One Piece by Eiichiro Oda
Pairing: Doflamingo x Hancock
Note: 1. contains (amateur) adult scenes
2. "italic" means flashbacks/thoughts
Genre: Romance, Hurt/Comfort, Drama, Slight Humor
Length: 4 chapters
"Pirates are evil? The Marines are righteous? These terms have always changed throughout the course of history! Kids who have never seen peace and kids who have never seen war have different values! Those who stand at the top determine what's wrong and what's right! This very place is neutral ground! Justice will prevail, you say? But of course it will! Whoever wins this war becomes justice!"
― Donquixote Doflamingo
.
.
.
Donquixote Doflamingo. Pria gagah 41 tahun berpostur tubuh tinggi menjulang, berambut pirang, serta bertubuh sempurna dengan kulit coklatnya yang terlihat menggoda. Kacamata berlensa merah pekat dan mantel bulu-bulu berwarna pink sudah menjadi trademark-nya. Cara berpakaiannya memang sedikit aneh, tapi hal itu tak memberhentikan para wanita di luar sana yang masih dengan setianya memuja-muja Raja Dressrosa ini.
Dia sendiri tampak tidak peduli dengan apapun di dunia ini, kecuali keluarga penggantinya—dan adik kecil kesayangannya yang sekarang tidak bisa bicara, Donquixote Rocinante.
Oh—bagaimana dengan wanita? Persetan dengan mereka semua. Mereka hanyalah pemuas belaka yang tidak ada artinya. Menjalin hubungan serius dengan seorang wanita adalah hal yang tidak pernah terlintas sedetikpun di pikiran Doflamingo.
Mentari yang cahayanya belum seberapa cerah mengintip malu-malu dari tiap celah fentilasi kamar. Menandakan hari masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas, tetapi tidak untuk pria pirang yang menempati kamar itu. Dibalik kacamata berlensa merahnya, tersembunyi pandangan mata tajam yang sedang membaca tiap-tiap paragraf dikorannya dengan teliti.
Beberapa menit berlalu, seringai yang sering dia tampakkan pun muncul. "Siapa yang menyangka bahwa si bocah bodoh Hiken no Ace—Komandan Divisi kedua Bajak Laut Shirohige—akan di eksekusi delapan hari lagi?" Jemari kanannya membuka dan menutup, memainkan beberapa benang miliknya dengan perasaan haus akan peperangan.
Dengan santai pria tinggi menjulang itu melempar korannya dengan perasaan tidak peduli lalu berbalik menuju tempat tidurnya yang besar dan hangat. Seolah-olah nyawa seorang Hiken no Ace sangat tidak berarti untuknya.
"Onii-chan! Otou-san! Aku takut, tolong! Tolong aku!" Air mata mengalir deras dari balik kain yang membalut matanya.
Satu-satunya pria dewasa yang tangan dan kakinya terjerat di tembok tinggi meronta putus asa, "Arahkan saja semua anak panah kalian kepadaku!" gerakan tangannya membabi buta—berusaha menggapai dua bocah yang tergantung tak jauh di sisi kanan dan kirinya, "Tolong jangan sakiti anak-anakku karena mereka tidak salah! KU MOHON!"
Mereka berdua dengan sibuknya berteriak-teriak memohon ampun kepada warga, tetapi tidak dengan bocah pirang satunya lagi.
"Brengsek kalian semua... Berani-beraninya memperlakukanku seperti ini..." suaranya bergetar menahan amarah yang meluap-luap, "Aku tidak akan mati... Aku tidak akan mati aku janji..." buku-buku jarinya memutih lantaran kepalan tangan yang kelewat erat, "Karena jika aku mati… siapa yang akan memenggal kepala kalian?! SIAPA!"
Seringai jahat para warga memudar melihat aura hitam yang terpancar jelas dari tubuh bocah berkacamata tersebut. Dengan segera salah satu dari mereka spontan menembakkan tiga anak panah sekaligus ke arahnya.
"AAAAAAAAAHHH!"
OoO
Doflamingo POV
Aku terperanjat dari tidurku dengan cepat, disertai dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan nafas yang tidak beraturan. Sialan. Mimpi brengsek ini tidak ada bosan-bosannya menghantuiku.
Sampai akhirnya aku menyadari bahwa ada orang lain di kamar ini. Seorang pria yang terlihat tidak jauh berbeda denganku, sedang membelai kepalaku dengan lembut—seperti berusaha menenangkanku.
"Roci…" Ku tatap sorot mata teduhnya sambil berusaha untuk mengontrol deru nafas yang sedang di atas normal. Yang dia lakukan hanyalah menatapku teduh sambil mengusap kepalaku berkali-kali. Disaat-saat seperti ini, aku lebih menyetujuinya menjadi kakak ketimbang diriku sendiri. Diam, sama sekali tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Sejak kapan kau ada disini?" tanyaku dengan suara serak memalukan.
Rocinante hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Setelah dirasanya aku mulai tenang, dia menarik kepalaku agar lebih dekat dengannya lalu menempelkan keningnya dikeningku. Jemari kokohnya aktif membelai rambutku dengan lembut—dengan senang hati ku terima perlakuan manisnya.
Adikku yang sangat berharga. Hanya dialah satu-satunya orang yang bisa menenangkanku. Satu-satunya orang yang mengerti perasaanku luar dan dalam. Satu-satunya orang yang aku perbolehkan untuk melihat sisi tidak berdayaku, dan satu-satunya orang yang membuatku hampir tidak bisa hidup tanpanya.
Tenang dan nyaman sekali. Sialan, betapa aku sangat merindukan bocah ini. Sekitar lebih dari sepuluh tahun kami berpisah sampai akhirnya takdir pun mempertemukan kami lagi. Putus asa, hampa, amarah yang meluap-luap, kebencian yang mendalam, hasrat ingin membunuh manusia-manusia tolol itu semuanya ku simpan sendiri.
Walaupun aku menemukan pengganti Roci pada saat itu.
Ya—mereka adalah empat eksekutif tertinggi di Donquixote Family. Trebol, Pica, Diamante dan Vergo. Tapi siapa sangka aku secara tidak sengaja bertemu dengan adik kecilku lagi di sebuah desa kotor? Maksudku, ku pikir dia sudah mati atau apalah. Hatiku teriris saat melihat kondisinya yang cukup mengenaskan. Beruntung bajingan-bajingan itu tak segera aku matikan satu persatu.
OoO
"Diamante, dimana rumah saudagar tolol itu? Masih jauh?"
Pria dengan jubah hitam dengan tubuh tinggi menjulang menjawab ringan, "Sekitar beberapa kilometer lagi kita akan sampai, Doffy."
Walaupun masih tergolong bocah, aura sang penguasa dan pemimpin jenius sudah tercetak jelas di setiap jengkal tubuh Doflamingo—membuat ketiga rekannya menaruh rasa hormat yang mendalam padanya dengan mudah.
"Cih, lama sekali. Aku muak berlama-lama disini. Melihat wajah manusia-manusia rendahan yang tidak berguna ini rasanya ingin ku perbudak saja sampai mati."
"Ne ne ne ne, Doffy." Salah satu rekannya yang dipenuhi lendir di sekujur tubuhnya meremas pundak bosnya pelan, "Jangan berbuat masalah, Markas Angkatan Laut ada di sekitar sini, kau tahu?"
"Hmph." Doflamingo menendang kaleng kosong di dekatnya sampai mengenai jendela warga. Pistol emas yang biasanya bertengger dikantung celananya diputar-putarkan dengan ringan.
Terlihat seorang pemuda berusia sekitar limabelas tahun sedang sibuk melahap roti kotor yang cukup besar di jalanan yang sepi—para warga lebih memilih sembunyi di dalam rumah masing-masing saat mengetahui Donquixote Family sedang berkunjung ke desanya. Tubuhnya dipenuhi luka-luka lebam. Bahkan darah segar pun masih mengalir dipelipisnya. Doflamingo mengerutkan keningnya melihat ada sampah yang berani menghalangi jalannya.
"Minggir sebelum kau menyesal."
Pemuda pirang itu masih asik melahap roti kotornya—sepertinya dia belum pernah makan seminggu atau dua minggu ini. Doflamingo yang merasa diacuhkan mulai menodongkan pistol ke arah pemuda tersebut.
Krek—
Suara tarikan pelatuk pistol membuat pemuda itu berbalik. Tatapan matanya yang hampir tertutupi oleh poni menatap Doflamingo dengan nanar. Cukup lama sekali waktu yang berlalu seolah-olah mereka sedang berbicara hanya melalui pandangan mata. Sampai akhirnya mereka menyadari sesuatu yang sangat… janggal.
Doflamingo menganga takjub. Genggamannya pada pistol andalannya terlepas begitu saja.
Apakah itu kau? Kemana saja kau selama ini? Apakah kau makan makanan yang bergizi? Apakah tidurmu nyenyak? Apakah kakimu terselimuti saat malam menjelang? Apakah ada yang berani mengganggumu?
Dan— Ya Tuhan, dari mana kau dapatkan semua luka-luka ini?
Apakah itu kau... Rocinante?
Tak perlu pikir panjang lagi Doflamingo segera merengkuh sosok pemuda pirang itu ke dalam pelukan yang hangat. Membagi rasa sayang dan aman yang selama ini tidak sempat didapatkan olehnya. Menjadi sosok pengganti Ibunya yang penuh cinta sekaligus Ayahnya yang tidak punya otak.
"Aku hampir menyerah karenamu, tahu? Dasar bodoh." Senyum Doflamingo yang tulus terpancar jelas di wajahnya. Rocinante hanya memeluk Doflamingo erat seperti tidak ingin kehilangan dirinya lagi. Begitu erat pelukannya sampai-sampai membuat semua buku jarinya memutih dan bergetar.
"Hmm? Doffy?" Seketika suara high-note pica memecah suasana haru yang tercipta. Dia meminta penjelasan atas apa hubungan bocah kecil itu dengan bosnya. Trebol dan Diamante berbisik pelan sedangkan Vergo yang masih bisa berpikiran jernih menyikut lengan ketiga rekannya.
Doflamingo mengabaikan keempat rekan barunya. Dia hanya ingin mengetahui apa saja yang dilakukan adiknya selama ini. "Sekarang Roci, darimana kau dapatkan semua luka-luka ini?" tanyanya seraya membuang roti kotor yang ada di tangan Rocinante. Kedua ibu jarinya sibuk membersihkan segala macam noda yang menempel di wajah si kecil.
Gelengan. Rocinante hanya menjawab pertanyaan Doflamingo dengan gelengan kepalanya.
"Dimana kau tinggal selama ini? Apakah tempat itu layak?"
Gelengan (lagi).
"Apakah kau pernah sakit? Bagaimana dengan pola makanmu? Apa kau selalu makan sampah seperti ini?!"
Anggukan pelan. Rocinante menunduk, tidak sanggup menatap kakaknya sambil menjawab pertanyaan yang baginya sangat sulit.
"Astaga, Roci." Doflamingo mendengus karena respon Rocinante yang sangat ogah-ogahan, "Apa kau tidak merindukanku walaupun hanya sedikit?!"
Anggukan. Cepat sekali yang disertai sepasang mata Rocinante yang membulat, seperti berusaha menyakinkan kakaknya. Doflamingo tertegun. Dia tidak cukup tolol untuk mencerna apa yang telah terjadi. Satu kenyataan pahit pun kembali menghantamnya dengan keras. Seolah-olah semua kejadian buruk yang selama ini dideritanya masih belum cukup.
Adiknya tidak bisa bicara.
OoO
Doflamingo POV
Suara gembar-gembor dari arah meja makan sukses membuatku terbangun seketika, membuat kepalaku berteriak minta dipijat. "Tak bisakah mereka mengobrol dengan tenang?!" dengusku spontan. Layaknya pria yang sudah uzur aku kesusahan untuk mendudukkan diri sendiri—Ayolah, kau akan merasakan sesuatu yang berbeda disaat usiamu menginjak kepala empat!
Aku menoleh ke salah satu meja tamu di sudut kamar. Pandanganku langsung terpusat pada tiga potong Croissant dengan segelas susu yang tampaknya masih lumayan hangat. Ada secarik kertas di sebelah makanan menggiurkan itu. 'Makan ini, aku tahu kau lapar.'
Aku terkekeh pelan. "Baiklah, baiklah." Rasa kesal itu seketika hilang tak bersisa. Sembari menikmati makananku, aku tak bisa menahan semangat memikirkan hari esok. Pertemuan antar tujuh Shichibukai dengan para petinggi Angkatan Laut. Kami akan membahas tentang rencana bagaimana melumpuhkan Armada Shirohige yang tentu saja berniat untuk menyelamatkan si bodoh—Ace.
Berkumpul dengan orang-orang kuat dan mengetahui kau termasuk di dalamnya, bukankah itu hal yang hebat?
Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Seorang wanita yang sangat arogan dan selalu memikirkan dirinya sendiri—yang bisa berbuat seenaknya saja tanpa memikirkan konsekuensinya, sekaligus luar biasa cantik. Ibarat sampah yang dilapisi tetesan berlian. Itulah diri wanita itu. Kalau Aphrodite adalah dewi kecantikan pada jaman dahulu, maka si sampah ini adalah reinkarnasinya.
Tapi siapa sangka bahwa aku sedikit tertarik padanya? Aku memegang kepalaku keheranan. "Tak sampai lima menit, aku sudah dikacaukan olehnya hanya dengan memikirkannya saja. Bodoh."
Ku raih dengan kasar kacamata di hadapanku lalu bergabung bersama para anggota keluarga di meja makan. Berniat untuk mengusir pikiran-pikiran kotor tentang Ratu Bajak Laut itu. Walaupun aku sangat tahu bahwa usaha ini hanya akan membuahkan hasil yang sia-sia.
OoO
Hancock POV
Ya ampun! Aku tidak percaya ini. Tidak sampai 3 jam yang lalu aku telah jatuh cinta dengan seorang pemuda yang usianya terpaut sangat jauh dariku, bahkan aku baru menemuinya hari ini. Peduli setan. Aku merasa tidak perlu menahan perasaan indah ini. Dia sangat berbeda dengan para lelaki yang semuanya tidak jauh-jauh dari kata brengsek, tolol, hidung belang, dan tidak punya otak di luar sana.
Tertarik kepada kaum Adam—perasaan yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku. Mengingat betapa kelamnya dulu masa laluku yang dengan mudahnya dihancurkan oleh mereka.
Aku… hanya tidak sanggup lagi. Walaupun belasan tahun lamanya menutup rahasia ini rapat-rapat dari para penduduk Kuja, tak bisa ku sangkal bahwa tangisan yang sudah lama ku simpan di hati ini, tumpah ruah semuanya saat bercerita kepadanya.
Monkey D. Luffy. Aku sangat mencintainya dan tetap seperti itu selamanya. Kami akan menikah dan menghasilkan bayi yang lucu-lucu. HAH. Lagipula siapa yang pantas bersanding dengan Calon Raja Bajak Laut selain diriku?
Aku berniat untuk duduk di meja rias saat tatapanku tak sengaja melihat amplop yang tergeletak beberapa sentimeter dari tubuhku. Aku tahu isinya walaupun tanpa membacanya sama sekali. Amplop brengsek yang berisikan undangan rapat perang besar yang akan kami hadapi sebentar lagi. Aku bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki ke Markas Besar Angkatan Laut tolol itu. Tapi nyatanya, aku menelan sumpahku sendiri. Itu semua karena Luffy, dengan mengantarnya ke Impel Down mengharuskanku untuk ikut ke rapat itu.
Tak apa, akan ku lakukan dengan senang hati. Senyumku saat memikirkan Luffy pun hilang tak bersisa ketika sadar siapa yang akan ku temui besok pagi, "Oh, astaga—apakah aku harus berurusan lagi dengan si brengsek itu?" desahku panjang sambil memukul pelan keningku sendiri.
"Super VVIP Room. Satu orang. Dan jangan biarkan seorangpun masuk kedalamnya, siapapun itu. Kalau kau masih mau hidup," ujarnya datar.
"B-baik… Hebihime-sama…" ujar resepsionis lumayan ketakutan. Keringat dingin mulai berjatuhan di atas kerah bajunya. Setelah mengisi segala macam tetek bengek khas perhotelan, si resepsionis yang mengenakan nametag 'Paula' mengantarku menuju kamar. "Silahkan, Hebihime-sama. Kalau ada tambahan Anda bisa memencet bel di sebelah rak anggur." Paula menyunggingkan senyum terbaiknya sebelum pamit undur diri.
Aku menggangguk singkat, menutup pintu sambil melempar mantel ke sembarang arah lalu menjatuhkan tubuh dengan damai di atas sofa berbulu kualitas terbaik.
"Nikmatnya…" erangku parau. Inilah caraku untuk memanjakan diri, setidaknya dua kali sebulan. Damai sekali rasanya bisa melepas mahkota Ratu walaupun hanya untuk satu hari penuh. Aku sangat butuh istirahat, dan Royalé Casino ini adalah yang terbaik.
Royalé Casino adalah bar, casino, hotel, dan spa yang bergabung menjadi satu bangunan super mewah. Pemiliknya tak lain dan tak bukan yakni Sir Crocodile, Calon Raja Arabasta sekaligus salah satu rekan Shichibukaiku yang terkenal akan kelicikannya. Wajar saja dia bisa membangun Royalé Casino, bisnis gelapnya di dunia bawah mengenai 'bubuk hujan' laris manis. HAH. Aku tahu semuanya.
Aku berdeham, tenggorokanku kering. Beberapa botol anggur tergeletak lugu di atas meja menarik perhatianku. Namun aku bisa merasakan ada hawa musuh tak begitu jauh dari posisi ku saat ini.
Click—
Dengan sigap aku berbalik untuk menyerang siapapun penyusup berani mati itu. Tapi terlambat, sosok itu langsung memeluk pinggangku dengan agresif. Cengkramannya kuat sekali sampai-sampai aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mendongak. Sepasang bola mataku membulat seakan ingin keluar.
Tunggu. Apa yang sedang dilakukan Raja Dressrosa di sini?
DI KAMARKU?!
"Fufufufu. Kebetulan sekali ya, aku tidak salah lihat. Ada wanita tercantik di dunia sedang berkunjung secara diam-diam ke sini," ucap Doflamingo sambil menunjukkan senyum seringai andalannya.
"Mau apa kau?!" bentakku sambil sebisa mungkin menghajarnya.
"Tenang saja, aku hanya ingin minum bersamamu. Tempat ini membosankan, sahabatku—Crocodile—sedang tidak ada di sini. Wanita-wanita di luar sana tidak ada yang menarik dan uangku sudah terlalu banyak." Cengkraman tangan kotornya di pinggangku semakin erat, "Jadi, aku perlu hiburan." sambungnya mantap.
"Kau berniat untuk menjadikanku hiburanmu?!" Pukulanku pun menjadi jauh lebih brutal.
"Fufufufufufu. Sudah ku bilang aku hanya ingin minum bersamamu," Lirikan matanya tertuju pada belahan bajuku yang luar biasa lebar. "—walaupun aku juga tidak keberatan untuk menemanimu semalaman penuh." Ku rutuki gaun merah ku dalam-dalam. Tapi ini gaun yang paling aku senangi. Jadi, ya—persetan dengannya.
Tunggu, apa?
Setelah mengerti apa maksudnya barusan, seketika pipiku bersemu merah.
"M-MESUM!"
Dan entah dapat kekuatan darimana ku tendang bagian selangkangannya sekuat mungkin. Kekuatan ajaib barusan ternyata berdampak buruk ke otakku. Bukannya berlari menuju pintu untuk angkat kaki sejauh-jauhnya dari kamar ini, aku malah berlari ke sebelah lemari yang posisi nya sangat jauh dari pintu kamar. Bodoh.
Doflamingo tersungkur sambil mengaduh-aduh kesakitan. Dia meringkuk di lantai sambil menangkup testikelnya. Seketika timbul rasa bersalah dalam diriku. Tadi aku menendang 'adik kecil'nya dengan sangat kuat. Ku dekati dirinya pelan-pelan lalu ku sentuh pelan bahunya.
"Ma-maafkan aku… Aku tidak berniat menyakitimu. Salahkan dirimu yang mesum itu!" Ku pukul bahunya dengan spontan.
"Permintaan maaf macam apa itu?" ringis Doflamingo.
Setelah dirasanya cukup membaik, Doflamingo berdiri lalu berjalan mendekatiku. Refleks aku mundur sampai punggungku menyentuh dinding. Dia membentangkan kedua tangannya ke dinding, seolah-olah memerangkapku.
"Kau. Harus. Minum. Denganku. Sekarang." ujarnya penuh pemaksaan.
Ku lipat kedua tanganku di depan dada. Dalam jarak sedekat ini perhatianku terpusat pada tubuh atletisnya yang memakai baju putih tanpa di kancingkan. Sungguh ilegal, dia mengekspos perut dan dadanya yang dipenuhi otot kemana-mana. Ditambah lagi aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya benar-benar memabukkan. Aku tidak bisa melihat bola matanya dikarenakan kacamatanya yang bodoh itu.
Perasaan ingin meraba perutnya itu pun terlintas dalam benakku. Menjijikan. Aku belum pernah seperti ini. Sadarlah, Hancock!
"Cih. Kenapa pula aku harus minum denganmu."
"Sudah ku bilang aku bosan."
"Apakah itu urusanku?"
"Tentu saja ya. Aku selalu mendapatkan apa yang ku mau dan sekarang aku menginginkanmu."
"Berani sekali kau memerintah Ratu Bajak Laut?!"
"Karena tahta ku lebih tinggi darimu."
"Persetan. Wanita selalu nomor satu."
"Tapi mereka akan menurut pada seorang lelaki yang akan menikahinya."
"Apakah itu urusanku kalau mereka menikah?!"
Sahut-sahutan pun terjadi. Demi Tuhan—belum setengah jam aku sudah berkali-kali dibuatnya frustasi. Di tambah lagi dia selalu menyeringai setiap berbicara, membuatku ingin mencincangnya dan melemparkan potongan-potongan tubuhnya itu untuk makan malam Salome.
Aku menyerah. Aku sungguh tidak tahan dengannya jadi ku turuti paksaannya untuk minum bersama. Tidak terasa waktu berlalu sampai matahari hampir terbenam. Aku masih tidak menyadarinya dan masih saja terus menghabiskan waktu berdua dengan Doflamingo. Tidak terhitung berapa banyak gelas anggur yang sudah ku teguk, sampai kepalaku pun berdenyut meminta istirahat. Pandanganku pun mulai kabur.
Tetapi aku sedikit menyukai momen ini, berada sedekat ini bersamanya. Gelak tawa, serius, cemberut hingga sampai marah, berbagai macam ekspresi yang menghiasi obrolan kami. Untuk pertama kalinya dalam hidupku—selain Rayleigh, Fisher Tiger, dan Luffy—ada lagi seorang pria yang sedikit berhasil mengubah pandanganku kepada kaum mereka.
Aku semakin mengantuk, sampai ku rasakan ada rasa lembut dan basah di bibirku. Aku tidak cukup sadar untuk mencerna apa yang terjadi. Yang ku tahu, aku menginginkan ini. Ku balas benda lembut itu yang kini menyerang bibir dan mulutku habis-habisan. Bahkan jemari ku bergerak sendiri menelusuri tubuh berotot khas pria, disertai sepasang lengan yang memeluk pinggang ku posesif—lengan yang entah kenapa menyalurkan perasaan aman dan nyaman padaku.
"Doflamingo…" Aku juga tidak mengerti kenapa memanggil namanya. Sampai 5 menit setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Boa Hancock adalah wanita tangguh yang kekuatannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Tapi, tanpa dia sadari, dia sama sekali tidak menggunakan kekuatannya itu kepada Doflamingo. Mereka tetap menghabiskan waktu bersama seakan-akan lupa dengan jati diri masing-masing.
Sampai Doflamingo menyadari bahwa wanitanya telah tertidur. Diangkatnya tubuh Hancock dengan hati-hati lalu membaringkannya di atas ranjang. Jemarinya tidak tahan untuk tidak membelai pipi mulus Hancock. "Kau cantik sekali," gumamnya.
Tak disangka, Hancock berbalik menghadap Doflamingo dan melingkarkan tangannya ke bagian belakang leher Doflamingo. Menjadikannya seperti guling yang enak dipeluk. Hal ini membuat Doflamingo tersenyum—menyeringai lebih tepatnya—penuh kemenangan.
"Tentu saja aku akan menemanimu."
Doflamingo berbaring di sebelah Hancock yang masih terlelap setelah mencopot kacamatanya. Disandarkannya tubuh Hancock ke tubuhnya lalu membalut pinggang ramping Hancock dengan lengannya yang kokoh. Hancock menggeliat, merapatkan tubuhnya semakin dekat ke Doflamingo. Nyaman sekali, sampai-sampai Raja Dressrosa itu terlelap begitu saja.
OoO
Doflamingo POV
"Waka-sama, kapal Angkatan Laut sudah siap menjemput Anda," ujar gadis cantik berpakaian pelayan dengan bando putih berenda di atas kepalanya sopan.
Aku mengangguk. "Ya, baiklah. Aku akan segera keluar."
Baby 5 undur segera undur diri dari hadapanku. Berulang kali ku coba untuk memusatkan perhatian kepada rapat perang nanti, namun bayangan tentang gadis ular itu selalu saja terlintas. Sepertinya aku mulai gila. Dan baru saja saat aku mau memutar knop pintu, Rocinante dengan cerobohnya memutar duluan hingga jatuh terpeleset ke arahku. Tabrakan pun tak bisa dihindari, dia jatuh dengan tubuh yang membebani diriku.
"Demi Tuhan, Roci! Tak bisakah kau sehari saja tidak terpeleset?!" semprotku langsung sambil mengusap-usap bagian belakang tengkukku. Dia hanya mencibir kesal sambil menunjukkan sebuah kertas yang berisi tulisannya, 'Jangan sampai terluka, kau hanya akan menyusahkanku.'
Tawa pun langsung menyembur keluar dari mulutku. Tidakkah dia sadar bahwa setiap selesai menjalankan misi tubuhnya selalu dipenuhi luka-luka dan dia hanya ingin aku yang mengobatinya? Cih, si bodoh ini sudah 39 tahun. Tapi aku tak melihat perbedaan antara dirinya dengan Dellinger.
Saat tiba di lantai bawah kerajaan, para anggota keluarga sudah siap untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku. "Ku serahkan Dressrosa kepada kalian," ujarku yang disertai dengan pekikan nyaring para anggota keluarga. Mereka nampak sedikit tidak rela untuk melepaskan diriku. Namun tugas tidak bisa dibantah, 'kan?
Saat melintasi Rocinante, ku acak rambutnya sedikit lalu mengucapkan salam perpisahan. Dia hanya tersenyum simpul sambil mengacungkan ibu jari. Aku pasti akan merindukan mereka semua.
OoO
Hancock POV
Tak ada henti-hentinya perasaan cemas ini menghantuiku. Apakah Luffy akan baik-baik saja? Demi Tuhan, ini Impel Down! Dan aku baru saja mengantarkannya kesana untuk mengejar kakaknya—Ace. Namun aku tidak boleh terlalu mencemaskannya, Luffy adalah pemuda yang kuat.
Ku tarik nafas dalam-dalam sebelum memasuki ruangan besar tempat diadakannya rapat tidak penting ini. Pemandangan pertama yang ku lihat hanyalah pira-pria memuakkan, berwajah bengis, haus darah, serta raut wajah serius para petinggi Angkatan Laut. Dan si brengsek itu ada di sana, tepat di depan kursi kosong yang sepertinya untukku. Bunuh saja aku sekarang.
"Boa Hancock. Aku senang kau menyetujui surat undangan itu," sapa sang Fleet Admiral, Sengoku.
"Bwahahahaha. Ya, kau adalah wanita tangguh," balas Vice Admiral Garp.
Mati-matian aku menahan diri agar tidak memutar bola mata di hadapan mereka berdua. "Ya, lanjutkan rapatnya."
Dua jam berlalu dan aku sangat kelaparan. Aku memang tidak makan sedari tadi lantaran sibuk memandangi kekasihku—Luffy. Karena tak tahan lagi dengan perutku dan tatapan Doflamingo yang sangat menganggu, aku izin keluar untuk mencari makanan seorang diri. Bisa ku dengar ada beberapa kekehan yang sengaja ditahan-tahan. Peduli setan.
Ternyata perjalananku menuju dapur Angkatan Laut tidak begitu mulus. Banyak sekali tikus-tikus tolol yang dengan lancangnya menggangguku. Ku lumpuhkan mereka semua dengan mudah lalu melanjutkan perjalananku.
OoO
Doflamingo POV
Aku tidak bisa fokus saat rapat berlangsung, hanya beberapa poin penting saja yang ku telan ke dalam pikiran. Ini semua karena wanita itu, dia selalu berhasil menyita perhatianku. Sampai dia bangkit dan meminta izin untuk mengisi perutnya sebentar—aku yakin bahwa semua yang ada di ruangan ini menahan tawanya. Mereka hanya masih sayang nyawa dan terlalu menghormatinya.
Ini kesempatan bagus, segera saja ku susul dia. Tak sulit menemukan keberadaannya karena di sepanjang lorong terdapat para prajurit yang sudah membatu. Menarik. Pandanganku menerawang ke seisi dapur yang lumayan luas ini. Terlihat wanita ular itu sedang melahap makanannya dengan terburu-buru. Menggemaskan.
"Siapa sangka seorang Ratu Bajak Laut nafsu makannya lumayan tinggi?"
Hancock menoleh. Helaan nafas keluar dari bibirnya yang memerah. "Kau lagi. Pergilah." ucapnya malas sambil tetap menikmati beberapa makanan di hadapannya.
"Sepertinya aku tidak melihat tanda dilarang masuk di sini," balasku sambil mengangkat bahu.
Hancock menunjukkan ekspresi penuh kemalasam padaku lalu melenggang pergi begitu saja. Segera ku tahan lengannya sampai dia menghadapku lalu ku angkat tubuhnya tinggi-tinggi seperti anak kecil. Hancock terkejut luar biasa hingga pipinya lumayan memerah. "HEI! Apa yang yang kau lakukan?! Ini akan jadi masalah bila seseorang melihat, bodoh!"
"Masalah?" tanyaku masih tetap setia menahan pinggangnya di udara sambil menikmati kecantikan yang tiada tandingannya dalam jarak sedekat ini.
"Bodoh! Jika ada salah satu pihak Angkatan Laut yang memergoki kita sedekat ini, mereka akan berpikir bahwa kita beraliansi!" jawabnya ketus sambil mencengkram bahuku erat-erat.
Huh?
Aku terdiam.
"Ya ampun—Aliansi antara Bajak Laut, apakah mereka pernah memandang hal ini sebagai hal yang baik?" Hancock memutar bola matanya frustasi, "Lagipula kenapa kau memperlakukanku seperti ini?!"
"…"
"Hei, kau mendengarku?! Turunkan aku sekarang, Doflamingo!" rontanya sebisa mungkin. "Hei, mesum! Bodoh! HEI!"
"Fufufufu. Panggil aku Doffy."
Lagi-lagi dia memutar bola matanya. Dan dimana kemampuannya yang bisa merubah orang menjadi batu?
"Turunkan aku, Doffy. Sebelum ku robek-robek bibirmu itu sampai ke pipi," senyumnya penuh kengerian.
Tawaku seketika pecah—yang disambut dengan senyuman horornya—ketika menuruti kemauannya. Ku pandangi wajah yang mendekati sempurna itu dalam diam. Dalam jarak sedekat ini, kecantikan wanita itu seolah-olah meningkat. Membuatku hampir kehilangan akal sehatku. Bibir merah itu menggodaku.
Detik selanjutnya, aku sudah mencumbunya dengan penuh nafsu. Bibir laknat ini menjilati dan mengulum tiap inci kemanisan yang ada di bibir ranum Hancock. Sungguh manis. Dia terkejut luar biasa sambil berusaha melepaskan diri dariku. Ku kunci pergerakannya sambil terus menciumnya dalam-dalam. Melumat bibirnya seperti orang kesetanan demi mengobati rasa rinduku. Ya, aku merindukannya. Ku akui tidak ada wanita-wanita bayaran di Dressrosa yang mampu membuatku lepas kendali seperti ini—
PLAK!
Sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. Air mata pun mulai mengintip dari balik kelopak matanya. Dia memandangku dengan penuh kekecewaan. "Apa masalahmu?" tanyanya sendu lalu pergi dari hadapanku sesegera mungkin.
Yang ku lakukan hanyalah mematung. Aku memang pernah menciumnya dan dia pun terlihat sangat menikmatinya. Tapi itu terjadi ketika dia sedang mabuk. Berbagai macam penyesalan dan kemungkinan buruk pun mulai terlintas dipikiranku.
Bagaimana kalau ini akhir dari segalanya? Dia benar, aku memang bodoh.
Tunggu sebentar.
Kenapa aku harus peduli?
OoO
Hancock POV
Semua menginap di Markas Besar Angkatan Laut demi kelancaran perang besar besok pagi. Pikiranku yang selalu tenang saat memikirkan Luffy terganggu. Ini semua karena pria-tinggi-besar-mesum-tapi-sangat-seksi-namun-brengsek itu. Aku bahkan tidak makan malam bersama di meja besar Angkatan Laut demi menghindarinya.
Ku sentuh bibirku sambil memikirkan kejadian tadi. Dari caranya menciumku, ku akui dia termasuk dalam kategori good kisser. Bibir tipis namun penuh itu seakan-akan tidak mau memberikanku jeda sedikit saja untuk bernafas.
Kenapa dia seberani itu padaku?
Kenapa tidak ada dorongan untuk menggunakan kemampuan Mero Mero no Mi? Walaupun aku yakin Haki seorang Raja sepertinya pasti sangat kuat untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi siapa tau saja, 'kan?
Dan kenapa juga aku seperti pernah merasakan sensasi itu? Seketika rasa hangat menjalari pipiku disertai dengan degupan jantung yang cepat. Buru-buru ku cubit lenganku sekeras mungkin. "Sadarlah, Hancock! Kau hanya mencintai Luffy." ucapku mantap.
Setelah lelah dengan jalan pikiranku sendiri, ku putuskan memilih pakaian untuk besok yang mendukung agar pergerakanku lebih leluasa—dress simple panjang berwarna ungu dengan kerah yang lebar dan belahan bagian samping yang mencapai pinggul. Sempurna. Sudah cukup, semoga besok aku menjadi lebih waras.
.
Bersambung ke Chapter 2
.
Special Thanks:
Arlesco Arane, d14napink, KatoNamiga29, Cordelia, SAN, Uchiha Haririku, Nami, C.O.N.S, Ndowclow, whithoutsmile, Wild Angels, RiverBloody-13.
