.
.
.
.
.
NARUTO PUNYANYA OM MASASHI KISHIMOTO
Title: I'm Fine.
Author: Kimoto Yuuhi.
Rated: T.
Warning: OOC,AU,Typo(s),EYD kacau, Alur kecepetan, dan gejala lainnya.
Genre: Romance, Friendship.
Pair: NaruHina.
.
.
.
.
.
Chapter 1: "Dia"
Suasana kota Tokyo pagi hari ini ramai sekali, terlihat lautan manusia yang memenuhi jalan, kicauan burung-burung yang terbang di sekitar mereka seakan menghiasi dan melengkapi ibukota negeri Sakura ini, lalu lalang mereka yang entah kemana pun tak ada habisnya merayapi jalan raya sana, entah mengapa saking ramainya mereka kelihatan seperti semut.
Pagi yang benar-benar indah, walaupun sang surya masih malu-malu menampakkan dirinya, ternyata tidak menyurutkan semangat bekerja warga Tokyo, terlihat dari warga yang sedang sibuk menelpon dari smartphone yang dijepit di leher untuk sekedar menempelkan telepon itu ke telinga mereka, mungkin saking sibuknya, karena tangan mereka pun sibuk mengenggam tas hitam yang entah isinya apa.
Ternyata keramaian pagi bukan hanya terjadi di jalan saja, Kita juga bisa menikmati lalu lalang manusia di Stasiun Tokyo. Stasiun yang terletak di distrik Marunouchi ini merupakan titik awal dan titik akhir bagi Shinkansen yang beroperasi di negeri Sakura, tak heran kalau stasiun ini adalah stasiun tersibuk kedua di Tokyo. Maka dari itu banyak sekali orang yang ingin berangkat kerja, sekolah, sampai tak sedikit terlihat warga yang sekedar jalan-jalan menikmati suasana kota, semua kegiatan warga tumpah ruah di stasiun ini.
Termasuk gadis berhelai indigo yang sekarang menyenderkan tubuhnya ke tembok bata merah ruang bawah tanah itu. Sambil memejamkan matanya ia melipat tangan putihnya di depan dadanya, tenang sekali, walaupun pagi ini stasiun sedang ramai, ia sama sekali tidak terusik dengan itu. Helaian rambut panjang sepunggungnya terus tertiup seakan menikmati lalu lalang Shinkansen di depannya.
Entah sudah berapa lama ia berdiri di sana. Ia sering sekali berkunjung ke sana, saking seringnya ia hapal betul semua orang yang ada di stasiun itu, perempuan berambut hitam yang sedang tidur di kursi tunggu itu adalah pekerja kantoran, ia selalu berangkat jam lima pagi walaupun ia tahu betul kantornya buka jam 7. Entahlah, mungkin karena saking tak mau ketinggalan kereta, ia pun terus bermonolog dalam hati sambil memandang malas perempuan itu. Dan laki-laki yang sibuk menelpon di sampingnya berdiri ini adalah seorang guru, selalu pulang tengah malam. Menurutnya setiap harinya ia melihat orang yang sama, walaupun sebenarnya selalu ada sedikit orang baru yang ikut nimbrung meramaikan suasana stasiun.
Kurang kerjaan? Ya, tak peduli apa yang orang katakan. Ia akan selalu menyempatkan diri untuk sekedar berdiri di sana, melihat sibuknya Stasiun Tokyo setiap hari dari lamunannya, termasuk untuk melihat seseorang yang setiap hari hatinya terus meneriaki namanya.
Lucu sekali. Bahkan gadis yang memakai dress panjang selutut motif bunga dengan lengan panjang ini tak tahu namanya, ia lebih suka menyembutnya pria tampan, biasanya pria ini berangkat pagi sekali untuk berkerja. rambutnya yang pirang dengan kulit tan dan tiga garis di pipi itulah yang membuatnya rajin sekali pagi-pagi sudah standby di tempat yang sama. Pria yang selalu memakai jas putih itu entah kenapa sangat menarik hatinya, ia memang ingin sekali lebih tahu tentangnya, tentang kehidupannya sampai pekerjaannya.
Apa daya memang. Kebisuan ini hanya membuat hatinya semakin sakit, walau bertemu setiap hari, ia hanya bisa melihat wajahnya dari sana, melihat kehadirannya yang diyakininya dapat menghapus rasa kesendiriannya tanpa berniat untuk sekedar menyapanya apalagi berkenalan, ia selalu merutuki dirinya yang pemalu ini. Menurutnya ia memang tak pantas untuk berbicara dengan pria sempurna itu.
Satu pertanyaan yang selalu terbesit dalam hatinya, apa dia melihatnya? Apa dia menyadari keberadaanya yang selalu memerhatikannya? Tunggu, tapi itu dua pertanyaan. Bodoh sekali.
Ia pun mendesah pelan dan sedikit mengangkat wajahnya, perlahan manik lavendernya mengedar pandangan ke segala arah, seketika raut wajah yang manis itu berubah murung, gadis bermarga Hyuuga itu pun menundukkan wajahnya saat sosok yang ia cari tumben sekali tidak ada, biasanya ia sudah di sini berdiri sambil menunggu ada shinkansen lewat, tapi sekarang yang ia dapati hanyalah kerumunan orang-orang yang ia tidak cari.
"Apa dia terlambat?"
Gumam sang gadis bermanik lavender ini pelan, ia menghela napas sebentar. kalau saja ia bisa menghilangkan sifatnya ini, bisa saja mungkin pria tampan itu akan mengenalinya. Dan bisa saja pria itu akan melihatnya dan mengerti perasaan yang dipendamnya selama ini. Tapi semua itu akan sia-sia, melihat keadaanya saat ini. Sudah ia tetapkan dalam hati, bahwa dengan melihat wajahnya ia sudah senang dan bagaimanapun keadaanya, yang penting ia bahagia sekaligus memperlihatkan senyumannya dan bisa hadir berdiri di sana.
"Hinata~!"
Tiba-tiba terdengar suara itu lagi. Suara yang amat sangat ia kenali, menemaninya dalam kesepian hidupnya, memanggilnya kencang. tanpa peduli ada tatapan banyak orang yang malah ikut menengok dengan heran kepadanya. Sumber suara itu pun lambat laun semakin dekat. Merasa terpanggil, sang gadis indigo mendongakkan kepalanya, manik lavendernya melebar kala ia menangkap pandangan orang yang tadi memanggilnya itu.
"Sa-sakura-chan?"
Wajah gadis bernama Hinata itu pun berubah riang kembali, ditatapnya sang teman berambut pink sebahu bermanik emerald dengan masih berseragam pasien rumah sakit berwarna biru itu. Sang teman pun menaikkan sudut-sudut bibirnya dan langsung ikut berdiri tepat di sebelahnya, lalu memandang balik tatapan orang-orang di sekitar sana, seakan mengacuhkan mereka. Sedangkan Hinata tak henti-hentinya menatap gadis di sebelahnya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Eh, ohayou Hinata!"
Sadar terus diperhatikan, gadis bermata emerald itu pun akhirnya mengalihkan pandangannya ke teman di sebelahnya. Bermaksud menyadarkan sang pemilik mata lavender yang sedari tadi terus menyusuri pandangan ke tubuhnya.
"Sakura-chan, apa kau kabur dari rumah sakit lagi?" tanya gadis bernama Hinata kepada sahabat sejatinya itu, tanpa menjawab sambutan pagi yang hangat darinya.
"Apa? Kabur? Aku tak setuju kalau aku dibilang kabur." Tanya gadis bermarga Uchiha itu sambil menggeleng, ia sepertinya merasa agak tak suka atas ucapan sang teman tanpa membalas sambutan darinya itu.
Seketika hening sebentar, sepertinya Hinata agak takut melontarkan pertanyaan atas ucapan sebelumnya itu, Hinata pun mengerutkan dahinya, tak tahu maksud jawaban dari sahabatnya ini. Merasa tak terpuaskan dengan jawaban itu, Hinata pun menanyakan maksud dari jawaban ambigu yang barusan terlontar itu.
"Maksudmu apa? Kau tidak boleh kabur lagi Sakura-chan. Ingat kau masih sakit," tanyanya lirih sambil memasang wajah khawatir, lengan putih mulusnya mengenggam erat pundak milik sang gadis bermanik emerald dengan menggoyangkan genggamannya, sehingga tubuh rampingnya agak sedikit tergoyang akibat ulahnya.
"Aku tidak kabur kok Hinata. kebetulan dokternya telat datang, dan aku diperbolehkan jalan-jalan untuk sekedar refreshing"
Hinata pun akhirnya bisa mendesah lega. pasalnya temannya ini memang suka bikin jantungan, sering sekali ia kabur dari rumah sakit dan suka pergi entah kemana, hanya dengan alasan bosan. bahkan pertemuan kedua sahabat ini pun terjadi karena gadis berumur 19 tahun ini yang mencoba kabur ke Stasiun Tokyo, Sakura pun mulai saat itu sangat nyaman berada di dekat Hinata, daripada bertemu dengan perawat rumah sakit yang sok tahu sekali tentang kehidupannya.
"Oh, lalu kau ke sini sendirian?" Hinata pun memalingkan wajahnya dan kembali menunduk, ternyata ia belum menghilangkan wajah murungnya, walaupun di dekatnya kini sudah ada teman sebayanya yang sangat ia sayangi, tetap saja sampai sekarang ia masih mengharapkan kehadiran pria tampannya itu.
"Tidak. Aku bersama kakak, sekarang ia sedang membelikanku eskrim di luar. Aku sempatkan saja mampir di sini." Sakura pun tersenyum manis sampai menyipitkan matanya.
Sementara Hinata hanya membalasnya dengan senyuman pahit yang singkat, lalu ia pun mendongakkan kepalanya sambil tengok kanan-kiri, sosok yang ia harapkan tak kunjung datang. sepertinya kemarin adalah hari terakhirnya melihat dia, walaupun tak sepatah kata terucap dari bibir manisnya sebagai akhir dari perpisahan yang pahit, ia pun terus merenung dalam hatinya tanpa memperdulikan teman di sebelahnya ini yang sedari tadi ia kucilkan.
Moodnya benar-benar kacau saat ini. Sedari tadi ia hanya memilin jari telunjuknya, ia pernah bersumpah jika pria tampannya itu tak pernah mampir lagi di stasiun ini, ia akan meninggalkan kebiasaan anehnya ini. Lagipula walau terus bertemu dengannya hanya bisa menyayat hatinya saja dan terus menerus menghabiskan waktunya untuk sekedar melihatnya. 'Untuk apa aku peduli padanya, pada akhirnya aku bertemu dengannya hanya untuk mencari tahu bahwa dia itu orang asing'
PLAKK
"Eh..!"
Sedang asik-asiknya melamun, tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Sebuah tangan putih menyambar pundaknya, membuat sang gadis berambut indigo itu mendongakkan kepalanya dan mengalihkan pandangan ke sumber suara. Terlihat Sakura di sebelahnya itu yang sedang mengerucutkan bibirnya kesal.
"Kenapa melamun sih Hinata! Aku'kan jadi dicuekin," ucapnya sambil melipat tangan di depan dadanya, dan membuang wajahnya ke segala arah untuk menarik perhatian sahabatnya itu. Sementara Hinata terkekeh sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
"Gomen Sakura-chan, sepertinya hari ini aku sedang tidak bersemangat."
Hinata pun menundukkan wajahnya lemas, Sakura yang bingung akan perilaku aneh temannya ini hanya bisa mengerjapkan matanya berkali-kali, sebagai temannya tentu Sakura khawatir sekali pada sikap temannya yang biasanya ceria sekarang berubah murung seperti itu. Hinata memang pendiam dan tidak mampu banyak bicara, tapi ia yakin temannya ini tidak biasanya seperti ini, Sakura pun tak menyerah. Sesaat ia mengedarkan pandangannya seakan berpikir, apa yang sebenarnya terjadi pada temannya ini.
Dan,,
Sesaat sesuatu hal tersangkut di pikiran Sakura.
"Hm, aku tahu! Pria itu lagi kan?" Sakura pun menyeringai jahil sambil mendekatkan tubuhnya di dekat Hinata dan sedikit menyenggol sikut temannya itu yang membuatnya sedikit kaget sekaligus salah tingkah.
"Eh, apa?"
Seketika Sakura pun terkekeh geli saat melihat wajah temannya yang tiba-tiba memerah tersebut, walaupun berusaha Hinata sembunyikan, tapi tetap saja kelihatan gelagatnya oleh Sakura. Sakura tahu betul perilaku sahabatnya ini jika wajahnya memerah tiba-tiba seperti itu, artinya itu benar.
Hinata masih belum berhenti menundukkan wajahnya, walaupun sudah terlihat oleh Sakura kalau pipinya sudah tak memerah lagi. Sakura terdiam sejenak, mungkin memang Hinata sedang sedih, Mungkin saja karena pria itu! Daripada membuatnya semakin sedih, lebih baik ia hibur Hinata sedikit. Walau ia tahu itu hanya akan membuatnya kesal, yah daripada ia terdiam terus dari tadi.
"Apa hebatnya sih pria itu, Hinata?"
Hinata membuka mulutnya, pandangannya benar-benar terpusat pada bola mata zamrud di depannya ini. Ia merasa tidak percaya kalau temannya itu akan berbicara seperti itu, walau ia tahu pertanyaan Sakura barusan hanya dengan maksud untuk meledeknya. Tapi perkataan itu membuat dirinya jadi agak tersinggung.
"Apa maksudmu Sakura-chan?" Hinata menaikkan sebelah alisnya, Sakura hanya terkekeh memperlihatkan deretan gigi putihnya. Hinata mengerutkan dahinya mempertanyakan ucapan sang teman.
"Walaupun aku tak pernah melihatnya, tapi sepertinya dia itu orang yang spesial yah?" Sakura pun bertanya lagi. Walau ia sudah kenal dekat dengan Hinata, ia tak pernah tahu tentang sosok pria yang sering dibicarakannya, saat ngobrol dengannya misalnya. Pasti pria itu yang selalu dibahas oleh Hinata. Sepertinya Hinata memang tak pernah memperkenalkannya pada Sakura, entah karena apa.
"Begitulah Sakura-chan," ucap Hinata tertunduk lagi.
"Kalau begitu, nanti tolong perkenalkan aku padanya yah! Sekalian aku bisa membantumu bicara padanya!"
Iris lavender itu tiba-tiba melebar, menatap emerald di depannya tak percaya. Seketika Hinata terdiam, mungkin saja temannya itu memang bisa membantunya bicara pada pria itu. Pasalnya Sakura pasti sudah tahu betul apa permasalahannya, Hinata memang punya penyakit malu yang sangat besar apalagi tentang bicara kepada seseorang yang ia sukai. Tak tahu harus bicara apa, senang atau sedih. Ia hanya bisa tersenyum.
"Ya ampun, arigatou Sakura-chan." Hinata pun menundukkan tubuhnya dengan penuh hormat, ia tiba-tiba menyambar kedua tangan putih Sakura, dan langsung sungkem mendadak.
"Aduh~ hentikan Hinata, baiklah tapi ada syaratnya!" merasa risih ketika dilihat banyak orang, Sakura mendorong tangan Hinata pelan. Tak disangka Hinata bisa tersenyum lagi hanya dengan cara ini, Sakura pun mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Hinata bermaksud memberi syarat.
"Katakan saja Sakura-chan, aku akan melakukan apapun untuk membalas kebaikanmu!" Hinata berucap sambil tersenyum lebar tanpa henti.
"Kau tidak boleh murung lagi, Ingat itu yah!"
Hinata pun agak terkejut dengan ucapan Sakura barusan, perlahan Hinata pun mengendurkan genggaman eratnya pada tangan putih milik temannya itu, dan seketika sebuah senyuman mengembang terlukis di wajah manis milik Hinata. yang dikatakan Sakura itu memang benar, sedari tadi ia memang terus-menerus murung. Bahkan di depan teman kesayangannya itu sendiri, ia harusnya sadar kalau ia mempunyai teman baik yang akan selalu menghiburnya kala ia sedang bersedih seperti saat ini.
Raut wajah kesedihan itu berubah manis kembali, akhirnya pelangi bisa muncul di hati seorang Hyuuga Hinata saat ia bersedih. Tanpa temannya itu, pasti ia takkan bisa lagi menggerakkan sudut bibirnya dan takkan pernah menghargai hidupnya kembali.
Ya. Sejak kejadian itu dunia seakan tak mau menerimanya. ia merasa tak punya semangat lagi untuk hidup, semua itu berakibat kepada dirinya untuk segera mengakhiri semuanya, sehingga hidupnya pun menjadi hampa tanpa sedikit cahaya pun dalam hatinya yang tersisa. Sampai Hinata bertemu dengan orang itu dan Sakura yang telah sedikit memberikan kepercayannya kepada dirinya saat ini.
Ya ampun ia jadi teringat dengan pria itu lagi. Padahal ia sudah berjanji pada Sakura agar tidak pernah mamperlihatkan wajah murung miliknya itu, dengan segera ia 'bangun' dari lamunannya dan mengusap cairan yang sempat keluar dari sepasang matanya yang meleleh menyusuri pipi halusnya itu. Lalu kembali tersenyum menatap Sakura.
"Nah begitu, aku ingin melihat senyuman Hinata Hyuuga. Aku tak mau melihat dunia tanpa senyuman seorang Hinata Hyuuga!"
Sakura pun menyemangati Hinata yang membuatnya menjadi terharu, air mata jatuh tanpa diminta. Hinata pun kembali tersenyum dan mengusap kembali air mata itu, kini untuk apa ia bersedih. Kalau seorang teman menghiburnya hanya untuk mencegah agar wajah kesedihan itu muncul lagi.
"Sakura~!"
Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan, suara seorang lelaki. Sakura dan Hinata pun sama-sama tersentak kaget dan ikut menengok ke sumber suara, ini benar-benar suara yang pastinya sangat Sakura kenali. Iris lavender dan emerald itu pun secara bersamaan melebar kala mereka menoleh ke sumber suara. terlihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari mereka, beriris oniks dan bersurai dark blue dengan rambut belakang mencuat ke atas melawan gravitasi. Meneriaki nama gadis yang mirip dengan bunga kebangsaan jepang itu.
"O-oniichan?"
Hinata dan Sakura pun saling bertatap. Mempertanyakan apa yang pasti selanjutnya akan terjadi, terlihat lelaki yang memakai jas hitam tadi berwajah sangat marah. Sepertinya lelaki ini memang mencari gadis bersurai merah muda itu. Hinata tampak bingung, seakan mempertanyakan siapa laki-laki di hadapan mereka ini.
Sakura membuka mulutnya tak percaya. Hinata masih bengong menatapnya, dengan geramnya tiba-tiba lelaki ini menyambar lengan Sakura dan menyeretnya secara paksa untuk mengikuti langkahnya. Lelaki ini pun mengeratkan genggamannya pada lengan miliknya. Merasa lengannya kesakitan, Akhirnya Sakura berusaha untuk melepaskan lengannya dari genggaman lelaki itu yang ternyata adalah kakaknya sendiri.
"Lepaskan aku, nii-chan!" Sakura pun memberontak, akhirnya lengannya bisa bebas dari cengkeraman lengan sang kakak yang tentunya lebih besar dan kuat tenaganya. Melihat sang adik melawan, ia pun langsung membalikkan badannya berhadapan dengan wajah si adik.
"Sudah kubilang padamu, jangan pernah ke sini lagi!"
Belum sempat Sakura melayangkan protes, kakaknya sudah kembali menyeretnya. Memaksa si adik untuk berlari meninggalkan Hinata yang masih berdiri terdiam di sana, sehingga langkahnya pun tertatih-tatih mengikuti langkah kaki kakaknya di depan ini. Sakura kini tak bisa memberontak, langkahnya sudah lumayan jauh dari tempat Hinata berada.
"Hinata~!"
"Sakura-chan!"
Hinata pun akhirnya duduk tertunduk, memeluk lututnya yang tertekuk. Sementara Sakura hanya bisa menyaksikannya sedih, kini Sakura sudah lenyap dari penglihatan Hinata yang menatapnya. Sakura dan kakaknya telah meninggalkan ruang bawah tanah itu dan sedang menaiki tangga, Sakura pun mau tak mau mengikuti kakaknya yang sedang ia tatap dengan kesal. Kakaknya yang sesaat meliriknya pun tak menggubris tatapannya itu. Tak peduli mau bagaimana adiknya kesal padanya, yang penting ia bisa membawa Sakura keluar stasiun.
Sungguh hari yang tidak bagus bagi Hinata, temannya meninggalkannya. Kini ia kembali sendiri dalam kesedihan abadi di dalam hatinya, lavender itu pun kembali mengeluarkan air mata. Ia mengabaikan orang-orang yang seakan tak peduli dengan dirinya yang kini menangis kencang, mau apa saja yang ia lakukan, semua orang pasti tak akan pernah melihatnya apalagi mempedulikannya.
Kini ia masih terduduk sambil menangis sesenggukan, sampai sebuah suara cempreng mengejutkannya. Ia pun mengangkat wajahnya betapa terkejutnya ia sekarang, seseorang bersurai pirang dengan tiga garis di pipi itu sedang berlari mengejar shinkansen. Benar saja kalau ia terlambat.
"Maaf! Permisi~" ucapnya kala ia tak sengaja menabrak beberapa orang di sekitarnya, ia seperti sedang terburu-buru sekali. Dengan konyolnya suaranya yang cempreng itu terus meramaikan suasana stasiun di sana, tentu saja ia kini jadi pusat perhatian semua orang di sana. apalagi kini shinkansennya akan segera lewat. Tentu saja gerombolan orang akan memenuhi pinggir rel.
Hinata pun segera berdiri sampai-sampai ia harus mengangkat kedua tumitnya hanya untuk mencari orang yang telah ia tunggu-tunggu. Sebuah senyuman pun mengambang di wajah polosnya, berharap melihat sosok yang tak akan pernah ia lupakan selama hidupnya. Tapi tak kunjung terlihat, suasana di sana sangat ramai.
Hingga kereta pun akhirnya datang dengan cepatnya. meniup semua orang yang ada di sana. Ketika kereta itu berhenti, penumpang pun berhamburan keluar dengan tertibnya. Tentu saja ini menjadi sangat ramai, Hinata pun semakin kesulitan. Lalu baru masuklah penumpang selanjutnya, hingga kemudian shinkansen itu pun melengos pergi tanpa menyisakan orang di sekitarnya, termasuk orang itu.
"Kenapa ia terburu-buru sekali?"
.
.
.
.
"Nii-chan jahat, Aku'kan sedang bicara dengan Hinata!"
Teriakannya ternyata tak akan pernah mempengaruhi kakaknya, kakaknya sedari tadi hanya diam sambil menyeretnya. Merasa tak dipedulikan, Sakura berusaha melepaskan tangannya dan berhasil, ia pun sesaat menatap kakaknya, menunggu penjelasan.
"Kau tidak boleh bertemu dengannya lagi!"
Sakura tersentak kaget, ditatapnya wajah sang kakak seakan melihat segala kejelasan dari raut wajahnya. Semetara kakaknya hanya menatap objek lain daripada menatap wajah adiknya yang dapat membuatnya merasa sedih.
"Ke-kenapa?!"
Keheningan, itulah jawaban dari pertanyaan Sakura. Walaupun pipi adiknya itu sudah basah akan air mata, dirinya memang takkan pernah peduli. Sampai-sampai sesuatu bergetar dari saku celananya, karena sudah tahu apa itu. Dengan cepat ia meraih sumber getaran yang tersimpan di sakunya.
"Moshi-moshi!~" ucap orang di seberang sana.
"Dokter? Apa kau sudah datang?" tanyanya pada orang yang menelponnya barusan, yang tentu saja sangat ia kenali dari suara khasnya.
"Belum, Uchiha-san. Aku sedang ada di perjalanan!" pria di seberang sana pun agak menaikkan nada bicaranya, karena berada di tempat yang cukup ramai agar terdengar. Padahal di sini sang penerima telepon sedang menjauhkan Hpnya dari telinga.
"Oh, mau aku jemput?" tawar pria bermarga Uchiha ini kepada seseorang di seberang sana, tanpa sadar ia sedang mengabaikan sang adik yang sedang menangis kencang. Sehingga membuatnya menjadi pusat perhatian.
"Tidak terima kasih, aku sedang naik kereta!"
.
.
.
.
To Be Continued
Bagaimana? gaje-kan? ini fic NH pertama saya, lanjut atau tidak? keep or delete?
Dan saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada senpai dan teman-teman yang sudah ngasih kritik dan saran juga yang udah ngereview fic-fic saya sebelumnya! :') semoga kalian sukses selalu yah!
Dan saya juga sadar betul kalau fic saya masih banyak sekali kekurangan, mohon kritik dan saran di kotak reviewnya yah! jgn lupa tinggalkan jejak (^W^)
