I.
"Interlude."
Awan-awan kelabu bergerak pelan, perlahan demi perlahan mulai menyibak keutuhan sebentuk bulan purnama di langit malam.
Cahaya emas dari rembulan merembes melalui kisi-kisi kelambu tipis, sebagiannya menapak dan bersanding dengan bayangan dari garis-garis metal tulang pintu kaca balkon sehingga membentuk potongan-potongan terang di dalam ruangan kamar yang kini berpadu remang.
Pada lantai marmer berwarna hitam legam terdapat kaos tanpa lengan dan jaket bertudung, keseluruhannya berdominasi merah dan hitam — tampaknya mereka dibiarkan tergeletak begitu saja di dekat kaki ranjang.
Sejalan alunan "kriet...!" dari per-per ranjang yang masih menerima tekanan sejalan gerakan kedua dengkul dari sosok kurus merangkap kedua sisi tubuh seorang pemuda yang hanya mengenakan celana dalam berwarna hitam.. selimut tebal berwarna abu-abu tua beserta kain selimut tipis berwarna putih mulai tersisih dari ranjang.
Ruangan kamar bertatanan minimalis kini pekat oleh alun nafas — tidak berat, melainkan alunan yang terseduh hembus kata.. hilang dan timbul.
"..-ku.. mmhh..."
Jemari tangan ramping menyibak poni rambut perak sehalus sutra, sementara deret jemari dari tangan sepasang menyusuri setiap lekuk otot perut si pemuda, merambat naik perlahan.. merayapi satu per satu rangka dada yang ber-kontraksi konstan, berakhir di bidang dada yang atletis.
Bulir-bulir keringat dari kening turun menyusuri batang hidung kecil milik wajah yang mendekat ke sisi wajah pemuda yang mendesah pelan atas vibrasi kehangatan dari pertemuan antara kulit tubuh bagian depan.
"..Riku..."
Selaras alunan intonasi desah pada telinga kiri, si empunya nama bergerak pelan. "Mmh..." gumanan pun terlepas sebareng kedua tangan kuat mendarat pada pinggang ramping milik sosok yang meniban dan jemari meraba kulit punggung, menuruni sampai lembah lekuk "V"...
...permukaan kain seprei berwarna putih semakin lecek begitu tekanan seiring sentuhan semakin mendetil, dimana ujung jemari Riku meneruskan menguak ke balik lingkar cela-
"Kyaa~ tangan Riku sungguh besar~ Riku membuatku malu~"
Suara milik laki-laki yang SANGAT dikenal, kontan membuat Riku keluar dari batas alam mimpi sekaligus membuka kedua mata,
"Demi Tuhan! Sora!" Teriak Riku seketika melompat duduk, tangan kanan buru-buru menekan panel lampu yang berada di atas meja di samping ranjang.
Begitu teritori ranjang terisi benderang lampu dari langit-langit plafon, renyah tawa pun terdengar — milik Sora. Sedangkan Riku masih terenggah-engah memegangi pusat dadanya seakan-akan baru terkena serangan jantung.
"Memangnya siapa lagi yang kamu harapkan, Ri?" Tanya Sora seraya menggosok-gosok rambut coklat landaknya semudah tanpa perasaan bersalah.
"..." Riku berakhir memandang datar ke wajah sahabatnya. Beberapa detik berikutnya mengerutkan kedua alis atas pemandangan sekujur kulit si sahabat yang sedikit basah oleh keringat. Dan selayaknya praduga.. Riku melirik ke lembaran kain tipis korden yang bergoyang pelan oleh hembusan sayup-sayup angin malam.
Rupanya pintu balkon sedikit terbuka.
"Balkon lagi?" Seru Riku dengan kesungguhan nada tidak percaya.
Sementara Sora melemaskan otot-otot leher seenteng jawaban spontan. "Kamu tahu sendiri kalau keluargamu itu rada-rada sinting. Lagipula udara dini hari tidak buruk kok untuk acara panjat tebing." Dan ITU terdengar semudah pemaparan keterangan selayaknya lantai "46" dari daratan bumi sama sekali bukanlah sesuatu yang sulit.
Riku pun membatin, "Kamu lebih sinting, Sora."
Tapi mau bagaimanapun.. sepertinya tidak akan ada harapan kalau memusingkan cara si sahabat bisa SELALU kemari diam-diam begini. Asumsi terpendeknya.. tas ransel yang tergeletak di dekat pintu balkon memiliki andil. Pastinya Riku tidak perlu memusingkan banyak selama si sahabat hadir di depannya begini secara utuh dan tidak kenapa-kenapa.
Riku kini membawa kedua telapak tangannya membasuh wajah sejenak, diteruskan menyeka rambut poni ke belakang. "Sora. Sudah kubilang, kan? Telepon dulu..." papar Riku secara kata per kata se-sabar mungkin.
Sedetik kemudian, kedua mata Riku beralih memicing curiga bertepatan binar-binar cerah menghiasi kedua kolam iris biru langit milik Sora.
"Ne, Riku. Boleh minta pendapatmu tentang sesuatu?" Tanya Sora bersama kelengkapan ekspresi serius saat mengeluarkan ponsel tipis dari saku belakang celana pendek berkhas tiga-per-empat. Berlanjut telunjuk membuka slide kunci di layar sentuh dan memencet aplikasi notes, lalu menunjukkannya ke depan wajah Riku.
"Menurutmu ini bagus?" Lanjut Sora seraya merambat ke atas tubuh atletis milik Riku, kemudian mengambil porsi duduk pada kedua paha itu tanpa pemikiran sungkan dan ribet.
"'Gimana menurutmu, Ri-Ri?" Tanya Sora kembali dengan mimik tidak sabar.
"Ayolah.." desah Riku disertai animasi ekspresi lelah sewaktu meminggirkan pergelangan tangan si sahabat agar menjauhkan benda berlayar terang itu dari pandangannya. "Bisakah kita membicarakan ini besok di sekolah? Dari seminggu kemarin aku sangat sibuk dengan sesi pra-ujian dan latihan, benar-benar hampir tidak pernah bisa istirahat. Lagipula kalau mau kemari, setidaknya beri kabar dulu beberapa menit sebelumnya, Sora." Terang Riku segera.
Sora melingkarkan kedua tangannya ke belakang leher Riku sambil menyahuti seringan berat tubuhnya. "Beberapa menit sebelumnya? Oh~ supaya aku tidak sempat melihatmu mimpi basah, Ri-Ri? Aku tahu kamu tadi sangat menikmati suaraku, bukan?" Utaraan yang kemudian diakhiri mengukir bentuk bibir sekaligus maju memperdekat jarak antar wajah.
"...Riku~"
Seduh kata itu dilantunkan Sora dengan nada sok sensual.
Riku hanya bisa nyengir tanpa kerusakan mental berarti, dan mendorong muka si sahabat disertai komentar pasif, "Ya-ya. Setidaknya suaramu lebih menarik ketimbang badanmu yang ceking penuh tulang begini."
Tangan kanannya berakhir mengambil ponsel dari genggaman disana sekalian melepas rangkulan Sora. "Jadi apa urusannya Ri-Ri dengan ponsel?" Tanya Riku dengan nada terpaksa.
Sora mengambil sekumpulan rambut perak yang tergerai panjang dimana ujung mencapai pertengahan dada bidang, dan memainkannya selama bicara bergaya manja. "Um, sebenarnya.. aku ingin sekali-kali terlihat dewasa dan bertindak romantis pada Kairi, jadi..."
"Bicara tentang romantis..." sela Riku saat memperhatikan seksama tubuh kurus dan kecil tanpa penutup tubuh bagian atas, JUGA posisi duduk yang terlalu dekat pada — ehm, "kamu buat Kairi melakukan seperti apa yang kamu lakukan sekarang ini sudah romantis kok," lanjutnya tanpa penampilan mimik berarti.
"Riku.. Tidus selalu cerita tentang dia dan Yuna. Aku ingin seperti mereka..." rengek Sora disertai aksi cemberut.
"Memangnya momen sewaktu kamu dan Kairi berbagi buah Paopu sama sekali bukan cerita yang mengesankan?" Timpal Riku, masih berusaha bertindak kebal dengan ekspresi imut si sahabat.
Kedua mata Sora semakin berlinang bersama kelengkapan suara bergetar, "Riku..."
Riku pun menghela nafas panjang sebagai wujud menyerah, sementara di dalam hati mengomel. "Bikin kasus tidak jelas dengan Sora.. awas kamu Tidus!"
Lalu menggoda saat menyingkirkan tubuh si sahabat ke samping. "Jangan bilang kamu kemari untuk menanyakan posisi terbaik dari Kamasutra," kata Riku seraya menaruh tiga bantal pada kepala ranjang, dan menyandarkan punggung.
Sahabatnya mendengus. "Heh. Seperti Riku mau mengajariku teknik Kamasutra," komentar Sora sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Riku melirik dari sisi samping layar ponsel — ke wajah si sahabat. Semenit kemudian beranjak dari sandaran.
"Jadi.." Riku menahan kalimat sewaktu meletakkan ponsel ke atas meja. Kedua tangan kini meraba kedua paha milik si sahabat saat mendekat ala hewan predator. Sebelum si pemilik paha yang tanpa sadar menjadi subyek ini bereaksi, Riku cekat menyendok kedua bokong sekaligus menggendong tubuh kurus itu kembali ke pangkuan.
Sedetik berikutnya, kedua mata Sora terbuka lebar seketika tekanan pada kedua bokong mengakibatkan pertemuan 'telak' antara kedua teritori privat.
Riku pun tersenyum nakal penuh intensitas tantangan. "Yang mana dulu yang mau kamu tanyakan, hm? Sora~" godaan sambil meremas kedua bokong si sahabat, menahan untuk tetap berada pada posisi selama Riku mengadukan sembul dari benda kepemilikannya dengan milik si sahabat — tentu saja Riku juga BISA bermain kotor. Toh ini Sora; yang sejauh kesimpulan.. tetaplah Sora. Dan Riku mengenal si sahabat seperti membalikkan telapak tangan. Paling tidak Sora akan menggamparnya dan hari-hari berikutnya bakal kapok membangunkannya memakai teknik intimasi aneh-aneh.
Sayangnya sejauh mengenal Sora...
...Riku masih terkejut saat kedua tangan ramping itu meraih wajahnya, dan perlahan,
Sora maju.
Riku serius tidak menduga sewaktu bibir Sora merapat ke bibirnya dan mengecup penuh aturan perasaan.. kemudian mengulum tipis bibir bawahnya seakan-akan meminta ijin akses, bahkan diikuti penambahan performa, dimana tekanan pada teritori privat beralih menggesek pada miliknya.. mengadukan ukuran.. membangunkan dan memancing sekaligus merangsangnya.
"H-hei-..." katup mulut Riku terbuka tipis untuk perputaran udara, tapi Sora mampu memakainya untuk ciuman pendek.. dalam dan menggoda, sekali demi sekali, lalu sekali lagi dan sekali lagi.. dan menjadi konstan. "Mmh-h.. So-.." walau menolak, Riku TETAP menanggapi minim setiapnya selama terus dan terus mendesah, "Sora-.. h-hei- So-.. Mmm-Sora-"
Jemari Sora mulai meraba setiap jengkal kulit Riku dan mengharapkan setir kendali. Sepanjang itu, potongan-potongan kata perlahan memudar dan membaur dalam sengal. Sepanjang itu juga, di setiap jeda pertemuan bibir, Sora selalu memanggil nama Riku penuh intensitas erotika.
"...Ri, oh Riku.. Ri.. ohh-h Riku..."
Terjadi terus dan terus.. seperti memohon.
Sejauh Riku berusaha bersikap 'anti', perilaku Sora yang ingin memakannya hidup-hidup begini membuatnya membuka mulut secara spontan.
Sora sendiri rupanya tidak tanggung-tanggung memanfaatkan kesempatan, mulut Riku diraup.. terkunci dalam interaksi maksimal, dan selayaknya 'pro'.. lidah di dalamnya memaut lidah Riku, menggesek.. memancing agar merespon lebih dan lebih.
"...Mmmhh-h..." desah kenikmatan atas antusias 'rasa', Riku pun memejamkan kedua matanya seiring membalas, mendalamkan ciuman sejalan permainan lidah dalam pertukaran saliva. Sejalan perputaran detik, perlahan demi perlahan badan Riku semakin takluk. Kedua tangan merayapi punggung dan leher Sora.. mencari keunggulan sensualitas dan menelaah setiap detil dari sensasi yang terus-menerus membakar gairah.
Riku tenggelam.. berpetualang jauh dan jauh — terlalu jauh.
Dan INI salah.
Ilustrasi wajah manis milik Kairi memaksa Riku memutus kuncian antar bibir tanpa alun penutup, dan suara perpisahan akibat efek saliva, terdengar kasar.
"Hh-h..." sengal Riku masih memburu saat kedua tangan mencengkeram erat kedua lengan si sahabat, mendorong dan mengambil jarak selama Riku menunduk.. menenangkan semua kalut sekaligus menghapus keunikan Sora yang kini ter-'cap' di seluruh indera perasanya.
Sejujurnya kesadaran Riku sangat tinggi atas 'insiden' tadi. Masalahnya.. acuan kompleks bukan sekedar karena Sora bergelar 'sahabat' maupun basis 'laki-laki', melainkan separuh darah yang mengalir dalam pembuluh darah disana.
Keluarga 'non-prior' seperti sebutan Sephiroth, kakak tertuanya.
Pengakuannya hingga detik ini seharusnya masih di tahap menerima Sora sebagai adik seutuhnya, lalu sekarang...
"Sora-.. ini tidak-" kalimat Riku berhenti seketika Riku mengangkat wajahnya, dan —
Kedua iris kuning bernuansa eksotik dan asingmenyambut bingkai pandangannya. Riku pun terpaku tidak bergerak sepanjang kontak pandang.
Asap-asap hitam berdansa bak ilusi pada sekujur badan yang tertutup serupa 'bodysuit' berwarna hitam. Corak garis-garis berwarna merah pada tubuh bagian depan itu mempertontonkan lekuk pak otot yang berisi baik pada bidang dada, juga pada perut. Hiasan sabuk merah di pinggang, dua sabuk bersilang menghubung kain biru tua sepaha berujung-ujung mirip hasil sobekan...
"..." katup mulut Riku terbuka tipis menyadari jemari kedua tangannya ternyata masih mencengkeram erat otot-otot bisep dari kedua lengan yang terhubung badan dengan kesempurnaan proposional tinggi seukurannya.
Bibir di hadapannya kini tersenyum.. picik. Rambut di kepala itu mengayun pelan. Rambut berwarna sebiru kelamnya langit malam dengan tatanan berserta kelengkapan wajah khas sesuai —
"Sora...?" Riku bertanya dalam sekejap mengedipkan kedua mata, dan sosok di hadapannya adalah si sahabat, kembali.
"Sori..." kata Sora dengan suara pelan dan bibir di wajah imut itu sama sekali tidak tersenyum. Tampaknya ekspresi yang terbias hanya.. getir.
Riku tertegun, terdefinisi bingung dan terhenyak.
Fakta-fakta aneh terlintas di kepalanya. Apa barusan merupakan proyeksi dari perpaduan refleksi lampu dengan suasana remang di latar ruangan, atau kemungkinannya dirinya sendiri yang super lelah sampai mendapatkan gambaran 'Sora' sebagai sosok yang berbeda, atau malah.. dirinya yang mengharapkan begitu?
Yang mana pembenaran terbaik.. pastinya alasan apapun tidak akan memutar ulang waktu, maka Riku melontarkan sahutan terbaik untuk saat ini. "Aku yang salah. Sekarang lupakan itu. Langsung ke pokok masalah, oke?" Riku kemudian menggosok-gosok rambut si sahabat agar menceriakan suasana, meski sejujurnya Riku sama sekali tidak dapat menghilangkan pertanyaan-pertanyaan baru yang mulai bermunculan di benaknya.
Saat Riku hendak meraih ponsel, tahu-tahu sisi wajah Sora menyandar pada pundak kirinya disertai tubuh bagian depan yang menempel penuh pada tubuhnya. Nafas hangat yang menerpa sisi leher.. memberikan momen tersendiri seiring keheningan mengisi ruangan kamar, dan ITU meringankan kemelut dalam kepala Riku atas pertentangan dari hasil yang berujung jawaban-jawaban kosong.
"Riku, kalau aku terlahir bukan sebagai Sora.. apa kita masih berjalan sebagai sahabat?" Tanya Sora tiba-tiba.
Mendengar itu, kedua mata Riku terbuka lebar.
Tersentak? JELAS! Karena Riku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya jika kehidupannya sekarang tanpa kehadiran si sahabat yang SELALU bergantung padanya, berotasi di seputarnya bak satelit dan memanggil namanya seakan-akan dirinya paling berharga se-jagad raya.
Kalau menjalani semua itu dengan Sora yang memiliki 'warna' berbeda...
...di dunia ini tidak ada pribadi yang sama! Bagi Riku, Sora hanya ada satu seorang dan daratan Planet yang dipijakinya sekarang hanya memiliki satu langit.
Walau sempat terasa pelik akibat proses otak, Riku menyahuti secara khasnya. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Kita berdua akan selalu bersama. Juga Kairi." Penekanan khusus itu untuk mengembalikan sesi ke topik awal.
"Ya.. selalu bersama..." ulang Sora dengan utaraan lambat selayaknya melantur.
Riku hanya bisa terdiam begitu kesunyian terisi suara dengkuran pelan yang stabil. Ternyata si sahabat telah tertidur pulas. Riku pun menggeleng sambil membatin, "bocah ini.. selalu saja semudah itu."
Sepertinya berpikir lebih tidak akan menyelesaikan apapun.
Tangan kanannya mengambil benda tipis ber-casing merah, kemudian jempol men-tap layar ponsel agar lampu di dalamnya menyala.
Ia mulai membaca baris demi baris tulisan di layar.
"You're giving me too many things; lately, you're all I need.
When you walk away
You don't hear me say please, oh baby, don't go.
Simple and clean is the way you're
It's hard to let it go.
Hold me.
Whatever lies beyond this morning is a little later on;
regardless of warnings the future doesn't scare me at all.
Nothing's like before."
"Mmm.. simple.. Riku..." guman Sora kala memeluk pinggang Riku seperti guling.
Kedua mata Riku menjadi sayu.
"Yang simple itu dirimu Sora. TERLALU simple dan murni..." bisiknya seakan mendendangkan lagu nina bobok.
Jemari tangan kiri Riku mengelus rambut spiky coklat, lalu turun ke rantai kalung yang melingkar di leher sahabatnya dan merasakan kokohnya setiap jalinan rantai. Ini adalah hadiahnya sebagai tanda persahabatan 10 tahun sekaligus mengingatkannya setiap melihat bandul 'mahkota' yang menggantung di dada itu, hati Sora selayaknya kualitas arti simbolisasi...
...Raja.
Bagi hatinya.
Tapi Sora sudah memiliki hati Kairi, kan?
Perasaan Riku semakin beraduk-aduk pedih dan ironi baik bagi porsi pertemanannya dengan Sora dan Kairi, juga permasalahan dua keluarga dari sisi 'prior' dan sisi 'non-prior'.
"Lupakan."Perintah dari otaknya.
Ya. Lupakan segalanya. Apapun yang terjadi mulai besok pagi.. Riku akan tetap berdiri untuk Sora seperti ini.
Ponsel diletakkan kembali, Riku kemudian menjauhkan dua bantal dan merebah tanpa memindahkan posisi si sahabat dari tubuhnya. Kaki kanannya menggaet selimut, diteruskan tangan kanannya menarik kain tebal itu hingga menutupi kedua badan mereka.
Riku memejamkan kedua mata...
...dan memeluk Sora.
TBC...
A/N:
Disini Riku berusia 17 tahun, dan Sora 16 tahun. Vanitas juga saya gambarkan tidak memakai metal pengunci topeng. Latar tempat selayaknya bumi ini. "Bumi" di fic ini bernama "Planet" dan bertema modern.
Saya mau membuat cerita initerkesandamai, jadi saya akan menyingkirkan penggunakan "Keyblade". Saya juga akan meminjam banyak karakter dari Final Fantasy (berhubung di game aslinya terdapat Final Fantasy mix jadi ini bukan crossover), beserta karakter-karakter dari Kingdom Heart kecuali King Mickey, Queen Minnie, Donald Duck, Goofy. Jadi... pairing-nya akan beraneka ragam.
Oh ya, tulisan di notes ponsel Sora itu diambil dari lagu "Simple and Clean" dari Utada Hikaru. Tapi ini bukan songfic kok, itu sebagai pemberi "warna" untuk pesan tersendiri bagi pairing utama ini, Riku dan Sora.
Tetap ikuti cerita ya. Jangan lupa reviewnya. ^^
