.

.

.

Bleach © Tite Kubo

.

Genre:

Hurt/Comfort; Friendship
Romance
(tenang, ada kok. Pair-nya kan HitsuRuki. Tapi mungkin di awal2 masih belum keliatan, hehehe)

Warning:

OOC (stadium akhir); AU (tidak ada yg namanya Shinigami2an atau Hollow apalagi espada); siapkan obat sakit kepala sebelum dibaca; istilah medis yg seenaknya dipake author yg jelas2 tidak tahu apa pun ttg dunia medis

.

Terinspirasi dari:

Grey's Anatomy © Touchstone Television
Surgeon Bong Dal Hee © SBS TV
Team Medical Dragon © TV Asahi Entertainment

.

.

.

.

.

Terlahir ke dunia sebagai bayi yang tidak bisa apa-apa, selain tidur, menangis, atau menendang sana-sini. Perlahan bisa merangkak, menjelajahi seisi rumah dan pojok-pojoknya. Lalu bersusah-payah berdiri. Terjatuh. Namun, berdiri lagi. Tertatih-tatih, tapi ia terus mencoba. Sampai berdiri betul, berjalan pelan-pelan, dan mampu berlari lincah. Tumbuh remaja, awal mempelajari tentang kehidupan, sahabat, dan orang-orang terkasih. Beranjak dewasa, mulai mengetahui jati diri dan paham baik-buruk jalan mana yang mesti ia ambil. Dan akhirnya menjadi manusia yang "sebenarnya". Menggapai kehidupan yang sesungguhnya.

Segala hal memang butuh proses. Tidak ada jalan yang instan.

Semua orang tentu mengalaminya. Untuk pemuda ini, juga.

Laju larinya tidak melambat sejak turun dari bus. Melirik arloji di pergelangan, ia bertabrakan dengan lima-enam orang di trotoar. Napasnya memburu tak ubah pelari maraton, wajahnya merah mirip cabe, tapi tidak urung membuatnya berhenti. Derapnya baru memelan setelah melewati gerbang besi, memasuki gedung bertingkat tujuh bernama "Seireitei Hospital", dan memilih menapaki tangga darurat setelah mendapati pengguna lift begitu penuh. Tiba di ruang loker, ia menjumpai dua teman sejawat yang senasib dengannya.

Melepas tas ransel hitam dari punggung, ia menjejalkan di lemari loker. Berganti pakaian menjadi seragam medis biru muda yang senantiasa memenuhi loker, selain cemilan dan buku ajar bedah. Lalu ia padukan dengan jas putih lengan panjang. Pun stetoskop1) tidak ketinggalan mengisi saku jas.

Oh, jangan lupa dengan tanda pengenal yang disisipkan di saku atas. Kepemilikan atas nama dokter bedah, Toushiro Hitsugaya.

.

.

.

LIFE: Wish and Hope

.

# 1 #

Intern dan Residen

.

.

.

Padahal tidak melihat, tapi Toushiro yakin—seyakin bahwa satu tambah satu sama dengan dua—kalau Ikkaku Madarame, residen2) yang menangani dokter magang sedang menyeringai girang di depan sana. Lihat saja langkah residen berkepala plontos itu yang jauh lebih cepat hingga tiba di tempatnya terlebih dulu.

"Terlambat, Dokter Jenius?" Ia bertegak pinggang penuh kuasa sambil terang-terangan memanggil julukan Toushiro. Sebagai bukti kalau dokter yang lebih mirip penjagal ini sedang gembira bukan kepalang macam baru ditimpa tomat runtuh. Kalau durian runtuh, ia bisa mati.

Toushiro menguburkan tangan ke saku jas putihnya. Berkata, "Maaf," tanpa raut bersalah. Karena yang paling pantas disalahkan adalah jam weker yang mendadak kehabisan baterai atau pemerintah Kota Seireitei yang tidak maksimal menangani macet yang parah tiap tahunnya. Ia kena telat, kan?

"Apa aku tidak salah dengar? Maaf?" Ikkaku pura-pura terkejut, sengaja mendramatisir keadaan. "Dokter Jenius bisa meminta maaf juga, ya?"

Tawa kecil mendadak menyela. Berasal dari rekan yang menjelma jadi penonton di belakang sana.

"Lihat si Yakuza. Dia senang sekali."

"Itu tidak lucu, Abarai-sensei. Kita seharusnya prihatin pada Hitsugaya-sensei."

"Aku tidak menertawakan Toushiro."

"Ayo bertaruh. Apa hukuman yang akan diberikan pada Hitsugaya?"

"Bagaimana kalau kita bertaruh apa yang akan kuberikan pada kalian jika tidak segera pergi dari sini dan melaksanakan apa yang seharusnya kalian laksanakan?" ancam Yakuza alias Ikkaku, menoleh ke belakang dengan mata melotot. Gendang telinganya memang setajam radar dan seakurat kalkulator.

Segesit jentikan jari, sepuluh magang itu angkat kaki. Ogah diserahi tugas jaga 24 jam (18 jam saja sudah buat mereka tidak bisa jalan).

"Jadi," Ikkaku kembali pada Toushiro yang memasang raut kalem, ekspresi yang sering membuat residen ini jengkel setengah mati, "menurutmu apa jawaban Vega-sensei tadi? Hukuman apa yang kuberikan padamu, Dokter Jenius?"

Kini, Toushiro sudah tidak setenang sebelumnya. Ya, apa boleh buat. Ambil hikmah saja kalau setelah ini ia akan belajar untuk ingat mengganti baterai jam secara berkala atau lakukan protes pada pemerintah kota tentang kemacetan yang sudah mirip lautan mobil tiap paginya.

.

.

.

.

.

"Apa? Tidak masuk OR3) selama seminggu?" Renji Abarai menoleh cepat pada Toushiro di sampingnya setelah membeberkan hukuman yang mesti dijalani pemuda itu.

"Aa. Madarame-sensei pun memberikan pasien dengan kasus medis kecil."

Renji lemas sebelum Ggio Vega yang duduk di depan menyodorkan tangan. "Sial, aku kalah." Ia merogoh saku celana dan ogah-ogahan menyerahkan lembaran uang pada si rambut kepang.

"Oi, kalian bertaruh?" Toushiro menatap dua orang itu tidak percaya.

"Seharusnya kau minta mengerjakan laporan post-op milik si Yakuza selama seminggu," tambah Renji tak tanggung-tanggung. "Gara-gara kau, aku kehilangan 2 ribu yen."

Memangnya siapa yang suruh taruhan, Tuan Nanas?

Kini mereka (bersama dokter senior dan magang yang lain) berada di galeri OR, menyaksikan pembedahan tumor otak yang dinahkodai Sousuke Aizen. Beruntung untuk Senna Sakurai, salah satu magang, terlibat sebagai pendamping dokter bermata empat itu.

"Si Yakuza paling tidak suka kalau Hitsugaya dipanggil ke OR," Ggio menyinggung. Uang hasil taruhan telah disakukan setelah semangat menghitung lembar demi lembar. "Kita semua tahu itu."

Toushiro menghela napas panjang. Renji lekas menatapnya simpati. "Si Yakuza selalu mencari kesalahanmu agar membuatmu terlihat buruk. Dan mendapatimu terlambat hari ini, membuatnya seperti mendapatkan jutaan yen yang dia tunggu selama berabad-abad."

Ah, penyakit lebay Renji kumat. Tapi biarpun terdengar berlebihan, tidak terlepas dari Ikkaku yang memang senang bukan main pagi tadi.

Pria itu sama sekali tidak masalah dengan julukan "Yakuza" yang disematkan para dokter magang. Dengan kepala selicin dan sekinclong lantai, mata sipit setajam pisau dapur, dan perawakan tegap menyamai preman pasar, ia memaklumi dan santai-santai saja. Namun, tidak untuk anak muda bernama Toushiro Hitsugaya.

Semuanya berawal dua bulan lalu. Residen berkepala tanpa rambut itu melakukan kesalahan dalam operasi, dan Toushiro yang bertugas sebagai asisten kedua ikut campur (walau belum tugasnya)—mengambil alih. Tapi karena tindakan itu, nyawa pasien selamat. Alih-alih dapat sanksi, pemuda itu kebanjiran panggilan jadi asisten dokter senior. Ikkaku yang seorang residen, terpinggirkan; dinomorduakan.

Kemampuan yang susah payah ia raih, diragukan.

Sejak hari itu, Ikkaku membunyikan genderang perang pada Toushiro. Julukan "dokter jenius" itu pun darinya. Bukan pujian, tapi pengingat bahwa si residen akan senantiasa mengawasi tindak-tanduknya.

Kondisi operasi yang mendadak menegang di bawah sana, menghilangkan topik "Yakuza" dan menarik belasan dokter penonton berdiri mendekati kaca etalase. Diagnosis yang awalnya tumor otak berubah menjadi cysticercosis setelah Aizen membedah dan mendapati cacing yang menggerogoti otak pasien.

"Cacing hidup dalam otaknya?" Renji menganga.

"Sulit dipercaya," Ggio berkomentar, takjub.

"Gejala tumor otak dan cysticercosis sangat mirip," jelas Toushiro, lambat-lambat. Ia pun tak kalah kaget. "MRI bahkan tidak bisa membedakannya."

"Ahhh, Senna beruntung sekali." Renji iri. Bagaimanapun ini termasuk kasus yang sangat jarang. Semua magang memimpikan posisi Senna di bawah sana.

Beep! Beep! Beep!

Pager 4) milik Toushiro berbunyi.

"Yakuza?"

Toushiro menggangguk pada Renji sebelum enggan-engganan pergi dari tempat itu, meninggalkan pemandangan bedah yang mengagumkan.

.

.

.

.

.

Pukul 04.00 pagi.

Toushiro menekan tombol off jam weker yang berbunyi lantang memenuhi flat kecilnya. Bergelut sebentar di ranjang berseprei biru tua bermotif gambar klub sepakbola ternama, ia menatap langit-langit kamar bercat putih buram dengan beberapa bagian yang mengelupas.

Perasaan itu lagi. Sudah tiga hari bertutur-turut perasaan aneh yang sama bergejolak di dadanya. Seolah-olah dalam waktu dekat ini ada sesuatu yang bakal terjadi. Sesuatu yang besar.

Menghela napas dalam, ia bangkit menuju kamar mandi.

Cuma butuh tiga per empat jam, ia telah siap bersama tas ransel (dengan lima belas menit berjibaku air dan sabun; berganti pakaian di waktu sisa dan bersiap-siap secepat yang ia bisa). Keluar dari apartemen bertingkat dua, ia menuruni tangga besi yang langsung berderit. Langkah yang semula cepat, ia pelankan. Bisa-bisa tangga yang sudah dimakan umur ini runtuh seketika. Berjalan di trotoar, ia berpapasan dengan Yamamoto-jiisan yang memang rutin berlari-lari pagi sekitar sini.

"Oh, berangkat cepat, Toushiro?" tegur Kakek Yamamoto. Meski sudah berumur 80, ingatan si kakek masih kuat. Ia selalu ingat kalau Toushiro beranjak pergi setelah subuh. Jarang pemuda itu hengkang sepagi ini.

"Aa. Jangan lari terlalu jauh, Jii-san," pesan Toushiro (seperti biasa).

Si kakek bergumam, menyusul punggungnya yang menjauh. Yamamoto-jiisan pensiunan atlet lari maraton. Juga ada yang bilang kalau ia pernah terlibat dalam organisasi Yakuza (bukan "Yakuza" di rumah sakit). Jika sedang bertelanjang dada, terpampang bekas luka sabitan di punggung dan dada. Katanya lagi, ia pernah mengidap kanker usus; dan setelah operasi memberinya kesempatan hidup, si kakek mulai belajar menjaga tubuh, dan menikmari hari sepuluh kali lebih antusias. Kerasnya dunia memang telah ia arungi nyaris sepanjang masa hidupnya. Dari karena itu, stamina dan semangat melebihi orang tua seumurannya yang kebanyakan menghabiskan waktu di rumah, atau bahkan sudah jadi makanan cacing tanah.

Hasrat hidup luar biasa Yamamoto-jiisan mengiringi umurnya yang panjang, sepanjang janggutnya.

Kakek itu sering dijadikan Toushiro penyemangat ketika ia sedang malas, loyo, atau mengeluh tidak jelas. Ia malu sendiri. Berumur 25 tahun, tapi daya hidup mirip usia 60 tahun. Justru si kakek, berumur nyaris seabad, tapi semangat anak muda berumur seperlima abad.

Tiba-tiba langkah Toushiro berubah cepat, berangsur berlari seraya berteriak kencang, sekencang yang ia bisa. Cuek-cuek saja dengan orang yang berlalu di trotoar (meski hanya satu-dua orang). Dorongan semangat yang menggebu-gebu untuk tiba di rumah sakit terlalu besar dengan tak sabar bertemu rentetan pasien yang menunggu.

.

.

.

.

.

Senna sudah bercermin berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama. Wajahnya bersih, tidak ada bekas nasi dari sarapan sebelum berangkat. Pakaiannya juga normal, seragam medis biru muda khas intern. Namun, kenapa teman-temannya menatapnya aneh seolah ia mengenakan bikini ke rumah sakit?

"Berhenti menatapku seperti itu, Vega-sensei, Hitsugaya-sensei." Ia sudah sampai batas. "Terutama kau, Abarai-sensei." Jari telunjuknya menodong pemuda itu satu per satu.

"Hari ini bersama Aizen-sensei lagi, Sakurai-sensei?" Memanggil Senna dengan marganya, berarti Renji sedang menggoda.

Sejak kasus cysticercosis seminggu lalu, gadis berambut ungu gelap ini sudah tiga kali mendampingi si dokter bedah saraf. Maka tak salah, ia jadi buah bibir penghuni departemen pembedahan kalau ia akan jadi istri Aizen-sensei berikutnya. Betapa tidak jika fakta mengatakan bahwa dokter tersebut menyukai gadis muda—tiga istri terdahulu (sudah diceraikan) dengan beda umur 10-13 tahun—jadi menguatkan rumor tersebut.

"Mana aku tahu." Senna mengedikkan bahu, tidak mudeng dengan maksud si pria jangkung. "Itu tergantung Madarame-sensei, kan?"

"Kami cemburu. Aku, Toushiro, juga Ggio." Lalu menarik Ggio cepat dalam rangkulan dan menudingnya. "Terutama Ggio. Dia benar-benar cemburu."

Senna salah tingkah. Wajahnya jadi merona. "Ke-kenapa?"

"Tentu saja, aku cemburu," jawab Ggio, datar. Berpura-pura tidak peka dengan reaksi gugup Senna. "Kau menangani kasus-kasus yang mengagumkan dan masuk OR, sedangkan aku ... palingan cuma perawatan kecil di ER5)."

Muka Senna kontan berubah masam. Bibirnya mengerucut kesal sambil menghentak kaki jengkel sebelum berjalan mendahului mereka.

Langsung saja Renji meninju lengan Ggio. "Kau benar-benar tidak mengerti hati perempuan."

Sayangnya, Ggio menanggapi santai, "Apa bidang studi kita ada yang berhubungan dengan 'hati perempuan'?"

Sempat-sempatnya Renji berpikir meski jawabannya sudah tentu—"Tidak."

"Kalau begitu, jelas." Pemuda berambut kepang itu ngeluyur pergi, tak peduli.

Renji jadi geregetan sendiri. Lalu mengekori; Toushiro mengikuti di sampingnya. Si rambut nanas bergumam kalau pemuda berdarah Cina itu tidak akan pernah punya pacar kalau sifatnya tidak berubah. Toushiro menimpali kalau sepanjang lima tahun bersama-sama di universitas, pacar Ggio tidak lain tidak bukan adalah buku.

"Kau tampak bersemangat." Renji tiba-tiba beralih topik.

"Tidak juga," jawab Toushiro, seadanya. "Aku hanya punya perasaan bagus hari ini, tapi juga perasaan aneh. Entahlah."

Sebelum sobat merahnya berkomentar tentang itu, Ikkaku muncul dengan mengulurkan chart6) pada Senna.

"Aizen-sensei ingin kau mendampinginya lagi hari ini."

Mendengarnya, Renji bersiul; sementara Senna jadi tidak enak. Ia tidak suka dianakemaskan. Maaf saja, ia ogah menyusul Toushiro jadi orang kedua musuh Ikkaku, apalagi jadi saingan teman-temannya. Ia ingin lulus dari sini dengan aman-tenteram-sentosa.

"Bisa yang lain saja, Madarame-sensei?"

Ikkaku menatapnya. Lurus. Senna pun tahu jika dirinya kembali merajuk, bisa-bisa ia tidak akan masuk ruang operasi seumur hidup. Akhirnya, ia beranjak dari sana dengan penuh dilema.

"Kalian bertiga, ikut aku ke pit7)," lanjut Ikkaku, sebelum bergerak ke lift menuju lantai dasar. Tiga pemuda itu mengikuti sambil bergumam kalau Senna begitu beruntung.

.

.

.

.

.

Mendadak saja kondisi ini muncul.

Dada Toushiro berdegup kencang, bergemuruh resah, berkecamuk liar. Berkumpul jadi satu dan menekannya. Ia sempat berhenti, menarik napas panjang sebelum Renji menepuk pundak dan bertanya kenapa. Menjawab baik-baik saja, ia melewati lorong bersama langkah berat menuju pintu keluar ER. Ia harus menjemput pasien yang dibawa oleh ambulans.

Berempat menunggu di ambang pintu dengan mengenakan jubah kuning bening khas ER, ambulans muncul dengan suara cemprengnya mirip bebek. Berhenti bersama pintu belakang yang berhadapan dengan para dokter, paramedis8) bernama Isane Kotetsu keluar dari mobil.

"Siapa yang kita punya, Kotetsu?" Ikkaku serta merta bertanya sebelum Isane memberikan laporan identitas pasien.

Sementara itu tanpa sadar, Toushiro melangkah ke pintu ambulans yang tengah dibuka oleh paramedis lain; bersiap mengeluarkan pasien. Penasaran yang entah datangnya dari mana, membuat dirinya mengintip.

Ketika itulah, kakinya membeku tepat di tempat.

"... 23 tahun. Pasien dari Mental Hospital. Percobaan bunuh diri dari lantai empat. Mengalami kegagalan jantung akut ..."

Pemberitahuan paramedis sayup-sayup belaka di telinga Toushiro karena sepersekian detik sebelumnya ia sudah tahu nama pasien itu adalah—"Rukia Kuchiki.…"

.

.

.

.

.

To be Continued

.

.

.

.

.

Intern : dokter magang, masih belajar, tidak diijinkan turun langsung untuk membedah pasien.
1) stetoskop : alat untuk mendengarkan bunyi jantung. selalu dibawa ke mana-mana oleh dokter.
2) Residen :
dokter yg mengambil pendidikan spesialisasi, juga menjadi pengawas para magang.
3) OR :
operating room
4) pager :
alat panggil, digunakan jika ada dokter butuh bantuan rekannya.
5) ER : emergency room atau UGD
6) chart :
grafik pasien
7) pit :
tempat menunggu ambulans datang
8) paramedis :
ahli medis di ambulans

A/N : Fic ini berseries. Ada tiga vol. Ini baru vol pertama. Lalu tentang Senna, sy buatkan marganya sendiri. Karena di canon, dia gak punya.

Jika ada temen2 yg berprofesi tidak jauh2 dgn Toushiro dkk. mohon sarannya jika ada istilah yg salah. Sy akan segera edit. Bagaimanapun fic ini hanya pelampiasan sy yg kebanyakan nonton tiga drama yang menginspirasi fic ini#halah

Berminat untuk review?

Ray Kousen 7

21 Oktober 2013