Disclaimer
Shigatsu wa Kimi no Uso/Your lie in April © Arakawa Naoshi
Hampa © Enamel Illyane
Warning!
AR, strange idea, plotless, minim dialog, ficlet, ploless, terdapat diksi yang tidak tepat, maybe typo(s).
Not gonna say anything nice? Then keep it to yourself and click the 'back' button, you don't like wasting your energy on this right?
.
.
.
Ia menatap pianonya dalam.
Tidak, tidak seharusnya dia seperti ini. Seharusnya dia memainkan piano itu. Seharusnya dia bisa bermain sekalipun ia tak bisa mendengarnya.
"Ini hukumanmu, Kousei." —Ibunya.
"Kau belum cukup berlatih!" —Kaori.
"Apa-apaan permainan itu?!" —Takeshi.
"Kembalilah!" —Emi.
"Aku lebih benci Arima Kousei." —Nagi.
Tidak seperti ini juga. Tidak seharusnya suara-suara aneh itu berkumandang di setiap inti sel tubuhnya. Tidak seharusnya ia lemah pada hal-hal seperti ini. Ia tidak mau… Ia tidak mau menjadi…
Arima Kousei yang menyerah pada piano.
Tidak! Tidak! Tidak! Ia adalah seorang pianis. Dan apa jadinya seorang pianis tanpa piano? Apa yang akan ibunya pikirkan? Apa yang akan dikatakan orang-orang? Padahal piano adalah alasan terhubungnya ia dengan orang lain.
Ibunya, Kaori, suara dari permainannya, dan kini pianonya? Sudahlah. Dia menyerah. Biarlah seluruh dunia menganggapnya pengecut, gila. Dia benar-benar kehilangan hidupnya. Juga, ini sudah terjadi selama dua minggu. Dua minggu dan dia mulai depresi. Dua minggu lagi dan dia bisa mengiris pergelangan tangannya.
Err, mungkin tidak senekad itu. Tapi tetap saja, dua minggu tanpa piano itu… kosong. Dan kalau dia harus menjalani itu dua minggu ke depan? Tidak, terima kasih. Seumur hidupnya? Jangan.
Omong-omong soal waktu, sudah berapa hari dia tidak mencium aroma ruang musik? Sudah berapa lama dia tidak menyentuh tuts hitam-putih itu?
Oh, sentuh.
Entah gangguan psikologis macam apa lagi yang tengah ia hadapi kali ini, ia selalu mendengarkan suara-suara aneh tiap kali menyentuh tuts-tuts piano. Ia mencoba dengan tempat lain seperti pedal, namun nihil. Hanya pada tuts-tuts itulah suara itu bereaksi.
Arima kosong. Hampa. Tak berisi. Minim volume.
Cahaya matanya hilang, kulitnya bahkan memucat. Tanda-tanda depresi mulai menguar di sekitarnya. Auranya gelap dan dalam. Benar-benar layak disebut mayat hidup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari seorang Arima Kousei.
Ia tak bisa mengingat dengan jelas, seperti apa ini berawal. Dia hanya duduk seraya memainkan pianonya secara random, kemudian semuanya gelap. Kemudian dia terbangun di UKS denganTsubaki dan Watari di sampingnya.
Tidak ada yang aneh, ia rasa. Tidak ada mimpi-mimpi aneh, atau tanda-tanda aneh. Yang aneh hanyalah kenyataan setelah kejadian itu; ia tak pernah lagi bisa menyentuh piano.
Fin.
Dibuat secara kilat dengan rasa kantuk yang tertahan.
Serius, file lamanya hilang beberapa jam sebelumnya. Jadi ini saya bikin ulang sebatas ingatan saya.
Maaf, ini agak nyerempet ke AU ya? Nggak jelas pula. Nggak berasa juga. Endingnya apa banget. Nggak ada sebab-akibat yang jelas, guru bahasa bakal ngomel kalau tahu saya nulis beginian.. :P
Err… quotes nya ini bukan sesuatu yang 'memotivasi' secara langsung. Eh, ini saya tulis quotesnya berdasarkan ingatan juga. Catatannya hilang, dan saya nggak punya waktu buat nonton satu per satu episode buat nyari sebaris-dua baris kalimat. Sekiranya salah, tolong revisinya.
"Karena yang kupunya hanyalah piano. Kalau piano juga diambil dariku, aku akan merasa hampa."
Yang berhasil saya tangkep dari kata-kata ini; ketika kamu kehilangan, maka hampalah dirimu. Jadi berusahalah untuk melindungi apa yang kau punya.
Iya, gaje. Saya tahu, saya sadar diri.
With some syrup and ice sugar,
Enamel Illyane
