Dating With The Dark
Remake Novel dengan Judul yang sama
Karya Shanty Agatha
Cast
Park Jimin
Min Yoongi
Kim Namjoon
Choi Siwon
Other Cast temukan langsung didalamnya :D
Warning :
OOC, Gs, Mature Content
Rate T – M
Note: Untuk saat ini Rate masih aman^^
Don't like don't read!
.
.
.
.
Prolog
Ketika malam itu bergayut, Yoongi duduk termenung di atas ranjang, entah kenapa malam ini tidak seperti biasanya. Yoongi merasa ngeri, rasa ngeri ini hampir sama dengan kengerian yang selalu menyerangnya di malam-malam dulu. Burung di pepohonan depan yang ribut berbunyi-bunyi dengan suara menakutkan, mencicit seolah memberi pertanda.
Tetapi pertanda apa?
Yoongi bolak-balik memeriksa alarm pintunya, dan menghela napas panjang. Alarm sudah terpasang dengan sempurna, pintu sudah tertutup rapat dengan kunci dan gerendel terpasang.
Kenapa dia
tetap merasa takut?
Yoongi masuk lagi ke kamar, mengunci pintu kamarnya dan berbaring, menarik selimutnya sampai ke punggung. Seharusnya dia sudah merasa bebas, seharusnya dia tidak didera ketakutan lagi. Tetapi kenapa perasaan ini sama? Rasanya sama seperti dulu...jauh di masa lalu, dimana kenangan buruk menyeruak, kenangan yang sangat ingin dilupakannya.
Tiba-tiba terdengar suara keras di pintu belakang rumahnya. Yoongi begitu terperanjat sampai terlompat dari tempat tidurnya.
Jantungnya berdebar dengan keras, dia menatap ke arah pintunya dan meringis...
Apakah dia tadi sudah mengunci pintu kamarnya?...Apakah ada
seseorang yang menerobos pintu belakangnya? Bagaimana kalau
orang itu masuk ke kamarnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Yoongi melompat panik, dan
kemudian memeriksa kunci pintu kamarnya.
Terkunci...tentu saja...
Yoongi menghela napas panjang, dan menyandarkan tubuhnya dipintu. Lama dia menunggu, mungkin akan ada suara-suara lagi diluar sambil menahankan debaran jantungnya yang membuatnya makin sesak napas.
Tetapi suasana sungguh hening, tidak ada suara apapun. Yoongi bahkan merasa bahwa dia hampir mendengar debaran jantungnya sendiri yang berpacu dengan begitu kuatnya.
Apakah suara di pintu belakangnya tadi hanyalah halusinasinya?
Setelah menghela napas panjang, Yoongi membuka kunci pintunya. Dia tahu bahwa dia telah melakukan tindakan bodoh seperti di film-film horor yang sering dilihatnya, mendengar suara aneh... bukannya lari dan bersembunyi tetapi malahan mendatangi bagaikan ngengat
yang tertarik mendatangi api yang akan membunuhnya. Rumah Yoongi kecil sehingga kamarnya langsung mengarah ke ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dengan TV besar mendominasi bagian tengahnya, lalu ada lorong kecil ke area dapur, dapur tempat suara itu berasal.
Yoongi menyalakan lampu ruang tengah dan menghela napas panjang ketika menyadari bahwa tidak ada siapapun di sana. Jantungnya makin berdebar ketika menunggu melangkah ke arah dapur, di sana gelap dan pekat. Dengan hati-hati Yoongi menyalakan saklar lampu tetapi langsung mengerutkan kening ketakutan ketika saklar itu putus. Lampu dapur tidak menyala dan Yoongi mengernyit menyadari kegelapan di depannya. Tangannya meraba-raba mencari ponsel yang tadi sempat dimasukkannya ke dalam saku piyama. Dengan pencahayaan ponsel yang seadanya, Yoongi melangkah maju memasuki area dapur itu. Cahayanya gelap dan remang-remang, membuat Yoongi merasakan bulu kuduknya berdiri. Tampaknya di dapur tidak ada siapapun. Tetapi kemudian mata Yoongi terpaku pada sesuatu di dapur. Sesuatu yang membuat jantungnya berpacu cepat dan wajahnya pucat pasi.
Sesuatu yang memancarkan cahaya lembut berwarna kuning redup terselubungi lilin yang berwarna biru.
Masa tenang kehidupannya sudah berakhir...impian untuk menjalani hari-harinya seperti orang biasa musnah sudah.
Yoongi berpegangan ke dinding untuk menopang kakinya yang gemetaran, matanya menatap ke arah benda itu. Sebuah tanda...tanda yang samar-samar menyeruak ke dalam alam bawah sadarnya, menarik ingatan Yoongi yang telah lama hilang dan mengingatkannya.
Seketika pengetahuan mendalam muncul di benak Yoongi, membuatnya merasakan ngeri yang luar biasa. Lilin berwarna biru yang menyala itu adalah tanda, tanda yang ditinggalkan oleh sang pembunuh paling kejam yang dia tahu entah kenapa.
Pembunuh itu sudah menemukannya...
Selesailah sudah. Nyawa Yoongi mungkin tinggal beberapa saat lagi. Matanya melirik ketakutan ke arah tanda di meja dapurnya. Lilin berwarna biru itu...
jumlahnya ada sembilan buah... diletakkan dengan rapi dan diatur indah setengah lingkaran di atas meja dapurnya, cahaya redupnya tampak kontras dengan ruangan dapur yang gelap gulita...
Lalu seperti muncul begitu saja dari bayangan gelap di belakangnya, jemari yang kuat tiba-tiba menyentuh lehernya dari belakang, lembut dan tenang. Yoongi tercekat, tetapi tidak bisa memberontak, pada akhirnya yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan matanya.
.
.
.
.
.
Tanpa perlawanan yang berarti tubuh Yoongi lunglai dalam pelukannya, ada rasa sakit dan terkejut luar biasa di sana. Mata Yoongi yang membelalak mengatakan demikian. hingga beberapa detik kemudian, mata Yoongi kehilangan cahayanya, menutup dengan lemah, meninggalkan bercak gelap yang merintih tak bersuara disana. Sang Pembunuh alih-alih melarikan diri terburu-buru, malahan dengan tenang mengangkat tubuh Yoongi yang pingsan dengan kedua tangannya, ke sudut ruangan, ke bagian ruang tengah rumah berlantai kayu yang dipernis mulus itu. Dia duduk di sana dan memangku tubuh Yoongi yang lunglai tanpa daya, dibelainya rambut hitam panjang Yoongi, diciuminya aroma leher korbannya. Sungguh
diperlakukannya Yoongi bagai kekasih tertidur yang akan ditinggal pergi diam-diam. Sorot mata Sang Pembunuh adalah sorot mata kekasih, penuh cinta dan harapan yang meluap-luap.
Bukan sekali dua kali ini ia membereskan seseorang yang lemah seperti Yoongi, ia sering menyebutnya 'order kecil'. Cepat, mudah dan tak jarang korbannya cantik luar biasa, seperti apa yang dilihatnya sekarang. Anehnya Sang Pembunuh selalu saja menetapkan harga yang amat sangat tinggi untuk order kecil seperti ini.
Tanpa alasan jelas, ia selalu bilang begitu kepada kliennya, karena tak mungkin mereka mengetahui bahwa Sang Pembunuh adalah pemuja wanita, butuh pengorbanan besar dari nurani untuk membunuh seseorang, tetapi bahkan ia akan mengorbankan lebih besar lagi untuk membunuh Yoongi, satu-satunya wanita yang telah menyentuh hatinya. Bibir sang pembunuh menyentuh bibir Yoongi, melumatnya lembut penuh cinta. Sebelum akhirnya gelap dan pekatnya malam yang semakin dalam, menelan mereka berdua.
.
.
.
.
.
Bab 1
-Enam bulan sebelumnya-
Yoongi baru saja pulang dari bekerja, dia hempaskan badannya ke sofa coklat di tengah ruangan apartemennya. Sulur-sulur yang merambat di depan jendela menghalangi cahaya matahari jingga yang terpekur sebelum terbenam. Dipejamkannya kedua mata, lalu
menghela napas panjang, berusaha untuk santai. Biarpun memejamkan mata, Yoongi masih tersenyum, teringat Namjoon dan obrolan ringan mereka. Kata Hani, Namjoon sebenarnya sudah mengincarnya sejak lama untuk didekati.
Yoongi termenung dalam senyuman yang tak kunjung hilang di bibirnya. Sejak pertama dia dikenalkan dengan Namjoon, salah satu karyawan baru di divisinya, dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi tidak disangkanya Namjoon mungkin menyimpan perasaan yang sama, hingga Hani mengatakan kepadanya. Siang tadi, Namjoon tiba-tiba mendekatinya ketika Yoongi sedang menuang air panas dari dispenser ke cangkir yang berisi kopi instan. Aroma kopi langsung menguar, memenuhi ruangan, menciptakan keharuman yang menyenangkan. Namjoon menyapanya biasa-biasa saja, dan Yoongi sudah salah tingkah menghadapinya.
Tetapi kemudian lelaki itu bertanya apakah Yoongi ada kegiatan di akhir pekan ini – yang langsung dijawab Yoongi bahwa dia tidak kemana-mana, dan kemudian ajakan kencan itu datang. Namjoon mengajaknya ke sebuah acara pameran komputer di sudut kota. Bukan kencan dalam arti sebenarnya memang, tetapi bukankah ketika lelaki dan perempuan
memutuskan untuk keluar bersama di akhir pekan...bisa disebut sebagai kencan?
Kencan... Yoongi membuka matanya dan menatap ke sekeliling ruangan rumahnya. Dia bahkan tidak pernah memikirkannya sampai akhir-akhir ini. Sejak kecelakaan yang menyebabkan ayahnya meninggal, Yoongi menyibukkan diri untuk mengurus harta peninggalan ayahnya. Yoongi menjual semuanya, dengan alasannya sendiri.
Sambil menghela napas panjang, Yoongi berdiri. Dia lalu melangkah ke dapur, menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke cangkirnya, kopi itu sudah tidak panas lagi karena sisa dari kopi yang dibuatnya di pagi hari sebelum berangkat kerja. Tetapi Yoongi masih bisa merasakan rasa asam khas kopi yang nikmat di sana. Dahinya mengernyit dan dia menghela napas, dia hampir-hampir bisa disebut kecanduan kopi. Pagi, siang, dan malam... dia tidak bisa hidup tanpa menuang secangkir kopi untuk mengisi lambungnya yang kadang-kadang menolak dan berunjuk rasa dengan rasa perih yang menggigit di sana. Tetapi Yoongi butuh membuka matanya. Sejak kematian ayahnya, Yoongi hampir terlalu takut untuk tidur. Benaknya dipenuhi ketakutan, ketakutan yang dia tidak tahu karena apa...ketakutan itu seperti menyimpan rahasia gelap yang mengerikan.
Membuat Yoongi dipenuhi kewaspadaan setiap malam, takut kalau-kalau kegelapan itu menyergapnya ketika dia memejamkan mata. Yoongi sudah menghubungi psikiater yang merawatnya sejak kejadian kecelakaan itu. Kata psikiater-nya, rasa takut tanpa alasan yang dirasakan Yoongi hanyalah efek manifestasi trauma atas kecelakaan yang menyebabkan dia terluka parah, dan menewaskan ayahnya. Psikiater itu merawatnya dengan baik, session demi
session, sampai kemudian Yoongi merasa dirinya sudah sembuh, bebas, dan bahagia tanpa ketakutan yang menghantui. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Yoongi mendesah dalam keheningan. Dia sudah bebas. Sekarang dia bisa memulai hidup yang baru, bisa mencoba membuka hati dan jatuh cinta lagi.
Rasa takut itu sudah ditinggalkannya jauh-jauh. Dia bebas sekarang, tidak akan ada lagi kegelapan yang mengintai dan berusaha menyakitinya. Mungkin memang cahaya terang sudah memasuki kehidupannya. Yoongi tersenyum, membayangkan jalan indah yang mungkin akan dilaluinya bersama Namjoon nanti.
.
.
.
Yoongi duduk siang itu menghadap pot bunga yang tersusun rapi di teras cafe yang cukup ramai dengan pengunjung. Diliriknya jam tangan di pergelangan tangan kirinya, masih 15 menit lagi sebelum orang itu datang. Dia siapkan kembali beberapa surat perjanjian kontrak, mengecek kembali beberapa helai materai yang akan diperlukan nanti.
'It's all set', Yoongi membatin. Ini aneh, karena sang klien meminta penandatanganan kontrak di
sebuah cafe eksklusif yang sangat privat, biasanya para klien memilih menandatangani kontrak di ruang rapat kantor pusat mereka yang sudah disediakan.
Tetapi bagaimanapun juga, bosnya mengatakan bahwa ini adalah klien penting, dan apapun permintaannya sesulit apapun itu, harus dituruti. Suara berisik di pintu membuatnya menoleh. Beberapa lelaki berpakaian hitam-hitam tampak memasuki ruangan, ekspresi mereka semua sama, datar dan kosong, membuat Yoongi merinding. Dia memandang ke sekeliling dan terkejut, cafe itu beberapa saat tadi tampak cukup ramai. Tetapi sekarang, tidak ada satu orangpun disana, suasana cukup lengang dan tidak ada aktivitas apapun, selain beberapa orang berpakaian hitam-hitam yang terus menerus masuk, dan berdiri dengan kaku. Hampir membentuk barisan, seolah-olah mereka memberi jalan untuk seseorang.
Satu...dua...tiga... Yoongi menghitung jumlah orang-orang itu, seluruhnya ada dua puluh orang. Siapakah gerangan yang membawa dua puluh orang pegawai, memberi mereka pakaian yang sama, dan membuat mereka memasang ekspresi sama? Rupanya Yoongi tidak perlu menunggu lama, di pintu, masuklah seorang lelaki tua, berpakaian putih-putih, sangat kontras dengan penampilan para pegawainya, dan langsung melangkah menuju Yoongi.
'Inikah klien penting mereka?' Tiba-tiba Yoongi gemetar karena meskipun sudah tua, lelaki itu masih menebarkan aura mendominasi yang sedikit menyesakkan dada. Lelaki itu berdiri, mengamati Yoongi lalu mengangkat alisnya.
"Nona Yoongi?"
Tiba-tiba Yoongi tersadar bahwa dia tidak sopan karena tetap duduk sementara sang klien penting masih berdiri di depannya. Dia langsung berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan. "Betul. Saya Yoongi. Anda Tuan Choi Siwon?"
Seulas senyum yang tak disangka muncul di bibir lelaki tua itu saat membalas uluran tangan Yoongi, "Betul, Mari kita langsung bicarakan bisnis di sini." Lelaki itu duduk, sementara Yoongi melirik orang-orang tadi yang dia duga pengawal yang tetap berdiri tanpa ekspresi di sana, merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Tetapi lelaki itu rupanya sudah terbiasa, karena dia langsung membuka percakapan ke arah bisnis.
"Seluruh kontrak sudah disiapkan?"
"Sudah." Yoongi membuka map itu dan menyerahkannya ke lelaki tua itu. Siwon langsung menerima dan memeriksa isinya. Dahinya berkerut dalam ketika menelaah setiap klausul yang ada. Setelah lama, dia mengangkat matanya dan tersenyum.
"Bagus. Sesuai permintaan. Di mana saya harus tanda tangan?" Jantung Yoongi yang sedari tadi menunggu dengan tegang langsung terasa lega, seolah napasnya meluncur dalam dan mengosongkan rongga dadanya. Dengan tangan agak gemetar, dia menunjuk ruang
kosong yang sudah diisi dengan materai. Sebentar lagi tender untuk kontrak paling penting di perusahaannya akan di tandatangani. Lelaki itu meraih pena emas dari saku jas putihnya dan kemudian dengan tenang dia menandatangani di tempat itu, di seluruh bagian yang ditunjukkan Yoongi, di berkas asli dan beberapa salinannya.
Setelahnya dia tersenyum, menyerahkan map kertas itu kepada Yoongi, memasukan pena emas ke sakunya dan kemudian langsung berdiri.
"Senang berbisnis dengan anda, sampaikan salam untuk atasan anda." Kemudian lelaki tua itu berbalik, melangkah meninggalkan Yoongi yang masih termangu melihat langkahnya menjauh. Para pengawalnya yang berpakaian hitam-hitam tadi langsung mengikutinya. Setelah semuanya pergi, cafe menjadi lengang, hanya tersisa Yoongi yang duduk di sana. Bahkan para pegawai café seolah-olah lenyap ditelan bumi.
Yoongi termangu, lalu mengemasi seluruh berkas penting itu, dan memasukkannya dengan teliti ke dalam map. Berkas ini sangat berharga, dia harus menjaganya baik-baik dan memastikan tidak ada yang terlewat di sana. Setelah semuanya rapi, dia melangkah berdiri,
menoleh ke kiri dan ke kanan dengan bingung karena tak terlihat seorangpun di dalam sana, seperti telah diatur seperti itu karena kedatangan lelaki tua tadi. Kemudian setelah menghela napas panjang, dia meninggalkan uang di meja dan melangkah pergi. Hatinya tenang dan lega karena sudah menyelesaikan tugas terpenting dari atasannya. Dia sudah tidak memikirkan lelaki tua itu lagi karena Yoongi merasa dia tidak akan bertemu dengannya lagi.
Tidak disadarinya bahwa dia salah. Lelaki tua itu akan memegang peranan penting dalam kehidupannya ke depannya.
.
.
.
Namjoon mendekatinya siang itu dengan senyum lebarnya yang khas. "Kudengar kau meng-golkan kontrak kerja paling hebat tahun ini." Yoongi tersenyum malu-malu mendengar sapaan Namjoon itu. Semua orang memujinya, padahal yang dilakukannya hanya datang dan membawa berkas untuk ditandatangani seperti yang diperintahkan oleh atasannya. Yoongi sendiri menolak semua pujian itu.
Gol atas tender besar itu bukan atas usahanya, melainkan atas usaha dari atasan-atasannya yang melakukan negosiasi dengan penuh upaya. Apa yang dilakukan Yoongi hanyalah sentuhan akhirnya, menyiapkan semua kontrak dan surat perjanjian, sesuai keahliannya
lalu memastikan bahwa semuanya ditandatangani. "Itu semua bukan hanya karena aku." Jawab Yoongi manis, setengah malu-malu.
Namjoon tertawa mendengarnya dan mengangkat bahu, "Apapun itu, kau telah berhasil, dan kurasa kita pantas merayakannya."
"Merayakannya?"
"Ya. Kau dan aku, makan malam bersama."
"Makan malam bersama?"
Kali ini Namjoon tergelak geli, "Yoongi, kau mengulangi setiap kata-kataku." Pipi Yoongi memerah, menyadari kekonyolan sikapnya. Tetapi Namjoon malahan tampak geli, dia mengedipkan sebelah matanya menggoda, "Bagaimana? Mau makan malam bersamaku malam ini?" Mata Yoongi berbinar, dadanya terasa hangat, dia menganggukkan kepalanya dengan malu-malu,
"Ya aku mau."
Rasanya hari itu Yoongi seperti lahir kembali. Dia yang semula selalu bersembunyi dalam kegelapan, sekarang ditarik menuju cahaya terang yang menyilaukan bersama Namjoon.
.
.
Yoongi berdiri dengan gugup di depan meja riasnya, kebingungan. Dia sudah mencoba tiga macam pakaian dan entah kenapa tidak ada satupun yang terasa cocok untuknya. Sekarang yang dia pakai adalah gaunnya yang terakhir, berwarna ungu muda hingga nyaris putih.
Bagian atasnya sederhana, tanpa aksen, hanya sedikit kancing dengan warna ungu gelap yang membuatnya lebih manis, bagian bawahnya melebar, membuatnya tampak sangat feminim.
Sepertinya gaun ini yang paling cocok. Yoongi membatin. Dia tidak tahu kemana Namjoon akan membawanya makan malam, mungkin di tempat santai, tetapi bisa juga di tempat yang formal. Di manapun itu, gaun ini adalah pilihan yang paling aman, mampu nampak formal sekaligus santai.
Setelah menyisir rambutnya, Yoongi memakai sepatu ber-hak rendah warna putih miliknya. Dia menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya, sebelum meraih tasnya dan melangkah ke luar kamar.
Tepat pada saat itu, bel pintu berbunyi. Itu pasti Namjoon. Dengan riang Yoongi melangkah bersemangat ke arah pintu, hingga kemudian langkahnya terhenti mendadak, entah kenapa merasa ragu. Yoongi mengernyit dan mendesah jengkel, rasa takutnya ternyata masih tersisa, bermanifestasi menjadi rasa waspada dan curiga. Dia mengintip ke lubang pengintai di pintu, dan melihat Namjoon berdiri di sana. Yoongi menghela napas, dia kesal akan ketakutan bodohnya yang tidak beralasan ini. Setelah menghela napas panjang, Andrea membuka pintu dan berusaha tersenyum ceria.
Well sebenarnya Yoongi tidak perlu terlalu berusaha untuk ceria. Senyum manis Namjoon ketika melihatnya, dan binar mata Namjoon menunjukkan pujiannya akan penampilan Yoongi, membuat Yoongi merasa tersipu dan bahagia, entah kenapa. Namjoon berdeham dan mengangkat alisnya,
"Mungkin aku akan sibuk malam ini."
"Sibuk?" Yoongi menatap Namjoon bingung. Namjoon tersenyum penuh arti, "Aku akan sibuk mengusir lelaki-lelaki yang melirikmu dan mencoba mendekatimu karena penampilanmu
ini sangat cantik." Namjoon mengedipkan sebelah matanya dan setengah membungkuk, "Terima kasih sudah mau makan malam bersamaku, Yoongi."
Yoongi tergelak mendengar rayuan Namjoon yang dibalut dalam canda itu. Ketika Namjoon mengulurkan tangannya dan mengajaknya memasuki mobil, Yoongi mengikutinya dengan langkah ringan dan tanpa beban.
.
.
.
Ruangan itu tampak mewah, dihiasi oleh barang-barang berkelas, menunjukkan kekayaan pemiliknya, Park Jimin yang sekarang sedang duduk di sebuah kursi besar. Wajahnya tampak muram.
"Well?" Siwon yang duduk di depan lelaki berwajah murung itu berkata, "Dia bahkan tidak mengenalimu ketika kau berdiri menyamar dan berpakaian serupa seperti para pengawalku."
Jimin mengangkat alisnya, ekspresi sinis yang tapi menawan muncul di matanya yang gelap pekat. Dia setengah mendengus ketika berkata, "Aku memang tidak mengharapkan dia
mengenaliku."
"Jadi bagaimana sekarang?" Siwon menatap Jimin dengan senyuman menggoda. "Gadis itu tidak menyadari betapa beruntungnya dia. Tidak ada yang pernah lolos dari targetmu, Jimin. Kau adalah lelaki yang terkenal sebagai sang pembunuh berdarah dingin. Dia adalah satu-satunya manusia yang bisa membuatmu menghancurkan reputasimu : sebagai yang tak pernah gagal dalam melaksanakan misimu." Siwon melemparkan pandangan memancing,
"Akankah kau akan membiarkannya bebas dan tidak pernah tahu bahaya yang sedang mengintainya, ataukah kau akan menuntaskan tugasmu dan melenyapkannya seperti yang
seharusnya terjadi?"
Jimin tidak terpancing tentu saja. Dia sangat mengenal Siwon, lelaki tua itu adalah mentor sekaligus sahabatnya. Siwon sangat suka memancing orang lain lalu menilai dengan ahli setelah melihat tanggapan orang itu. Karena itulah Siwon sangat sukses dalam bisnisnya, dia punya kemampuan jenius untuk menilai orang lain sampai ke dalam-dalamnya. Jimin hanya memasang ekspersi dingin dan tidak terbaca ketika menanggapi Siwon, dia bersikap
sesantai mungkin.
"Waktunya akan tiba nanti." gumamnya seolah tak peduli.
.
.
.
"Kau tahu, sudah hampir tiga tahun sejak terakhir kali aku berkencan dengan seorang gadis." Namjoon tersenyum lembut sambil menatap Yoongi. Mereka telah menyelesaikan makan malam di sebuah restoran elegan yang menyajikan menu-menu luar biasa nikmatnya.
Lampu restoran ini sengaja didominasi oleh warna kuning hangat, dengan lantai dari panel kayu berwarna gelap yang menyatu dengan suasananya amat sangat indah. Yoongi tidak pernah menyangka, kencannya dengan lelaki, sejauh yang dia ingat bisa seindah ini. Yoongi tersenyum, menopangkan jemarinya dengan lembut di dagu, menatap Namjoon yang tampak sangat tampan di bawah cahaya temaram lampu.
"Apakah kau tidak tertarik mengajak seorangpun sebelumnya?"
Namjoon menyesap minumannya, kemudian menatap Yoongi penuh arti, "Aku kehilangan orang yang kusayangi, dan kemudian berusaha menyembuhkan jiwaku sendiri. Ketika aku sadar, ternyata aku telah melewatkan banyak hal." Lelaki itu tampak sedih, "Tunanganku meninggal tiga bulan sebelum tanggal pernikahan kami."
Wajah Yoongi memucat, "M- maafkan aku."
"Jangan minta maaf, aku memang ingin bercerita." Namjoon menatap Yoongi lembut, "Sekarang aku sudah berhasil mengenang sambil tersenyum, dan bisa melepaskan kesedihan jiwaku." Yoongi paham perasaan Namjoon. Di malam-malam sepi setelah penyembuhannya, ketika Yoongi dihadapkan pada kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal, Yoongi selalu menangis dalam kepedihan di dalam kamarnya. Dia meringkuk sendirian dalam kegelapan, dan
yakin bahwa dia akan terus menangis, bahwa sakit ini tidak akan tersembuhkan, dan tidak mungkin waktu bisa menyembuhkan luka.
Tetapi waktu memang bisa menyembuhkan luka. Tuhan yang begitu mencintai manusia, telah menciptakan obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka yang tertoreh dalam di hati manusia. Obat itu adalah 'waktu', menyembuhkan pelan-pelan bahkan tanpa disadari oleh manusia itu sendiri.
Yoongi kini bisa mengenang sambil tersenyum, seperti yang dikatakan Namjoon tadi. Tiba-tiba ingatannya kepada almarhum Ayahnya tidak terasa menyakitkan lagi. "Aku pernah merasakan hal yang sama ketika Ayahku meninggal," Yoongi mendesah, "Dan aku bersyukur aku bisa mengenangnya sambil tersenyum kini."
Tatapan Namjoon tampak menusuk ke dalam, seolah berusaha menjangkau kedalaman jiwa Yoongi, "Apakah kau sangat menyayangi ayahmu?"
"Tentu saja." Yoongi tersenyum, "Dia ayahku...dan kami selalu berdua. Ibuku meninggal ketika melahirkanku, dan ayahku menyerahkan seluruh hidupnya untuk merawatku." Namjoon menganggukkan kepalanya, lalu jemarinya meraih tangan Yoongi dan menggenggamnya lembut, "Setiap orang pernah terluka. Tetapi manusia mempunyai
kemampuan menyembuhkan diri, seperti kau dan aku." Tatapan mereka berpadu dan entah kenapa Yoongi merasa seperti berlabuh. Dia merasa begitu tepat di sini, berdua bersama Namjoon, seolah-olah mereka memang diciptakan untuk bersama.
.
.
.
"Aku tidak sadar kalau sudah larut malam." Mereka masih bercakap-cakap di restoran yang nyaman dan indah itu, memesan secangkir kopi dan bercerita tentang segala sesuatunya. Ada banyak sekali kemiripan Yoongi dengan Namjoon, kadang membuat mereka saling terperangah, lalu tertawa bersama seolah-olah sedang menyimpan rahasia milik mereka sendiri.
Yoongi melirik jam tangannya, sudah hampir jam 10 malam. Suasana di dalam restoran terlihat penuh dan ramai, meski begitu masing-masing tampak menikmati sajian makan malam yang
nikmat, tak ada yang merasa terganggu. Beberapa pasangan tampaknya sengaja datang larut untuk menikmati malam. Karena ini malam minggu, restoran buka sampai tengah malam. Semua orang terlihat tidak peduli akan malam yang telah larut, seolah-olah tidak mau mengikuti sang malam yang mulai beranjak. Dengan tatapan menyesal, Yoongi berkata kepada Namjoon, "Aku juga tidak sadar kalau sudah malam, aku terlalu asyik menikmati percakapan kita." gumamnya malu-malu.
Namjoon terkekeh, "Kapan-kapan kita harus melakukannya lagi, ini benar-benar menyenangkan." Lelaki itu setengah berdiri, diikuti oleh Yoongi. Mereka berjalan bersisian, berdekatan, dan ketika Namjoon menggenggam jemarinya, Yoongi tidak menolak. Sampai kemudian mereka melewati sebuah meja. Meja itu ada sesuatu yang menyala, seolah-olah menanti seseorang. Sesuatu di atas meja itu...
Wajah Yoongi pucat pasi ketika perutnya bergolak luar biasa. Di atas meja itu...ada tepatnya sembilan lilin berwarna biru yang disusun dengan sempurna dan cantik yang mengeluarkan cahaya redup yang terlihat romantis. Seolah-olah seorang lelaki sedang menunggu di suatu tempat untuk memberikan kejutan kepada kekasihnya yang berbahagia di sana. Siapapun perempuan itu pasti akan sangat senang melihat pengaturan lilin-lilin temaram yang
terasa menghangatkan hati itu. Tetapi alih-alih senang dengan pemandangan yang tanpa sengaja dilihatnya itu, Yoongi malah dihantam oleh perasaan yang tidak dapat dicegahnya. Lilin biru itu, pengaturan yang rapi itu, semuanya seolah memaksa Yoongi untuk membuka
kenangannya akan sesuatu... sesuatu yang gelap dan menakutkan.
Yoongi melawan rasa takut itu sehingga menimbulkan gelombang rasa mual yang luar biasa menyiksa. Tubuh Yoongi limbung, membuat Namjoon terperanjat dan menahannya bingung,
"Yoongi...Yoongi? Kau kenapa?" Yoongi hampir kehilangan kesadarannya atas rasa nyeri yang seakan merobek kepalanya. Dia melirik ke arah meja kosong dengan lilin biru itu, dan rasa mual kembali bergolak di dalam dirinya, "Aku ingin keluar dari sini." Wajahnya pucat pasi, membuat Namjoon panik, untunglah lelaki itu memilih menuruti apa yang diinginkan
oleh Yoongi. Dengan lembut tetapi kuat, dia setengah menopang
langkah lemah Yoongi keluar ruangan.
Ketika berada di luar restoran, berhadapan dengan udara segar yang dingin dan menampar pipinya, Yoongi menghirup napas dalam-dalam, menghembuskannya beberapa kali untuk kemudian menarik napas lagi. Dia menahan rasa mual di perutnya, dan mengernyit. Sementara itu Namjoon yang menatap kernyitan Yoongi tampak makin cemas, "Kau kenapa Yoongi? Apa yang bisa kulakukan? Apakah kau mau segelas air?" Yoongi menggelengkan kepalanya,
"Tidak." Jemarinya yang lemah mencekal lengan kemeja Namjoon yang sudah akan berbalik masuk ke restoran, "Tolong.. tunggu sebentar lagi. Aku akan baikan, jangan tinggalkan aku."
Namjoon menatap Yoongi dalam, lalu menghela napas panjang, dipeluknya Yoongi dengan sebelah lengannya, membiarkan perempuan itu bersandar di sana, "Jangan cemas, aku ada di sini." bisik Namjoon lembut, membuat perasaan hangat mengaliri dada Yoongi. Dia bersandar sepenuhnya di tubuh kokoh dan hangat Namjoon, menikmati kehangatan yang menyebar dari sana. Setelah menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, Yoongi memutuskan bahwa dia sudah merasa lebih baik. Dia mendongakkan kepalanya, dan matanya bertemu langsung dengan mata Namjoon yang bening, "Terima kasih. Sepertinya aku sudah enakan."
Namjoon langsung memeluknya erat, "Sama-sama Yoongi, apakah kau
benar-benar sudah tidak apa-apa?" Yoongi menganggukkan kepalanya dengan lembut, melepaskan diri dari topangan tubuh Namjoon. "Iya. Kita bisa pulang sekarang, mungkin tekanan darahku turun tadi. Jadi aku sedikit limbung, tetapi sekarang aku sudah tidak apaapa."
Namjoon mengamati Yoongi dengan teliti, seolah-olah tidak yakin. Tetapi lelaki itu kemudian tersenyum lemah dan menyerah, dia cukup bijaksana untuk tidak mengkonfrontasi Yoongi di saat perempuan itu sedang lemah, masih banyak waktu nanti untuk menanyakan kondisi Yoongi yang sebenar-benarnya. Sekarang dia harus mengantarkan Yoongi pulang supaya bisa beristirahat.
"Ayo, kita pulang," Dengan lembut Namjoon menghela tubuh Yoongi kembali ke dalam pelukannya, dan mereka melangkah menuju mobil.
.
.
.
.
.
Sementara itu, Jimin yang dari tadi berdiri di salah satu sudut yang tak kentara terkekeh geli melihat kejadian itu. Tadi dia iseng, memasang lilin biru itu, hanya untuk melihat sejauh mana hal itu akan mempengaruhi Yoongi.
Ternyata hasilnya luar biasa.
Jimin tersenyum simpul. Pada saatnya nanti, Yoongi akan tahu, apa yang sudah dia lewatkan selama ini, dan sampai hal itu terjadi, Jimin akan menunggu...dengan perasaan tidak sabar.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc
Hai hai Long time no see T.T
akhirnya aku comeback bawain remake an dari novel karya Mba Shanty Agatha nih,
Awalnya aku ragu mau remake novel ini, tapi pas udah khatam(?) bacanya jadi tertarik ngeganti cast nya jadi pair MinYoon. Hmm itung- itung balikin mood biar semangat lagi lanjutin ff ku yang masih terbengkalai haha
Semoga kalian suka yahh~
Awal – awal cerita jangan mengharapkan dulu MinYoon moment ya guys..
Jimin nya masih rahasia besar banget nih, tapi kalo yang udah pernah baca novel nya pasti tau deh, Tapi jangan pada spoiler yak.. kasian yang belum tau ceritanya, ntar gak surprise lagi deh Hehe
Sengaja posting satnight biar yang gak pada baper karena Jomb yak Hihihi
See u in Next chap~ Tapi kalo kalian mau lanjut itu juga hehe
Review Jusseyo~
Dyah Cho^^
