Seekor burung merpati berwarna abu-abu kusam bertengger di bingkai jendela sebuah kamar, mematuk biji-bijian yang tercecer di sana. Kakinya telah terbebas dari tali yang mengikat pesan kecil dari tempat yang jauh, beban tugasnya sudah terangkat dari pundaknya.
Pesan telah tersampaikan.
Sang penerima pesan bergeming di sampingnya, menggenggam erat kertas kecil yang ada di tangannya. Di rumah kecilnya yang tenang, ia tidak mengerti tentang pesan yang kini sudah berbentuk gumpalan tak berbentuk di tangannya. Tentang perang yang masih berlangsung di luar tempat ini, tepat jauh di luar hutan yang ia tinggali ini. Berita buruk?
Betapa inginnya ia kedamaian, bukan perang yang membawa teman-temannya pergi. Tanpa sadar kabut mengaburkan pandangannya, selapis tipis air mata membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia berpaling, tanpa sengaja tatapannya terlempar ke arah cermin tua di pojok kamar, permukaannya yang tertutup debu memantulkan bayangannya.
Matanya, meskipun dengan perasaan sedih akan berita yang baru datang, tetap tidak menunjukkan kehidupan. Wajahnya terasa kaku, sudah terlalu lama sejak ia terakhir kali memperlihatkan emosi. Rambut pirangnya yang ia potong dengan gunting kertas minggu lalu kini terlihat kusam dan menggantung di atas pundaknya, membuatnya terlihat lebih pucat dengan pipi yang tidak terlihat ronanya. Dia hidup. Atau tidak hidup..?
Ia menghela napas. Bukan saatnya untuk bermelankoli mengenai dirinya sendiri. Dengan mantap ia menghapus air matanya, berkedip, memperlihatkan mata biru dengan secercah kehidupan yang tanpa ia ketahui masih berada di dalam dirinya. Ia kemudian berlalu, memutar roda di kursi rodanya keluar dari kamar, meninggalkan burung merpati yang menatapnya kebingungan. Ini hari yang panjang dan ia harus segera mencari sesuatu untuk dimakan.
