Prolog

"Apa cita-citamu besar nanti?" Tanya laki-laki berpakaian kumuh kepada gadis berambut kepang satu, duduk di sampingnya. Umur mereka hanya berbeda dua tahun.

Angin sore menciptakan suasana ringan di antara mereka, duduk di ayunan terbuat dari ban yang sudah tidak bisa di fungsikan lagi.

"Re, belum membayangkan apa cita-cita Re kelak," jawab gadis itu sambil mengernyit hidung mungilnya. Pikirannya berkelana sedetik, dia punya keinginan lain, "tapi... aku berharap, Re dan Ren bersama-sama sampai besar," tambahnya, tersenyum manis.

Gula bahkan kalah manis dari senyumnya, batin Daren.

Re menyukai ketika bibirnya menyebut nama pria itu Ren bukan Daren, nama kecilnya. Karena nama mereka hampir sama, hanya beda satu huruf saja, yaitu N. Dan dia benci saat teman sekolah mereka memanggil Daren sebagai Ren. Itu panggilan sayang dia untuk laki-laki yang duduk di sampingnya. Hanya dia yang boleh memanggil Ren.

Ujung sepatunya kotor dan sobek berputar-putar di tanah, "Apa kamu tidak malu berteman denganku? Aku tidak kaya sepertimu. Aku tidak punya keluarga sepertimu," katanya sedih.

Re melotot marah pada Ren. Apa yang dia bicarakan? Re sudah berulang kali mengatakan kepadanya untuk tidak membicarakan kasta mereka. Re melipat tangan di dada dan bangkit berdiri, berdiri di hadapan Ren yang masih duduk di ayunan.

Dia siap menyemburkan amarahnya tapi dengan mudah teredam ketika mendapati wajah sedih Ren-nya. Oh, dia tidak mau melihat Ren-nya bersedih.

"Aku tidak memilih-milih teman. Seorang teman tidak menilai temannya dari kasta. Bukankah kita teman setia?"

Daren tersenyum mendengar jawaban Re, terdengar sangat tulus. Dia mengenal gadis di depannya begitu dalam. Mengetahui saat Re marah, tersinggung, kesal, jengkel, senang, bahagia. Dia tahu segalanya.

Tapi, di dalam lubuk hati Terre, dia berteriak pada jawabannya sendiri. Teman? Mengapa hubungan kita berteman?

Terkadang ucapan kita tidak sesuai pada apa yang kita pikirkan.