The Perfect Storm
HunHan Indonesia Big Event
Satu
.
Desember 2005.
Musim dingin. Saat itu Luhan masih berusia 10 tahun. Sepulang sekolah, ia melihat mobil ayahnya terparkir didepan rumah. Senyum pun menghiasi bibir mungilnya. Karena ayahnya pulang hanya satu kali dalam sebulan, tentu saja membuat dadanya berdebar. Apakah ayahnya membelikan mainan baru? Apakah ayahnya akan menemaninya dengan semua dongengnya sebelum tidur? Apakah ayahnya akan mengantar dan menjemputnya saat sekolah? Dan dengan langkah cepat ia memasuki rumahnya.
Namun senyum manisnya pudar saat melihat ibunya menangis terduduk dilantai, sementara ayahnya mengobrak-abrik seisi kamar. Kertas berserakan dimana-mana, vas bunga diruang tengah pun tergeletak dan rusak. Dan sang ayah masih berteriak-teriak frustasi karena belum mendapatkan apa yag dicarinya.
"I-ibu.." panggil Luhan pelan.
Wanita yang dipanggil itu pun segera menghampiri putri tunggalnya lalu memeluknya seakan takut kehilangan. Luhan tidak bereaksi banyak melihat sang ayah yang tega membentak ibunya tepat didepan matanya. Tangan mungilnya ditarik paksa oleh sang ayah setelah mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Luhan tidak tahu atas dasar apa ayahnya melakukan ini, tapi kini Luhan ditarik paksa dari pelukan ibunya. Ia sedikit meringis akibat genggaman ayahnya yang dirasa sangat kuat.
"Ayah, ini sakit.. Lepas"
"Lepaskan Luhan, aku mohon.." Teriak ibunya sambil menangis, memohon dikaki suaminya.
"Luhan ikut bersamaku." Ucap lelaki itu final.
"Tidak, tidak.. Kumohon.."
"I-ibu.. Ayah, lepas. Aku ingin bersama ibu.." Luhan memberontak berusaha melepaskan genggaman ayahnya. Namun sia-sia karena kini ia dipaksa masuk kedalam mobil. Tubuh lemahnya tak bisa berbuat apa-apa.
"Luhan.." Ibunya berusaha bangkit untuk mengejar mobil yang sudah melaju. Suaminya telah membawa Luhan pergi. Disamping pagar rumahnya tereletak surat cerai yang nampak lusuh. Wanita itu hanya menunduk dan menangis. "Maafkan ibu, Luhan.. Maafkan ibu, maaf.."
Sementara didalam mobil Luhan terus memberontak, menggedor kaca mobil ayahnya, menangis meraung memanggil ibunya. "Ayah turunkan aku! Aku ingin bersama ibu.."
Ayahnya hanya diam, mengendarai mobilnya dengan cepat menuju tempat yang sangat jauh. Disela tangisan Luhan, ayahnya memberikan sebuah amplop coklat. Luhan merobeknya hingga beberapa lembar foto berjatuhan. Luhan terdiam. Ada beberapa orang didalam foto itu, namun hanya satu yang ia kenali. Seseorang dengan lipstick merah menggoda serta baju minim yang sangat mengundang. Dan itu, ibunya.
"Luhan sayang," panggil ayahnya pelan setelah meminggirkan mobil yang dikendarainya. Luhan memang masih sangat kecil saat itu, tapi ia tidak seperti gadis kecil lain seusianya, ia gadis pintar yang tentu saja ia tahu maksud dari foto-foto itu. Seketika ingatannya memutar ke hari-hari sebelumnya dan sekarang ia mengerti mengapa ibunya selalu pulang larut dengan pakaian dan make up yang sudah tak tertata rapi. "Maafkan ayah, nak. Maafkan ayah, sayang."
Lagi, Luhan tidak menjawab. Air mata membasahi pipinya. Dadanya terasa sangat sesak. Bahkan untuk sekedar bernafaspun rasanya begitu sakit.
"Yaampun, Luhan! Hidungmu! Bertahanlah!"
.
Xiao Bin segera menghubungi ambulance dirumah sakit terdekat. Ia tak mau mengambil resiko mengemudikann mobil dalam keadaan kacau seperti ini. Untunglah ia masih bisa berpikir jernih, jika tidak, kemungkinan terburuk pasti akan menimpa Luhan. Melihat langit yang mendung dan mulai meneteskan titik-titik air yang membasahi bumi.
Xiao Bin beranjak ke kursi belakang untuk memeluk Luhan dan mengucapkan kalimat-kalimat penenang pada Luhan, yang sebenarnya lebih pantas ia ucapkan untuk dirinya sendiri. Ia membuka jas kerjanya, mencoba membendung darah yang keluar dari hidung Luhan. Kemeja putih yang awalnya bersih tanpa sepercik nodapun kini mulai memerah. Persetan dengan pakaian mahalnya. Ia hanya ingin Luhan berhenti pendarahan dan segera membuka matanya.
Ambulance datang setelah 10 menit. Cuaca yang buruk ditambah jalanan kota Beijing yang padat memnghambat kedatangannya. Nafas Luhan sangat pelan dan denyut nadinya mulai melemah karena kehabisan darah. Xiao Bin segera membawa Luhan keluar mobil yang tadi ia gunakan dan berpindah ke ambulance yang lagsung melesat menuju rumah sakit.
Ingin rasanya Xiao Bin memprotes karena keterlambatan itu. Namun urung saat ia kembali melihat tubuh lemah putrinya. Ia memanjatkan do'a disepanjang perjalanan, semoga Luhan baik-baik saja. Bertahanlah sayang.
.
Sesampainya dirumah sakit, Luhan langsung dibawa ke UGD dengan penanganan dokter ahli. Setelah menunggu sekitar 45 menit, seseorang berjubah putih itupun keluar.
"Bagaimana keadaan putriku?" ucap Xiao Bin tanpa basa-basi.
Dokter yang tak lebih tua darinya itu tersenyum, seraya menampilkan deretan giginya yang rapi. Wajahnya tampan dan menawan. Rahang tegasnya cukup membuktikan bahwa ia telah mengenyam banyak pengalaman. Jika dilihat-lihat, sepertinya dokter ini bukan orang China asli.
"Apakah anda wali dari nona Xiao Luhan?"
"Ya, saya ayahnya. Bagaimana keadaan putri saya dokter? Ia baik-baik saja kan? Tolong lakukan apapun. Saya tidak ingin kehilangannya. Saya mohon."
Dengan menahan air mata yang mendesak ingin keluar, serentetan kata itulah yang terucap dari mulutnya. Ia sudah tak peduli lagi dengan penampilannya. Kemeja bernodakan darah yang mulai luntur akibat terkena air hujan tadi pun masih setia menutupi bagian atas tubuhnya.
"Tenanglah, putri anda baik-baik saja. Biar kita bicarakan diruangan saya." Dokter itu tersenyum, senyum yang menenangkan. Lalu mempersilahkan Xiao Bin untuk mengikuti langkahnya.
Setelah berjalan beberapa meter, sampailah diruangan itu. Ruangan bernuansa putih dipadukan dengan furniture berwarna hitam abu-abu dan tanaman hidup disekelilingnya. Wangi lavender memenuhi setiap sudut ruangan. Tak lupa jendela besar yang menghadap langsung ke taman belakang rumah sakit. Dalam sekejap rasa khawatir Xiao Bin menghilang. Ruangan itu benar-benar menenangkan. Ia hampir saja lupa tujuan awal berada diruang ini.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan putri saya dokter?" ucapnya lebih tenang.
"Sebelum saya menjawab, bolehkan saya bertanya sesuatu?"
Xiao Bin mengernyit, namun tetap menganggukkan kepala tanda mempersilahkan.
"Maaf, tapi apakah keluarga anda baik-baik saja?"
"A-apa? Dokter, tolong jangan bercanda. Saya datang kesini untuk tahu apa yang terjadi dengan putri saya. Bukan untuk sebuah lelucon semacam ini." Protes Xiao Bin tak terima. Untuk apa seorang dokter mengurusi masalah keluarga pasiennya?
Tapi lagi-lagi dokter itu tersenyum. "Tolong tenangkan dulu diri anda, tuan. Saya bertanya seperti ini bukan untuk sebuah lelucon atau ingin mengurusi masalah rumah tangga anda. Memang benar anda datang keruangan ini untuk tahu apa yang terjadi dengan putri anda. Dan jika memang tidak ada masalah apapun dalam keluarga anda, nona Luhan mungkin tidak akan mengalami hal semacam ini" ucap sang dokter panjang lebar.
"Apa maksudnya?"
"Berdasarkan data yang saya terima, nona Luhan mengalami Epistakis Laserasi yaitu pecahnya pembuluh darah dikerongkongan hingga hidung dan mulutnya mengeluarkan darah. Umumnya hal ini disebabkan karena syok dan hanya terjadi pada orang dewasa. Namun karena tekanan darah nona Luhan rendah, juga kurangnya pasokan oksigen, membuat sirkulasi darahnya tersumbat. Andai saja anda terlambat membawanya kerumah sakit, mungkin nona Luhan tidak bisa terselamatkan. Saya asumsikan sebelumnya nona Luhan pasti menangis hebat. Apakah benar?"
"…"
Xiao Bin tak menjawab. Betapa bodohnya ia membiarkan Luhan mengalami ini semua. Luhan nyaris kehilangan nyawanya. Demi Tuhan. Andai saja ia bisa menguasai emosinya, mungkin Luhan akan baik-baik saja. Andai saja ia tidak egios, andai saja ia mau sedikit mendengarkan, andai saja..
Melihat tatapan kosong itu membuat sang dokter menghela nafas. "Nona Luhan mengalami depresi karena terlalu banyak tekanan terhadap dirinya. Apapun yang menimpa keluarga anda, saya harap itu segera terselesaikan. Depresi diusia yang sangat muda seperti nona Luhan akan sangat rentan terhadap masa depannya. Saya yakin anda mengerti."
.
Segera setelah mendapatkan perawatan intensif selama 2 hari di Beijing International Hospital dan tubuhnya kembali normal, Xiao Bin membawa Luhan pergi ke Canada untuk perawatan lebih lanjut. Atas saran dokter tentunya. Luhan harus dijauhkan dari masalah -apapun itu.
Luhan memang tidak sakit fisik. Tapi yang menjadi beban bagi Xiao Bin adalah jika kondisi psikis Luhan terus dibiarkan, seperti kata dokter, masa depannya yang dipertaruhkan. Dan demi apapun yang pernah ia lakukan dimasa lalu, Luhan harus sembuh dan bahagia dengan hidupnya.
.
Kurang lebih lima tahun sudah Luhan menetap di Canada. Dua tahun ia habiskan untuk menyesuaikan diri, dan tiga tahunnya ia sia-siakan dengan bersekolah. Luhan masuk ke sekolah kepribadian yang sebenarnya sangat-sangat tidak ia sukai. Untuk apa membuang banyak uang jika yang diajarkan hanya cara berdiri, cara makan dan cara tersenyum? Lalu ia dipaksa untuk menceritakan seluruh isi hatinya dihadaapan semua orang.
What the hell!
Ia lebih memilih belajar buku-buku managemen dan ekonomi milik ayahnya daripada harus terjebak dengan orang-orang ini.
.
Seseorang melempar gulungan kertas tepat mengenai kepala bagian belakang Luhan saat ia tengah asik menguap. Ia menoleh dan mengambil gulungan kertas itu.
Just go if you're bored.
Kira-kira seperti itulah isi gulungan kertasnya. Kening Luhan berkerut. Apa seseorang tengah mengajaknya membolos? Lagi, Luhan menoleh kebelakang. Tak ada yang janggal disana. Jika memang seseorang tengah mengajaknya, seharusnya ia melihat kearah Luhan sekarang. Tapi yang Luhan temukan hanya beberapa pasang mata yang sangat serius memperhatikan pembimbing didepan.
Kecuali satu, kursi dipojok kanan belakang sana. Bukankah seseorang berwajah datar mendudukinya tadi? Karena penasaran, ia pun mengangkat tangan meminta ijin untuk pergi ke toilet.
.
Luhan berjalan sampai ke ujung lorong, namun ia tidak menemukan apapun. Karena sudah terlanjur jauh dari kelas, ia memutuskan untuk pergi ketaman belakang. Dan.. Bingo! Luhan menemukan seorang lelaki berbadan kurus, berhidung mancung, berkulit pucat dan tidak jauh lebih tinggi darinya. Namun tatapan matanya tajam dan bibirnya tipis setipis kue lapis. Lelaki itu terlihat sedang membaca sesuatu karena berdasarkan pengelihatan Luhan, wajahnya sangat serius –dan manis.
"E-ekhem.."
Untuk beberapa saat lelaki itu menolehkan kepalanya kesamping, melihat keberadaan Luhan, lalu kembali tenggelam dengan bukunya.
Melihat tak ada respon, Luhan pun mendekatkan dirinya. "Are you throwing this paper to me?"
Lelaki itu memandang Luhan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menilik penampilan Luhan yang agak berbeda dengan penampilan gadis-gadis lainnya. Lelaki itu baru saja akan membuka mulutnya namun seketika Luhan membalikan badan dan berjalan imut sambil menghentakkan kedua kakinya. Lalu mengumpat dengan 'bahasa ibu'nya.
"Dasar lelaki mesum! Tak tahu sopan santun! Memang apa yang salah dengan penampilanku? Percuma saja sekolah disini jika- aaw!"
Luhan terjerembab disebuah lubang yang cukup dalam sehingga kakinya terkilir. Ia mencoba meminta tolong namun keadaan sedang sangat sepi -kecuali seseorang berwajah datar dibelakangnya.
Oh, haruskah aku meminta bantuannya? Tidak, tidak. Luhan menggelengkan kepalanya. Bisa saja ia malah mentertawakanku. Tapi, uuh ini sakit sekali. Rengeknya dalam hati.
Tanpa tahu malu, Luhan menangis sesegukan. Posisinya masih sama sejak lima menit lalu. Terduduk diatas rerumputan, meratapi kakinya. Ingin rasanya ia berteriak. Dan mengadu pada ayahnya.
.
"Luhan, Luhan.. Kau diman- yaampun Luhan, kau kemana saja? Tadi Victor menjemputmu, tapi kau tak ada dimanapun. Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Apa saja yang kau lakukan? Kemana saja kau seharian?"
Luhan memutar bola matanya memandang jengah pada ayahnya. Demi apapun, Luhan sudah lima belas tahun. Itu pikirnya. Tapi tak tahukah kau Luhan, ayahmu berkeringat setengah mati mendengar laporan Victor bahwa kau tak ada ditempat manapun disekolah. Ia bahkan meninggalkan rapat bulanan begitu saja dan membatalkan meeting penting hari ini. Semua jadwalnya kacau hanya karena kau.
.
Semenjak kejadian Luhan masuk rumah sakit lima tahun silam, Xiao Bin –ayah Luhan, berjuang mati-matian untuk membahagiakannya. Ia tak pernah ingin melihat Luhan bersedih terlebih jika ia mengingat dan menanyakan tentang ibunya. Apapun itu, Xiao Bin akan mengorbankannya hanya demi Luhan, putri kecilnya. Termasuk kehilangan calon investornya kali ini.
Luhan hanya tersenyum-senyum sendiri melihat wajah ayahnya saat sedang marah. Bagi Luhan, ayahnya adalah orang paling menyebalkan disaat-saat seperti ini, karena ia akan memberondong Luhan dengan ribuan pertanyaan semacam 'bagaimana perasaanmu hari ini? Apa saja kegiatan yang kau lakukan seharian tanpa Daddy?'. Oh, cukup pembimbingnya saja yang suka menginterogasi, tidak untuk ayahnya.
Tapi disamping itu semua, Luhan sangat menyayangi ayahnya lebih dari siapapun. Ia tidak ingin ayahnya kecewa –meskipun pada kenyataannya Luhan masih belum bisa. Tapi ia bertekad untuk bisa menjadi seperti ayahnya suatu saat nanti. Kuat, baik hati dan selalu berpikiran dingin dalam situasi apapun –kecuali jika itu menyangkut tentangnya. Tak lupa, ayahnya juga seorang pebisnis handal. Dan Luhan suka memiliki banyak uang. HA to the HA.
Sebenarnya tanpa sekolah kepribadianpun Luhan akan tetap menjadi Luhan. Jiwa dan ambisinya kuat seperti Xiao Bin, ayahnya. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya menurun dari Lee Han Yi, ibunya. Tapi untuk sifat manjanya, entahlah. Itu sudah murni menjadi tabiatnya.
.
Sudah hampir 10 menit ayahnya mengomel. Jika tidak dihentikan maka ini akan terus berlanjut hingga jam makan malam.
"Dad.." ucap Luhan mencoba berdiri. Ia lupa jika kakinya masih terasa sakit. Belum genap satu langkah ia sudah terhuyung. Untung saja ia masih sempat berpegangan pada senderan sofa mewah milik ayahnya itu. Jika tidak, mungkin saja ia sudah jatuh berguling-guling dan kakinya patah. Oh oke, itu berlebihan.
"Jangan menyela daddy, Luhan. Daddy belum seles- ya! Apa yang terjadi dengan kakimu?" seketika bahasa ibunya keluar. "Apa-" Grep.
Luhan memeluk ayahnya erat. Dalam sekejap mulut ayahnya bungkam. Dan tak butuh waktu lama hingga ia membalas pelukan Luhan. Sungguh, putrinya ini benar-benar. Dibalik punggung ayahnya, Luhan tersenyum menang.
"Kau tahu, Luhan? Daddy sangat membenci saat-saat seperti ini."
"Em.. Aku sangat mencintai Daddyku yang bawel ini"
"Ya!" dan Luhan tergelak karena berhasil menggoda ayahnya. Melihat itu semua, hati Xiao Bin merasa lebih tenang. Ia pun ikut tersenyum.
"Sudahlah Dad, lebih baik sekarang Daddy bantu aku menyiapkan air hangat untuk mengompres kakiku ini. Aah rasanya seperti ditendang ribuan banteng mini. Uuh.. Sakit sekali." kicau Luhan berakting semeyakinkan mungkin.
Xiao Bin hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putri semata wayangnya. Ia sangat bersyukur dan bahagia walau hidup hanya berdua bersama dengan Luhan, tapi selalu ada banyak kejutan dan keajaiban yang Luhan berikan disetiap harinya. Oke, mungkin maksudnya kekonyolan yang Luhan lakukan.
.
"So, wanna tell me something?" ucap Xiao Bin memecah keheningan setelah selesai mengompres kaki Luhan.
Luhan memandang ayahnya penuh jenaka. Kemudian ia tersenyum. Tiba-tiba wajahnya terasa panas.
*flashback*
"Aish! Menyebalkan!"
Sehun pun berjalan mendekati Luhan yang masih setia menangisi kakinya. Lantas ia memegang kaki Luhan lalu sedikit mengurutnya dan..'krek'
"OH MY GOD WHAT THE FUCK ARE YOU DOING?"
Lengkingan itulah yang akhirnya Sehun dapatkan. Ia menutup mata dan mengernyit. Menggertakkan giginya kemudian meninggalkan Luhan begitu saja.
Belum sampai lima langkah, lagi-lagi ia harus berbalik karena tangisan sirusa yang malah semakin kencang. Wajahnya sudah memerah karena kesal. Tapi sekali lagi ia membuang nafas dan kembali menampilkan wajah datarnya.
"Can you help me? It's hurt."
Dengan mata berkaca-caca ditambah bibir keritingnya yang berkedut-kedut karena menahan isakan, Luhan memberanikan diri untuk meminta bantuan Sehun. Dan tanpa menjawab sepatah katapun Sehun mendekatinya lalu berjongkok memunggunginya.
.
Sehun menggendong Luhan menuju gedung sekolah. Berniat mengembalikan Luhan ke kelasnya. Namun dengan tidak tahu dirinya Luhan meminta Sehun mengantarnya pulang. Dengan alasan percuma saja ia kembali kekelas, toh ia akan tetap menangis kesakitan. Dan betapa bodohnya Oh Sehun ketika ia membawa Luhan keluar sekolah tanpa protes suatu apapun. Chill!
Mereka berjalan menyusuri jalanan Yonge Street yang cukup ramai. Tepatnya hanya Sehun yang berjalan karena Luhan masih setia mengoceh dibalik punggungnya. Mengeluarkan apapun yang ada dikepala berharganya.
Rencana awal Sehun adalah mengantar Luhan secepat mungkin dan kembali sebelum jam pulang sekolah. Tapi sialnya meraka tak membawa uang, jikapun ada itu tidak akan cukup hanya sekedar membeli tiket bus untuk dua orang. Benar-benar ceroboh.
.
Setelah merasa lelah karena tidak ada satupun ocehannya yang didengar, Luhan menaruh kepalanya dibahu Sehun dan mulai terlelap. Sehun mendengus menyadari bahwa Luhan benar-benar tertidur digendongannya. Tanpa sadar ia menyematkan sebuah senyuman dibibirnya. Dasar aneh, pikirnya.
Sudah hampir 20 menit ia berjalan tanpa ocehan si rusa bawel dipunggungnya. Kakinya sudah sangat pegal dan kerongkongannya mulai mengering. Ia pun memutuskan untuk beristirahat disebuah taman disudut salah satu jalan terpanjang didunia tersebut. Sehun menaruh Luhan disebuah bangku panjang dibawah pohon dan menyenderkan kepalanya agar tak merasa silau. Kemudian ia pergi membeli minuman untuk melonggarkan tenggorokannya.
Sehun meninggalkan Luhan sekitar 4 menit yang lalu. Luhan mulai merasa gelisah karena tak mendapatkan ceruk leher tempatnya bersender tadi. Ia pun membuka matanya dan terkejut. Ia menerawang, tak ada satupun orang yang ia kenal.
Luhan baru ingat bahwa tadi ia digendong lelaki berwajah datar sangat menyebalkan yang akan mengantarnya pulang. Tapi sekarang ia ditinggalkan sendirian disebuah tempat yang Luhan sendiri tak tau ini dimana. Stanley Park, itulah tulisan yang ia temukan. For God Shake, Luhan tak pernah bepergian sendiri selama tinggal disini. Selalu ada Victor yang siap menemaninya kemanapun ia ingin.
"Hiks… Hiks.." Luhan panik bukan main. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia takut sendirian.
.
Dari kejauhan Sehun berjalan dengan 2 cup es bubble rasa taro dan cokelat digenggaman tangan kiri dan kanannya. Sekitar 10 menit untuk mengantri dan kembali lima menit kemudian. Semakin dekat, pandangan Sehun terhadap Luhan semakin jelas. Ia melihat Luhan menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan bahunya bergetar. Tanpa pikir panjang, Sehun berlari menghampiri Luhan.
"Gwaenchana? Apa kau terluka? Apa ada yang menyakitimu?" ia memperhatikan seluruh tubuh Luhan dan mengelus pipi Luhan yang sialnya sangat lebut hingga tangannya tak mau beranjak dari sana.
Luhan terpaku melihat kekhawatiran diwajah Sehun. Ternyata ia bisa khawatir juga,batin Luhan. Tapi bukan itu masalahnya.
"K-kau bilang apa tadi?" Sehun yang tersadar atas sikapnya, memalingkan wajah dan mulai menjauhkan tangannya dari wajah Luhan.
"Kau bisa bahasa Korea?" tanya Luhan, karena ibunya Lee Han Yi adalah wanita berdarah Korea, jadi mau tak mau Luhan pun dipaksa untuk terbiasa menggunakan Bahasa Korea ketika berkunjung ke keluarga ibunya –meskipun masih sedikit kaku.
Luhan memegang kedua tangan Sehun, mencoba bertanya sekali lagi.
"Katakan, apa kau orang Korea? Ya! Lihat wajahku. Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun oleh appa dan eomma mu?" dalam sekejap Luhan yang lemah dan tak berdaya berubah menjadi ayam betina yang galak.
Sehun menjawab hanya dengan satu anggukan kepala. Jika diperhatikan, posisi mereka seperti.. sepasang kekasih yang sedang merajuk dan meminta maaf.
Luhan mendengus, benar-benar tak menyangka. "Mengapa kau tak bilang sejak awal? Mengapa kau diam saja? Yak! Kau jahat sekali meninggalkanku disini sendirian! Mengapa kau tak pernah menjawab pertanyaanku, kau pasti sudah tahu sejak awalkan? Yak! Jawab aku! Kau benar-benar jahat!" cerocos Luhan. Genggamannya ditangan Sehun kini berubah menjadi sebuah pukulan abstrak tak beraturan.
"Ya ya ya! Hentikan! Bagaimana aku bisa menjawabmu jika mulut lancangmu itu tak berhenti mengomel!"
.
Langit mendung. Matahari tak mampu bertahan dari ancaman segerombolan awan gelap. Setelah perdebatan panjang tanpa pemenang itu, hasil akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sehun masih bertahan dengan segala kebisuannya. Sedangkan Luhan asik dengan es bubble rasa taronya.
Glup, glup, glup. Terdengar jelas suara air yang masuk ke tenggorokan Luhan.
Sehun menelan ludahnya kasar. Seharusnya minuman itu masuk ke tenggorokannya. Rasa taro adalah favoritnya. Seharusnya minuman itu miliknya. Bubble tea coklat yang ia beli untuk Luhan terjatuh karena terburu-buru saat menghampiri Luhan tadi. Dan lagi-lagi Sehun harus mengalah pada Luhan.
"Bisakah kau minum minumanmu dengan tenang? Suara tenggorokanmu benar-benar menjijikan."
"Bilang saja kau iri karena minumanmu tumpah."
"Aku tid-"
Belum sempat Sehun menyelesaikan kalimatnya, Luhan sudah mengintruksi untuk segera mencari tempat berteduh karena hujan sudah tidak berbasa-basi lagi menurunkan anak-anak airnya kebumi.
Sehun berjalan setengah berlari menuju halte yang ada didepan dengan Luhan yang mendadak menjadi suporternya. Mereka tertawa setelah sampai lalu duduk bersebelahan dengan baju yang lumayan basah.
"Ini." Luhan menyodorkan bubble teanya pada Sehun.
"Kenapa?"
"Aku sudah selesai. Sekarang giliramu."
"Apa kau baru saja menawarkanku minuman yang sudah kau minum sebelumnya? Aku tidak haus." Sehun berdusta. Pada kenyataannya berlari dengan menggendong tubuh Luhan –yang biarpun tidak terlalu berat, tetap saja membuat nafasnya putus-putus.
"Benarkah? Lalu bagaimana, aku juga sudah kenyang. Apa harus aku buang sa.. ja?"
Luhan menyeringai kemudian tertawa terbahak karena Sehun mengambil dan menghabiskan bubble teanya dengan sekali teguk. Sehun mendengus, merasa bodoh akan dirinya sendiri. Hell ya! Setelahnya mereka terjebak dalam keheningan. Hujan masih deras ketika Sehun menyadari sesuatu.
"Kau tak membawa jaket?"
"Aku bawa, hanya saja tertinggal bersama tasku dikelas"
Hening. Sehun membuang wajahnya frustasi. Ia menahan diri untuk tidak memberikan jaketnya pada Luhan. Tapi sial, ingatan tentang janji yang ia buat pada ibunya untuk selalu menghargai dan menyayangi wanita membuatnya kalah.
Sehun membuka jaketnya kasar lalu memakaikannya pada Luhan. Luhan hendak protes namun berhasil dibungkam dengan tatapan Sehun. Mengapa ia terlihat sangat.. Tampan?
Senyumpun mengembang dibibir Luhan. Setelah hujan reda, Sehun mengantar Luhan ke apartement mewahnya dengan cepat. Sungguh, Sehun tak bisa lebih lama lagi bersama Luhan. Bisa-bisa ia terkena stroke. Oh My God.
.
TBC
Hai-hai.. Everybody annyeong^^
Newbie disini, hehe. Gimana-gimana? Ada yang suka? Aku bikin ini terinspirasi dari Fic Kaisoonya kak dandeerlion yang Cinderella Boy. Alurnya bener-bener nguras hati, huhu
Mudah-mudahan aku juga bisa bikin ceritanya gak cuma nguras hati ya, tapi juga nguras bak pemandian si embul!
Hope you guys like this fic.
See you next chapter and review jusseyo^^
