Last Tears -

Created : dvalitsa13

Staring : TVXQ

Disclaimer : Cerita di fanfic ini murni HASIL DARI OTAK SAYA!

TVXQ © SM Entertaintment and Themselves

MinJae pair for brotherhood!

Just enjoy for the reading

Mengandung unsur OOC, TYPO, dan HAL JELEK LAINNYA.

Jadi, kalau kalian tidak suka dengan semua unsur diatas….

Simple!

IF YOU DON'T LIKE IT, SO DON'T READ IT!

Saya tidak butuh FLAMER!

[ HAK CIPTA DI LINDUNGI TUHAN YANG MAHA ESA ]

x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x-x

Aku begini bukan karena mauku…

Aku begini karena aku adalah korban keadaan.

Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku harus begini!

Aku tidak tahu kenapa aku harus menjadi sebuah aib…

Aku tahu aku memalukan,

Tapi bolehkah aku berharap satu hal kecil saja?

Aku ingin bebas dari semua ini…

XOXOXOXOX

Terlihat sosok pemuda tampan tengah tertawa bahagia bersama teman-temannya yang saat itu sama-sama sedang merayakan wisuda mereka disebuah Universitas ternama di Korea. Tampak dari rona wajahnya kalau saat-saat seperti ini adalah hal yang membanggakan untuknya. Pemuda itu nampak sangat tampan dalam balutan toga. Membuat dua sosok paruh baya yang memperhatikannya dari bangku tamu tersenyum bangga.

Changmin –nama pemuda itu- maju ke prodium untuk memberikan sambutan, karena ia adalah mahasiswa pemilik nilai tertinggi. Dengan penuh percaya diri, Changmin maju dan memulai pidatonya.

"Saya tak akan pernah bisa berdiri disini, membari sambutan jika saya tak terlahir kedunia. Saya sangat berterima kasih kepada orangtua saya yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk terlahir kedunia dan menjadi seperti Kim Changmin yang sekarang. Selain itu, ada satu orang lagi yang memberikan inspirasi dan semangar untuk saya hingga saya menjadi seperti sekarang-,"

Changmin menghela nafas sesaat lalu memulai lagi pidatonya, "dahulu ada seorang anak kecil yang sangat cengeng dan selalu meminta bantuan pada kakaknya. Anak kecil itu amat manja pada kakaknya yang sangat ia sayangi itu, tiap detik anak kecil itu selalu mengutarakan rasa sayang yang ia miliki untuk sang kakak."

Changmin memejamkan matanya, mencoba menahan memori kelam yang sejak dulu tak ingin ia ingat lagi. Memori yang menyisakan luka untuknya, yang sampai saat ini pun luka itu masih membekas dan belum kering. Rona bahagia yang sedari tadi terbias diwajahnya kini terganti oleh kesedihan dan kemuraman, bola mata hitam dengan sorot tajam milik Changmin menatapi satu persatu tamu yang ada di dalam ruangan itu.

Dengan satu helaan nafas, Changmin kembali memulai ceritanya. "Jika boleh saya bercerita kisah anak kecil itu dengan sang kakak, maka saya akan menceritakannya. Dimulai saat anak kecil itu berlari memanggil sang kakak disebuah taman…"

XOXOXOX

[ FLASH BACK ]

"Hyung…! Aku sayang Hyung!"

Suara dari bocah laki-laki berambut hitam itu membuat sosk remaja laki-laki dalam balutan sebuah dress lollita menoleh padanya. Changmin- nama bocah lelaki itu- berlari menghampiri sang kakak yang tengah termenung dibangku yang terletak ditengah-tengah taman kota.

Sang kakak yang bernama Jaejoong, merentangkan tangannya untuk menangkap tubuh kecil Changmin kedalam pelukannya. Changmin menghempaskan tubuh kecilnya kedalam pelukan Jaejoong, lalu ia tertawa –tawa senang. Membuat Jaejoong yang memeluknya menambah intensitas pelukannya, agar sosok kecil itu semakin erat dengannya.

Changmin berpindah posisi menjadi duduk dipangkuan Jaejoong, tangan kecil-nya memainkan pita-pita yang terdapat di dress lollita yang Jaejoong kenakan. "Hyung, aku sayang sekali sama Hyung! Aku sayang Hyung! Aku ga mau Hyung pergi ninggalin aku sendirian." Ujar Changmin dengan nada yang polos.

"Kenapa kamu bicara begitu, bocah nakal! Tentu saja Hyung ga akan ninggalin kamu. Janji…" sahut Jaejoong seraya mengeluarkan jari kelingkingnya untuk bertautan dengan jari kelingking sang adik. Changmin pun balas mengeluarkan jari kelingkingnya yang kecil, lalu wajah polosnya merona karena bahagia berkat janji sang kakak padanya.

Jaejoong merengkuh bocah itu kedalam pelukannya lagi. Changmin dengan senang hati meletakkan wajahnya dileher sang kakak, merasakan harum tubuh sang kakak yang mampu membuatnya merasa terlindungi. Namun sepolos apapun Changmin, ia tahu bahwa sang kakak sedang memendam perasaan yang rumit. Changmin bukan anak yang bodoh dan tak mau tahu dengan keadaan sekitarnya, ia tahu keadaan sang kakak yang sangat ia sayangi itu. Ia tahu bagaimana kakaknya hidup dalam cibiran dan hinaan dari lingkungannya karena penampilannya yang tak seperti seorang namja.

Ya. Kakaknya adalah seorang namja, namun bila dilihat dari penampilan dan psikisnya ia sangatlah seperti seorang yeoja. Kakaknya itu selalu mengenakan pakaian untuk para yeoja, dan sikapnya pun sangat lembut. Bahkan Changmin yakin para Noona yang ada disebelah rumahnya kalah dalam hal sifat dengan kakaknya itu.

Dan berkat keadaan sang kakak, Changmin ikut terkena imbas. Dia dijauhi oleh teman-temannya dan ikut menerima hinaan dari orang-orang sekitar. Namun karena rasa sayang Changmin yang begitu besar pada Jaejoong, ia menulikan telinga dan membutakan matanya dari apa yang ia dengar dan ia lihat tentang Jaejoong. Ia selalu menganggap sang kakak adalah kakak terhebat yang pernah ia miliki.

Changmin tahu semua penderitaan sang kakak. Ia ingin membela sang kakak dan memukuli orang-orang yang berani membuat kakaknya menangis. Namun dia hanyalah anak kecil, dia tak mampi melakukan sesuatu untuk kakaknya. Yang bisa ia lakukan adalah bersikap manis didepan sang kakak, dan selalu menyayanginya.

"Hyung…. Aku sayang padamu." Ucap Changmin lirih, lebih terdengar seperti bisikan. Boca itu berharap sang kakak tak mendengar apa yang ia katakana, namun justru kata-kata Changmin terdengar jelas oleh Jaejoong.

Saat Changmin pikir kata-katanya tak terdengar oleh sang kakak, justru kata-kata itu terdengar sangat jelas ditelinga Jaejoong. Seketika itu juga air mata yang sedari tadi Jaejoong tahan agar tidak mengalir dihadapan Changmin malah jatuh dengan bebasnya, membasahi helaian rambut hitam milik Changmin. Membuat Changmin mendongakan kepalanya hanya untuk menatap wajah sang kakak yang tengah menangis.

Tangan kecil Changmin mengusap kedua mata kakaknya yang basah karena air mata dengan tangan kecilnya. Changmin menatap wajah cantik bak malaikat milik Jaejoong lalu tersenyum lebar, "Hyung, jangan menangis…"

XOXOXOXOX

"AKU MALU PADANYA! KENAPA DIA SELALU MEMPERMALUKAN KITA! AKU TAK PERNAH MENDIDIKNYA UNTUK MENJADI SEORANG WARIA!" sosok lelaki dewasa itu berteriak-teriak didalam kediamannya. Sorot matanya nyalang, menatap seorang remaja laki-laki yang tengah memakai dress tidur khusus perempuan. Disamping remaja laki-laki itu ada seorang wanita yang memeluk pundaknya, mencoba memberikan ketabahan pada sang anak.

Lelaki dewasa yang merupakan kapala keluarga Kim itu berjalan dan berdiri tepat dihadapan sang anak. "Kalau kau masih mau menjadi anak ku, ubahlah kebiasaan mu yang selalu memakai baju-baju untuk anak perempuan! Jaejoong! Kau ini seorang laki-laki berumur tujuh belas tahun! Kau mau memberi contoh tak baik untuk Changmin, hah? Kau ingin dia menjadi seperti mu!" ucap sang ayah murka.

Jaejoong hanya menunduk dalam. Entah apa yang ia pikirkan, namun tersirat didalam matanya ia menderita. Ia tak mau sang adik menjadi seperti dirinya, namun apa yang harus ia lakukan? Ia sulit untuk berlaku selayaknya laki-laki normal. Ia tak mampu, bukan tidak mau. Diam-diam dalam lubuk hatinya, Jaejoong menumpahkan kesalahan pada sang ayah yang membuatnya menjadi seperti sekarang, menjadi sosok lelaki tak normal yang membuatnya menjadi aib bagi siapapun.

"Suamiku! Sudahlah, jangan membentak dan berteriak lagi pada Jaejoong. Kasihan dia! Lagipula ini semua kan bukan murni kesalahan Jaejoong. Ini kesalahan kita juga yang-,"

"APA! Kau mau bilang bahwa ini salahku? Berani kau berkata seperti itu!" sang ayah melayangkan tangannya hendak menampar sang istri. Namun Jaejoong menghalanginya dengan memeluk tubuh ibunya , sehingga dirinyalah yang terkena tamparan itu. Tamparan seorang laki-laki berumur tiga puluhan cukup menyakitkan, terbukti dengan memerahnya pipi Jaejoong.

Dengan tubuh gemetar, Jaejoong memeluk ibunya. Dengan takut-takut ia mencoba menatap sang ayah, "Jangan sakiti ibu! Kalau ayah mau, pukul saja aku. Aku yang membuat ayah malu, bukan ibu." Ujarnya lirih.

Dan saat itu juga sebuah pukulan bersarang dirahang Jaejoong, hadiah yang buruk baginya dari sang ayah. Jaejoong diam, ia membiarkan sang ayah memukulinya hingga ia merasa puas. Sedangkan sang ibu yang masih dipeluk olehnya hanya bisa menahan sakit dihatinya melihat sang anak dipukuli oleh suaminya. Sang ibu juga sudah lelah dengan kelakuan suaminya itu, sungguh ia sangat lelah hingga ia tak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan suaminya.

'pukuli aku saja, tapi jangan pukul ibu….'

XOXOXOXOX

Waktu sudah menunjukkan tengah malam lewat, namun sosok Jaejoong belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan tidur. Sosoknya terlihat tengah memegang sebuah kain basah yang ia gunakan untuk mengompres luka-luka lebam yang timbul karena perlakuan ayahnya. Ia memandangi kain kompres yang ada ditangannya dengan pandangan kosong, lalu pandangannya beralih kearah desk kecil yang terletak tak jauh dari tempat tidurnya, disana terdapat sebuah wadah berisi air dingin.

Tangan kurus Jaejoong menggapai wadah itu, lalu dengan perlahan mencelupkan ujung kain kompres kedalam wadah, membuat kain itu basah oleh air dingin. Jaejoong memeras kain itu dan menempelkannya pada luka-luka yang ada ditubuh dan wajahnya. Sorot mata Jaejoong begitu kosong saat ia mengompres luka-luka itu, tampak sekali penderitaan dari mata beningnya.

Saat Jaejoong sedang serius mengompres luka-lukanya, pintu kamarnya terbuka dan muncul sosok kecil Changmin yang berdiri diambang pintu kamarnya. Changmin menatap Jaejoong begitu lekat-lekat, namun belum mau beranjak masuk dan mendekat pada Jaejoong. Sadar akan kedatangan Changmin, Jaejoong pun melambaikan tangannya pada sang adik- isyarat agar Changmin masuk kedalam kamarnya. Changmin yang mengerti akan isyarat itu langsung berlari mendekat dan memeluk pinggang ramping Jaejoong.

"Hyung… hiks, Hyung… sakit ya?" kata Changmin diiringi isakan-isakan yang membuat hati Jaejoong mencelos. Remaja laki-laki berparas cantik itu tak mampu menjawab, ia hanya mengelus helaian hitam yang tumbuh dikepala Changmin. Membelainya dengan lembut, membuat isakan sang adik semakin terdengar jelas.

"Hyung… hiks, kalau… hiks… sakit, biar aku saja yang kompres! Hiks, Hyung… tidur saja."

"…."

"Hyung?" Panggil Changmin.

Jaejoong akhirnya tersenyum pada sang adik, namun senyum itu bukanlah senyum yang biasa ia tunjukkan pada Changmin. Itu adalah senyum kepedihan yang selama ini selalu ia sembunyikan dari siapapun, termasuk pada Changmin. Changmin yang melihatnya malah terisak semakin keras, hampir terdengar seperti tangisan. Jaejoong tak tahan dengan isakan Changmin, ia pun merengkuh Changmin kedalam pelukannya, "Changmin, bisa kau berjanji pada Hyung?"

Changmin menganggukkan kepalanya yang ia rebahkan di dada hangat milik sang kakak. Jaejoong pun mengelus lagi kepala Changmin , "berjanjilah untuk menjaga umma saat Hyung tidak ada."

"memang Hyung mau kemana?" tanya Changmin dengan nada bingung.

Jaejoong tersenyum, "Hyung tak akan kemana-mana."

XOXOXOX

4 sebelumnya…

"Anda mengidap kanker otak stadium akhir, Jaejoong-sshi…"

Vonis sang dokter pada dirinya, membuat Jaejoong membeku dalam sekejap. Jaejoong tahu penyakit apa yang divoniskan pada dirinya. Ia juga tahu, kini kematian akan ada didepan matanya. Begitu dekat, begitu nyata.

"Berapa lama lagi kesempatanku untuk hidup?" tanya Jaejoong.

"Jaejoong-sshi, jangan berkata seakan-akan hidup anda itu hanya sebentar. Kami berusaha untuk menyembuhkan penyakit anda dengan terapi khusus-"

Jaejoong tersenyum pahit, "Untuk apa terapi? Itu hanya membuang waktu saja." Ucapnya menyela perkataan sang dokter.

"Saya sarankan, anda mengikuti terapi itu. Setidaknya terapi bisa memperlambat penyebaran kanker ke belahan otak yang lain. Kemungkinan sembuh memang kecil, namun kami mencoba untuk mempertahankan hidup anda. Jadi kami mohon, ikutilah saran kami."

Jaejoong meremas ujung gaun Lolita yang ia kenakan, mencoba menahan semua rasa yang bergejolak di dadanya. Ia menatap sang dokter dengan tatapan pahit, "aku bersedia jika harus melakukan itu. Tapi, itu akan kulakukan jika memang ada yang mau melihatku hidup…"

XOXOXOX

Kata-kata dokter yang ia dengar empat bulan yang lalu, kini terngiang-ngiang lagi ditelinganya. Membuat Jaejoong pusing, dan tak tahu harus berbuat apa. Jaejoong menolehkan kepalanya, menatap wajah damai Changmin yang telah terlelap sejak beberapa jam yang lalu.

Perlahan, tangannya merambat untuk meremas dadanya untuk menghilangkan denyut sakit yang ia rasakan. Rasa sakit saat ia menatap wajah Changmin membuatnya terhempas jauh dalam ketidak berdayaan. Dengan putus asa Jaejoong terus meremas dadanya berharap rasa sakit itu akan lenyap. Namun seberapa keras ia meremas dadanya, hal itu hanya sia-sia karena rasa sakit yang tak terlihat beribu kali lebih sakit daripada luka yang menganga lebar namun kasat oleh mata.

Jaejoong tahu kelemahan sekaligus kekuatan terbesarnya, semuanya bersumber pada Changmin. Inilah yang membuat Jaejoong terus bertahan hidup dan menyembunyikan semua rasa sakit yang ia alami dari Changmin, ia tak mau sang adik meneteskan air mata hanya karena dirinya. Ia juga tak mau sang ibu merasa sedih akan keadaannya, yang ia inginkan hanyalah orang-orang yang ia sayangi dapat hidup normal dan bisa bahagia. Ia rela jika rasa sakit yang ada di dunia ini hanya ia yang merasakan, asal jangan sampai rasa sakit ataupun kesedihan menghampiri ibunya dan Changmin.

Tangan kurus dan rapuh milik Jaejoong merengkuh tubuh kecil Changmin yang terlelap. Hanya dengan inilah ia dapat menumpahkan kesedihannya, hanya dengan mendekap Changmin ia bisa menumpahkan bebannya. Walaupun hanya dalam kesunyian, ia merasa cukup dengan itu semua.

Perlahan sebulir air mata jatuh dari kelopak mata Jaejoong. Membuat Jaejoong terlihat berkali lipat lebih rapuh, dan mudah untuk terus menangis dalam diam, tanpa ia sadari bahwa Changmin telah terjaga karena air matanya yang jatuh mengenai sebagian wajah Changmin. Namun Changmin memilih untuk diam, ia membiarkan sang kakak memeluknya dengan erat untuk menghilangkan rasa sakit dan sedihnya. Changmin rela kakaknya itu memeluknya lama-lama, asal ia bisa meringankan penderitaan kakaknya.

'Hyung, maafkan aku tak bisa membantu apapun untukmu.'

XOXOXOXOX

"Changmin, ayo cepat! Nanti kita bisa telat, Hyung ga mau telat kesekolah nih." Jaejoong memanggil sang adik dengan ceria. Ia menunggu Changmin yang masih belum selesai dengan sarapannya. Bocah itu terlihat sedang meminum susunya dengan terburu-buru hingga ia tersedak.

"Joongie, biarkan adikmu menyelesaikan sarapannya pelan-pelan. Lihat, dia sampai tersedak begini!" Sebuah jitakan mendarat dirambut berwarna hitam pekat milik Jaejoong. Sementara si pemilik kepala hanya menyengir lebar menanggapi jitakan sang ibu.

Sedetik kemudian sosok kecil Changmin yang memakai seragam khas anak-anak sekolah dasar muncul dengan sebuah cengiran lebar, "Hyung… ayo! Aku sudah siap nih!"

"Sejak kapan kau melupakan sopan santun, bocah nakal! Kita harus berpamitan dulu pada umma dan appa." kata Jaejoong seraya mencubit pipi sang adik, sang adik hanya tertawa saja mendapat cubitan dari sang kakak.

Mereka semua terlihat bahagia di pagi hari itu, tak aka nada yang menyadari bahwa Jaejoong menangis semalaman. Itulah Jaejoong, ia ceria dan bisa melupakan apa yang terjadi padanya dengan begitu cepat. Dan itulah yang membuatnya bisa menunjukkan pada sang ibu dan sang adik bahwa ia baik-baik saja ditengah kecaman dunia yang menyudutkan dirinya.

Namun keceriaan Jaejoong tak berdampak bagi sang ayah. Saat ia mendekat untuk berpamitan, sang ayah malah tak acuh padanya. Sang ayah terlihat tak menganggap ada Jaejoong disana. Sekali lagi, denyut sakit kembali terasa dihati Jaejoong melihat sikap sang ayah yang tak memandangnya.

"Appa…." Panggil Jaejoong pelan.

"…"

Jaejoong memejamkan matanya, mencoba bersabar dan menekan sesak yang mengumpul di dadanya. Namun sangat susah untuk tidak menangis saat sang ayah bersikap tak perduli padanya, "Aku, pergi ya ayah…" Pamit Jaejoong dengan sebuah senyuman, walaupun ia tahu bahwa senyumnya tak akan pernah terbalas.

"….."

Tak ada jawaban dari sang ayah, hanya sebuah suara dari lembar Koran yang dibalik oleh sang ayah yang terdengar digendang telinganya. Jaejoong yakin bahwa itu adalah perintah non-verbal dari sang ayah untuknya, bahwa ia tak mau melihat dirinya lebih lama lagi, dan dengan rendah dirinya Jaejoong menunduk dan segera pergi dari hadapan sang ayah.

Kejadian itu dilihat oleh mata polos milik Changmin yang sudah tak kaget lagi dengan pemandangan seperti itu. Ia telah terbiasa melihat perlakuan acuh dan kasar sang ayah pada kakaknya. Changmin selalu merasakan rasa sakit yang juga dirasakan sang kakak jika ia melihat sikap ayahnya. Changmin memilih untuk mendekat pada Jaejoong sambil merentangkan tangannya, meminta sang kakak dengan tidak langsung untuk menggendongnya.

Jaejoong buru-buru menghilangkan jejak air mata di pipinya dan memasang senyum ceria yang dengan mudah Changmin ketahui bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Changmin memeluk leher jenjang milik Jaejoong yang tengah menggendongnya, "Hyung, jangan menangis ya…"

"Memangnya Hyung menangis ya? Hyung tidak menangis kok.." bohong Jaejoong.

Changmin semakin menenggelamkan kepalanya pada leher sang kakak, berusaha memberi tahu sang kakak betapa ia tak mau kakaknya bersedih lagi. "Aku sayang Hyung, jadi aku ga mau Hyung nangis."

Jaejoong terdiam sesaat, ia terhenyak akan perkataan sang adik yang entah kenapa membuat hatinya terasa hangat. Ia pun mengangguk dan menurunkan tubuh kecil Changmin dari gendongannya, "iya, Hyung janji. Nah sekarang kau pamitan dulu ya pada appa."

"Baik!" ucap Changmin dengan cengiran lebarnya, membuat Jaejoong untuk ikut tersenyum.

Mata bening milik Jaejoong menatap hampa pada tubuh Changmin yang tengah berlari menuju ayah mereka. Namun entah kenapa rasa sakit yang lebih kuat menyerang hatinya. Rasa sakit saat ia melihat sang adik dipeluk oleh sang ayah, saat sang adik diperhatikan oleh pria paruh baya itu. Segera saja Jaejoong menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan rasa iri yang baru saja menelusup kehatinya.

Dengan sebuah senyuman, menyambut uluran tangan Changmin, "Ayo berangkat, Hyung!"

"Wah, kau mau menggandeng Hyung?"

"Memang kenapa? Aku bangga punya Hyung, soalnya Hyung cantik! Hehehe…" kata Changmin dengan sebuah cengiran lebar.

Jaejoong mengelus kepala Changmin dengan gemas, "dasar penggoda!"

'Changmin, maafkan Hyung ya. Maafkan keadaan Hyung yang seperti ini, maafkan Hyung…'

XOXOXOX

"Huaaaaa…..! Umma… huaaaaaaa…..!"

Isak tangis dari Changmin yang baru saja pulang dari sekolahnya membuat sang ibu cemas. Dengan segera, ia menghampiri anak bungsunya itu dan menggendongnya. Sang ibu terkejut saat ia melihat beberapa luka yang cukup parah ditubuh anak bungsunya itu, dengan lembut sang ibu mendudukkan Changmin diatas sofa yang ada.

"Kenapa bisa tubuhmu terluka begini?" Tanya sang ibu.

Changmin terisak, ia kembali menangis saat ia ingat teman-temannya melempari dirinya dengan batu kerikil ketika ia mencoba membela kakaknya. Ia tak suka teman-temannya itu mengejek kakaknya dengan kata-kata tak sopan. Namun Changmin malah dilempari batu oleh mereka.

"Aku… -aku dilempari batu saat membela Hyung… hiks! Aku… aku sebal pada mereka, umma." Kata Changmin dengan isakan yang terdengar begitu memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya.

Dengan lembut san ibu memeluk anak bungsunya itu, mencoba meredam isakan Changmin yang membuat hatinya berdenyut sakit, "Changmin hebat! Ibu bangga padamu 'nak. Kau berani membela hyungmu."

"Tapi Umma, kadang aku ingin Hyung berpakaian seperti laki-laki. Aku lelah di ejek oleh mereka! Aku… -aku…, aku malu pada mereka. Aku… aku ingin Hyung seperti laki-laki yang normal, hiks! Aku… aku lelah…."

"Sssshhh… kau tahu kan Hyungmu tidak ada niat untuk mempermalukanmu? Bersabarlah sayang, kau harus mengerti keadaan Hyung."

Changmin menatap sang ibu dengan tatapan yang tak bisa di deskripsikan, "Umma.. aku selama ini sudah mengerti Hyung, tapi kenapa Hyung tak mau mengerti aku? Mengerti umma dan appa?"

Sang ibu tak menjawab, ia hanya kembali memeluk Changmin dalam dekapannya. Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada sosok lelaki cantik berseragam sekolah perempuan tengah mendengarkan percakapan mereka berdua. Air mata entah sejak kapan berlelehan dari mata beningnya. Tangan kurusnya meremas dadanya sendiri, mencoba meredam rasa sakit dan isakannya. Mencoba agar dua orang yang ia sayangi itu tak menyadari kehadirannya.

'Maafkan aku, ibu. Maafkan Hyung, Changmin…'

= TBC =

YAK! Annyeong Chingudeul…. ( o )/

Saya author baru nan abal yang mau meramaikan fandom Screenplays…

Btw, ini fic pertama saya di fandom Screenplays dan TVXQ loooohh! *lalu?*

Ya saya harap fic ini ga mengecewakan Chingudeul… ^^v

Disini saya buat karakter Jaemma berdasarkan tokoh asli yang saya ambil dari-

Ummm… kasih tau gak ya? Ya pokoknya didalam kehidupan saya ada sosok yang sama seperti Jaemma^^

Dan untuk Changmin, saya bikin jadi adiknya Jaemma loh!

Ahahaha… silahkan bunuh saya! *berserah diri, lol*

Ohohohoho…! ^o^

YA UDAH!

Saya capek…

Mind to leave me some reviews?