Osomatsu-san © Akatsuka Fujio
Matahari mulai bersiap untuk menenggelamkan dirinya menuju malam. Seorang pemuda baru saja keluar dari tempat yang ia gunakan untuk peruntungan nasibnya—pachinko. Aneh, kali ini dia pergi sendiri. Biasanya dia pergi bersama adik bungsunya, terkadang dengan beberapa saudaranya, dan terakhir kali bersama adik ketiganya. Namun, sekarang dia memilih sendiri. Memang, kalau sebelumnya dia datang ke tempat permainan judi itu hanya untuk menghilangkan rasa bosan, kali ini ia ingin melepas stres luar biasa yang sudah tak terbendung lagi. Sesekali ia berusaha untuk mengabaikan semua itu, namun seusai ini pun rasanya masih membekas. Ke mana rasa percaya diri yang menganggap dirinya adalah orang paling baik hati sedunia?
Ia berjalan beberapa langkah, mengambil rute yang berbeda menyebabkan ia harus sampai di rumah lebih lama lagi. Lelaki itu tak ingin cepat-cepat sampai sana. Langit yang tadinya berwarna ungu kini mulai menghitam. Ia berpikir kalau kakak sulung dan keempat adiknya pasti sekarang sudah berkumpul di ruang keluarga, asyik sendiri tanpa memikirkannya. Masa bodoh akan kehadirannya. Ia cuma mengundang rasa sakit, itulah yang selalu ia dengar dari kelima saudaranya.
Ia mampir sebentar ke stan minuman yang ada di pinggir jalan. Dilihatnya seorang anak kecil yang tak asing baginya sedang sibuk merapikan beberapa botol besar yang berisi bubuk dengan label yang ia tahu adalah rasa dari tiap-tiap bubuk itu.
"Oi, Hatabou!" Pemuda itu menyibak spanduk yang menampilkan minuman seperti apa yang dijual. "Wah, kau buka stan minuman, ya, sekarang. Aku yakin pasti kau takkan memberitahuku bubuk apa yang kau pakai seperti yakiniku yang kau buat kemarin, 'kan?" Karamatsu berbicara senada khas suara beratnya, lalu tertawa renyah. Ia melihat Hatabou yang menatapnya dengan mata nyaris kosong. "Hoi! Jangan kehilangan jiwamu, dong! Hoi, Hatabou!"
"Jo?" sahut Hatabou yang sebenarnya bermakna ya?
"Aku mau pesan,"—Karamatsu mengeluarkan kepalanya dari balik tirai untuk melihat minuman seperti apa yang Hatabou sediakan—"Bubble ice tea-nya satu."
"Menunya tertera di sebelah sini, Jo." Hatabou menunjuk sisi kiri Karamatsu, di mana ada sebuah papan menu yang tertempel di pinggir stan milik Hatabou itu.
"Ah." Karamatsu memasang wajah datar sesaat. "Kalau begitu aku pesan yang rasa vanili saja." Ia menunjuk sembarang.
"Jo?" Hatabou merasa aneh dengan pilihan rasa lelaki itu. Entah kenapa ia sendiri pun tahu kalau Karamatsu seharusnya mencoba rasa yang lebih mencolok atau lebih aneh lagi. Namun, tak lama ia segera membuatkan minuman untuknya dengan menuang bubuk dari salah satu botol yang ia ambil ke dalam blender.
"Tapi, seriuslah, Hatabou. Kau mendapatkan bubuk ini dari mana? Maksudku, kau tahu, err ..." Karamatsu kesulitan untuk mencari kata hanya untuk menanyakan bahan seperti apa yang ia gunakan untuk membuat bubuk minuman itu.
"Itu sebenarnya mesiu, Jo," hardik Hatabou ingin membuat Karamatsu takut, "dan yang kau pesan ini adalah sianida, Jo."
Karamatsu diam sebentar. Hatabou berpikir bahwa gertakannya berhasil. Akan tetapi, yang didapatnya tak lama kemudian adalah sebuah senyuman pahit.
"Kalau begitu tuangkan yang banyak untukku, ya."
Hatabou rasa ada yang tidak beres pada Karamatsu. "Kau tidak tahu sianida, ya, Jo? Itu racun, Jo. Sekali kau minum, kau akan—"
"Aku tahu." Karamatsu masih tersenyum. Hatabou tak melihatnya lagi dan segera menyelesaikan minumannya dengan memberi susu cokelat kental sebagai sentuhan terakhir.
"Sudah siap, Jo! Tidak usah bayar, Jo." Hatabou memberi minuman bergelas plastik dengan penutup setengah lingkaran itu kepada Karamatsu.
"Terima kasih, Hatabou." Ia menerima minuman itu, lalu pamit pergi.
Karamatsu lantas meminum bubble ice tea-nya beberapa sedot setelah langkahnya sudah cukup jauh. Ia tersentak. "Ini cuma rasa vanili biasa," ujarnya terdengar kecewa. Karamatsu meneruskan jalannya sampai ia masuk pada sebuah gang gelap, yang baru ia sadari ketika ia bertemu jalan buntu di hadapannya.
"Ah, aku terlalu banyak melamun," ucapnya menggema. Bulu kuduknya meremang, tetapi ia mencoba untuk membalikkan badan.
"Wah, apa yang dilakukan bocah ini di sini?" Seseorang menepuk pundak Karamatsu, lalu memaksanya untuk berbalik menghadap orang itu. Mata Karamatsu membulat intens dan sekujur tubuhnya seperti tersengat listrik.
"Wah, wah. Ada mangsa bagus, ya?" Beberapa orang mulai memunculkan diri hingga akhirnya mengerumuni Karamatsu, seperti semut dan gula. Penampilan mereka berantakan, dan ada dua orang yang memegang botol minuman keras. Karamatsu menggenggam gelas minumannya kuat, dan di satu sisi ia berusaha membuat dirinya tegar untuk menghadapi preman jalanan di hadapannya—sebelum berlari kabur untuk sampai rumah secepatnya. Ia sendiri tak ingin merutuki dirinya yang mengambil rute berbeda kali ini.
"Aku tidak punya uang," kata Karamatsu dingin. Seumur-umur, ia tak pernah mengeluarkan suara seberat itu dengan mata yang menusuk setajam itu. Sikapnya kali ini terasa mematikan dibanding sok-keren-dan-menyakitkan. Sejenak hening, tetapi Karamatsu tak dapat bertahan lama karena ia dikejutkan dengan sebuah suara.
"Tak punya uang katamu?! Itu yang kau pegang memangnya tidak pakai uang, hah?!" Ia memegang bagian kerah hoodie biru Karamatsu, mendekatkan jarak antara wajahnya dengan muka bengis preman itu.
"Mungkin dia anak mami yang selalu membawa minuman dari rumah," ujar teman si preman yang berjongkok tak jauh di belakang.
Preman itu tertawa. "Jangan membodohiku. Kalaupun iya, maka harusnya dia sekarang pasti punya uang banyak!"
Pukulan mendarat di pipi Karamatsu, menciptakan lebam dan membuatnya jatuh ke samping, menumpahkan minuman dari Hatabou yang bahkan belum habis setengah. Ia meringis dengan badan gemetar, berusaha bangkit. Usahanya percuma karena ia mendapatkan serangan lanjutan dari preman itu—perutnya ditendang kuat-kuat tanpa ampun.
"Periksa jaketnya! Ia pasti menyembunyikan uangnya di dalam situ!" perintah preman itu pada ketiga kawannya. Mereka menggeledah pakaian dan bahkan membuat Karamatsu terpaksa melepas hoodie biru itu, menyisakan bagian atas tubuhnya yang tidak terbaluti apa pun selain kulit putih bersih nan polos.
"Ah, sial!" Mereka menyibak-nyibak jaket Karamatsu. "Dia tak punya apa-apa sama sekali!" Orang yang tadi memegang jaket biru itu melemparnya sembarang, lalu bersama temannya kembali menghajar Karamatsu habis-habisan. Setelah merasa puas melampiaskan kekesalannya, mereka pergi meninggalkan Karamatsu.
Badan lelaki itu terasa remuk. Ia nyaris kehilangan kekuatannya untuk bertahan agar ia tidak pingsan. Wajahnya sudah hancur lebur, lebam di sana-sini, darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang tergores. Ia berusaha menelentangkan badannya, menatap langit. Tak ada bintang. Pemandangan yang bagus, pikir Karamatsu kali ini, karena langit sedang menggambarkan suasana hatinya sekarang. Suram.
Darah yang tadinya menetes kini sudah mengering. Susah payah ia menelungkupkan badan, kemudian melihat gelas minumannya masih menyisakan sedikit cairan di sana yang tak tersentuh tanah. Ia meraihnya, dan langsung menegakkan gelas itu. Ia mendudukkan diri mengakibatkan beberapa tulangnya berderak.
"Arkh!" Ia mengaduh. Diambilnya gelas yang berada tak jauh dari sisi kanannya itu, kemudian menelan semuanya dalam satu tenggak. Bukan manis lagi yang dia rasa, melainkan perihnya luka terkena cairan manis itu yang jauh lebih terasa diiringi gejolak hatinya yang tak karuan. Ia kembali memandang langit lamat-lamat, sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat itu—tanpa melupakan jaket biru miliknya, tentu.
Jalanan kini sudah mulai ramai, namun tak ada satu manusia pun yang memedulikannya. Kebanyakan dari mereka hanya menatap ngeri seolah Karamatsu adalah seorang kriminal yang hanya tinggal menunggu untuk ditangkap polisi. Tanpa Karamatsu sadari lagi, ia melewati toko ikan di mana Totoko tinggal di lantai atasnya. Gadis imut yang kebetulan sedang berada di luar untuk membantu orang tuanya berjualan itu tak sengaja melihat si hoodie biru hendak berjalan melewatinya. Totoko awalnya ingin mengabaikan, namun melihat kondisi Karamatsu tidak beres, ia mencegat lelaki itu sebentar.
"Oi, Kusomatsu." Entah dosa apa Karamatsu hari ini sampai ia harus mendengar gadis yang ia taksir, juga kelima saudaranya, memanggilnya dengan sebutan itu. "Apa yang terjadi padamu?"
Karamatsu hanya diam. Kepalanya tertunduk menyembunyikan wajah yang tak berbentuk lagi. Mulutnya menekuk ke bawah, walau tidak setajam tekukan mulut Choromatsu, adik pertamanya yang merangkap sebagai anak ketiga dari keluarga Matsuno. Namun, ekspresi yang hanya bisa dilihat setengah wajah itu mampu menimbulkan pertanyaan dan dugaan curiga tentang keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Oh ... Apa kau membuat beberapa warga kesal dengan kalimat menyakitkanmu itu? Atau malah dengan menyedihkannya kau dikeroyok kucing jalanan karena kau mengoceh apa yang tak mereka mengerti?" Totoko memasang ekspresi geli, hendak tertawa untuk mencairkan suasana canggung ini. Akan tetapi, kali ini cara Totoko tampaknya salah. Ia membuat Karamatsu memandangnya seolah ia bersikap sama seperti saudaranya yang lain.
Karamatsu kecewa. Dia bukan tipe orang yang akan meneriakkan kegundahan hatinya di depan orang banyak. Jadi, sambil menahan isak, ia menggeram, lalu meninggalkan Totoko dengan langkah goyah. Badannya terhuyung, berusaha menyeimbangkan langkah. Totoko merasa sangat bersalah dan segera membalikkan badan, meneriakkan namanya.
"Karamatsu-kun!" panggilnya sekuat tenaga. Ia terkejut karena Karamatsu sama sekali tidak merespons panggilannya sekadar untuk berhenti. Lelaki itu terus melangkah, memperlihatkan punggungnya yang semakin lama hilang ditelan keramaian.
"Aku pulang," ucap Karamatsu lemah. Bunyi pintu bergeser dua kali tentu dapat didengar saudaranya. Ia juga merasa tak perlu menambahkan embel-embel buraza di akhir kalimat. Mereka pasti tahu kalau dia sudah pulang, tapi tidak mau peduli. Masa bodoh, mereka asyik sendiri. Karamatsu sempat berpikir bahwasanya mereka hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing: Osomatsu menonton televisi; Choromatsu membaca manga shoujo; Ichimatsu bermain kucing; Jyushimatsu bertelungkup bola; Todomatsu bermain telepon pintar. Dengan begitu, Karamatsu tinggal melengkapi dengan bercermin narsis. Namun, kali ini ia tak bisa. Rasanya tak bisa.
Ia meniti tangga menuju kamar atas, melawan rasa sakit yang menderanya. Ia membanting pintu—Karamatsu yakin saudaranya tidak dapat mendengarnya karena suara televisi sangat berisik di bawah tadi—dan mendudukkan diri di pojokan. Menekuk lutut, ia menangis sejadi-jadinya tanpa ada yang tahu.
Kelima bersaudara Matsuno sudah berganti piyama dan bergegas untuk tidur di futon bersama. Saking cueknya, mereka baru tahu kalau futon itu sudah digelar duluan oleh Karamatsu yang tidur membelakangi mereka di pinggir.
"Ah, itu bukannya posisi Jyushimatsu, ya?" ujar Osomatsu menunjuk adik pertamanya yang terbaring. "Kalau begitu, kau di posisi Ichimatsu saja." Ia menatap adik keempatnya.
"Oke." Jyushimatsu tidak membantah. Dengan mulut lebarnya, ia segera mengambil posisi di mana Ichimatsu biasanya tidur.
"Hah? Lalu, aku tidur di mana?" tanya Ichimatsu, menahan gemetar.
"Ya, sebelah Jyushimat—"
"Mana bisa!" Ichimatsu protes pada kakaknya. Ia tak mau jadi korban kena tendang karena adiknya itu lasak sekali kalau sedang tidur.
"Ichimatsu-niisan, jangan teriak begitu. Kasihan Karamatsu-niisan, nanti terbangun," ujar Todomatsu berlagak baik.
"Apa peduliku? Kusomatsu itu kan bisa tidur lagi," ucap Ichimatsu, masih kesal.
"Hei, ayolah. Kupikir sudah cukup untuk memanggilnya Kusomatsu begitu." Choromatsu mulai berbaring di tengah futon lebar itu.
"Kenapa kalian tiba-tiba jadi peduli begitu, sih? Seperti tidak tahu dia saja." Ichimatsu meledek. "Kalaupun sakit hati, dia bakal merengek dan meminta diperhatikan kita, 'kan."
"Kaupikir Karamatsu orang yang seperti itu?" ujar Osomatsu yang suaranya terasa semakin menjauh di telinga Ichimatsu.
"Ha, dan dia—oi! Kok, kalian sudah ambil posisi duluan?!" Ichimatsu melihat semua saudaranya sudah memejamkan mata di futon, menyisakan bagian seorang di antara Karamatsu dan Choromatsu. "Kenapa kalian menyisakan posisi di situ?! Woi! Bangun, woi!"
Keempat saudara itu sebatin berkata bahwa meneriakkan kata 'berisik' hanya akan memperpanjang masalah, jadi mereka membiarkan Ichimatsu dengan pura-pura tidur sampai tidur sungguhan.
"Cih." Ichimatsu terpaksa berbaring di samping Karamatsu—entah kenapa merasa begitu padahal setiap malam juga tidur di samping dia. Ia menelentangkan tubuhnya, memejamkan mata. Sebelum itu, ia merasa seperti ada aura lain yang menyergap dirinya seketika. Sayang, ia berupaya mengabaikan itu dan melanjutkan niat untuk tidur.
Tanpa ada yang tahu, Karamatsu sedari tadi menangis dalam diam.
Karamatsu tidak bisa tidur semalaman. Ia bangun dari pembaringan sebelum yang lain membuka mata. Lelaki itu bersiap diri, mengenakan jaket yang sama dari hari sebelumnya. Ia menuruni tangga, menuju ruang keluarga dan hanya mendekam lama di sana.
Matahari sudah bersinar terang dan Jyushimatsu adalah orang pertama yang bangun dari tidurnya.
"Ohayouuuu!" Ia mengucapkan selamat pagi, bergegas dengan semangat, berakhir dengan kostum baseball yang ia kenakan bersama tongkat di genggamannya. Ia menuruni tangga dan berjalan menuju ruang keluarga, mendapati Karamatsu sedang duduk menatap meja.
"Waaah! Ternyata sudah ada Karamatsu-niisan! Ohayou, niisan!" Ia menghampiri kakaknya itu. "Ibu di mana, Kak? Kakak sudah sarapan duluan, ya?"
Karamatsu tidak menjawab, membuat adik kuningnya itu memanggilnya dua kali. "Kak?"
"Oh, ya?" Karamatsu menoleh sedikit. Ia tak ingin menunjukkan bekas luka yang parahnya semakin menjadi di wajah, dan sialnya ia tak tahu bagaimana cara mengobatinya. Ke ibu? Ibunya sendiri sudah begitu kesal dengan anak-anaknya yang tidak mau bekerja. Ia takkan mau melayani anaknya yang pemalas. Menghidupi kami saja sepertinya terpaksa, itu yang dipikirkan Karamatsu dalam benaknya—pikiran negatifnya.
"Kak? Kau tidak apa-apa?" tanya Jyushimatsu, mulai merasa ada yang aneh. Kakaknya itu biasa membalasnya dengan tebaran kalimat-kalimat puitis. Ia terlalu pendiam dan bisa-bisa mengalahkan Ichimatsu yang memang tak banyak bicara. Karamatsu tidak membalas, membuat Jyushimatsu mendekatinya, dan di saat yang sama saudara kembar yang lain memasuki ruang keluarga.
"Ohayou! Pagi ini kita makan ap—" Ucapan Osomatsu terhenti tatkala ia melihat Jyushimatsu yang sedang memegang dagu Karamatsu, menampakkan lebam yang membengkak di seluruh wajah. Mereka nyaris tak mengenal saudara kedua mereka itu.
"K-Kau siapa?!" Entah bodoh atau kejam, di saat seperti ini melontarkan kalimat berkonotasi antara candaan dan ejekan.
"Karamatsu-niisan! Apa yang terjadi padamu?!" Choromatsu menghampirinya untuk melihat luka yang ada di wajah Karamatsu lebih jelas. "Todomatsu! Obati kakakmu ini!"
"A-A-Aku tidak bisa!" Todomatsu terlalu ngeri melihat wajah kakaknya yang sudah tak ia kenali lagi.
"Yang benar saja?! Kau sama sekali tak sesuai dengan perilaku—"
"Aku ambilkan kotak P3K di dapur." Ichimatsu tak tahan, beranjak dari tempatnya dan kembali dengan kotak P3K yang lumayan besar. Ia meletakkan kotak itu di atas meja dan menyuruh Choromatsu untuk mengambilkan air.
"Apa yang kau lakukan semalam? Kenapa tidak segera beri tahu kami? Kalau infeksi bagaimana?" ucap Ichimatsu bertubi-tubi. Tadinya Karamatsu merasa lega mendengar ucapan-ucapan itu, namun setelahnya Ichimatsu melanjutkan, "Kau bodoh, ya?"
Karamatsu kembali membisu, walau sedari tadi ia belum bersuara selain menyahut Jyushimatsu yang sudah bergeser posisi. Setelah semua luka di wajahnya bersih, Ichimatsu mulai memoles antiseptik dan menempelkan perban di beberapa bagian wajahnya. Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan canggung. Entah mengapa, ia masih merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Osomatsu yang duduk di dekat pintu dan hanya memperhatikan dari tadi seketika berucap, "Buka bajumu."
Diam. Semua mata memandang padanya, kecuali Karamatsu. Osomatsu berdiri, mengambil dua langkah, lalu berteriak, "Aku bilang, buka bajumu, Karamatsu!"
Karamatsu membuka bajunya perlahan, masih menimbulkan derak tulang dari tangannya. Choromatsu menghadapkan badannya pada dia yang sekarang duduk di samping Karamatsu. Jantungnya hampir mencelus melihat memar menyebar bewarna biru dan merah keunguan di dada sang kakak. Mulutnya yang tertekuk itu tak mampu berkata-kata lagi. Begitu juga dengan yang lain.
"Todomatsu!" panggil Osomatsu. Todomatsu mengerti apa yang diperintahkan kakaknya walau tak ia ucapkan—menelepon ambulans untuk membawa Karamatsu ke rumah sakit.
Mereka berlima menunggu di depan ruangan Karamatsu dirawat. Hampir satu jam waktu berlalu, dan hati mereka tidak ada yang bisa tenang sedari tadi. Mungkin yang mereka rasakan adalah perasaan bersalah.
Bunyi pintu bergeser terdengar dan seorang dokter keluar. Mereka berlima berdiri dan Osomatsu sebagai yang tertua mendekati dokter itu.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyanya serius. Sang dokter menatap mereka bergantian sesaat. Mengambil asumsi bahwa mereka semua adalah saudara identik dari pasien yang baru saja diurusnya, dokter itu pun bertanya, "Apakah ibu atau ayah kalian ada?"
Gemetar, Osomatsu menjawab, "Ibu kami sedang dalam perjalanan kemari."
"Baiklah, kalau sudah sampai tolong suruh beliau ke ruangan saya, ya. Saya hendak menulis beberapa catatan dahulu." Dokter tersebut memberi arah jalan menuju ruangannya, lalu pergi meninggalkan mereka.
Sang ibu Matsuno datang beberapa menit kemudian, memberi sedikit kelonggaran pada keresahan yang menyelimuti mereka.
"Bagaimana, Nak?" tanyanya pada Osomatsu. "Ayah kalian tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Baru bisa ke sini larut malam nanti."
Osomatsu tak merespons apa-apa selain membalikkan badan untuk menunjukkan arah ke ruang dokter pada ibunya.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Matsuyo pada pria berjas putih di hadapannya. Sang dokter menghela napas sebelum bicara.
"Melihat luka yang terdapat di wajah dan badannya, saya merasa bahwa penanganan ini sebenarnya sudah terlambat. Saya khawatir kalau infeksi di sekitar matanya akan menyebabkan kebutaan. Tubuhnya juga mungkin tak mampu untuk beraktivitas normal lagi."
Osomatsu yang duduk di samping ibunya terdiam mendengar penjelasan dokter. Antara ingin memercayai vonis yang belum pasti dan menyangkal bahwa Karamatsu berhasil sampai di rumah, entah di mana dia dihajar habis-habisan oleh preman-preman yang tidak diketahuinya. Ia murka dalam pikirannya—preman mana yang berani menyentuh adik kembarnya dan membuatnya separah itu?! Rasanya ingin membalas, namun terlambat. Ia menggenggam celananya kuat, menundukkan kepala. Seolah ada tangis yang hendak tumpah atas rasa sesal yang menyelimutinya saat ini.
"Kami akan berusaha semampu kami. Kami akan melakukan yang terbaik." Sang dokter berusaha meyakinkan mereka. Matsuyo sendiri sulit untuk memercayai apa yang didengarnya. Bagaimana bisa? Ia ingin melirik pada anak pertamanya, tetapi jika Osomatsu mengetahui itu, ia tak ingin seolah ia menyalahkannya, walau Osomatsu sudah terima untuk disalahkan seperti apa.
Maka, Matsuyo pun menoleh sambil menepuk sebelah pundaknya. Ia tak dapat melihat ekspresi sang anak lantaran kepalanya yang terlalu menunduk. Osomatsu menyembunyikannya, buliran air yang jatuh dalam diamnya.
Satu hal yang ia tahu. Ia takkan menangis jika itu bukan kesalahannya.
Karamatsu ingat akan kejanggalan yang terjadi pada dirinya. Sewaktu bangun tadi, ia memang merasa bahwa pandangannya mulai buram. Luka-lukanya juga terasa semakin membengkak. Syukur ia masih bisa membedakan mana lemari dan mana pintu walau tidak begitu jelas. Ia juga lega masih bisa mengenakan jaket biru dengan lambang keluarga Matsuno pada sisi depan bajunya. Kini, ia setengah berbaring di ranjang rumah sakit dengan pakaian yang sudah berganti. Hoodie birunya tergeletak di atas kursi tamu. Matanya sudah tak bisa menunjukkan sirat apa pun lagi untuk memancarkan emosi yang terdapat dalam dirinya.
"Karamatsu-niisan," ujar Jyushimatsu lembut. "Apa kau sudah merasa baikan?"
Tidak, batin Karamatsu berkata. Namun, ia tak sanggup. Lidahnya kelu dan bibirnya serasa habis dirobek, dan yang hanya bisa ia lakukan hanyalah tersenyum tipis pada saudaranya itu. Tipis sekali, sampai Jyushimatsu tidak menyadarinya. Todomatsu justru yang melihat senyum itu.
"Kak, maafkan kami." Todomatsu tiba-tiba berucap. Ketiga saudaranya hening, menatap arah lain. Namun, hati mereka bergejolak ingin mengatakan hal yang sama.
"Maaf kalau kami terlalu cuek padamu," ucap Ichimatsu, masih enggan menatap wajahnya. Ia yang paling bersalah karena selama ini tidak berperilaku baik terhadap Karamatsu.
"Maaf telah berkata bahwa kau ini dan itu." Choromatsu tak sampai hati untuk mengatakannya secara gamblang. "Jika kau butuh kami, hubungi saja kami. Kami akan ada untukmu." Ia kini berani menatap wajah Karamatsu yang masih bonyok.
Dikelilingi saudaranya yang berwarna-warni dengan latar tirai kehijauan membuatnya pusing. Sejak kapan jaket bertudung mereka seperti menyala-nyala dan berpendar-pendar begitu? Ia yang paling tahu bahwasanya warna baju mereka rata-rata terkesan lembut—bisa jadi kuningnya Jyushimatsu tidak masuk hitungan, juga hijaunya Choromatsu yang mendekati. Karamatsu mengusahakan senyum yang terlihat lebih kentara, membuat keempat saudaranya membalas senyum berlinang air mata.
Pintu bergeser, menampakkan Osomatsu yang berjalan masuk dan mendekati ranjang. Ia berhenti tepat di sisi ranjang dan kedua tangannya terangkat untuk meraih sesuatu. Ia memeluk Karamatsu dan mengelus punggungnya.
"Maaf, sudah menjadi kakak yang tidak baik untukmu. Kami akan selalu ada untukmu. Kami janji." Osomatsu mengucapkannya sepenuh hati. Sang ibu yang baru saja masuk dari balik tirai tersenyum melihat suasana itu. Karamatsu merasakan kedamaian menyelubungi dirinya. Kali ini dia bahagia, mempunyai lima saudara yang hanya perlu diberi kode sedikit untuk memperhatikannya.
Sedikit? Dia tertawa dalam hati. Menunggu saat seperti inilah baru hati saudaranya tergerak, apalagi untuk menyadarkan si tertua yang sedang memeluknya ini. Tangannya perlahan meraih untuk memeluk Osomatsu juga. Beberapa saat ia menggenggam jaket kakaknya itu.
Tangan Karamatsu terjatuh. Semua terpaku. Ibu dan keempat saudaranya menunjukkan wajah syok setengah mati. Apa yang mereka tidak inginkan terjadi—apa? Osomatsu melepas pelukannya, lalu meraba nadi yang terdapat di pergelangan tangan Karamatsu, sekaligus lehernya.
Tak berdetak.
Tak ada tanda kehidupan kala ia menempelkan telinga pada dadanya. Ia terpaku sekali lagi, dan yang segera sadar kemudian adalah Jyushimatsu yang lekas menyibak tirai, keluar untuk memanggil suster. Mereka semua disuruh keluar, lalu mulai menumpahkan tangis yang sedari tadi mereka tahan tanpa ampun.
Osomatsu meraih tembok, lalu meneriakkan nama sang adik yang ia pikir takkan ia ucapkan lagi.
Halo! Ini adalah versi editan minor terakhir. Bagi yang baru datang untuk baca, welcome! Semoga fanfic ini bisa kalian nikmati, ya. :)
