Hate, Hurt, Kill Me Now!
CHAPTER 1
Warning! YAOI, Semi-antagonis!Main chara, M-PREG bikin muntah (ini serius), Alur tidak beraturan, Typo(s) gak masuk akal.
Pair! Johnny x Ten
NCT adalah punya Sment, saya cuma pinjem nama dan gejolak cinta yang mereka rasakan satu sama lain (?)
.
Happy Reading
.
Ombak menerjang karang. Karang diam.
Ombak itu tak berhenti. Dia menerjang lagi karang lebih keras. Lalu hancur menjadi tetesan air yang terbang di udara. Saat itu, karang masih diam.
Ada angin yang mendorong ombak untuk terus menerjang karang kesukaannya.
Namun, angin tak tahu. Menyentuh karang saja menyakitkan, apa lagi menubrukkan diri ke tubuhnya yang tajam.
.o0o.
Laki-laki itu berdiri di depan sebuah gerbang sekolah. Beberapa anak kecil berlari keluar lalu menubruk orang tua masing-masing. Melihat pemandangan itu membuat jantung sang laki-laki muda berdebar. Dia meremat tangannya tak sabaran. Matanya menelusur masuk kedalam bangunan itu. Mencari eksistensi malaikat kecilnya.
Tak perlu waktu lama, sesosok kecil dengan rambut hitam dan pipi tembam keluar dari dalam gedung. Dia berjalan santai sambil menggandeng tangan temannya. Dibanding anak lain, laki-laki mungil itu tampak lebih tenang dan pendiam.
Begitu sampai di gerbang, mereka berdua berpisah jalan. Temannya itu pergi menghampiri ibunya, begitu pula si laki-laki mungil menghampiri ayahnya.
"Papa..."
"Aigo, Minhyung. Lupa waktu lagi main sama Jeno?"
Sang anak hanya tersenyum nakal saat ayahnya mengangkat tubuhnya ke udara.
"Maaf, hehehe..."
"Ya sudah. Ayo kita makan siang di restoran dekat sini."
"Aniii! Minyung mau makan masakan papa! Kita pulang saja ya."
"Papa tidak bisa memasak."
"Bohong! Minyung paling suka masakan papa. Masakan papa jjang!"
"Arraseo. Kita pulang."
Perjalanan mereka menuju rumah cukup jauh. Harus menggunakan subway dan melewati 3 stasiun untuk sampai. Terkadang mereka terlalu lelah untuk langsung pulang. Bridal tempat kerja sang ayah yang lebih dekat biasanya menjadi tujuan. Tapi sekarang bridal itu telah ditutup. Dan Minhyung tidak mau pindah sekolah karena dia punya Jeno di sekolahnya yang sekarang.
Sebuah sedan hitam merapat ke trotoar dimana Minhyung dan ayahnya berjalan menuju stasiun. Anak itu terlihat heran namun setelahnya tersenyum cerah saat melihat sesosok laki-laki keluar dari mobil tersebut.
"Taeyooong!"
Seruan riang Minhyung membuat Taeyong tersenyum tipis. Anak itu meronta dari pelukan ayahnya karena ingin beralih ke pelukan Taeyong. Namun sang ayah tak mengizinkan. Raut bahagianya memudar. Begitu pula senyum Taeyong saat mata mereka bertemu pandang.
"Apa?" tanyanya.
"Dia meninggal."
.
Suasana berkabung di rumah duka terasa kental. Orang-orang dengan pakaian serba hitam datang dan pergi dari sebuah ruang berkabung di ujung lorong. Tidak banyak. Mungkin orang-orang yang dulu setia mengerubungi si mayat seperti semut mengerubungi madu telah berpaling pada madu yang lebih manis. Dia ditinggalkan.
Senyuman remeh terpatri di wajahnya saat memikirkan hal itu. Betapa menyedihkan.
Kini gilirannya dan Taeyong untuk memberikan penghormatan terakhir padanya yang mati dengan tenang. Pandangan orang terhadap mereka berdua, lebih tepatnya pada seseorang di samping Taeyong mereka hiraukan. Bisik-bisik mulai terdengar.
"Presdir Leechaiya dari grup Yeon?"
"Apa yang mereka lakukan disini?"
"Pimpinan kelompok Shiyam?"
Taeyong meremat tangan laki-laki di sebelahnya saat kalimat terakhir itu terceletuk dari mulut seseorang.
Mereka berdua selesai memberikan penghormatan terakhir. Saat itu, tatapan tajam dari mata seorang yang berkabung menusuk mereka.
"Aku turut prihatin, Youngho. Irene, sudah pasti merasa lebih tenang sekarang."
"Bisa-bisanya kau bilang seperti itu setelah menghancurkan kehidupan kami. Tidak tahu malu."
Laki-laki yang mengutarakan basa-basi bela sungkawanya itu menahan napas. Tetap, dia mempertahankan raut wajahnya yang datar.
"Benar. Aku yang membuat bangkrut perusahaan kalian, aku yang membuatmu kehilangan keluarga, aku yang membuatmu jadi pengangguran, aku juga-"
"DIAM! Keluar kau, lintah darat."
Kegaduhan itu semakin mengambil atensi orang-orang di luar. Taeyong merasa tatapan orang-orang itu mulai menajam. Dia meraih tangan laki-laki yang datang bersamanya itu lalu keluar dari ruang berkabung.
Taeyong membukakan pintu mobil untuknya. Tapi sepertinya laki-laki itu tak berniat untuk cepat pulang.
"Maafkan aku, Taeyong. Kau harus melihat Irene dalam keadaan seperti ini." Ucap laki-laki itu tanpa menatap Taeyong sama sekali. "Pasti sulit hidup untuk melayani hidup orang lain. Dan sialnya lagi orang itu aku."
"Tuan... Minhyung sudah menunggu."
"Namaku Ten. Kadang aku lupa saking jarangnya nama itu disebut."
Taeyong tak menanggapinya. Ia membukakan pintu mobil lebih lebar lagi agar Ten segera masuk. Tatapan orang tidak mengenakkannya.
"Taeyong-ah..."
"Ya tuan?"
"Menurutmu, apa yang akan dipikirkan Minhyung jika tahu ayah yang selama ini dia pertanyakan baru saja kehilangan istrinya?"
.o0o.
Mengembangkan perusahaan di negera maju memang lebih menguntungkan ketimbang di negara sendiri yang masih sibuk-sibuknya membangun. Meski resiko yang dihadapi tak kalah besar, tangan dingin laki-laki tua itu tak berhenti mengembangkan mata pencaharian keluarganya sejak turun temurun.
Dia tak pernah salah langkah. Sekalipun dihadapkan dalam pilihan yang sulit, keputusannya selalu tepat sasaran. Disanalah awal dari terbentuknya sebuah kelompok kecil bernama Shiyam. Orang-orang mulai mengabdikan diri pada lelaki bertangan dingin itu. Lelaki itu pun tak menolak saat orang mulai melabelinya sebagai pemimpin. Toh, dia juga membutuhkan orang dalam untuk bertahan di industri ini.
Perlahan kelompok itu berkembang semakin besar. Mereka bukan hanya kelompok yang berfokus pada bisnis, namun juga tanpa sadar mengembangkan kekuatan dengan mengandalkan nama besar dan sedikit kriminalitas. Singkatnya, sebut saja gangster berkelas.
"Kakek serius aku sekolah disini?"
"Meski terlihat biasa, sekolah ini menyimpan harta karun, Ten."
Sangsi dengan pernyataan itu, Ten menatap kakek yang duduk di sampingnya. "Maksud kakek anak-anak para lawan bisnis kakek itu 'kan? Kakek ingin aku mengawasi mereka 'kan?"
Sang kakek tertawa keras. Puas dengan kepintaran dan kelicikan otak cucunya. Dia memberikan sebuah tepukan di bahu Ten. "Lakukan."
Ten berdecih. Dia segera keluar dari mobil karena tidak tahan dengan hawa jahat di dalam sana.
"Ten!" seruan sang kakek mau tak mau membuat remaja itu menoleh. "Kau satu-satunya penerusku. Ingat itu."
Kalimat itu lagi, itu lagi. Bosan Ten mendengarnya. Dia segera berlari masuk ke dalam sekolah yang bakal menjadi tempat 'bermainnya' selama dua tahun kedepan. Selama itu, Ten berharap mendapatkan pengalaman yang selama ini belum dia dapatkan. Demi menjadi pemimpin kelompok Shiyam maupun Grup Yeon.
Namun jiwa mudanya menggelora seperti kebanyakan remaja pada umumnya. Perasaan ingin sedikit nakal menyusup ke dalam pikirannya. Tanpa banyak pertimbangan, Ten mengikuti keinginan nakalnya itu. Dia mengingkari janji bertemu dengan calon wali kelasnya dan berjalan memutari gedung sekolah.
Tidak ada yang spesial dari bagian belakang yang terbengkalai itu. Hanya tembok tinggi menjulang dan rumput tinggi yang tak terurus. Ten tidak menjamin tidak ada ular yang tinggal disana. Meski begitu dia tak berhenti berjalan.
Sebuah bangunan berbentuk persegi yang terpisah dari gedung utama menarik perhatiannya. Jika dilihat sekilas, bangunan itu mungkin toilet atau gudang tak terpakai. Tapi, asap yang keluar samar-samar dari ventilasinya membuat Ten penasaran. Dia membuka pintu putih yang terlihat rapuh di bangunan itu tanpa pertimbangan.
Seperti yang dia duga. Ruangan itu hanya gudang penyimpanan biasa. Plus, menjadi sarang seseorang menyulut rokoknya.
Sosok itu segera mematikan rokok yang sempat di nikmatinya sebelum Ten datang. Ia berdiri, menunjukkan ke kokohan tubuhnya pada seseorang yang dengan berani mengganggu kesenangannya.
"Kenapa kau merokok disini? Siswa tidak boleh merokok di lingkungan sekolah." Ucap Ten.
"Memang aku peduli?" Siswa tinggi itu menatap perawakan Ten dari atas hingga bawah. Senyuman remeh terpatri di wajahnya. "Anak baru? Kau tidak tahu aku ini siapa?"
"Memang aku peduli?"
"Ya! Beraninya!"
Siswa yang Ten yakini sebagai berandalan sekolah itu menerjangnya dengan kuda-kuda yang berantakan. Ten dengan mudah menghindar. Pukulannya mungkin terlihat kuat, tapi tanpa arah.
Laki-laki itu tak berhenti menyerang Ten. Hingga sekarang posisi mereka berbalik. Ten terjebak di dalam ruangan sementara si berandalan memblokir jalannya untuk kabur.
Sial! Ternyata laki-laki ini cerdik juga.
Sepertinya Ten tahu apa yang akan dia lakukan untuk mengisi dua tahunnya di sekolah ini. Berandalan di hadapannya terlihat menguntungkan untuk dijadikan teman.
Tanpa sengaja matanya berubah fokus. Ten melihat sosok laki-laki berpakaian rapi muncul dari balik tembok gedung. Intuisinya berkata kedatangan orang itu adalah ancaman. Baginya dan si berandalan. Jadi tanpa pikir panjang dia menarik laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya itu ke pojok ruangan yang gelap dan tertutup oleh bangku-bangku. Tapi tentu saja, lazimnya orang yang baru saja berkelahi pastinya laki-laki itu memberontak. Dia meninju perut Ten hingga terjatuh ke lantai.
"Akh! Yak, ada guru menuju kemari!" seru Ten dengan suara tertahan. Nyeri di perutnya berdenyut-denyut.
Mendengar hal itu, si berandalan langsung menyeret Ten bersamanya. Bisa gawat kalau Ten tergeletak di sana, dia pasti akan ketahuan juga. Mereka bersembunyi di celah lemari dan tembok. Percayalah, masih ada ruang untuk mereka bersembunyi di sana.
Ten tak berontak saat berandalan itu memeluk erat tubuhnya dari belakang dan membekap mulutnya seperti seorang penculik. Toh, ini demi keselamatan mereka juga.
Tapi saat tiba-tiba dia merasakan udara panas menggelitik telinganya, Ten bergetar. Otomatis pelukan berandalan itu semakin mengerat, seakan-akan menjaga Ten untuk tidak bergerak banyak.
Ten memberanikan diri menoleh ke arah berandalan itu. Pilihannya salah. Karena di saat yang sama si berandalan juga tengah melihatnya.
Jantungnya berpacu cepat.
Mata yang sombong itu ternyata berwarna coklat tua. Pekat, walau tak sepekat miliknya. Hidungnya tinggi, sepertinya akan sedikit kesulitan untuk berciuman dengannya. Dan rahangnya yang samar seperti menambah poin lucu dari wajahnya.
Panas. Ten tidak pernah merasa panas semacam ini sebelumnya. Sensasi panas ini berbeda dibanding saat ia demam. Yang dirasakannya sekarang, panas yang menyenangkan. Kalau bisa, Ten berharap diselimuti perasaan panas ini setiap saat.
"Kemana Young-shit-ho itu? Dasar berandalan." Ternyata guru itu benar-benar menuju kemari. Keduanya semakin mendempel tanpa sadar seakan mencari pertolongan. "Kalau bukan karena ayahnya yang presedir, sudah kuhabisi dia!"
Pelukan dan bekapan si berandalan itu mengendur.
Guru yang nyaris memergoki mereka akhirnya pergi. Pelukan yang mengantarkan hawa panas itu akhirnya ikut pergi juga.
Mereka berdua keluar dari tempat persembunyian. Menyisakan kecanggunggan yang tiba-tiba datang karena mereka sadar baru saja saling berhimpit di tempat sekecil itu.
"Heh, anak baru. Kau tidak bertemu guru atau apa begitu? Kenapa tiba-tiba sudah bolos?"
"Aku cuma ingin bolos saja."
"Cih, ternyata sekolah ini menerima sampah baru."
"Terima kasih pujiannya, sampah."
Ten membersihkan seragamnya yang tertempel debu. Juga, menenangkan jantungnya yang menggila.
"Aku akan pergi bertemu dengan wali kelasku." Ucap Ten sambil berjalan keluar gudang. Sudah cukup! Sudah cukup jantungnya hampir meledak!
"Heh! Kita belum selesai!" Youngho mengejar Ten keluar gudang.
"Apalagi sih? Aku tidak akan-"
"Owo... kau disini ternyata, Youngho-ssi."
Suara familiar itu terdengar lebih buruk dari halilintar.
"Wah, dan murid baru."
Hari itu, mereka berakhir berlari di lapangan saat jam istirahat makan siang. Dengan karton menggantung di leher.
'Aku berkencan dengannya di gudang.'
.
.o0o.
Minhyung telah tidur saat mereka berdua sampai di apartemen Ten. Hari ini melelahkan. Sang pemilik rumah langsung merebahkan diri di sofa ruang tengah setelah mencium kening anaknya seperti biasa.
"Tuan, aku akan langsung pulang."
"Makanlah dulu."
Ten bangun dari istirahatnya. Tanpa menunggu respon Taeyong dia berjalan ke dapur. Mencoba untuk memasak sesuatu dari apa yang dia punya di kulkas.
"Tidak perlu, tuan. Tolong istirahatlah."
"Memang aku menerima penolakan?" Ten menatap Taeyong tajam. "Duduklah dan biarkan aku memasakkan sesuatu untukmu. Kau baru saja kehilangan perempuan yang kau cintai. Pasti berat."
Taeyong tak menjawab apapun. Ketimbang memikirkan kalimat untuk diucapkannya, laki-laki berambut hitam itu lebih memilih memandang punggung kecil tuannya. Semakin hari ia terlihat makin tegar. Pundaknya yang dulu sering bergetar kini hilang. Hati tuannya telah besar. Dibesarkan oleh waktu dan tuntutan banyak orang. Kadang Taeyong merasa kehilangan sosok Ten yang nakal dulu. Tapi dia bisa apa? Dia hanya suruhan.
"Aku dengar pengacara Irene ingin bertemu denganku. Benar?"
Taeyong tersadar dari lamunan. Dia mengingat pesan singkat yang dikirimkan pengacara wanita itu tadi sore.
"Iya. Besok jam dua siang."
"Kira-kira kenapa?"
Pertanyaan itu membuat Taeyong meneguk salivanya berat. Tentu dia tahu alasannya. Tapi bukan kewenangannya untuk bicara.
Semangkuk sup miso tersaji di depannya tiba-tiba. Dia mendongak. Menemukan mata tajam Ten.
"Umumkan pada seluruh anggota kelompok Shiyam. Berkumpul di mansion jam empat sore."
"Ada sesuatu tuan?"
"Aku rasa kau lebih tahu alasannya, Taeyong."
.
Ruangan itu tampak suram. Dua dari tiga orang yang duduk melingkar disana tengah mencoba mencerana isi dari surat wasiat Irene. Yang satu kebingungan, yang satu lebih baingung lagi. Kemurkaan jelas terpancar dari raut wajah Youngho. Dia menggeram sambil menudung hidung Ten yang duduk di depannya. Saat dia datang kemari, bahkan dia tidak mengira laki-laki licik itu ada di sana dan menjadi bagian dari surat wasiat yang ditinggalkan istrinya.
"Bagaimana bisa, kau!? Ini tidak mungkin! Pengacara Kim, ini menyalahi hukum!"
"Jika pihak yang sudah meninggal menginginkan ini, tidak ada yang namanya hukum Youngho."
Ten meremat tangannya di bawah meja. Dia mencoba untuk mempertahankan wajah datarnya meski isi pikirannya berkecambuk. Kenapa namanya ikut terseret dalam masalah ini? Dia bahkan telah lepas tangan dari kehidupan Youngho dan keluarganya. Baru kemarin mereka bertemu, lalu kenapa wanita yang sekarang sudah mati itu malah merepotkannya?
"Bagaimana bisa dia mempunyai hak asuh atas Herin? Herin itu anakku!"
"Irene menyerahkan sepenuhnya hak asuh Seo Hye In pada pihak Chittaphon Leechaiyapornkul tanpa alasan tertulis. Aku sebagai pengacara tidak bisa berbuat banyak. Pekerjaanku hanya membacakan surat ini."
Youngho tak bisa meredam amarahnya lagi. Dia bangkit dari kursinya lalu meraih kerah baju Ten.
"APA YANG KAU MAU HAH!?"
Kenapa kau tanya aku? Aku juga tidak tahu!
Ingin rasanya Ten membalas teriakan itu. Dia juga merasa menjadi korban dalam hal ini. Tapi yang dia lakukan hanya menyingkirkan cengkraman tangan Youngho di bajunya. Otaknya perbikin sejenak.
"Kurasa Irene lebih percaya hidup anakmu terjamin dalam pengawasanku. Relakan saja."
"Apanya yang relakan saja!? Dia masih punya ayah! Aku! Aku ayahnya. Dan aku tidak rela anakku dibesarkan oleh orang jahat, picik, licik, bajingan, anjing sepertimu."
"Youngho cukup!" Sang pengacara menengahi pertengkaran mereka. "Tuan Chittaphon. Kau bisa mengambil Herin esok, bersamaku."
"Tidak ada yang akan mengambil Herin! Dia milikku."
"Kau akan dapat hukuman untuk itu Youngho!"
Tak tahan dengan semua ini, Ten bangkit. Dia harus menghadiri rapat sejam lagi. Dan juga, dia sudah sangat sakit hati dengan cacian Youngho terhadapnya. Ya, sebenarnya dia memang pantas mendapatkan cacian itu. Tapi mendengarnya dari seseorang yang... ah, lupakan saja.
"Aku permisi." Ten membungkukkan tubuhnya sebelum cepat-cepat keluar ruangan.
"Lihat saja! Aku akan selidiki semuanya! Aku akan buka semua rencana busukmu, bajingan!"
Blam!
Taeyong menyambut majikannya yang keluar dari ruangan. Namun Ten tak mood untuk menanggapi Taeyong. Mereka berjalan beriringan menuju baseman dimana mobil mereka terparkir.
Seperti biasa, sebagai pengawal yang baik Taeyong membukakan pintu mobil untuk Ten.
Kali ini, lagi-lagi pria itu tak berniat untuk cepat-cepat masuk kedalam mobil. Dia menatap Taeyong. Lama sekali. Lalu di penghujung tatapannya itu, Ten menampar Taeyong dengan keras.
Yang tersisa hanya kebingungan saat suara tamparan itu lenyap di udara. Taeyong tak berani memandang majikannya.
"Kalau aku menemukan kau terlibat dalam hal ini..."
Kalimat Ten menggantung. Pria manis nan beringas itu menggigit bibir bawahnya. Menahan emosi yang meluap-luap sejak tadi. Sampai akhirnya kalimat itu tak selesai juga. Dia masuk ke dalam mobil lalu membanting pintunya dengan keras.
Mereka pergi ke pertemuan kelompok Shiyam di mansion. Tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi Ten. Namun tak begitu.
.o0o.
Bel istirahat menggema di lorong. Sekejab kemudian koridor penuh dengan siswa siswi yang keluar dari kelas untuk menikmati waktu istirahat makan siang mereka. Tak terkecuali Ten yang dengan sulitnya keluar dari kelas karena kelakuan wanita-wanita haus belaian yang menempel padanya.
"Maaf cantik. Aku harus pergi. Kita ketemu di jam pelajaran selanjutnya ya."
Tak lupa, Ten melemparkan wink ke gerombolan perempuan itu sebelum akhirnya berlari di koridor. Meski sebenarnya sedikit pun Ten tak tertarik dengan perempuan-perempuan itu, tapi dia suka mempermainkan mereka. Tak terhitung lagi banyaknya teman wanita yang menembaknya selama tiga bulan ini. Tentu tak satupun Ten terima. Dia rela mendapat cap lelaki penggoda asal dia bukan milik siapa-siapa karena hatinya sudah jatuh pada seseorang.
"Yeokshi! Merokok lagi." Ten segera menutup pintu gudang sesaat setelah dia masuk.
"Yeokshi! Bekal makan siang. Kemari kau."
Ten berdecak lidah. Sebal melihat kebiasaan Johnny yang suka merokok dimana saja, kapan saja. Tapi mau diingatkan bagaimana pun, dia tidak akan mendengarkannya.
"Yongho-ya..."
"Johnny, Ten... Johnny!"
"Whatever! Cepat matikan benda laknat itu. Kalau tidak kau tidak dapat makan."
Kini giliran Johnny yang berdecak lidah. Rokok yang awalnya terselip di antara jarinya kini berakhir di bawah sepatunya.
"What's the menu?"
"Egg. Fried egg."
"Just that?!"
"Mau terus komplain atau makan?"
"Makan."
Ten membuka semua kotak makannya yang penuh telur. Persetan dengan ruangan berdebu. Yang penting perut mereka terisi.
Untuk sepuluh menit selanjutnya hanya keheningan yang mengisi acara makan siang itu.
Diam-diam Johnny melirik Ten di depannya. Dia meletakkan sumpitnya sembari membasahi kerongkongannya yang kering. "Aku dijodohkan."
"Uhuk!"
Ini pertama kalinya Johnny membuka topik pembicaraan tentang dirinya. Dan langsung pada topik yang nyaris membuat jantung Ten berhenti berdetak.
Laki-laki yang lebih muda berusaha menenangkan dirinya.
Hanya di jodohkan, Ten. Tenanglah!
"Lalu? Dengan siapa?"
"Bae Joo Hyun. Irene yang ada di kelas 3-2."
"What the fuck! Dia, sangat beda denganmu dude. Kalian tidak cocok."
Ten mengucapkannya dengan penuh penekanan. Bagaimana bisa dia bersikap biasa jika orang yang dijodohkan dengan Johnny adalah perempuan paling cantik dan ramah di sekolah? Dia seseorang yang nyaris mustahil untuk dikalahkan. Belum lagi latar belakang keluarganya. Ten tiba-tiba teringat bahwa keluarga Irene itu sedang mencari pertolongan ke kelompok Shiyam. Mereka nyaris bangkrut. Itu satu-satunya cela yang dia punya, Ten rasa.
Sedari tadi Ten tak melihat langsung wajah Johnny. Jadi, saat dia tak sengaja mendongak untuk melihat bagaimana reaksi temannya, Ten terkejut.
"Sungguh? Tapi, aku menyukainya." Johnny terlihat sedih. Ini pertama kalinya Ten melihat raut wajah sedihnya. Benar-benar terlihat lugu.
Mengenyampingkan raut wajah lucu itu, Ten merasa harapannya pupus. Perasaan 'aneh' pertama dalam hidupnya terpaksa harus berakhir begitu saja karena bertepuk sebelah tangan. Benar-benar kenyataan yang menyedihkan. Padahal dia mengira, perasaan itulah satu-satunya hal yang tersisa darinya hingga dia pantas disebut 'manusia'.
"Oh iya. Ten..." Johnny memanggilnya kali ini. Mau tak mau Ten menatapnya. "Ayahku, melarangku berteman denganmu."
Ten mencerna kalimat itu. Beberapa saat sampai Johnny merasa tak sabar dan akhirnya memanggilnya lagi. Fakta itu bahkan terlupakan. Keluarga mereka berdua, bertentangan. Ayah Johnny yang merupakan bos di perusahaan besar mencoba peruntungan di bidang politik periode lalu. Tapi, kelompok Shiyam yang juga memiliki banyak kandidat di pemilihan parlemen menggagalkan rencananya itu. Selain menang jumlah, kelompok Shiyam yang menang nama itu juga licik memainkan strategi, sebut saja curang. Tak ayal jika ayah Johnny juga men-generalisasikannya dengan orang-orang jahat itu.
"Lalu, kau akan menurutinya? Dia tidak pernah peduli padamu. Yang dipikirkan ayahmu itu cuma perusahaan dan kekuasaan saja. Siapa yang mendengarkanmu cerita? Siapa yang membuatkanmu makan siang? Siapa yang-"
"Aku tahu! Sudahlah, berhenti membicarakan bapak tua itu."
Kekesalan Johnny membuat Ten tertawa bahagia dalam hati. Sebenarnya ayah Johnny itu tidak sepenuhnya salah dalam menilai. Ya, bagaimana pun juga dia bagian dari kelompok kotor itu. Mana mungkin tidak kena getahnya?
.
Tengah malam ketika Ten terlelap, seseorang membangunkannya secara paksa. Harinya siang tadi cukup berat. Patah hatinya, tugas-tugasnya. Kesal sudah Ten pada hidupnya hari ini. Saking kesalnya ia menampik kasar tangan orang yang membangunkannyan. Bahkan menendangnya.
"Bangun hei anak sialan!"
Suara serak milik sang kakek membuatnya mau tak mau membuka mata. Kamarnya telah terang benderang dan terisi beberapa pelayan rumah. Dari semua orang itu, Ten merasa asing dengan seseorang yang berdiri di samping kakeknya.
"Selamat ulang tahun." Kalimat itu seakan tak berarti keluar dari mulut keriput si laki-laki tua.
"What? Kakek membangunkanku hanya karena ini?"
"Tidak." Si laki-laki asing berjalan mendekati Ten. Ia memberikan hormat seperti Ten adalah satu-satunya pemimpin yang dia punya. "Aku memberikanmu hadiah."
Ten seakan mengerti kemana arah pembicaraan ini akan berlabuh. Sekali lagi dia melihat laki-laki yang berdiri di samping tempat tidurnya.
"Namaku Lee Taeyong. Mulai sekarang pergunakan aku dengan baik, tuan."
Butuh beberapa saat sampai Ten mendapatkan sebuah insight. Pengawal barunya ini, adalah barang yang dia butuhkan untuk membangun kembali harapannya mendapatkan Johnny.
.
.
TBC
.
A/N DAN! Ini FF pertama dimana Ten gue jadiin antagonis. AGAK antagonis sebenernya, gak sepenuhnya jahat juga. Dia tetap manusia gaes...
Plot ini terinspirasi dari karakter Hwa Gun di drama Ruler bla bla bla. Aku suka bangeeet sama cewek ini lebih dari pemeran utamanya. Karakter submissive yang kuat, cerdik, dan berani itu pokoknya de bes. Tapi sayang... biasanya mereka berakhir tragis. WHY WRITER!? WHY!? Peran mereka berhak juga untuk berakhir bahagia... T.T Mau protagonis, mau antagonis, semua manusia perlu berakhir dengan bahagia yak! Toloooong!
Ngomong-ngomong rada kebawa sama Taeten di fanfic ini. Tapi tidak! Aku kuat, kapal sebelah memang indah tapi kapal sendiri kalau berlayar ngebut bangeet, jos pokoknya.
Untuk FF johnten aku yang lain, akan aku hapus ya gaes. Cuz, yang rada horor kelihatannya gak banyak yang minat. Kalau yang satunya lagi... gue baper bikinnya soalnya disitu peran Hansol banyaaak banget (di pikiran gue ttng plotnya) aku tak kuat...
Hope You Like It ^^
