Palu pengadilan akhirya diketukkan. Hanya tiga kali, bunyinya pun tak terlalu keras, tapi mampu membuat seisi dunia di mata Tao menjadi gelap gulita. Pekat. Hitam. Matahari dalam kehidupannya seolah padam seketika, seperti lentera harapan di hatinya yang redup memudar.
Tao menundukkan kepala dan memejamkan matanya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak menangis, tetapi air mata jatuh juga dari celeh-celah bulu matanya.
Akhirnya putus juga tali perkawinan Tao dengan Sehun. Hanya satu tahun mereka mengecap manisnya kebersamaan. Rasanya masih belum puas mereka berbulan madu. Belum sempat merangkai semua angan dan impian. Demikian singkat. Dan berakhir di meja pengadilan. Sungguh tragis, entah kemana perginya cinta yang bersemi demikian indahnya, dulu ketika mereka bersanding mengucap janji di depan altar.
Saat ini pun Tao sedang duduk di kursi. Bukan kursi mempelai, tetapi di kursi pengadilan. Ironis sekali nasib yang menimpanya. Dia menoleh ke kursi di sebelahnya. Kursi itu kosong. Tiga kali pengadilan dilangsungkan, selama itu pula Sehun tak pernah hadir.
Sedetik Tao tertegun di ambang pintu keluar. Sehun betul. Tao terlampau mencintainya. Dia tak akan mungkin sanggup hidup tanpa laki-laki itu di sampingnya. Dia begitu takut tidak memiliki seorang pun di sisinya...
Tetapi tiba-tiba saja kesadaran membersit di kalbu Tao. Jangan-jangan selama ini perkawinan mereka berlangsung pincang. Hanya Tao yang memberikan cintanya untuk Sehun. Sedangkan laki-laki itu? Mungkin dia hanya memanfaatkan Tao. Merampas semua uang yang dikumpulkkan dengan susah payah oleh Taountuk dihabiskan di meja judi dan dihambur-hamburkan dengan gadis-gadis selingkuhannya. Belum cukup menyakiti hati Tao, Sehun memaksa Tao mengabdi padanya. Meladeninya seperti seorang Raja. Memasak untuknya. Mencuci bajunya. Memijatnya kalau dia sakit. Semuanya Tao yang melakukan. Padahal Tao juga harus bekerja mencari uang. Lengkaplah sudah penderitaan Tao.
kalau begitu, dia tidak pernah memperlakukanku sebagai seorang istri. Erang Tao pilu. aku hanya perempuan bodoh ... yang begitu takut kehilangan dirinya, sehingga memujanya dengan cara yang salah.
Tao menjinjing koper di tangannya sengan susah payah. Bukan isinya yang berat. Tapi dia tahu, dia sedang berjuang mengumpulkan sisa-sisa jejuatan dalam dirinya supaya hatinya tidak goyah lagi. Dia harus mengambil keputusan. Melupakan cintanya pada Sehun jika tidak ingin semakin hancur berkeping.
Air mata Tao bercucuran di pipinya. Tapi dia menegakkan dagunya. Meninggalkan rumah itu dengan perasaan terluka.
"kau akan menyesal, Tao!" seru Sehun geram. "tak akan ada laki-laki yang sud menikahimu! Kau akan merangkak kembali kesini untuk mengemis cintaku!"
.
.
.
Malam itu juga Tao mengetuk rumah ibunya. Rumah yang sempit, dan berdesak-desakan dengan rumah lain di dalam gang kumuh. Di sanalah ibu dan Ren, adiknya, tinggal berdua.
"betulkah cinta tak pernah salah datang kepada kita, bu?" tanya Tao dengan air mata berlinang, ketika Key muncul membukakan pintu. "mengapa cinta yang kurasakan hanya membuatku menderita?"
Sekejap Key tercenung melihat kedatangan anaknya yang menjinjing koper di sisi saat itu Key mengerti yang telah terjadi.
"cinta memberikan kebahagiaan dan kebebasan, anakku." Cetus Key dengan mayta berkaca-kaca, iba melihat nasib anaknya. "jika kau malah merana dan tersiksa, itu artinya bukan cinta yang kau rasakan. Tapi pengorbanan yang sia-sia dan harus segera diakhiri."
"aku gagal mempertahankan perkawinanku, bu." Isak Tao tersedu-sedu. "aku tak berhasil mewujudkan impianku, memiliki suami yang setia dan mencintaiku. Aku meninggalkannya untuk menyelamatkan diriku.
Key membentangkan tangan lebar-lebar, Tao melepaskan kopernya, dan berlari menghambur ke dalam pelukan ibunya. Bersama-sama mereka menangis dalam kepedihan.
.
.
.
Sepuluh tahun lalu, peristiwa memilukan itu terjadi. Ayah Tao pergi meninggalkan Key, saat ituusia Tao dua belas tahun. Baru duduk di kelas satu SMP. Dia tak habis mengerti mengapa ayahnya tega meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang lebih genit. Dia tak mampu memahami mengapa sampai hati ayahnya mencampakkan ibunya karena seorang perempuan yang selalu berdandan seronok.
Padahal ibunya sudah menunjukkan cintanya yang demikian besar kepada ayahnya. Merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ibu Tao mengabdikan seluruh hidupnya untuk membahagiakan ayahnya.
"jangan pergi, ayah..." jerit Tao sambil menarik-narik baju Minho.
Ibunya hanya duduk memunggungi di ruang tengah. Tak sanggup melihat kepergian orang yang dicintainya. Ia memeluk Ren yang sedang meronta-ronta sambil menangis. Usia adik Tao saat itu baru 7 tahun. Baru saja masuk sekolah dasar. Belum mengerti apa yang terjadi. Tetapi nalurinya sebagai anak membuatnya bisa merasakan sesuatu tengah menimpa keluarganya. Apalagi melihat kakak dan ibunya tak henti-hentinya mencucurkan air mata, Ren pun semakin menjadi-jadi ikut-ikutan menangis.
"ibu...!" pekik Tao dengan hati hancur. Gagal mempertahankan ayahnya, Tao berlari ke arah ibunya, dan mengguncang-guncang tangan ibunya. "mengapa ibu diam saja? Mengapa tidak ibu halangi ayah pergi?"
Key merayap turun dari kursinya. Bersimpuh untuk merengkuh Tao. Kini kedua anaknya berada dalam pelukannya. Hanya tinggal mereka yang ia miliki sekarang.
"suatu saat nanti, anakku..."bisiknya parau, dengan air mata berderai, "kau akan mengerti, mengapa kitatak mampu melakukan apapun, disaat cinta telah sirna di hati orang yang kita kasihi..."
Tao tak pernah melupakan kejadian itu, begitu membekas di ingatannya. Ia menjadi begitu trauma dengan perpisahan. Kehilangan ayah dalam usia semuda itu membuatnya haus kasih sayang laki-laki. Sepanjang hidupnya ia merindukankehadiran figur laki-laki yang dapat melindunginya. Menjaganya, memperhatikannya. Demi memperoleh cinta seorang lelaki, ia rela melakukan apa saja. Dan bersedia mengorbankan apapun. Asalkan ia tidak kehilangan lelaki itu...
TO BE CONTINUED...
Hai hai, readers-deul...
eyke comeback lagi bawa FF yg sedikit 'drama' dan terlalu 'dramatisir' banget :'v
haha, tapi dijamin gak kalah seru kok...
keep reading, jangan lupa review yaa :*
