Be With You
Jaehyun x Taeyong
NCT © SM Entertainment
Warning! Alternate Reality. OOC. Typo(s)
Chapter 1
Jaehyun akhirnya sampai. Setelah beberapa jam yang melelahkan melakukan perjalanan dengan kereta akhirnya ia sampai di Seoul. Jaehyun takkan lupa apa yang harus ia lalui sebelum kembali menginjakkan kaki di kota ini. Dengan dua koper di tangannya, ia sudah hendak pergi. Mencari taksi dan pergi secepat mungkin. Tapi orang asing yang tak ia kenali lewat, menahan jalannya.
"Maaf tapi bisakah kau membantuku?" Rambutnya hitam berponi. Tampak lelah namun lega di saat bersamaan karena berfikir menemukan seseorang yang bisa ia mintai tolong. "Ini pertama kalinya aku datang ke Seoul. Bisakah kau memberitahuku―"
Jaehyun tidak tahu dari mana datangnya orang asing ini dan tak memungkiri jika ia sedikit tertarik padanya karena wajahnya. Tapi Jaehyun sedang ingin segera pergi dari sana, jadi ia hanya membalas dingin. "Maaf, aku buru-buru."
Namun seolah tidak mau mengerti, sosok itu tak membiarkannya lewat. Malah, bertanya dengan lebih keras hingga menarik perhatian yang lain.
"Kumohon," Jaehyun menghela nafasnya. "Jangan ganggu aku."
Apakah ia tidak mengerti bahwa Jaehyun sedang buru-buru?
Tapi ekspresi kecewanya cukup mengganggu Jaehyun. Dengan penuh selidik Jaehyun memandang pemuda itu dari atas ke bawah. Entah darimana asalnya, yang jelas, tampilannya sangat sederhana. Sepertinya ia tak berbohong mengenai perkataannya tentang baru pertama kali datang ke sini.
"Apa?" tanya Jaehyun, memilih menyisakan sedikit waktunya. Ia mengusak poninya dengan jari-jari ke belakang, terganggu.
"Aku sedang mencari alamat ini," sosok asing itu memberikan kertas kecil penuh bekas lipatan pada Jaehyun. Ragu-ragu untuk sesaat. "Aku diberitahu jika itu ada di sekitar sini. Tapi tidak diberitahu di mana tepatnya."
Jaehyun membaca tulisan di kertas itu. "Kau hanya harus menyebrang," katanya. Untuk sedetik melihat sekitarnya untuk menujuk arah yang dimaksud. "Kau lihat belokan itu? Berjalan saja ke sana lalu tanya lagi."
"Terimakasih," balasnya sambil membungkuk kecil. Ia menyambar tasnya dengan senyum berseri-seri yang cukup manis. Sebenarnya itu jenis senyum yang Jaehyun benci, karena senyum itu baginya hanya bisa dibuat oleh orang yang bahagia. Dan melihat tingkahnya yang mengatakan 'permisi' pada tiap orang yang ia lewati, Jaehyun beranggapan ia orang yang sopan dan ramah. Tipe pemuda baik yang naïve. Jaehyun memandang siluetnya hingga benar-benar hilang.
Terserah lah. Jaehyun memilih tidak peduli. Dia hanya ingin segera pulang untuk tidur, lalu menelpon beberapa teman dekatnya untuk mengabari jika ia sudah sampai Seoul. Jaehyun melanjutkan niatannya untuk pergi dari sana secepatnya. Ponselnya berdering tepat setelah ia duduk di dalam taksi.
"Halo?" ujar Jaehyun enggan.
"Halo? Jaehyun?" Jaehyun mengenali suara ini. Suara dari seseorang yang ia kenali sebagai Seo Youngho. "Kau sudah sampai Seoul?"
"Ya," ujar Jaehyun. Yang segera menyesali jawabannya. Karena Youngho adalah temannya yang selalu identik dengan―
"Bagus! Ayo minum bersama untuk merayakannya!"
Bingo.
Pesta, minum-minum, dan wanita adalah tiga kata yang cocok mendeskripsikannya.
"Aku masih di jalan dan belum sampai apartemen." Jaehyun menyandar ke sandaran duduk. Menutup wajah dengan sebelah tangan lalu mendesah pelan. "Aku lelah. Besok saja."
Jaehyun sendiri terheran-heran dengan apa yang terjadi padanya. Biasanya dia akan senang menghabiskan waktu dengan yang lain, tapi ia sedang benar-benar lelah sekarang. Ia butuh seseorang yag bisa mendengar keluh kesahnya, dan Youngho bukan orang yang cocok untuk itu.
"Yah." Suara di seberang sana terdengar kecewa. "Baiklah. Besok saja kalau begitu. Aku akan ajak Doyoung,Yuta dan yang lain juga."
"Oke."
"Istirahat, Jaehyun. Bye."
"Bye."
Setelah menutup telepon, Jaehyun mulai merasa kantuk menyerangnya. Matanya tertutup perlahan, tapi berusaha tetap terjaga. Dari jendela ia bisa melihat kendaraan melintas lalu-lalang, gedung-gedung tinggi juga toko-toko dan pejalan kaki yang menjadi ciri khas kota Seoul. Dulu, ketika ia meninggalkan kota ini, ia berfikir bahwa mungkin dia bisa merasa sedikit santai. Tapi justru sebaliknya, ia lebih stress dan karena itu ia kembali.
Mungkin ia akan lebih menyibukkan diri dengan fokus pada kuliahnya, lalu mencari kegiatan yang bisa dilakukan di sela-sela itu agar tak terlalu membosankan. Mungkin menulis cerita, menggambar, atau memasak? Pilihan ketiga itu yang paling ia pertimbangkan. Meski begitu semuanya tetap saja terasa membosankan baginya. Dan ia semakin mengantuk saat memikirkannya.
Ada sesuatu yang harus kulakukan dalam hidupku. Tapi aku belum menemukan apa itu.
Tak mengherankan. Sejauh usianya, semua yang ia lakukan adalah belajar memenuhi tiap keinginan orangtuanya. Mereka tidak membiarkan Jaehyun keluar dari batas-batas yang telah mereka buat. Semuanya sesuai aturan tak tertulis antara dia dan orangtuanya: Jangan meragukan keputusan kami, kami tahu apa yang terbaik untukmu.
Jaehyun tahu orangtuanya tidak bermaksud jahat, tapi tetap saja. Silahkan sebut Jaehyun sebagai anak yang tidak berbakti, atau tidak tahu terimakasih, tapi ini keputusannya untuk pergi. Jaehyun ingin merasakan dan melakukan sesuatu yang berbeda kali ini, dan ia begitu bertekad. Mungkin ini saatnya dia keluar dari batas-batas itu dan merasakan hidup. Tak peduli konsekuensi atas perbuatannya.
Jaehyun mulai mempertanyakan keputusannya. Menjadi penyanyi. Apakah itu yang benar-benar ia inginkan?
Setidaknya untuk saat ini. Ya, itulah yang ia inginkan.
Jaehyun bangun dengan kepala pening.
Semalam, ia benar-benar lelah dan jatuh tidur begitu saja. Dan itu sudah siang saat ia melihat jam. Ia punya janji yang mesti ia tepati pada Youngho, yang rupanya sudah mengiriminya pesan singkat untuk mengingatkannya datang malam ini.
Masih ada waktu. Pertama-tama ia akan mengisi perutnya dulu.
Hanya ada roti bungkusan. Jaehyun akan berbelanja dulu sebelum pergi, sepertinya.
Setelah mandi dan bersiap, Jaehyun mengambil kunci mobil dan berlalu menuju supermarket untuk berbelanja keperluannya. Ini akan jadi hal rutin yang ia lakukan, karena tak ada maid yang akan melayaninya di sini.
Setelah memastikan isi lemari pendinginnya penuh, baru Jaehyun kembali ke kamar. Mengganti pakaiannya lalu berlalu dengan mengendarai mobilnya ke tempat yang telah diberitahu Youngho.
Selama perjalanan, Jaehyun kembali memikirkan keputusannya. Teman-teman, juga orang lain yang pernah mendengarnya menyanyi selalu menututnya untuk masuk ke dunia entertaint, sesuatu yang sangat menantang bagi Jaehyun. Kenapa tidak? Lalu pikiran itu muncul begitu saja.
Saat ia masih bergelut dengan pikirannya teleponnya berdering. Jaehyun menjawab dan sebagai gantinya menyetir hanya dengan sebelah tangan. Harusnya tak apa-apa, melihat saat itu hampir tak ada kendaraan lain.
"Halo?"
"Jaehyun. Kau sudah pergi?" Youngho rupanya.
"Aku di jalan. Kau―"
Lalu semuanya terjadi sangat cepat.
Siluet seseorang yang entah dari mana melintas begitu saja di depannya, disusul suara jeritan dan decit ban mobil yang direm mendadak. Tubuh Jaehyun terhuyung ke depan hampir membentur dashboard dan penglihatannya mengabur beberapa saat. Suara Youngho masih terdengar dari telepon. Jaehyun mengabaikannya dan turun dari mobil.
Hanya untuk mendapati sesosok tubuh tergeletak di tanah.
"Kau―" Jaehyun kehilangan kata-kata. Yang tergelatak itu tak lain dan tak bukan adalah sosok yang sama yang bertanya alamat padanya di stasiun. Kebetulan yang cukup mengagetkan. Jaehyun mengutuk pelan. Dalam hati bertanya apa yang dilakukan sosok itu di sini. Dia terlihat syok dan kebingungan. "Apa yang kau lakukan? Datang dan tiba-tiba menyebrang seperti itu."
Sosok yang tidak Jaehyun ketahui namanya itu, mulai mengeluarkan erangan sakit. Terlihat tidak bisa berdiri. Jaehyun berfikir untuk pergi saja, karena urusannya akan jadi sangat merepotkan. Orang itu bisa saja menuntutnya, dan lebih parah lagi memerasnya. Tapi bagaimana mata sosok itu berkaca-kaca dan terlihat kesakitan membuatnya tak tega. Jaehyun mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri.
"Apa kau terluka?" tanya Jaehyun.
Tak ada jejak kepura-puraan dari mata hitam bulat yang memandangnya itu. Jaehyun melihatnya meringis. "Tanganku…"
Bagus, ujar Jaehyun sinis dalam hati. "Aku akan membawamu ke rumah sakit. Naik ke mobilku."
"Tidak usah." Ujar sosok itu, tapi kemudian mengaduh pelan.
"Masuk kubilang. Atau kau ingin aku memanggil ambulans?"
"Untuk sedetik tadi aku berfikir kau akan pergi begitu saja dan tak mau bertanggung jawab."
Jaehyun mendengus. "Tadinya. Tapi kau berbaring di sana menghalangi jalanku."
Sosok itu mengaduh lagi. Jaehyun melihat dari sudut matanya. Mereka berdiri di tengah jalan itu cukup untuk mendapat perhatian orang-orang yang ada di sana, yang terlihat penasaran. Jaehyun risih.
"Kita pergi dari sini. Naik ke mobilku."
"Tapi―"
"Aku bilang naik."
Butuh beberapa saat untuk meyakinkan sosok itu, tapi akhirnya Jaehyun berhasil. Keduanya datang ke rumah sakit besar yang ada di kota itu. Beberapa perawat mulai melakukan pekerjaan mereka. Tangan yang terluka itu kini sudah digips. Sejak tadi, sosok yang datang bersamanya sama sekali tak membuka suara. Terlihat syok memandangi tangannya.
Dokter bertanya banyak hal. Sibuk mencatat di lembaran kertas di mejanya.
"Siapa namamu?"
"Lee Taeyong."
Dokter itu beralih pada Jaehyun. "Dan kau?"
Jaehyun meyilangkan tangannya dengan kesal. "Jung Jaehyun."
Ia terjebak di sini, duduk di hadapan sang dokter yang terus mengisi formulir untuk mereka dalam keheningan. Membosankan.
"Tangan Taeyong-shi patah. Tidak terlalu parah sebenarnya, dalam waktu sekitar satu bulan akan kembali membaik. Namun harus tetap digips untuk sementara waktu. Jadi selama waktu itu, Taeyong-shi harus berhenti melakukan segala macam aktivitas fisik yang terlalu membebani lengannya." Mata dokter itu menatap tajam Jaehyun. "Dan Jaehyun-shi, kau harus lebih berhati-hati saat menyetir. Aku tidak mengharapkan kejadian seperti ini terjadi lagi."
Bagus, sekarang aku bahkan dimarahi sang dokter, pikir Jaehyun. Mencoba untuk tetap tenang, Jaehyun mengangguk kecil sebagai tanda bahwa ia mengerti.
"Itu saja. Kalian boleh pergi."
Jaehyun dan Taeyong membungkuk kecil dan keluar bersamaan. Melewati koridor panjang tanpa berkata apa-apa. Rasanya seperti terjebak dalam keheningan berjam-jam. Satu yang ia syukuri bahwa pemuda itu tidak banyak mengeluh. Bahkan setelah Jaehyun selesai dengan seluruh administrasi rumah sakit dan mereka keluar dari rumah sakit. Menuju mobilnya yang terparkir.
Tapi pemuda itu masih saja mengikutinya.
"Sudah kan? Apa aku harus mengantarmu juga?"
Taeyong tidak menjawabnya, menunduk memandang tangannya. Terlihat tenang, meski Jaehyun tahu pemuda itu masih sangat syok.
Jaehyun jengah. "Tenang saja, tanganmu hanya patah untuk sebulan. Jangan terlalu dipikirkan―"
"Apakah kau tahu betapa besarnya hal ini berdampak padaku?"
Jaehyun yang akan membuka pintu mobilnya berhenti. Dia berbalik dan menatap lengan Taeyong. Jaehyun tidak mengerti, ia sudah membayar semua biaya rumah sakit, lalu apa lagi? Jangan bilang pemuda ini benar-benar akan memerasnya?
Wajah itu terangkat. Jaehyun mematung melihat Taeyong menangis, berusaha keras menggigit bibir bawahnya hingga Jaehyun merasa bibir itu bisa berdarah kapan saja.
"Betapa seriusnya ini untukku…" suara itu terdengar pelan, bergetar.
Jaehyun memasang ekspresi tidak mengerti. "Aku tidak mengerti apa maksudmu."
"Aku... aku akan mengikuti audisi masuk agensi. Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah menari." Taeyong tersenyum kecut, mengusap air matanya kasar dengan sebelah tangan. "Bagaimana aku bisa menari dengan keadaan seperti ini?"
Jaehyun diam. Ia sama sekali tak tahu tentang hal itu.
"Bagaimanapun, terimakasih. Aku tahu ini bukan sepenuhnya salahmu." Sosok itu membungkuk padanya. "Aku permisi."
Sosok itu berbalik dan berjalan menjauhinya.
Tapi semakin jauh sosoknya, justru semakin jelas ekspresi sedih di wajah berurai air mata itu di pikiran Jaehyun. Makanya ia berlari mengejar sosok itu lagi, menahannya. "Tunggu."
Jaehyun merasa perasaan bersalah menggerogotinya perlahan. Kenapa dengan melihat mata besar berkaca-kaca pemuda itu membuat Jaehyun ingin sekali memeluknya saat ini? "Aku bisa memberimu kompensasi lainnya. Berapa yang kau mau?" Jaehyun mengeluarkan dompetnya, bersiap mengeluarkan lembaran dari sana.
"Uang?" Taeyong menggeleng sedih, "Uang tidak bisa membeli waktu yang kubutuhkan untuk memulihkan tanganku."
Tangan Jaehyun jatuh di sisi tubuhnya, tak mengerti. "Lalu apa yang ku inginkan?"
"Lupakan saja."
Sosok itu sudah mau meninggalkanya lagi. Tapi Jaehyun merasa sesuatu mengganjal hatinya. Ia mengambil satu kartu nama dari dompetnya dan memberikannya pada Taeyong. Melihat dia yang hanya diam, Jaehyun mengangkat sebelah tangan sosok itu dan menaruhnya di sana.
"Ini kartu namaku." Jaehyun bicara tanpa membiarkan yang lain bicara lebih dulu. "Hubungi aku jika kau butuh sesuatu. Tapi satu yang harus kau tahu, kau sudah cukup memberiku banyak masalah hari ini. Jadi cobalah untuk segera pulih, agar kau tidak usah menggangguku lagi. Itu saja. Aku pergi."
Jaehyun berbalik, masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin tanpa ragu-ragu. Jaehyun mulai mengemudi dan meninggalkan pemuda itu di belakang. Lewat kaca spion ia bisa melihat Taeyong memegang kartu di tangannya sambil menagis lagi.
Apa aku keterlaluan?
Lelah.
Jaehyun kehilangan seluruh energinya saat sampai apartemen. Rencananya bersama Youngho hari ini terpaksa dibatalkan, ia sudah menelpon Youngho dan memberitahunya. Temannya itu memborbardirnya dengan pertanyaan, tapi Jaehyun langsung menutup telepon. Masih bertanya-tanya kenapa ia harus bertemu dengan pemuda itu lagi dalam sebuah kebetulan tak menyenangkan seperti tadi. Jaehyun mencoba mengalihkan pikiranya.
Tapi sulit.
Dia yang menyebabkan tangan Lee Taeyong terluka dan menggalkan audisinya. Untuk beberapa alasan, Jaehyun merasa sangat buruk. Dan itulah yang memenuhi pikirannya. Kenapa pula ia begitu mengkhawatirkan seseorang yang baru saja ia temui hingga seperti ini? Seseorang yang bahkan namanya baru ia ketahui saat dokter bertanya tadi? Apa itu normal? Oke, Jaehyun memang bersalah karena ia telah menabraknya. Tapi dia sudah bertanggung jawab dengan membayar biaya pengobatan. Harusnya semuanya selesai. Tapi kenapa ia malah begini?
Jaehyun merasa lega karena tahu tak ada yang bisa membaca pikirannya.
Jung Jaehyun yang sentimentil seperti ini sama sekali bukan dirinya. Dia itu dingin, dan akan berusaha keras mempertahankan kesan itu di hadapan orang-orang.
Apa mungkin karena ia berbagi satu kesamaan dengan pemuda itu? Sama-sama melalui masa sulit untuk sekedar sebuah audisi? Jaehyun tak mematahkan tangannya, tapi orang tuanya yang menghalanginya. Dan itu sama saja kan?
Mungkin benar, itu alasannya.
Jaehyun hanya bisa memukul kepalannya karena teringat ucapan terakhirnya pada Taeyong. Kenapa ia jadi merasa sangat kejam?
Jaehyun menghela nafasnya. Menggeleng, mencoba melupakan pikiran yang terlintas di kepalanya sedikit tadi. Memilih tidur lebih cepat malam ini.
"Kau hanya terlalu berlebihan memikirkannya, Jaehyun."
To be Continued
