Silhouette of Lady in Dress.

Chapter one, Lady in Red.

Hetalia (C) Hidekaz Himaruya.

Warning: OC, OOC, Reverse Harem.


Adalah sebuah vonis mati untukku yang dituliskan olehnya di kertas tersebut. Kertas berwarna merah muda dengan tulisan emas berkilauan. Memang beberapa yang membacanya tak akan menyadari hal tersebut, sekalinya mereka cukup cerdas untuk menyadarinya pun, mereka tak akan perduli, dan jikalau perduli, mereka akan mengejekku dalam sebulan dan semuanya akan kembali seperti semula setelahnya. Akan tetapi, bukan hal tersebut yang membuatku sangat tertekan saat ini, melainkan isi dari tulisan tersebut, arti dari tulisan tersebut, memojokkanku, menyudutkan tikus laboratorium kecil ini yang kebetulan sedang berada diluar laboratoriumnya yang aman.

Adalah sebuah surat pemberitahuan dengan maksud membagikan kebahagiaan di papan pengumuman sekolah. Namun bukan bahagia yang aku dapat. Susunan kalimat yang terlihat indah dapat menunjukkan usaha si penulisnya supaya aku tak menyadari maksud aslinya, biarpun usaha tersebut gagal total.

Di kertas pengumuman lainnya, nomor yang berada di kolom kiri namaku menunjukkan angka dua, artinya jerih payahku terbayar sudah. Tetapi sebuah terima kasih harus segera ku tuangkan dalam sebuah surat dan memberikannya kepada si penulis dengan gerakan tamparan di wajahnya supaya ia tahu kalau apa yang ia telah lakukan membuatku kehilangan semangat melanjutkan studiku di sekolah ini.

Pengumuman Pesta Dansa.

Pesta Dansa akan diselenggarakan dengan tujuan merayakan kelulusan senior kita dan sebuah ritual tahunan yang juga untuk merayakan ulang tahun sekolah tercinta kita.

Pesta Dansa akan dilaksanakan di Aula Utama bangunan pertama sekolah, dimulai dari pukul delapan malam hingga selesai. Pesta pertama akan diadakan tanggal XX, sementara pesta kedua akan diadakan tanggal XX.

Tema pesta tahun ini ialah Pesta Topeng.

Silahkan mengenakan pakaian formal terbaik dan membawa pasangan kalian masing-masing.

Siswa dan Siswi yang lulus pada tahun ini akan dipilih sebagai Raja dan Ratu Pesta Dansa pada pesta pertama. Raja dan Ratu Pesta Dansa dari pesta kedua dapat dianugerahkan kepada murid dari kelas manapun. Lima pasangan favorit lainya akan mendapatkan hadiah bingkisan. Semua pasangan yang menang termasuk lima pasangan favorit diharuskan membuka topeng mereka saat berada diatas panggung.

*Tak disediakan alkohol.

**Murid dilarang keras membawa/membeli/menyelundupkan alkohol.

***Peraturan malam sekolah masih berlaku.

****HUKUMAN BAGI PELANGGAR ATURAN MALAM AKAN DILIPAT GANDAKAN.

Sekian dan Terima kasih.

Ketua OSIS Sekolah dan Asrama Internasional Hetalia.

Aku tak masalah dengan pesta dansanya. Tetapi ketua OSIS akan tahu jika aku akan bahagia di hari pengumuman hasil ujian kelulusan, dan ia sangat tahu kelebihan dan kekurangan mangsanya. Minus mataku telah mencapai angka sepuluh semenjak aku lulus kelas satu dan naik kelas dua, sebagian tabungan ku investasikan ke kacamata dengan frame hitam tebal tahan banting, lensa terbuat dari plastik berkualitas tinggi yang anti gores dan anti pecah. Dengan alat supercanggih tersebut—bagiku—mataku kembali ke masa emasnya, nyaris setajam elang. Dan dengan kemampuan tersebut, aku mampu melihat tulisan super kecil yang berada di sudut kanan bawah kertas pengumuman pesta dansa tersebut.

Apa yang dituliskan akan langsung aku beritahukan kepada anggota-anggota kelompokku dan lihat apakah mereka akan terperangah sepertiku. Jika reaksi mereka sama, kami akan menyiapkan sebuah surat protes.


Ditengah perjalananku ke perpustakaan di bangunan pertama sekolah internasional yang gigantis ini, sesosok besar yang sedang dikerumuni oleh gadis-gadis membuat koridor nyaris terblokade. Gadis-gadis yang aku yakin datang dari kelas satu hingga kelas tiga tersebut berukuran seperti anak SD jika berada di dekat si makhluk yang mengerikan. Beberapa murid yang tak ada hubungannya dengan kerumunan itu juga berada dalam posisi yang sama denganku; merasa terganggu tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena malas memutar dan mengambil jalur lainnya yang lebih jauh, aku hanya menunduk, menutupi wajah pas-pasanku dengan rambut panjang Hitam legam yang kubanggakan dan berjalan menyerempet tembok, berharap tak ada yang mengenaliku—biarpun aku meragukan jika ada yang mengenalku, dilihat dari betapa anti-sosialnya aku karena sifat pemaluku yang semakin menjadi dan rasa benciku terhadap remaja-remaja hormonal yang hanya perduli dengan kisah cinta mereka dan masih dalam masa pemberontakannya yang tak masuk akal dan tak logis.

"Nona Perpus?"

Seketika itu tubuhku membeku. Mematung.

Apa yang biasanya orang bilang? Jika ada beruang, kita harus berpura-pura mati bukan? Barusan beruang Russia itu memanggilku, tetapi apakah dia bakalan menganggapku benar mati kalau aku melakukannya?

Aku terdiam, berusaha melangkah menjauh dari kerumunan yang kali ini menjadikanku pusat perhatian mereka. Mata mereka bagaikan sebuah jarum pentul, namun bukannya menusukku dengan ujung tajamnya, mereka menggunakan ujung tumpulnya, mengancamku, dan itu tak main-main.

"Hei!"

Tangan besar beruang itu menangkap pergelangan tanganku. Akan tetapi, bukannya mencabikku hingga sekarat lalu membiarkanku perlahan-lahan mati, beruang tersebut tak melakukan apa-apa. Setidaknya aku awalnya berpikir seperti itu sampai aku memberanikan diri melihatnya. Dan betapa terkejutnya aku saat menyadari kenapa beruang itu menahanku. Wajahnya yang putih, kedua mataya berwarna Ungu Orchid terlihat begitu besar, air mukanya menunjukkan persis kalau ia membutuhkan bantuan yang sangat mendesak. Bukanlah berwajah beruang pemangsa haus darah yang ditangkap retina mataku, namun justru adalah bayi beruang yang sedang diburu. Biarpun hatiku sedingin kutub utara, tetapi saat ini sedang Global Warming bukan? Aku tahu seharusnya aku tak menggunakan hal tersebut sebagai sebuah lelucon, tetapi intinya bongkahan es di hatiku bahkan kepada makhluk terkutuk yang selalu ku benci tersebut bisa meleleh. Hanya sedikit.

"Yang berani mendekatiku, bersiap-siap mendapatkan surat teguran resmi dari ketua OSIS." Kataku dengan nada mengancam.

Beruntung aku mengumpulkan daftar nama murid yang sudah melewati batas pengumpulan buku pinjaman berupa buku pelajaran atau buku yang berhubungan dengan pelajaran. Dan juga kebanyakan dari mereka menunggak biaya pinjaman yang seharusnya masuk kas kelompok kami, nantinya untuk membayar semua tambahan biaya pembelian buku pelajaran baru dan yang berkaitan dengan tiap bidang yang disajikan.

Nyaris seluruh maniak itu berjalan mundur, biarpun masih belum ada niat untuk enyah. Andai aku memiliki keunggulan beruang ini, mungkin aku sudah bisa mengusir mereka semua dalam sekejap. Akan tetapi karena aku tak bisa, aku hanya menarik si beruang keluar dari kerumunan yang tak sepadat tadi. Lega membanjiri hatiku saat melihat para gadis tak mengikuti kami. Pilihan cerdas, sungguh, karena aku tak main-main dengan ancamanku barusan.

Setelah yakin tak ada lagi yang mengikuti kami, si beruang melepaskan tanganku. Tetapi ia masih cemas dan melihat ke belakang punggungnya dengan hati-hati. Untukku, artinya side-questku sudah selesai, dan aku langsung meninggalkannya sebelum ia menjadi buas lagi.

"Zhdat'!"

Mataku membelalak saat melihat senyuman tersebut merekah di bibirnya yang merah muda. Aku hanya tinggal menunggu ia mengubah senyumannya menjadi cengiran yang memperlihatkan gigi-gigi taring untuk memutuskan leherku dan memakan kepalaku bulat-bulat.

"Spasibo. Sungguh, terima kasih."

"Tolong jangan lakukan itu lagi. Tiba-tiba menarikku."

Menjijikan. Kasar. Tak sopan. Komentar itu hanya dapat dikatakan dalam hatiku, kecuali aku cukup bodoh untuk menantang dewa kematian. Jangan menarikku ke masalahmu dasar brengsek. Enak sekali jadi kamu, menekanku habis-habisan, mengancamku, tetapi pas dalam masalah, tiba-tiba merengek.

"Apa kamu bisa protes?" Sesuai dengan dugaanku. Ia memberikan cengiran khasnya.

Wajahnya kembali memasang ekspersi yang biasanya. Tampang sangat bersahabat, tetapi bahkan orang sebodoh apapun dapat melihat sebuah niat jahat dari baliknya, dan tahu mereka tak bakalan hidup lama jika berada di dekatnya dalam jangka waktu panjang. Aku salah satu dari orang tersebut, hanya tentu saja, aku jenius, tak bodoh. Jadi aku langsung berbalik dan meninggalkannya sebelum serangan panikku datang. Yang sebenarnya sudah datang. Penyakit keparat itu membuat pandanganku berubah buram dan rasanya seperti melihat dari tabung kaca, seperti sedang bermimpi. Aku berusaha untuk terus berlari hingga ke perpustakaan yang sudah tak jauh lagi, merasakan kakiku mulai mati rasa, kendatipun bodohnya aku terus berlari yang langsung membuatku ambruk ke dinding dan kehabisan napas. Hanya bisa berharap si beruang tidak mengikutiku.

Tolol sekali tindakanku... kenapa harus terus berlari? Toh si beruang juga sudah tak mengejarku lagi...

Murid-murid yang sedang berjalan sekitaran ku sama sekali tak perduli. Hanya kena serangan panik, kenapa harus dibantu, iya 'kan? Aku juga tak mau dibantu. Dan aku bakalan tertawa jika aku melihat bagaimana caraku berjalan saat ini—merembet di tembok seperti orang sekarat, hanya saja aku memang mendekati sekarat, tapi aku yakin tak bakalan mau mati sekarang. Setelah membuka pintu perpustakaan, barulah sedikit rasa tenang membantuku mengurangi kepanikan ini. Tanganku meraih-raih kursi yang berada tiga meter dari pintu masuk dan langsung mendudukkan tubuhku. Mataku langsung terpejam dan memikirkan memori indah yang ku miliki, satu-satunya memori indah; masa SMPku.

"Panik?"

"Ya."

"Sudah mendingan?"

"Jauh lebih baik jika si beruang tak lagi di dekatku, selamanya kalau bisa."

Orang tersebut berkata "Oh" setelahnya dan kembali melanjutkan sesi membaca bukunya. Ku lirik siapa si kejam satu ini yang tak berbelas kasihan, melihat ketuanya sekarat tetapi tak berbuat apa-apa.

"Kasem Chao." Aku memanggilnya.

"Hmm?"

"Tebak hari apa ini?"

"Hari… Jum'at, memangnya kenapa?"

Jawabannya yang ragu-ragu tentu saja menunjukkan kalau ia sadar aku tahu bahwa dia tahu apa yang seharusnya terjadi hari ini. Terima kasih atas kemalasan yang Kasem miliki, serangan panikku hilang, dan jiwa kepemimpinanku kembali demi memberantas kutukan yang membelenggunya setelah ujian kenaikan selesai.

"Apa kamu telah baca pengumuman pesta dansa?"

"Ya."

"Apa ada yang salah?"

Mata coklat Kasem bertemu dengan mataku yang sehitam Arang. Kekhawatiran di wajahnya pun muncul menyadari sifat ketidak telitian miliknya kini berhasil membawanya ke dalam masalah.

"Ketua, apa saya salah baca atau apa? Atau ada yang tersembunyi? Apa di pengumuman ada menyebutkan nama saya?"

"Aku khawatir namamu memang disebutkan. Lebih tepatnya bukan hanya kamu yang disebutkan, tetapi kita semua. Seperti biasanya."

Akan tetapi Kasem justru malah menghela napasnya lega dan kembali melanjutkan aktivitas membacanya.

Jujur saja, mengancam orang menjadi hobi baruku. Bukan salahku menjadi seperti ini, toh mereka sendiri yang memintanya. Tetapi andai hobiku ini bisa diterapkan secara merata tanpa pilih kasih, pasti bakalan mengurangi banyak sekali masalah. Faktor penentu utama tentu saja keberanian dan kekuatan perutku. Andai perutku tak melilit saat melihat Ivan atau orang-orang yang biasa menekanku, aku juga pasti akan mengancam mereka menggunakan kelemahan dan kekurangan mereka. Oh sekarang aku terdengar seperti penjahat. Tak perlu sampai sebegitu kejam sebetulnya. Tetapi aku tak punya pilihan. Dunia nyata itu menyakitkan. Peraturannya sangat sederhana. Memakan atau dimakan.

"Tampaknya kamu sudah cukup percaya diri dan mampu. Jadi aku harap kamu juga mampu menanggung beban dan tanggung jawabmu sendiri, dan maka, aku tak perlu lagi memalsukan daftar kegiatan kita. Khususnya bagianmu."

"Ya, ya…"

"Kerjakan tugasmu Kasem."

Suara bernada rendah dengan aksen horror tersebut langsung membuat Kasem menutup bukunya. Matanya tak bisa melirik si pemilik suara yang duduk di seberangnya, kebetulan juga sedang membaca buku. Seolah menunggu perintah, Kasem menegakkan posisi tubuhnya sambil merapikan buku-buku yang ia baca.

Siapa yang tak takut dengan Berwald Oxenstierna? Satu-satunya murid yang memiliki aura gelap di luar, tetapi setelah aku tahu bagaimana ia sebenarnya, tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Ia memang terlihat intens dengan tatapan tegas dan horror yang bisa membuat semua orang berpendapat ia adalah seorang yang sebaiknya tak didekati, selamanya, tetapi pendapat itu tentu akan berubah saat betul-betul telah berteman dengannya. Aku tak bisa membayangkan jika ia harus beradu tatap dengan si beruang Russia, siapa yang akan memalingkan wajahnya terlebih dahulu?

"Jam berapa pengumpulan laporan kegiatan kelompok?" Tanya Kasem, melihatku yang berada di samping kanannya supaya dapat mengalihkan pandangannya sejauh mungkin dari tatapan Berwald yang masih terpaku di wajahnya.

"Jam lima sore nanti." Jawabku enteng, "jangan tunda lagi. Banyak buku yang belum kamu unbox dan dimasukkan ke rak dan database. Si terkutuk itu bakalan mengamuk kalau sampai tahu sebenarnya kerjaanmu belum beres."

Kasem memutar bola matanya, "baiklah…"

Ia pun bangkit dan membawa buku-buku bacaannya, menaruhnya di meja kasir yang panjang berwarna cokelat dan di desain khusus dengan ukiran klasik beraksen kerajaan Britania Raya. Sementara itu, Berwald kembali membaca bukunya dan aku merapikan seragamku yang berantakan. Bahkan Berwald pun tak mengkhawatirkan aku eh? Apa mungkin rumor mengatakan ia itu… Menyukai Timo—temannya dari Jepang memanggilnya Tino dan semuanya jadi mengikuti, biarpun penyebutan yang benar dari Finlandia adalah Timo—itu benar? Bukannya aku ada masalah dengan orang yang menyukai sesama, tetapi kalau fakta tersebut benar, lenyap sudah kesempatanku.

"Bagaimana dengan tugasmu Ber?"

"Kerjaku tak akan maju kalau Kasem tak mengerjakan tugasnya." Jawabnya singkat.

"Tak apa, rapikan saja dulu e-books di server cloud sekolah, update database untuk buku fisik dan sebagainya dikerjakan setelah Kasem selesai. Pastikan ia menyelesaikannya sebelum jam lima."

Berwald mengangguk, tetapi ia belum beranjak atau terlihat memiliki niat untuk melakukan tugasnya sama sekali. Kendatipun begitu, aku tahu Berwald pasti akan menyelesaikan pekerjaannya, karena setiap aku mengecek hasil tugas anggota kelompok, ia selalu menyelesaikannya, ditambah lagi betapa baik ia menyelesaikannya. Yah, biarpun sebetulnya hanya Kasem yang selalu memiliki laporan kegiatannya dipalsukan. Tiga kali sebulan, satu kali sebulan kalau ia merasa sedang rajin. Tetapi satu anggota terakhir, yang kerajinannya diluar akal sehat, yang menjadi saudara sepupu dari ketua OSIS keparat tersebut. Biarpun ia juga kepala besi tukang ikut campur urusan orang, satu yang membuatnya lebih baik dari ketua OSIS, yaitu sifatnya yang tak mau kalah, tak mau kalah yang baik. Melihat Berwald selalu ku puji, ia tak mau menerima hal tersebut. Dan biarpun tujuanku memuji Berwald yang seharusnya terlihat jelas, ia tak mampu melihatnya.

"Jadi, kabar apa selain pengumuman nilai ujian kelulusan dan pesta dansa, ketua?" Tanya Berwald, masih terfokus pada bukunya yang berbahasa lain, yang belum aku kuasai.

"Kita tunggu sampai anggota kita lengkap."

"Baik. Apa itu sebuah kabar buruk?"

"Tergantung dari orang yang menerimanya."

Berwald kali ini melirikku. Berusaha membaca apa yang aku sembunyikan dari balik mataku, dari balik tembok besar wajah datarku. Tetapi aku tak membiarkannya mendapatkan satu petunjuk pun, mudah bagiku membangun pagar baja menjulang tinggi demi menutupi misteri sepele ini.

Tak lama keheningan berlangsung, tiba-tiba pintu besar Perpustakaan yang engselnya berkarat terbuka secara paksa, membuat bunyi besi beradu yang mengekakan telinga pun bergema ke seluruh ruangan. Si pelaku hanya bisa tersenyum sebagai permintaan maafnya saat melihat kami semua memberikan ekspresi terganggu, bahkan Kasem menutup kedua telinganya. Kedua kuncir si gadis terlihat berantakan tanda ia berlari secara terburu-buru ke sini, menjelaskan dimana ia berada saat membaca pengumuman.

"Habis dari bangunan keempat?"

"Mustahil aku bisa berlari sejauh itu. Habis dari bangunan ketiga, mengambil berkas untuk minggu ini dan bulan depan."

Lirikan matanya yang berwarna hijau Zaitun langsung mengarah ke Berwald. Senyuman kemenangan ia sunggingkan dengan bangga sambil duduk di sebelahku, biarpun Berwald sendiri hanya melihatnya dengan tatapan kosong tak berarti dan tak perduli. Sebuah Folder berwarna biru tua langsung ia letakkan di depanku, ditambah dengan ekspresinya yang jelas-jelas memintaku untuk segera mengecek hasil kerjanya minggu ini. Siapa yang bisa menolak jika ekspresinya seperti itu? Ku buka folder tersebut dan melihat daftar-daftar lembaga yang akan menerima sumbangan buku lama kita. Lalu daftar penerbit dan percetakan yang akan dihubungi mengenai buku yang mereka distribusikan khusus untuk sekolah ini. Daftar biaya dan total, serta tanggal-tanggal janji pertemuan dengan beberapa orang yang terkait. Seluruh hal yang harus dilakukan dalam folder adalah tugasku.

"Luar biasa. Terima kasih, bibi Kirkland."

"Tolong panggil aku Alice, nona Perpus."

Kami berdua tertawa bersama dengan refrensi yang aku buat sembari ku tutup folder berisikan hasil jerih payahnya. Namun sebelum aku sempat bangkit berdiri dan menaruh folder di meja ku dan merapikannya beserta berkas-berkas yang nanti akan ku bawa ke ruang OSIS, Alice menarik rokku dan menyuruhku duduk kembali.

"Is a good news I am about to tell you."

"Tidak untukku, Alice."

"Right." Ia pun terbatuk perlahan sebelum memberitahukan hal yang juga ingin ku sampaikan. "Ada pesta dansa."

Dari kejauhan, suara Kasem yang bergema mengatakan, "kami semua tahu, bibi!"

Tetapi Alice pura-pura tuli dan kembali melanjutkan, "dan ada satu notes kecil yang ditinggalkan si brengsek."

"Boleh aku yang mengumumkannya?" Tanyaku dengan sopan, Alice hanya mengangguk. "Kelompok kita, kelompok membaca, diharuskan oleh si tolol itu, untuk hadir. Atau kelompok kita dibubarkan."

Tawa Kasem meledak mendengarnya, bahkan Berwald pun tersenyum, terlihat jelas menahan tawanya. Alice hanya mengangkat bahu saat aku melirik kearahnya, bertanya apa yang membuat mereka memberikan respon yang tak aku inginkan. Jelas-jelas hanya aku yang menganggap itu ide paling buruk yang pernah ada di dunia ini, yang bersangkutan dengan kehadiran wajibku, yang mengharuskanku untuk bersosialisasi, melakukan hal tak bermakna dan tak berguna demi masa depanku. Koneksi itu omong kosong, siapa diantara mereka yang nantinya akan sukses dan menjadi orang besar? Yang mereka kerjakan hanya bermain-main, mencari pacar, dan buang-buang uang berharga pemberian orang tua mereka.

"Kenapa kamu terlihat takut, nona Perpus?" Tanya Berwald, menatapku lekat. Kaget, aku membuang muka ku.

"Siapa yang tak… Benci dengan perintah bodoh tersebut? Ada yang jauh lebih berat dari hal tersebut. Apa dia tak tahu betapa sibuknya aku? Kita memang mendapatkan budget karena mau menggantikan petugas perpus yang terdahulu, tapi tak ada sisa untuk membayar jerih payah kita."

"I agree with your last statement, but, kita bisa ancam untuk membubarkan kelompok. Dengan begitu mungkin ia akan berubah pikiran?" Kata Alice, biarpun itu mustahil.

"Kecuali kamu tak mau aku bersekolah disini lagi."

Rencananya langsung hancur setelah aku selesai mengatakan alasannya, membuat ia terdiam, kembali mengingat statusku sebagai murid yang separuh biaya sekolahnya dibayar menggunakan beasiswa.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Berwald, seolah menantangku.

"Protes, persuasif terhadapnya. Aku akan cari cara untuk mempertahankan kelompok kita tanpa harus memaksaku melakukan hal tak berguna itu. Siapa memangnya yang mau mengurus urusan dengan lembaga-lembaga dan bisa menekan budget dalam tawar menawar selain kita? Kalau ia menginginkan kita untuk terus membantunya, maka bersikaplah dengan etika dan tak memperlakukan kita sebagaimana kelompok biasanya."

Kasem kembali tertawa dari kejauhan. "Hitung-hitung mengisi kuota sosialisasi anda yang sudah lama kosong, ketua. Siapa tahu ada yang mau bergabung dengan kelompok kita. Lagi pula, tulisan yang ada di kertas pengumuman itu seperti apa?"

"Untuk kelompok membaca, dua bulan akan diberikan jika pemimpin dari kelompok mau memerintahkan seluruh anggotanya dan dirinya untuk menghadiri pesta dansa." Ku tiru nada suara si ketua OSIS, sengaja dibuat sangat tak enak di dengar.

"Sebenarnya, hanya anda yang tak mau datang ke pesta dansa bukan?"

"Tutup mulutmu. Aku sudah katakan berulang kali kalau aku memiliki alasan kenapa berhalangan dalam menghadiri pesta."

Alice tersenyum, dan aku tahu jelas alasan dibalik senyuman sinis yang sudah pasti memang sengaja ia tunjukkan, yaitu demi mengumumkan bahwa ada rencana busuk yang ia sembunyikan. Aku hanya menaikkan satu alisku, menunggunya membuka mulut.

"Seluruh meeting dan kegiatan yang berkaitan dengan lembaga sudah aku atur minggu depan, akan padat aku tahu, tetapi tak akan terlalu menyita waktumu."

"Minggu depan adalah minggu bebas, apa yang akan menyita waktuku selain pekerjaan perpus?"

Alice tersenyum, sekali lagi senyuman yang sengaja ia berikan padaku.

"Kita atur nanti, tetapi aku sangat yakin pesta dansa besok akan membuatmu sibuk minggu depan."


Perjalanan menuju ruang OSIS sebetulnya tak akan memakan banyak waktu, apa lagi ruang Perpus juga terletak di bangunan pertama sekolah, hanya saja letaknya berada di ujung selatan, dan ruang OSIS berdekatan dengan pintu masuk sekolah, yaitu di bagian utara bangunan pertama, tak jauh dari Aula utama sekolah. Banyak koridor yang mengarah ke ruang OSIS dari Perpus, tetapi aku memilih koridor-koridor kecil yang biasanya jarang dilewati karena rata-rata para murid bergengsi dan suka bergaul semua berkumpul atau melewati koridor khusus, mencakup semua hal yang perlu diketahui dalam tur sekolah bersama dengan calon murid atau beberapa orang penting. Koridor khusus memiliki aksen klasik a la kerajaan, biarpun aku tak tahu menggunakan refrensi dari era atau tahun berapa, tetapi yang pasti berbeda dengan dekorasi lainnya. Yang pasti koridor itu sangat luas, jendelanya panjang dan besar, ditutupi tirai yang sekali lagi memiliki aksen royal bak kerajaan, tanaman dengan pot emas, lukisan-lukisan eropa pada zamannya yang sangat memukau, dan chandelier perak. Karpet merah dengan sebuah sulaman emas mungkin memberikan sebuah kesan tersendiri bagi para murid yang bermimpi menjadi selebriti. Mimpi yang terlalu tinggi.

Setelah sampai di koridor besar itu, hanya tinggal dua puluh meter lagi dan aku sampai di ruang tunggu yang berada persis di depan ruang OSIS. Ku perlambat langkahku dan berusaha menikmati cuaca mendung dan udara yang sejuk. Sengaja mengulur waktu supaya aku tak perlu bertemu dengan ketua kelompok lainnya yang totalnya sekitar lima puluhan orang. Beberapanya membuatku tak nyaman, ekstrovert dan hidup di dunia khayal yang membuat mereka begitu percaya diri, dan luar biasa berisik. Beberapanya yang pendiam akan datang malam nanti, tetapi aku yakin ketua OSIS tak akan memiliki waktu karena harus mempersiapkan pesta besok. Tentu saja dasar bodoh. Biarpun seluruh murid tahu kapan akan diadakan sebuah pesta dansa, tanggalnya, bahkan waktunya diselenggarakan, tetapi tetap saja menempelkan pengumuman tersebut sehari sebelum pesta bakalan membuatnya sibuk. Kasihan sekali kelompok yang menjadi "Volunteer" paksa membantu OSIS mempersiapkan semuanya hanya dalam seminggu. Dan aku yakin sekali makanan yang nanti disajikan adalah makanan yang dimasak sendiri oleh kelompok Memasak, karena ketua OSIS terlalu berkelas dan bangga diri untuk meminta chef sekolah mengerjakannya atau memesan katering dari restoran ternama yang menyediakannya. Tetapi dari semua hal tersebut, aku tetap harus berterima kasih terhadap ketua OSIS karena telah memperbanyak murid-murid yang tak dapat hadir di pesta besok karena betapa sibuknya mereka. Aku berharap semua kelompok volunteer kelelahan, maka nyaris seperempat dari seluruh murid sekolah Internasional dan Asrama Hetalia tak akan hadir. Dan keperluanku untuk bersosialisasi, jika itu yang diinginkan oleh ketua OSIS, akan semakin sedikit karena memang orang yang akan diajak bersosialisasi berkurang drastis.

Sesampainya di ruang tunggu, aku menghela napas lega karena hanya tinggal satu orang yang sedang duduk di ujung paling kanan kursi merapat ke tembok. Si pria masih belum menyadari keberadaanku, tetapi dari rambutnya yang berwarna Cokeklat Karamel, aku tahu siapa dia.

Feliciano Vargas.

Ia masuk ke lima besar orang paling ku benci di sekolah. Terutama dalam kategori pria. Ekstrovert, banyak bicara, suka menggoda wanita. Seluruh sifat yang paling ku benci dari seseorang. Tetapi bukan itu alasan utama kenapa aku membencinya, dan hal yang paling ku benci darinya pasti akan segera ia tunjukkan saat mengetahui aku disini.

Ku taruh folder berisikan laporan kegiatan kelompok beserta keuangan dan lainnya di meja yang berada di depan kursi paling pojok kiri. Aku melirik kearah Feliciano dan mata kami bertemu. Wajahnya naif, matanya sayu, dan rona di pipinya membuat keseluruhan penampilan wajah tampannya terlihat sangat manis. Jika diperhatikan baik-baik, aku langsung dapat melihat bintik-bintik coklat yang mempertegas perbedaan ras kita dan membuatnya semakin tampan. Ia menyunggingkan senyuman bersahabat.

"Veeh… Lama tak jumpa, nona Perpus. Bagaimana kabar yang lainnya?"

"Sangat baik. Kasem seperti biasanya."

Feliciano tertawa pelan.

"Bagaimana dengan kelompok Koran Sekolah?"

"Lumayan, Ludwig mengambil alih posisi ketua dan kali ini aku hanya menjadi wakil."

Basa-basi tak berguna telah selesai. Tak perlu lagi untukku berbicara kepadanya dan mencari tahu lebih jauh kenapa ia menjadi wakil. Dan selagi menunggu kelompok terakhir keluar, aku telah mempersiapkan buku sastra. Namun tak lama aku membuka halaman buku tersebut, Feliciano kembali berbicara.

"Apa kamu akan datang ke pesta dansa?"

"Ya."

"Kenapa?"

Aku pun melirik kearahnya, menatapnya dengan tajam. "Jangan berpura-pura bodoh, kamu sudah tahu alasannya."

Ia tertawa terbahak-bahak, biarpun tak cukup keras sehingga bisa sampai mengganggu orang yang berada di dalam ruang OSIS, tetapi cukup membuat emosiku mulai mendidih. Bersamaan dengan tawa terbahaknya, ekspresi wajahnya pun berganti menjadi ekspresi wajah yang asli, yang selama ini ia sembunyikan di balik topeng. Ia sembunyikan dari banyak orang, mungkin termasuk Ludwig dan Kiku, teman terdekatnya.

"Kau sangat mengenalku, sì, sì. Tetapi sayang sekali, gadis-gadis cantik sudah berbaris memintaku untuk mengajak mereka pergi ke pesta dansa."

Aku mendengus dengan keras secara sengaja, "jangan bermimpi terlalu tinggi, Vargas."

Tiba-tiba ia berdiri, menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di meja, menyodorkan tubuhnya kearahku. Matanya tak lagi sayu, kepolosan wajahnya tak lagi berbekas. Dan empat kancing atas pakaiannya sudah terbuka entah kapan ia membukanya. Ia melihatku dengan ekspresi yang aku kira menunjukkan ketertarikannya padaku, entah itu hanya topeng lainnya atau ia benar tertarik, tetapi sekali lagi, aku tak perduli apa pun motifnya untuk melakukan apa pun yang ia lakukan saat ini.

"Boleh 'kan bermimpi? Lagi pula, untuk dapat meraihmu seharusnya tak sulit. Una signora yang memiliki kelas dan tak mudah ditaklukan itu sangat menggiurkan, kau tahu? Dan menyerah itu tak ada dalam buku milikku asal kau tahu saja."

Jika niatnya menggodaku, tentu saja aku tak akan mudah terlena, akan tetapi, biarpun aku seharusnya sudah kebal, aku tetap wanita normal, dan Feliciano lelaki tampan brengsek yang playboy. Jantungku berdetak kencang melihatnya seperti itu, kendatipun aku kini tahu ia tak serius, dan aku juga tak bakalan pernah mau dengannya.

"Apa yang membuatmu bisa sebegitu percaya dirinya? Sudah ku katakan, mimpi yang terlalu tinggi akan merusakmu suatu saat nanti. Membuatmu sinting. Kehilangan akal sehatmu, membunuhmu."

Reaksi Feliciano mengejutkanku. Ia semakin mendekatkan wajahnya, tetapi matanya teralihkan, melihat ke tempat yang membuatnya kini bersikap sangat tak sopan. Namun sebelum aku memprotes aksinya, ia langsung berbicara.

"Aku setuju. Tergila-gila, kehilangan akal sehatku… Sebetulnya yang percaya diri adalah kamu, dan godaan tersebut membuatku semakin tak tahan."

Orang ini sinting ya?

Tidak. Feliciano memang sinting. Nafsu membuatnya hilang nalar, membuatnya sinting sesintingnya. Aku tak tahu jelas apa pekerjaan orang tuanya hingga tak perduli dengan uang yang mereka buang karena Feliciano dan saudara kembarnya ke sekolah ini hanya untuk menggoda dan memuaskan hasrat remaja mereka.

Aku tak membalas omongannya, hanya menatap matanya dengan emosiku yang nyaris meledak. Karena saat nyaris aku terlena oleh godaannya, aku mulai memperhatikan kata-katanya. Ia melihatku seperti sebuah barang mahal yang nantinya kalau ia sudah bosan, akan ia buang begitu saja, menggantiku dengan gadis lainnya yang terlihat mahal, yang terlihat lebih bagus. Dan apa aku akan menerima perlakuannya terhadapku? TIDAK.

"Feliciano!"

Suara menggelegar Ludwig membuat tekanan dalam suasana langsung buyar seketika. Membuatku lega, tetapi membuat Feliciano yang sempat kaget dan takut, merasa seperti diganggu, biarpun dia tahu ia tak dapat melawan dan tak ada niat untuk melakukannya.

"Ci vediamo di pesta dansa besok. Jangan lupa gunakan gaun yang seksi."

"Kita lihat saja nanti."

Ia pun kembali mengancingin pakaian sebelum Ludwig melihat ketidak sopanannya. Akhirnya ia pergi bersama Ludwig, keceriaan palsu dan wajah polosnya kembali terpasang, tetapi ia sempat melirikku dan jujur, perubahan ekspresi yang sebegitu drastis memang sangat impresif.

"Is there anyone else or should I just close this bloody door myself?"

Suara tersebut terdengar lantang dari dalam ruangan, dan pintu ruang OSIS yang sedikit terbuka adalah alasannya. Aku pun bangkit dan mengambil folder kelompokku, merapikan sedikit pakaianku, dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Ruangan luas persegi panjang yang memiliki sedikit furnitur terlihat begitu simpel dan elegan. Meja kantor yang berada di ujung berlawanan dengan pintu, menyambut siapa pun yang masuk ke ruangan OSIS. Sebuah monitor besar, beberapa dokumen dan folder, kotak pensil, kertas-kertas, cangkir teh, ponsel, dan sebagainya terlihat bagai medan perang di atas meja tersebut. Letaknya berantakan dan tak beraturan. Namun hanya satu yang masih terletak di tempatnya, yaitu papan nama kecil bertuliskan "Ketua OSIS".

"Arthur." Sapaku.

Arthur balik menapa dengan nada sama datar. "Nona Perpustakaan."

Bajingan satu ini yang menyebutku dengan sebutan tersebut. Saat aku membuat kelompok membaca di bulan kedua tahun pertama, disambut ramah olehnya, tetapi tak lama tiba-tiba petugas perpus mengundurkan diri karena beban pekerjaan yang terlalu tinggi dan hanya ditanggung oleh dua orang saja. Sebetulnya petugas perpus itu juga sudah direncanakan untuk dipecat tak beberapa lama dan tugasnya akan digantikan oleh kelompokku. Semuanya sudah ada rencana dan diatur, banyak anggota yang setuju, bahkan merasa kalau sebaiknya kita memang menggantikan tugas perpustakawan. Hanya saja seperti yang kita tahu, tak semua perusahaan besar, atau sekelompok orang yang memiliki kekuatan dan uang, bekerja dengan transparan. Singkat cerita, kelompok kami tiba-tiba dibebani oleh setumpuk pekerjaan yang tak kelar sedari tahun kemarin dan pekerjaan yang akan datang nantinya. Kami tak diberitahukan soal itu tentu saja, dan hanya tinggal kami berempat yang tersisa, dari lima puluh orang, bahkan mereka yang awalnya mendukung penuh dengan alasan beragam. Bayangkan. Nilaiku, Ber, Alice, dan Kasem nyaris jatuh ke jurang di semester pertama. Kelompok OSIS membantu, tetapi hanya setengah dari pekerjaan satu tahun yang ketinggalan tersebut. Tahu kelompok kami bakal terus terbebani pekerjaan Perpus yang tingkat kesulitan seharusnya nomor dua di sekolah, membuat murid baru ataupun lama tak mau kembali dan bergabung, biarpun ironisnya, mereka meremehkan kami habis-habisan, menganggap pekerjaan kami tak ada apa-apanya. Selesai seluruh pekerjaan yang ditinggalkan pekerja perpus terdahulu, kami akhirnya bisa mengejar ketertinggalan kami. Dan apa yang dilakukan Arthur? Kami butuh minimal lima anggota untuk tetap dapat berdiri sebagai sebuah kelompok! Keparat betul makhluk terkutuk ini! Biarpun aku tahu itu sudah peraturannya, tetapi sikapnya yang seolah-olah buta bahwa kami SUDAH membantu dan tetap membantu setelah apa yang ia lakukan pada kami saat kami mulai mengambil alih tugas perpustakawan. Beberapa kali ku ancam untuk tak lagi mengerjakan pekerjaan perpus karena tertekan dan stress, tetapi dengan begitu distribusi buku pelajaran dan yang berkaitan dengan itu akan terhenti, dan tentu saja, menciptakan sebuah bencana domino. Dan bukannya membuat kami tak terlalu terbebani, atau setidaknya memaksa seseorang menjadi anggota kami, OSIS membiarkan kami begitu saja, namun, tekanan dalam memiliki satu anggota lagi sedikit dikendurkan, biarpun tetap ada.

Sekali lagi, hal tersebut membuat kelompok kami menjadi sasaran bully kelompok lain yang juga memiliki anggota dibawah lima orang. Apa mereka buta? Tetapi aku tak lagi mempersoalkan hal tak masuk akal tersebut karena tak ada waktu untuk mengurus sesuatu yang tak berguna. Hanya saja kerja keras dan dedikasi yang ku berikan kepada pekerjaan sebagai Perpustakawan membuatku di cap nona Perpustakaan olehnya. Ia mengatakan protesku hanya sebuah tong kosong, karena mengira aku menyukai pekerjaanku dan hanya ingin mendapatkan keuntungan darinya. Dan maka dari itu saudara saudari, kebencianku terhadapnya tak akan pernah musnah, dan sudah terukir sangat tegas dalam hati.

"Apa ada lagi urusan selain memberikan sebuah laporan? Protes?"

"Oh kau sangat mengenalku Arthur, aku merasa tersanjung. Dan ya. Ada hal yang ingin ku protes, dan aku tak sedang berada dalam mood untuk menjelaskan lagi hal yang sudah jelas tersebut."

"There is no need to exaggerate. State your disagreement."

"Kehadiran dari anggota lain sudah pasti dapat ku janjikan kepadamu. Tetapi aku? Hanya demi sebuah pesta dansa, kamu memaksa aku datang? Menunda pekerjaanku?"

Arthur masih terfokus pada isi folder. "Alice sudah mengaturnya. Jangan menggunakan itu sebagai alasan."

"Dan? Apa hubungannya dengan pesta dansa dan kelompok Perpus? Tak akan ada yang mau bergabung dengan kelompokku, mereka semua sudah tahu betapa penting pekerjaan kami, dan tak mau menerima beban besar tersebut, aku yakin kamu lebih tahu hal tersebut daripada aku."

"Exactly. Aku memintamu datang bukan dengan alasan itu, biarpun ada sedikit harapan—."

"Sungguh membuang waktu berharap sesuatu yang mustahil."

Tatapan tajam Arthur membuatku sedikit bergidik, tak lama ekspresinya mengendur saat kembali terfokus pada isi folder.

"I want you to impress the teacher."

Aku pun seketika mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, seratus persen dibahan bakari oleh rasa heran luar biasa.

"Hubungannya?"

"Are you seriously asking me that?" Geramnya, "buat mereka kagum. Tunjukkan kalau kamu memiliki intelek dan berkarisma tinggi—kedua hal tersebut tampaknya sedang tren di kalangan dewasa. Seburuk apapun sifatmu, keduanya menjadi penentu yang penting."

"Oh, itu menjelaskan sangat banyak hal."

"Throw your sarcasm away."

"Kau pikir itu sarkasme?"

Arthur tak mengindahkan omonganku. "Impress them, dan peluang besar kelompokmu kendati memiliki empat anggota, akan disahkan sebagai kelompok yang memiliki lima anggota."

"Bagus. Brilian. Sebaiknya hal itu juga bisa mengurangi waktu kita harus bertemu tiap bulannya."

"I do feel the same." Sindiran sinisnya membuatku tersenyum sangat lebar.

"Tetapi, ada satu lagi yang perlu ku tegaskan. Untuk dapat melaksanakan rencana dan mengurangi peluang kegagalan, ada baiknya jika kamu memberikanku izin untuk menggunakan waktu yang sayangnya tak sedikit." Sebelum sempat Arthur memotongku, aku langsung menjelaskan maksud dari perkataanku barusan. "Dua puluh empat jam sisa waktu hingga pesta dansa besok. Delapan jam yang dibutuhkan untuk tidur, dua jam mempersiapkan diri ditambah makan pagi dan siang. Empat belas jam tersisa. Dua jam akan terpotong oleh sesi mempercantik diri dengan Alice. Dua belas jam, benar? Aku harus bekerja sekuat tenaga merencanakan semuanya SENDIRIAN untuk membuat kagum guru-guru kita, benar?"

"What are you—."

"Jawab!"

"Aku tak bilang kalau kamu harus melakukannya dalam dua belas jam tanpa henti!" Ia pun mulai meninggikan suaranya. "Apa lima jam tak cukup? Kamu itu jenius. Dan jangan jadikan itu alasan!"

Tanganku terangkat tinggi-tinggi. "Ah, tentu saja. Kasta tertinggi manusia adalah orang jenius, dan aku salah satunya. Mungkin kamu lupa apa yang terjadi minggu ini, maka persilahkan aku menerangkannya dalam bahasa sesederhana mungkin—karena tampaknya kamu akan melupakannya lagi. Bahwa satu, selama tiga bulan ini aku belajar dengan intensitas tinggi demi, mengisi kekurangan yang terjadi beberapa bulan sebelumnya lantaran tak memiliki rencana matang dalam menyelesaikan tugas perpustakawan yang menumpuk dalam setahun, yang tiba-tiba diberikan tanpa ada pemberitahuan dari jauh-jauh hari. Dan, oh, itu mungkin kenapa kamu berpikir tubuh dan otakku tak berpengaruh apa-apa, karena aku jenius, seorang yang seharusnya bisa segala hal, yang wajib melakukan apa pun yang kamu inginkan biarpun seringkali hal tersebut sama sekali tak melihat keadaanku, karena, yah, aku jenius, iya 'kan—?"

Suara bantingan folder ke meja kayu mahoninya membuatku akhirnya tutup mulut, biarpun aku tak lagi takut jika ia akan mengamuk.

"Shut up! Shut up! Shut the bloody hell up!" Makinya, "buang omong kosong tak bergunamu dasar keparat! Kamu pikir aku juga tidak stress?!"

Napasnya tersengal-sengal, ia pun bersandar di mejanya, meminum habis teh yang masih mengepulkan asap putih. Wajahnya sangat merah bagai tomat. Dan biarpun seharusnya aku senang saat ini karena musuh yang paling ku benci sedang dalam tekanan hebat, aku tak merasakan demikian, justru malah berempati, mungkin karena kami tampaknya berada dalam keadaan yang sama.

"Minggu depan. Bebankan semuanya hari Sabtu minggu depan. Berikan waktu untukku mengetahui dengan pasti target yang harus kubuat terpukau. Setiap guru memiliki standardnya masing-masing. Biarkan aku mempersiapkan semuanya. Berikan aku waktu istirahat, aku lelah."

Aku merasa dikhianati oleh hatiku karena justru malah melunakkan diri demi bajingan satu ini. Tetapi andai aku ada di posisinya, aku mungkin sudah pingsan karena kehabisan oksigen akibat dari serangan panik.

Namun tiba-tiba pintu di banting, biarpun suasana tegang jadi sedikit lebih kendur, namun yang datang adalah pembawa masalah nomor satu di sekolah.

"Alfred…" Geram Arthur.

Berusaha kabur, aku langsung mengambil kertas tugas yang sudah dipersiapkan oleh Arthur untuk kelompokku yang ia letakkan di atas mejanya. Dengan sangat hati-hati, aku berusaha mengendap-endap di belakang punggung Arthur, dan berharap saat ia menoleh, ia tak melihatku, dan mungkin dengan ajaib aku tak perlu datang besok! Tidak. Rencana kekanak-kanakan tersebut langsung ketahuan dan ia menampar tanganku, memelototiku seolah ia berkata "aku belum selesai denganmu!"

"Yo! What's up guys?" Seru Alfred dengan suara mengganggunya yang menggelegar menggema ke seluruh bagian ruangan.

Arthur memicingkan matanya, dan ia tampaknya juga menyadari satu hal yang sudah ku ketahui sedari kedatangan Alfred. "You are not here to give me your report did you?"

Alfred langsung memberikan gestur pistol menggunakan tangannya, pura-pura menembak kearah kepala Arthur. "Bullseye!"

"TIDAK!" Maki Arthur seketika, "tiga minggu! THREE BLOODY WEEKS! Laporanmu tak ada ditanganku!"

"I know dude, I know. No need to remind me. Hari Minggu, setelah pesta dansa. Aku akan langsung datang, right here, membawa dokumen kelompokku."

Kini gantian aku yang memelototi Arthur, mungkin mata besarku tak akan terlalu terlihat dari balik kaca mata Hitam tebalku dan poni. Karena tampaknya ia tak menyadari atau sengaja untuk tak menggubrisku, ku ambil kembali kertas tugas kelompokku, namun sekali lagi Arthur memukul punggung tanganku, memintaku untuk bersabar hingga si biang masalah ini pergi.

"Apa yang membuatmu mengundur begitu lama?!"

"Duuuuuude! Aku harus menyiapkan timku untuk pertandingan bulan depan! Kau kira mudah mempertahankan juara satu?"

"Dan manajermu tak berfungsi?!"

Saat itu, mungkin hanya tinggal menghitung detik hingga pembuluh darah di kening Arthur pecah. Senyuman yang Alfred berikan menunjukkan kalau ada kebusukan yang memang ia lakukan, dan ia sendiri pasti yakin seluruh usaha atau alasannya tak bakalan bisa menutupi atau menyeimbanginya.

"Ayolah, siapa yang tak mau partnernya berdandan setengah-setengah? And I know you so well, dude, pesta dansa itu bukan hanya sebuah pesta." Alfred pun memicingkan matanya, dan senyuman di bibirnya semakin melebar saat tahu Arthur tak bisa menyangkal yang satu itu… Sampai sesuatu yang tak ku duga-duga terjadi. Alfred tiba-tiba melirikku, mengedipkan matanya seolah-olah ia tahu alasanku berada sangat lama dalam ruangan ini. Aku baru tahu kalau kebanyakan dari playboy brengsek di sekolah ini setidaknya sangat cermat dan mudah sekali menyadari sesuatu. Seolah mereka menjadi seorang brengsek itu hanya sebuah topeng untuk menutupi diri asli mereka yang sebetulnya cerdas dan licik luar biasa?

"Jadi bagaimana?"

Arthur menunduk, menepuk dahinya dengan sangat keras, lalu berbalik memunggungi kami berdua. "Can you do me a favor? Please just piss off this instant."

Alfred mengangkat tangannya tanda kemenangan lalu berlari ke pintu. "Thanks bro!"

"Sampai jumpa di pesta dansa kalian berdua." Katanya lagi saat tiba-tiba memunculkan kepalanya dari balik pintu yang setengah terbuka, membuat Arthur langsung menutup pintu keras-keras selepas Alfred menarik kepalanya kembali dan pergi, biarpun aku tahu kalau ia berharap bisa memenggal Alfred dengan melakukan itu.

Kedua tanganku sudah terlipat di depan dadaku. Mataku tak bisa lepas dari Arthur. Amarahku karena ketidak adilan yang ia berikan membuatku bisa saja langsung menamparnya saat ini juga. Sebuah penyesalan teramat dalam membuatku benci terhadap diriku sendiri karena sempat-sempatnya aku berempati terhadap makhluk terkutuk bajingan satu ini. Panas wajahku terasa, dan ketukan kakiku sudah jelas menunjukkan rasa ketidak sabaranku enyah dari ruang ini. Ia menyadarinya, tetapi karena ia adalah seorang bajingan, dan tahu aku melihatnya sebagai seorang bajingan, maka ia tak menghiraukannya.

"Jadi—," ia membalikkan badannya, "where are we before?"

"Minggu depan." Jawabku ketus.

"Ah iya, benar." Arthur kali ini membiarkanku memegang erat kertas tugas. Ia pun berjalan menuju balik mejanya, melihat keluar jendela lalu menunduk. "Make sure they are real impressed."

"Sebetulnya Alice sempat berkata untuk membubarkan saja kelompok ini." Mataku kembali menerawang wajahnya saat ia telah kembali membalikkan tubuhnya, membaca ekspresinya saat aku mengatakan hal tersebut. "Aku hanya ingin tahu, apa perubahan tersebut akan mempengaruhi statusku sebagai murid Beasiswa?"

Kesunyian yang datang membuatku curiga terhadap Arthur yang biasanya sangat cerewet, berubah diam dan tak mau membuka mulutnya. Beberapa kali ia terlihat berniat melakukannya, pandangan matanya juga berlari kemana-mana, berusaha untuk tak menemui pandangan mataku, menatap mataku yang sudah terkunci di wajahnya. Ada sesuatu yang besar, yang berusaha ia sembunyikan dengan sangat tak baik, tahu bahwa hal yang ia sembunyikan pasti tak akan aku sukai.

"Like what I have said, it's all up to the teacher." Ia pun menjawab pada akhirnya, "tetapi keputusan ada di tanganmu. Dan aku harap kamu tahu konsekuensi yang akan kamu terima. Bagaimana arogannya seorang guru bisa membuatmu ditendang keluar andai kamu salah mengambil langkah."

Kurasa itu mustahil. Jikalau aku memang berniat membubarkan kelompok biarpun Alice, Ber, dan Kasem akan tetap membantuku, kurasa di mata para guru hanya ada satu, aku tak kompeten dan tak memiliki dedikasi. Biarpun terlihat sangat tak adil, mau tak mau aku harus menuruti peraturan "kasat mata" tersebut. Dan kendatipun merasa sangat tak ingin melakukannya, dalam hatiku, aku tetap berterima kasih secara diam-diam kepada para guru, andai mereka tak ada, mungkin aku tak akan sekuat ini, dan mereka telah membuatku semakin tahu kalau manusia buruk yang mementingkan dirinya sendiri lebih dari apa pun itu sesungguhnya ada, bahkan sikap tersebut berubah menjadi sebuah komitmen. Aku benci mengatakannya, tetapi aku sama, namun aku berharap masih ada kebaikan tersisa dalam hatiku saat aku lulus nanti, biarpun aku meragukannya, karena orang yang paling ku benci memegang peran penting di sekolah ini, mengharuskanku menemuinya secara rutin.

Setelah memastikan kertas laporan kegiatan kelompokku telah diberikan cap oleh Arthur, aku pun langsung berbalik dan membuka pintu, sampai ia tiba-tiba kembali berbicara.

"Oh. Jangan lupa temui Matthew besok, jam setengah delapan. Ia akan memastikan kau datang ke pesta dansa dan tetap berada di pesta hingga selesai."

"Tunggu, apa? Bukannya—?!"

"Apa kau tak baca apa yang telah ku tulis di kertas pengumuman? Aku akan berikan kelonggaran selama dua bulan jika kamu mau menghadiri pesta yang besok. Anggap saja sebagai backup plan seandainya kamu gagal membuat para guru kagum."

"Oh… kamu pikir aku tak bisa membuat para guru kagum? Bahkan tanpa aku harus berpikir besok adalah hari besar sebenarnya, dan tanpa kehadiranku di dekat mereka, ku pastikan mereka akan terkagum-kagum!"

"Good. I really hope that is true tomorrow. You are dismissed."


Entah mungkin aku sinting atau apa, aku telah menantang Feliciano dan Arthur, dua orang yang paling ku benci di sekolah ini, dan membuatku semakin tak mampu menghindari kewajibanku datang ke pesta dansa… Tetapi aku bersyukur serangan panik datang setelah aku keluar dari ruangan OSIS. Kejadiannya sungguh komikal menurutku. Bagaimana tidak? Aku keluar dari ruangan OSIS, dan persis saat itu juga penglihatanku berubah buram, keringat mulai merembas keluar dari kulitku, dan napasku kembali tersengal-sengal, seolah aku menahannya sedari tadi, padahal tidak. Beruntung, tak lama, Timo datang membantu menyingkirkan tubuhku dari depan pintu ruang OSIS. Tak lama kami berpisah, karena ia harus segera menemui Berwald di Perpus, dan aku juga harus mencari Matthew karena tiba-tiba ponselnya tak dapat kuhubungi—lebih tepatnya, tak ia angkat, setelah tujuh kali aku telepon. Aku khawatir tentu saja, ia orang terakhir yang ku benci di sekolah ini, selain karena ia sangat pasif, dan juga sangat tipis… Seperti hantu. Keberadaannya kadang benar-benar tak dapat kurasakan. Jikalau aku menjadi saudari Alfred, aku pun pasti akan sama. Bayangkan, aku bisa mendengarkan isu-isu hangat, informasi rahasia, dan bahkan mungkin mengetahui para murid-murid nakal pelanggar peraturan yang meminum-minuman keras dan merokok. Bayangakan kekuatan yang akan dimiliki dengan seluruh informasi tersebut. Dan aku mengerti, seandaikan aku betul menjadi saudari Alfred, aku akan menjadi kebalikan dari Matthew.

"Francis." Ku panggil siswa berjanggut tipis yang sedang asyik mengobrol dengan dua sahabatnya yang sama-sama menyebalkan. Mereka sedang mengokupasi taman kecil yang berada dekat dengan kelas tiga kejurusan IPA, yang memang biasanya mereka lakukan setiap hari.

"Oui mon cher—?"

Mengetahui aku yang memanggilnya, ia pun melihatku dengan ekpresi terkejut yang sangat aneh. Tiba-tiba ia merapikan rambut Emasnya yang panjang lalu berkata.

"Kita kedatangan tamu spesial!"

"Selamat datang putri." Lanjut Gilbert si murid Albino bermata merah Ruby. "Ada yang bisa kami bantu?"

Aku memutar bola mataku dengan jengkel. "Hentikan tingkah laku konyol kalian. Aku sedang mencari Matthew."

"Williams?" Antonio yang berasal dari Spanyol, yang memiliki kulit nyaris segelap milikku, bertanya dengan nada suaranya yang lugu, lugu betulan. "Tadi ia berada disini, tetapi ia tiba-tiba pergi."

Gilbert terkekeh, "kamu yang menelponnya 'kan? Kamu membuatnya kalang kabut tak karuan saat melihat ponselnya."

Alis mataku bertaut, keheranan, biarpun ada sedikit kecurigaan. "Apa yang menurut kalian membuatnya kalang kabut?"

Pertanyaanku membuat ketiganya tiba-tiba mencari fokus lainnya seolah dengan sengaja mengabaikanku, menutupi sesuatu yang sudah pasti, membuktikan kecurigaanku, biarpun aku tak tahu apa yang sudah pasti tersebut. Akan tetapi aku memiliki sebuah asumsi.

"Ia menyukaiku?" Tanyaku lagi, ku pasang wajah serius.

Benar dugaanku. Ketiganya langsung kembali memandangku dengan ekspresi bercampur aduk.

"Bagaimana bisa tahu?" Francis pun yang memiliki hubungan dekat dengan Matt, bertanya. Diantara ketiga sekawan tersebut, wajahnya lah yang memiliki ekspresi terkejut senang. Sementara itu kedua temannya membuatku curiga kalau mereka berniat menggunakan rasa suka Matt terhadapku sebagai kesenangan sendiri.

"Bukannya sudah jelas? Hanya dia yang sikapnya tak menyebalkan kepadaku."

Gilbert mencibir, "seolah kami pernah melakukan hal menyebalkan terhadapmu eh."

"Barusan yang kamu lakukan itu artinya apa?"

Tak lama aku meninggalkan mereka karena pembicaraan mulai beralih kepadaku karena aku berkata kalau aku tak ada niat memiliki pacar bahkan dengan Matt sekalipun. Akan tetapi, mengetahui kalau Matt menyukaiku membuatku sangat kecewa, juga senang. Senang karena setidaknya ada yang menyukaiku, yang matanya cukup lebar untuk melihatku apa adanya. Kecewa, karena aku mengetahuinya amat sangat terlambat, atau rasa suka Matthew yang datang terlambat. Aku sangat menyukainya, dulu, ia sangat normal ketimbang dari para makhluk-makhluk barbar—murid-murid lelaki lainnya. Sangat tenang, tak berlebihan, dan… Tampan? Tetapi perasaan itu sudah tak ada seraya berjalannya waktu dan tumbuhnya rasa benciku terhadap murid laki-laki. Sungguh sangat mengecewakan, karena aku yakin aku tak akan sanggup menyukainya lagi, menyukai hingga sejauh itu lagi.

Karena terlalu dalam memikirkan masalah mengenai Matt, aku sampai tak menyadari keberadaan Gilbert yang sudah sedari tadi berjalan berdampingan denganku hingga kafeteria bangunan kedua. Saat ia tiba-tiba memanggil namaku keras-keras persis di telinga, barulah aku menyadarinya.

"Mein gott, apa semua wanita itu sangat kasar?" Kesal Gilbert sambil mengelus pipi kirinya yang menjadi tempat aku mendaratkan sebuah tamparan keras.

"Jangan mengeneralisasikan wanita seolah kamu kenal semua wanita di dunia ini." Kataku dengan geram karena marah terhadap Gilbert yang membuatku harus melemparkan sebuah tamparan, mengakibatkan tanganku sakit luar biasa. "Itu sama saja denganku berkata kalau semua pria itu lemah hanya karena kamu tak bisa berolahraga dengan baik. Lagipula kalau kamu tak mengagetkanku, aku tak bakalan menamparmu."

Ku acuhkan pelototan Gilbert yang datang setelah aku berkata demikian. Namun saat memasuki kafeteria, kami berdua melihat Ludwig sedang bersama temannya, Honda Kiku, dan ugh… Feliciano. Gilbert pun memilih pergi menemui mereka ketimbang bersamaku, tentu saja, dan aku senang dengan pilihannya. Akan tetapi, setelah aku berbelok mengarah ke sudut-sudut kafeteria yang biasanya dijadikan langganan tempat duduk para kutu buku—termasuk aku—, aku merasakan seorang menatapku begitu menusuknya hingga tubuhku sempat merinding. Dan dugaanku benar, Feliciano menyadari keberadaanku di kafeteria, biarpun ia tadi seharusnya sih tak melihatku masuk karena ia memunggungi pintu masuk, mungkin Gilbert mau membalas dendam dan memberitahukannya kalau ia tadi bersamaku, itu kalau ia tahu bagaimana hubunganku dengan Feliciano. Tatapannya hanya beberapa detik saja, dan aku tak mengerti apa maksudnya dari melakukan hal tersebut, jadi aku tak menggubrisnya.

"Kau melihat Matthew Williams?"

Pertanyaanku membuat si murid berambut pirang pendek yang sedang duduk di kursi meja kedua dari pojok, melihatku dari balik kacamatanya. Awalnya aku tahu ia tampak jengkel dan berniat mengacuhkan orang yang mengganggunya dari aktifitasnya dengan Laptop kesayangannya, akan tetapi mengetahui aku yang memanggilnya, ia justru terlihat lebih bersahabat dan membuang tatapan ketusnya.

"Oh, hai nona Perpus. Maaf, aku tak terlalu mendengar apa yang kau katakan barusan, kau tahu alasannya." Ia pun kembali melihat ke arah layar Laptopnya, mengabaikanku sepenuhnya.

"Matthew Williams, kamu melihatnya?"

"Ah, Matt, ya Matt, aku mengenalnya, Matthew Williams ya? Hmm… Aku pernah melihatnya, sepertinya, aku tak yakin apa itu hari ini atau kemarin, atau mungkin tahun lalu? Itu adalah sebuah misteri."

Ku tutup Laptopnya, menonton perubahan wajahnya dari kaget, lalu membelalak takut, berubah marah, dan yang membuatku kecewa, ekspresi terakhirnya terlihat sedikit sebal denganku, tetapi ia terlihat tenang.

"Jika kamu tak menghentikan kebiasaanmu menjadi perempuan kasar, tak akan ada yang mau menjadi pacarmu." Kata Eduard dengan nada mengancam khasnya, yang terdengar sangat meyakinkan, "Matthew? Ya, dia tadi disini, pucat pasi, apa yang kamu lakukan terhadapnya?"

"Kamu pikir aku menekannya? Mengancamnya?"

"Apa lagi?"

"Bagaimana caranya? Lewat telepati? Bertemu saja belum! Aku menelponnya tujuh kali yang tak diangkat kendati ia memegang terus ponselnya. Itu kenapa aku disini sekarang. Terima kasih dan selamat tinggal."

Senyuman tak bisa ku tahan di bibirku saat Ed berdeham sebelum aku sempat pergi biarpun aku telah memunggunginya. Tetapi yang awalnya ku pikir ia akan menyinggung nilai ujianku yang nyaris sempurna, yang tepat berada di bawah Arthur, ia mengejutkanku dengan bertanya.

"Kamu datang ke pesta dansa?"

"Kau lihat sendiri pengumumannya bukan?" Keluhku sambil menarik kursi di sampingnya, duduk dan menyerahkan usahaku berpura-pura tak bersahabat. "Arthur ingin aku membuat para guru terkesan."

Tawa Ed tersembur, "membuat mereka terkesan? Bah! Buang waktu."

"Aku setuju. Dan ia berpikir mungkin dengan begitu kelompokku bisa mengabaikan peraturan yang mengatakan kalau tiap kelompok harus memiliki minimal lima anggota."

"Makin mustahil! Apa Arthur otaknya malfungsi setelah ujian kelulusan?" Tawanya makin keras, biarpun taak cukup keras untuk dapat di dengar oleh murid-murid lainnya yang ada di kafeteria. "Mau ke pesta dansa bersamaku?"

Kali ini tawaku yang tersembur, dan aku tak menahan tawa terbahak-bahakku lagi. "Aku dan kamu? Kamu melucu?"

"Tuh 'kan, aku sudah bilang kamu pasti langsung tahu." Ia pun ikut tertawa, yang membuat satu gelas lagi air kekecewaan dituang dalam hatiku. "Tebak apa? Toris dan Raivis berpikir kita berdua cocok! Yang benar saja! Siapa yang mau dengan perempuan kasar sepertimu?"

Sejujurnya aku tak tahu kalau mereka berdua sempat berkata kalau aku dan dia cocok. Karena kenyataannya kami memang benar cocok. Menyukai hal sama—buku dan komputer—, memiliki pandangan sama, apa lagi yang kurang? Perasaan akan datang nantinya, biarpun entah nomor berapa dia dalam daftar orang paling ku benci, yang pasti ia berada di bagian bawah, tak mendekati Matt dan Timo, tetapi juga jauh dari Arthur dan Ivan. Dan kurasa memang mustahil. Membebani pikiranku dengan hal seperti ini hanya membuang waktu biarpun tetap saja, ada sengatan rasa yang membuat harga diriku sebagai perempuan terlukai.

"Nona Perpus."

Langkahku terhenti saat aku baru saja beranjak dan berniat mencari Matthew kembali. "Ya?"

"Alice… Apa dia sudah diajak oleh seseorang?"

Mungkin ini yang membuat hubunganku dengannya mustahil, aku cukup membencinya hingga aku tak rela memasangkannya dengan Alice, tidak, masih ada pria baik untuk Alice, biarpun Alice sendiri memiliki sikap keras dan kolot, dan Alice denganku memiliki hubungan yang rumit biarpun masih tetap bersahabat.

"Tentu saja, dia itu sama dengan Arthur, sangat populer dikalangan murid-murid bangunan satu." Jawabanku terdengar tanpa belas kasihan jika beranggapan bahwa Eduard teman baikku. "Bagaimana dengan Natalia?"

"Kecuali kamu ingin melihat Toris untuk pertama kalinya memiliki wajah lebih menyeramkan dari Ivan Braginsky, aku akan lakukan. Tetapi aku tak tertarik padanya, saingan cukup ketat, resiko tak sepadan dengan hasil."

Aku tak bisa lagi berkata-kata dan langsung meninggalnya selepas melihat sosok gadis yang menjadi topik pembicaraan singkat kita berada dekat dan yang aku yakini, mendengar perbincangan kita mengenai dirinya. Dan jantungku mulai berdetak cepat lagi, tanda serangan panik akan segera datang, saat melihat mata Violetnya menatapku tajam bagaikan diancam menggunakan ujung runcing tombak. Hanya doa yang dapat kuberikan pada Eduard untuk keselamatannya yang terancam tak lama lagi. Memang sebuah kesalahan menyinggung nama Natalia dalam pembicaraan kami. Kakaknya yang seekor Beruang tentu membuatnya juga seekor Beruang ganas haus darah. Tatapan penuh ancaman yang ia berikan padaku tadi selain membuat serangan panik kembali datang, Ed mengancamku lewat pesan singkat setelah aku sudah berada sangat jauh, kalau ia akan melakukan sesuatu terhadapku yang akan ku sesali, dan yang terakhir, aku tak bisa berhenti lari karena tampaknya sesaat sebelum serangan panikku datang, aku merasakan tubuhku dialiri adrenalin karena rasa takut terhadap Natalia, yang justru terpompa ke seluruh tubuh, membuatku jadi makin tak bisa mengontrol besarnya tenaga yang datang tiba-tiba. Alhasil paru-paru dan jantungku rasanya seperti akan pecah, dan aku sudah terkapar di kursi batu yang diukir cantik di taman belakang bangunan empat.

"Aku mati sajalah..." Kataku dengan erangan di sela-sela napas yang tersengal hebat. Namun tiba-tiba tangan terulur entah dari mana, menawarkanku pisau lipat Swiss yang tampaknya dibuat khusus dengan plastik pelindung bergambarkan bendera Norwegia. Sudah jelas siapa pemilik pisau tersebut dan tangan kurus berkulit seputih salju.

Ku tepis pemberiannya tersebut dan mengangkat tubuhku supaya dapat duduk dan melihat orang itu dengan jelas. "Apa maksudmu menawarkan itu, Lukas?"

"Kamu terlihat sekarat seperti itu, siapa yang tega?"

"Dan tak perduli jika mendukung aksi bunuh diri itu melanggar hukum?"

"Mau tidak pisaunya?"

"Gratis?"

Lukas menaruhnya kembali di saku celana panjangnya. Ia pun merebahkan tubuhnya di rerumputan hijau dan memejamkan matanya seolah tak terjadi apa-apa. Tidak, seolah ia sudah biasa tidur disini karena siapa yang dapat tahu kalau rerumputan di taman ini tak ada ulatnya? Atau setidaknya tak ada kotoran atau debu dari sepatu murid lainnya? Sebegitu terbiasanya hingga ia sangat yakin kalau alat penyiram rumput otomatis tak akan menyala pada jam segini dan membuat tanah lembab dan basah, yang bisa meninggalkan bercak cokelat kotor di kemeja putih miliknya?

Serangan panikku hilang saat kesunyian sudah berlangsung selama lima menit dan berubah menjadi ketenangan yang canggung. Aku tak mengenal Lukas kendati berada dalam kelas yang sama, dan duduk bersampingan. Ia selalu diam, kami hanya berkomunikasi saat pertama kali berkenalan, selepasnya, ia selalu bersama gengnya, Timo, Berwald, Emil—adiknya, Matthias, dan murid baru, Peter Kirkland, adik laki-laki Arthur. Kecuali dari yang diceritakan oleh Ber dan Timo, aku tak tahu apa-apa tentangnya.

Demi mengusir rasa canggung yang kini mulai membuatku agak tertekan, aku membuka pembicaraan dengan pertanyaan.

"Pesta dansa nanti, kamu datang?"

"Entah. Timo dan Matthias memaksa. Bahkan kamu juga?"

"Juga apa? Aku hanya bertanya."

"Kalau begitu pergi sana."

Bahkan dia bersikap menyebalkan eh.

"Sayangnya kamu tak memiliki otoritas untuk mengusirku, properti ini milik sekolah."

Tiba-tiba ia bergelinding menjauh dariku, memunggungiku bagai seorang bocah yang sedang merajuk karena ibunya tak mau membelikan permen untuknya. Akan tetapi aku lebih memilih untuk menghabiskan tenagaku mencari Matthew ketimbang berusaha bersosialisasi dengan spesies satu ini, jadi aku bangkit dan pergi sambil berbisik minta maaf telah mengganggunya tidur siang.

"Apa yang kamu katakan barusan? Maaf? Barusan nona Perpustakaan minta maaf?"

Oh, jadi hanya aku yang tak mengenalnya, karena tampaknya ia mengenalku dengan sangat baik.

"Ku tarik kembali!"

Lady in Red, bersambung...


-Russia:

Zhdat' = Tunggu

Spasibo = Terima kasih

-Italia:

Una signora = Seorang wanita/perempuan

Ci vediamo = Sampai jumpa

-Prussia:

Mein gott = Tuhanku!


Author's corner:

Halo! Terima kasih sudah mau membaca Silhouette of Lady in Dress (SLD)! Panjang ya? Saya ga bisa nahan tangan saya untuk terus nulis, jadinya agak lebih panjang dari rencana. Cerita ini fokusnya pada reverse harem, dan Nona Perpustakaan itu OC saya, bisa juga dijadikan julukan untuk Reader bagi yang ingin terjun masuk ke dalam ceritanya. :)