Sepertinya Kim Taehyung dan Park Jimin memang terlahir untuk menjadi sahabat baik. Takdir menggariskan mereka untuk berjalan saling berangkulan dan saling menguatkan.

Keduanya dipertemukan di bangku Menengah Pertama.

Jimin di bangku Menengah Pertama adalah Jimin dengan segala keburuk rupaannya. Tubuh gempal dengan pipi seperti bakpau, mata yang sipit dibingkai kacamata berbingkai tebal, rambut dengan potongan yang ketinggalan zaman ditambah cara bicaranya yang begitu kental dengan dialek Busan.

Dengan penampilan seperti itu, Jimin sudah menyandang gelar sebagai Tuan Tertuju Segala Macam Ejekan.

Pertemuan mereka tidak bisa dibilang menyenangkan, mengingat bagaimana Taehyung yang dulu menyiramnya dengan air kotor berbau karbol atau membuatnya terjatuh ketika berjalan dengan menjerat betisnya menggunakan tungkai Taehyung yang kurus.

Mungkin bagian terparah yang dilakukan Taehyung adalah mengunci Jimin di dalam kamar mandi yang naasnya tidak satupun orang membukakan pintu untuk Jimin.

Bagaimana Taehyung terkejut melihat Jimin yang terbaring lemas di atas tandu pagi hari sebelum bel masuk kelas berbunyi, seorang petugas kebersihan sekolah yang membukakan pintu itu mengiringi dengan mulut 'tak henti-hentinya menyumpah serapahi siapapun yang mengunci Jimin dan juga orang-orang yang menyadari keberadaannya namun tidak membukakan pintu.

Bagaimana akhirnya Taehyung menyadari hampir dari seisi sekolah menindas Jimin yang mungkin saja didasari karena Taehyung, Sang Tuan Segala Tujuan Kepopuleran.

Atau bagaimana Jimin tersenyum dan berkata bahwa ia baik-baik saja ketika melihat Taehyung mengintip dari sela-sela teralis tepat ketika Jimin dijemput ayahnya yang memandangnya murka dengan wajah merah padam.

Mungkin, sekali lagi, mungkin. Mungkin ketika melihat Jimin memaafkannya sedemikian mudah itulah: Taehyung berjanji akan melindungi Jimin sehidup hingga mati.

x

x

"Taehyung, aku sahabatmu benar?"

"Aku tidak sudi mengakuinya, tapi sayangnya kau benar."

Ada tawa terselip di sana. Lengkap dengan mata menyipit dan jemari yang menutupi mulut.

"Jadi aku ini apa?"

"Maksudmu?"

Ada mata yang memutar arah pandangan dan decakan sebal.

"Aku manusia dan aku sahabatmu. Kalau aku bukan manusia, aku ini apa?"

"Sejenis makhluk halus atau mungkin siluman, begitu?"

Sebuah pukulan main-main dilayangkan.

"Aku serius."

Kali ini ada hela napas yang ditarik dalam juga senyum yang merekah seiring pikiran yang semakin membuncah dalam imaji yang menari-nari.

"Kau itu bulan."

Sepasang alis menaik tanda bertanya tanpa kata.

"Memandangmu tidak membutakan mataku seperti matahari dan hadirmu menyinari kegelapan hatiku tanpa membuatku merasa ditelanjangi … "

" … bagaimana, aku puitis 'kan?"

Sebuah tangan menarik secarik kertas berisi kalimat yang baru saja diutarkan, menunjukkannya pada sepasang mata yang sekilas menampakan kecewa.

"Terserah."

"Pasti iya 'kan? Kau hanya gengsi untuk mengakui."

"Apa katamu saja."

"Sudah kubilang kalau aku lahir di Inggris pasti namaku ini Jack Shakespeare."

Ada harapan yang ranggas.

x

x

Kepingan Pertama:

MIDSUMMER MOONLIGHT

(BTS Fict, AU, OOC, bromance, friendzone, VMin, typo, absurd, inspired by RM and V's 4 O'clock song)

(Tokoh bukan milikku, serius. Mereka kupakai sebagai wujud kekagumanku pada mereka. Tidak ada maksud lain. Jika terdapat kesamaan cerita bukanlah faktor kesengajaan saya. Ending dari FF ini adalah ending yang pernah kupakai di FF Naruto yang kupublish 4 tahun yang lalu, meski FF itu sudah kuhapus. FF dengan judul Peluk Aku Sebelum Kau Pergi, jadi jangan bilang ini plagiat kalau merasa familiar dengan endingnya. Plis!)

Happy reading!

x

x

Taehyung dan Jimin menjadi sahabat baik. Taehyung berubah menjadi seseorang yang selalu berusaha menjaga dan melindungi Jimin alih-alih mengganggunya seperti dulu. Mulai mengajak Jimin berteman bahkan mengajaknya berkumpul bersama teman-teman Taehyung yang rata-rata sosok populer di sekolahnya.

Bergaul bersama mereka membuat Jimin banyak berubah secara penampilan. Ia mulai membatasi makan malamnya, membuat tubuhnya menyusut sedikit demi sedikit dan kebetulan hobi menarinya membuat tubuhnya semakin banyak berkeringat.

Suatu hari Taehyung memaksanya memasuki salon pria di dekat rumahnya, merombak potongan rambut Jimin yang sedikit ketinggalan zaman menjadi lebih kekinian. Bahkan mengajak Jimin membeli beberapa skincare untuk wajahnya yang sebetulnya sudah memiliki tekstur kulit selembut bayi. Mengganti kaca matanya dengan bingkai yang lebih trendi, meski Taehyung tidak bisa berbuat banyak dengan dialek Jimin yang kental.

Dan balasan untuk semua usaha Taehyung merombak penampilan Jimin adalah satu pukulan keras di rahangnya ditambah satu kata serapah yang pertama kali Taehyung dengar keluar dari mulut seorang Park Jimin.

Jimin bilang, "Bangsat kau, Kim!"

Mereka tumbuh bersama sampai bangku Menengah Atas. Jimin berubah menjadi sama populernya dengan Taehyung setelah perubahan ekstrem penampilannya. Wanita yang dulu memandanganya dengan tatapan mengejek berubah pandangan mereka menjadi pandangan penuh binar kekaguman.

Namun banyak kisah tidak berjalan dengan mulus, bukan begitu?

Maka kisah Taehyung dan Jimin pun sama.

"Jimin, kau sungguh-sungguh mendaftar di IU?" Tanya Taehyung.

Mereka tengah menikmati waktu senggang mereka setelah serangkaian ujian sekolah yang melelahkan.

"Tentu saja. Kau juga melakukan hal yang sama, jangan berlagak kaget." Balas Jimin sembari menoyor pucuk kepala Taehyung yang rebah beralaskan lengannya.

Angin berembus pelan, membawa aroma kering khas musim panas. Matahari bersinar menyengat. Keduanya memilih berbaring di dekat atap menara air, membuat tubuh bagian atas mereka ternaungi bayangan dari menara itu meski berakhir dengan membiarkan kaki-kaki mereka tersengat matahari.

"Sudah kubilang aku akan menjadi penerus William Shakespeare." Taehyung membalas sembari menampik dagu Jimin yang separuh terbenam di helaian rambutnya, tentu saja berniat membalas perlakuan Jimin beberapa saat yang lalu.

Jimin tersenyum kecil, meremat rambut-rambut Taehyung yang sehalus sutra menggunakan jemarinya yang bebas, "Aku tahu kau memang penulis yang berbakat."

Taehyung tertawa senang, pertama kali baginya mendengar Jimin mengakui kemampuan menulisnya, "Sayang kau tidak sehebat George Balanchine."

Jimin mendelik ke arah Taehyung meski ia tidak bisa melihat tatapan marah Jimin, "Aku akan menarikan Don Quixote sehebat dia nanti, kau lihat saja, Tae."

"Kutraktir kau makan satu bulan kalau kau bisa membuktikannya." Balas Taehyung sambil mengulum senyum.

"Lihat saja, akan kubuat kau jadi gelandangan."

Taehyung membalik tubuhnya sedikit dan memeluk Jimin sembari menjerit dengan suara beratnya yang diimut-imutkan, "Mau dong dibuat jadi gelandangan oleh Jiminie."

"Lepas! Dasar alien homo."

Namun berbanding terbalik dengan ucapannya, Jimin justru membalas pelukan Taehyung di tubuhnya. Sebelah tangannya naik dan mengusap kepala belakang Taehyung tanpa sadar.

"Lihat sekarang siapa yang jadi seperti homo." Taehyung bergumam di dalam dekapan Jimin.

Jimin hanya terkekeh. Dalam hatinya sibuk menimbang apakah ia dan Taehyung benar-benar bisa berkuliah di Amerika dengan kemampuan berbahasa inggris mereka yang minim?

"Aku tahu kau lebih bodoh di bahasa inggris daripada aku, jadi berterima kasihlah karena aku akan menjadi penerjemah gratismu di Bloomington nanti."

Perkataan Taehyung terngiang di kepalanya. Juga bait-bait puisi yang Taehyung tulis. Dan kalimat berbahasa Inggris yang Taehyung ucapkan dengan grammar berantakan dan kata berbahasa korea yang menyelip di sana-sini.

Meski samar, ada kepercayaan menyusup di relung dadanya.

x

x

x

Entah siapa yang memulai kebiasaan ini, namun hampir setiap pekan Taehyung dan Jimin akan berakhir di bangku taman. Tepat ketika tengah malam, keduanya akan duduk bersisian sembari berceloteh riuh. Mereka akan mengeluarkan kaleng soda dari dalam plastik minimarket dan beberapa snack.

Sesekali akan ada petugas keamanan yang mendekat, mencurigai mereka sebagai remaja nakal yang mabuk di taman namun setelah melihat kantung belanjaan mereka bonus beberapa penggeledahan kecil-kecilan, petugas keamanan akan berakhir dengan menyuruh mereka pulang yang hanya akan mereka iyakan setengah hati.

Semakin lama, semakin jengah pula para petugas keamanan itu.

Hingga akhirnya tidak ada satupun yang menganggu waktu mereka berceloteh. Sesekali malam hanya akan dihabiskan dalam bisu. Itu adalah waktu di mana Taehyung fokus pada kertas dan penanya sementara Jimin mulai menari-nari kecil di panggung maha luas bernama tanah.

Taehyung selalu suka Jimin yang menari. Tariannya halus juga kuat di saat yang bersamaan. Wajahnya akan menyendu di lagu-lagu bernada duka dan senyumnya mengembang ketika ia mulai mengikuti irama lagu-lagu ceria.

Tariannya luar biasa, Jimin luar biasa. Selalu seperti itu.

"Tae, kau sudah dapat e-mail dari IU?" Tanya Jimin sembari meneguk sodanya.

Taehyung menggeleng, "Belum. Pengumumannya 'kan lusa."

"Astaga, aku lupa."

Jimin meraih keripik kentang dan mulai mengunyahnya, "Kau memang mendaftar di jurusan apa?"

"Tentu saja sastra. Kau ini baru mengenalku ya?" Taehyung meneguk kopinya sambil meninju bahu Jimin pelan.

Jimin meringis kecil, "Tidak ada, Tae. Aku yakin sekali tidak ada jurusan sastra di IU makanya aku bertanya padamu."

Taehyung menggeram menyadari kebodohan kawannya yang satu ini, "Literature."

"Huh?"

"Astaga, Park," Taehyung ingin sekali menjambak Jimin, "bahasa inggrisnya sastra 'kan literature. Kalau kau cari jurusan sastra sampai Amerika menjadi tetangga Korea Selatan juga tidak akan ketemu."

Jimin tertawa pelan sambil menepuk dahinya, "Astaga. Di bagian Humaniora itu ya?"

"Tahulah." Taehyung mendengus kesal.

Jimin hanya tertawa menyadari kebodohannya. Dalam hatinya ia kembali mengingat IU atau Indiana University Bloomington yang selama ini ia dambakan sejak melihat salah satu pertunjukan tari kontemporer yang mahasiswa mereka bawakan ketika Jimin berkesempatan pergi bersama Ibu dan Ayahnya ke Indianapolis.

Ada getar halus yang mengajak tubuhnya mendamba pendidikan di tempat yang sama.

"Kau pasti sangat suka menari ya, Jim?" Taehyung membuka suara sembari merauk keripik kentang di pangkuan Jimin.

"Sangat." Jawab Jimin mantap.

Tidak ada keraguan di matanya ketika menjawab pertanyaan yang Taehyung lontarkan.

"Coba menari." Pinta Taehyung.

Jimin melirik jam tangan yang meliliti lengan kirinya, "Ini sudah pukul dua, demi Tuhan."

Taehyung tersenyum lebar menampakan barisan gigi serinya, "Aku mau lihat. Toh tidak ada siapapun."

Salahkan Taehyung dan senyumannya yang secerah matahari juga matanya yang pandai memanipulasi. Separuh enggan namun pada akhirnya Jimin bangkit dari duduknya setelah meneguk sodanya banyak-banyak.

Telunjuknya menuding Taehyung, "Kau menyebalkan!"

Taehyung tertawa menang. Ia meraih ponselnya sebelum memutar satu lagu berisi iringan grand piano yang sayangnya ia tidak tahu lagu apa karena -demi Jimin dan setumpukkan kaus kaki baunya, ia menyukai sastra bukannya musik tanpa lirik yang membuatnya mengantuk.

Jimin memulai tariannya dengan lengan menutupi matanya sementara tangannya yang lain menjuntai di sisi tubuhnya. Dalam beberapa ketukan hingga akhirnya ia menarik tangannya, memandang Taehyung lekat dengan sorot yang tidak bisa Taehyung artikan. Musik masih mengalun seiring tubuh Jimin yang mulai melakukan gerakan meloncat dan mendarat dengan langkah yang apik, kakinya melakukan beberapa kali tolakan sementara tubuhnya meliuk anggun. Dengan tangan bergerak menghambur ke udara.

Tariannya berlatarkan malam lengkap dengan sinar purnama dan gemerisik serangga malam membuat Taehyung terpukau dalam takjub yang sedemikian besar.

Begitu besar hingga Taehyung tidak bisa melihat di mana awal dan akhir rasa takjubnya sendiri.

Berbagai macam emosi berkecamuk di dalam benak Taehyung. Ada rasa kagum, tidak percaya dan bangga pada Jimin.

Maka ketika Jimin mengakhiri tariannya dengan gerakan flik-flak dan beberapa gerakan lain sebelum musik semakin memelan dan posisinya berubah seperti posisi awalnya sebelum ia mulai menari. Taehyung mendecak. Jimin dan bakat menarinya memang tidak bisa diremehkan. Kadang Taehyung sampai heran, dari mana tubuh pendek itu mendapatkan bakat seperti itu?

Oh, benar. Ia melupakan fakta bahwa darah seni telah mengalir di tubuh Jimin bahkan mungkin semenjak ia masih bayi. Mengingat Tuan Park adalah salah satu pemilik sanggar tari di kota ini dan Nyonya Park yang merupakan pemain teater dan drama cukup ternama.

"Kau melamun?"

Jimin menepuk pipi Taehyung.

Taehyung mengerjap sebelum menutup mulutnya yang ternganga, "Aku lapar." Dustanya.

Jimin tertawa sebelum membuka kotak bekal yang dibawanya, "Aku sudah siapkan kimbap."

Lalu keduanya memakan kimbap itu, sesekali diselingi dengan canda. Berakhir dengan bermain ayunan hingga fajar menjelang.

Taehyung paling suka fajar, mungkin itulah pula alasan mengapa mereka selalu menyempatkan diri menunggu fajar di akhir pekan. Taehyung juga suka keheningan malam juga perasaan damai yang ia dapatkan dari terjaga sebelum fajar. Bagian favoritnya dari rangkaian malam menuju fajar adalah ketika matahari mencuri hal yang sangat Taehyung cintai: bulan.

Ada gejolak bahagia yang sulit dijabarkan aksara ketika Taehyung melihat sinar bulan semakin menghilang seiring matahari yang mulai menyingsing, ayam jantan yang berkokok dan burung-burung kecil yang mulai berkicau.

Dan suatu misteri mengapa Jimin melakukan hal yang sama padahal Taehyung tahu: Jimin suka musim panas, juga matahari di puncak kepala dengan semangkuk ice cream rasa cokelat. Bukan malam yang sunyi dan dingin atau matahari terbit dengan pucuk dedaunan yang basah oleh tetes embun.

x

x

x

Taehyung, pengumuman penerimaan di IU nanti akan diunggah pukul 4 dini hari.

Taehyung baru saja akan mematikan lampu kamarnya ketika pesan dari Jimin masuk ke ponselnya, ia mengernyit membaca pesan yang Jimin kirimkan. Darimana anak itu tahu? Ah, iya. Ia ingat pengumuman memang akan diunggah pukul 5 sore di Indianapolis sana berdasarkan zona waktu dunia, pukul 4 pagi di Korea.

Pada akhirnya Taehyung mengatur alarm di ponselnya, sebelum pukul 4 ia sudah duduk sembari menulis di secarik kertas sembari menunggu Jimin datang.

Ponselnya berdenting satu kali.

x

x

x

Jimin ingin menyumpah serapahi dirinya sendiri yang terlambat bangun. Ia melihat Taehyung mengirim pesan menanyakan ia sedang di mana 30 menit yang lalu. Sekarang nyaris pukul 5 dan Jimin masih berlari tergopoh-gopoh dengan seragam tidurnya yang berupa kaus basketnya ketika masih SMP yang kini terlalu besar dikenakannya.

Jangan tanya mengapa tubuh tambunnya dulu bisa tergabung dalam klub basket, tolong tanyakan hal itu pada pelaku utamanya: Kim Taehyung.

Sembari berlari Jimin membuka e-mail masuk di ponselnya yang berisi pemberitahuan unggahan pengumuman penerimaan mahasiswa di Indiana University. Dengan jantung berdebar, ia mengklik tautan itu.

x

x

x

Hari semakin terang.

Taehyung masih setia menunggu karena ia tahu Jimin akan datang, maka ketika melihat Jimin bermandikan peluh di gerbang masuk taman, Taehyung menyunggingkan senyum kecil. Bersiap menyembur Jimin dengan serangkaian kalimat marah berbau serapah.

Jimin berlari ke arahnya dan Taehyung mengepalkan tangannya, siap memberi Jimin satu atau dua pukulan tanda kasih sayang karena membiarkannya menunggu sendirian di taman selama berjam-jam seperti pemuda nelangsa karena putus cinta.

"Dari mana saja kau? Aku menunggumu lama se-"

Kalimat bernada marahnya terhenti karena Jimin yang merengkuhnya erat bahkan membiarkan dirinya terisak di leher Taehyung. Jemari mungilnya meremat pinggang Taehyung, seolah jika ia melepaskan Taehyung maka Taehyung akan lenyap begitu saja.

Air matanya yang hangat merembes di kain yang menutupi bahu Taehyung, mengantarkan sensasi hangat yang menggetarkan kala suhu permukaan kulitnya yang dingin karena berada di luar ruangan terlalu pagi.

Taehyung melarikan jemarinya ke atas surai Jimin, mengusapnya penuh sayang. Menghirup aroma Jimin yang tercium seperti aroma susu dan bedak bayi. Tiba-tiba ia pun merasa sedemikian haru hingga ia nyaris kesulitan menahan air matanya.

"Kau sudah baca, ya?"

Satu kalimat tanya itu membuat tangis Jimin menghebat.

Di laman itu jelas tertera nama Park Jimin dari Busan High School of Arts, South Korea.

Tanpa ada nama Kim Taehyung setelahnya.

Burung sewarna lelehan cokelat di atas dahan yang mengering berkicau lirih seolah memberikan sumbangan nada untuk suara tangisan Jimin yang meluluh lantakkan hati.

Juga Taehyung yang berusaha menahan tangisnya.

"Kau berhasil, Jimin-ah. Kau berhasil."

Jimin menggeleng berkali-kali.

Sedikit panik Taehyung mengusap punggung Jimin yang bergetar, "Tidak. Kau berhasil, Jimin. Ini mimpimu. Aku bangga sekali padamu. Kau harus buktikan kau bisa mementaskan Don Quixote lebih baik daripada George Balanchine dan buat aku jadi gelandangan karena mentraktirmu selama satu bulan penuh."

Jimin masih menggeleng di perpotongan leher Taehyung, membuat sensasi geli karena rambutnya yang menggesek kulit terbuka di lehernya.

"Jimin, ini mimpimu. Kau berhasil, Jimin." Taehyung berusaha menghibur meski hatinya hancur.

Bukan karena ia tidak diterima, sungguh bukan. Ia sendiri ragu apa ia mampu bertahan di luar sana. Sungguh keputusannya mendaftar di IU karena Jimin setengah mati menginginkan pendidikan tari di sana.

Katakan ia tidak punya pendirian karena melakukan sesuatu hanya karena Jimin melakukan itu. Namun sesungguhnya tujuannya lebih dalam dari sekedar tidak punya pendirian.

Semua ini tentang ketakutan tidak berdasarnya: bagaimana jika Jimin dibully? Walau penampilannya sudah tidak seburuk dahulu, tetapi Jimin orang Asia di antara orang Amerika. Bagaimana jika Jimin mengalami kesulitan, siapa yang akan membantunya? Bagaimana jika Jimin kesepian? Bagaimana jika Jimin tidak bisa menemukan teman di sana? Bagaimana jika Jimin merindukan Busan? Bagaimana jika Jimin terluka? Bagaimana dan bagaimana lainnya memantul bersamaan.

Siapa yang akan berada di sisinya dan menguatkannya? Membantunya? Menemaninya?

Padahal Taehyung pernah berjanji bahwa ia akan melindungi Jimin sehidup hingga mati.

Maka ketika Jimin menarik wajahnya dari perpotongan leher Taehyung dan menatapnya dengan sinar mata yang redup dan berujar, "Jika tanpa kau, itu bukan suatu keberhasilan."

Perasaan Taehyung remuk redam.

x

x

to be continue

x

x

(Kalau susah bayangin gerakan Jimin waktu nari, silakan tonton tarian Jimin di Opening SBS Gayo Daejun 2016)

Baper maksimal gara-gara 4 O'clocknya RM sama V TT Akhirnya aku bikin threeshot yang terinspirasi dari lagu itu. Akan kuupdate setiap tanggal 11. Kenapa tanggal 11? Karena aku suka angka itu sebagaimana Jimin suka angka 13 *sok tahu*

Berarti tamatnya 3 bulan lagi? Engga kok aku becanda. Ku-update kalau lagi mood aja nanti, juga kalau ada yang penasaran bagaimana kelanjutannya XD

Mind to RnR?

Lots of Love,

December D.