasukan pengintai yang terlihat lebih dari 2 orang. Itu ada 4 orang. 4 orang yang cukup Eren tahu eksistensinya karena sering ia lihat saat pasukan pengintai melakukan ekspedisi ke luar dinding. Terdiri dari komandan Irvine Smith, kapten special opperating squad Levi, kapten regu Hange Zoe, dan satu lagi kapten regu Mike Zacarius.
Eren mendapat isyarat untuk duduk disalah satu kursi kosong disana, langsung berhadapan dengan dengan jaksa divisi.
Tak ada senyum ramah sama sekali disana, hal yang ia dapatkan saat awal datang kemari tadi. Yang ada ia mendapatkan tatapan penuh selidik dan intimidasi dari para petinggi pasukan itu. Baiklah ia tahu mungkin dirinya masih dianggap orang asing bagi mereka, jadi rasa curiga masih menyertai kehadirannya saat ini.
"Dokter Eren Jaeger, benar?"
"Ya."
"Silahkan katakan apa yang ingin kau sampaikan."
Dengan mantap Eren mengangguk dan mulai mengeluarkan berbagai macam kertas laporan yang ia tulis sendiri. Meletakannya diatas meja sesuai urutan. Tatapannya berubah serius.
"Selama ini aku melakukan penelitian terhadap raksasa agar bisa memusnahkan mereka. Aku sengaja datang ke tempat pertarungan para prajurit dengan raksasa agar mendapatkan sample tubuh raksasa yang aku butuhkan." jelas Eren.
"Tapi tubuh raksasa akan menguap sesaat setelah dia mati." cela Hange, satu-satunya wanita disana.
"Ya. Itu memang benar. Itulah kenapa aku berhenti melakukan itu. Walaupun aku sudah berusaha melakukan penelitian secepat mungkin saat aku berhasil mengambil sayatan tubuhnya, tetap saja penelitianku belum akurat karena waktuku meneliti sangat terbatas."
"Lantas apa maumu datang kemari?" ketus komandan kepolisian.
Eren mengeluarkan seringainya.
"Aku ingin bekerja sama dengan kemiliteran untuk mengalahkan raksasa. Aku ingin mendapat bantuan fisik para prajurit untuk melancarkan rencanaku."
Semua orang disana membelalakan mata. Itu pemikiran yang egois. Dia ingin mendapat perlindungan dari prajurit kemiliteran hanya untuk rencananya sendiri? Dia mempermainkan pertaruhan nyawa orang lain.
"Kenapa kau ingin bekerja sama dengan kami?" tanya Irvine.
"Karena kalian bisa bertarung melawan mereka. Dan bisa mengantarku ke tempat yang ingin aku tuju diluar dinding."
"Bisa bertarung huh? Lalu kenapa kau tidak masuk saja kemiliteran? Dengan begitu kau juga bisa bertarung melawan mereka tanpa bantuan militer."
Eren menggeleng perlahan. Sudah ia duga akan ada pertanyaan seperti ini saat ini. Untung saja ia sudah menyiapkan jawabannya, meski mungkin tidak akan berhasil memuaskan para petinggi pasukan.
"Aku tidak mau masuk ke militer, aku tidak diciptakan untuk itu."
Beberapa dari mereka mendecih. Menganggap pemikiran Eren terlalu kekanakan. Dia terlalu meremehkan pengorbanan.
"Apa yang akan kau janjikan jika kami membantumu?" tanya sang jaksa serius.
"Kebebasan umat manusia."
Hening sesaat. Melihat dari tekad yang tertanam dalam diri Eren, semua petinggi merasa ucapannya bukanlah main-main. Nada bicara yang main-main bukanlah seperti itu. Tapi siapa yang tahu rencana bocah itu akan berhasil atau tidak. Sebuah tujuan atas nama kebebasan umat manusia sejauh ini belum pernah terwujud. Buktinya, para raksasa masih mempertahankan eksistensi mereka, manusia masih terkurung dalam sangkar yang mereka sebut dinding pelindung, mereka belum sempat merasakan bagaimana artian 'bebas' yang sesungguhnya. Penderitaan ini sudah bagaikan takdir bagi umat manusia. Mungkin dijaman yang terdahulu, manusia melakukan suatu dosa besar sehingga Tuhan memberikan takdir ini pada mereka.
"Yang bisa kita lakukan sekarang hanya bertahan, nak." seru komandan kepolisian.
"Tidak ada masa depan cerah umat manusia diluar dinding. Jangan berpikiran naif, anak muda." seru satunya lagi.
Eren mengeratkan tautan kedua tangannya diatas meja. Kenapa para orang dewasa berpikiran sangat pendek seperti ini? Ini sama saja dengan menyerah pada kenyataan. Menyerahkan sisa hidup mereka pada makhluk-makhluk besar itu. Menggantungkan kepanjangan umur mereka pada raksasa.
"Jika itu tujuanmu, kenapa kau baru muncul sekarang?" Irvine mulai ikut berbicara.
Eren mengangkat kepalanya menghadap siapa yang berbicara padanya. Komandan pasukan pengintai itu terlihat sangat gagah dimatanya. Penuh dengan wibawa dibanding komandan yang lain, yang hanya bisa meremehkannya dengan kata-kata.
"Itu karena aku masih melakukan penelitian terhadap buku kedokteran yang aku miliki."
"Tunggu. Apa yang kau teliti dalam buku kedokteran? Lawan kita raksasa, bukan manusia."
Eren menaikkan sebelah alisnya, tampak heran.
"Apa tidak pernah terpikir kalau para raksasa sama dengan manusia? Yang membedakan hanya ukuran dan fungsi otak."
"Kau juga meneliti tentang itu? Sepertinya kita akan cocok!" ucap Hange yang sepertinya juga melakukan penelitian tentang hal yang sama dengan Eren.
Irvine melirik Hange sesaat sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada Eren.
"Aku masih harus melengkapi penelitiaanku agar semua rahasia raksasa terungkap. Itulah kenapa aku meminta bantuan militer."
Komandan kepolisian bangkit berdiri, disusul wakilnya dan wakil komandan penjaga dinding.
"Mimpi saja anak muda!" pekiknya malas.
Mereka meninggalkan kursi masing-masing, hendak meninggalkan ruangan. Tapi langkah mereka terhenti saat Eren kembali berbicara.
"Ruangan rahasia ayahku akan mengungkap semuanya."
Para petinggi yang masih duduk dikursinya tampak tertarik dengan ucapan Eren. Mungkin anak ini tidak berbicara asal.
Mereka yang hendak pergi tampak menimbang-nimbang. Sebelum akhirnya mereka tetap pergi dari ruangan itu, tidak mau ikut campur dalam pembicaraan selanjutnya.
Jaksa divisi menghela napas berat melihat kelakuan orang-orang yang meninggalkan ruangan itu. Tidak ada sopan santun sekali.
"Maafkan soal itu, dokter Jaeger." ucapnya.
Detik berikutnya Irvine memandang Levi, Levi melirik Mike, Mike menatap Pixis, Pixis melihat Hange, dan Hange mengangguk yakin sebelum mengarahkan perhatiannya pada Eren.
"Dimana tempat rahasia ayahmu itu?" Hange bertanya.
"Diluar dinding, di hutan raksasa."
Terjawablah semua alarm bahaya mereka. Keluar dinding berarti mencari mati. Tapi itu sudah menjadi hal biasa bagi pasukan pengintai.
Irvine memberi tatapan bertanya pada jaksa divisi. Meminta pendapatnya.
"Apa salahnya mencoba." ujarnya santai.
Irvine mengerti dengan ucapan sang jaksa dan langsung berdiri menghadap Eren, mengulurkan tangan padanya.
"Pasukan pengintai akan membantumu."
Eren menyambut tangan Irvine dengan sedikit ragu meski tidak bisa dipungkiri lagi rasa bahagianya. Ia tidak mengangka pada akhirnya, ia akan bekerja sama dengan pasukan pengintai. Pasukan yang dulu hanya ia lihat dari kejauhan.
"Mohon kerjasamanya, komandan Irvine!" seru Eren ikut berdiri.
"Aku juga akan membantu sebisaku." ucap Pixis, komandan penjaga dinding.
"Sekarang kau adalah kawan kami, Eren-kun!"
"Jangan besar kepala, dimataku kau tetaplah bocah yang cari mati."
"Levi, sudahlah. Jangan berkata seperti itu."
"Tch."
Eren hanya tersenyum maklum. Ia harus mulai terbiasa dengan mereka. Ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan sebelumnya. Walaupun dijuluki pasukan bunuh diri, tapi ternyata didalamnya terdapat orang-orang yang hangat. Kecuali Levi tentunya. Meski pria yang lebih pendek darinya itu ikut setuju bekerjasama dengannya, ia tetap menunjukkan wajah yang tak bersahabat. Eren benar-benar harus mulai terbiasa.
Untuk pembukaan segitu aja dulu ya ^^
Ditunggu reviewnya kawan ~
