Assassination Classroom © Matsui Yūsei
Tidak ada keuntungan finansial yang diambil selain kesenangan pribadi. Selamat membaca~
Barangkali ada yang salah dengan airnya.
Rio mengamati bunga krisan putih di atas meja. Hanya ia letakkan empat batang di sana, pagi tadi—dengan tergopoh-gopoh karena ada jadwal kereta yang harus Rio kejar sedang ia belum selesai bersiap-siap. Gelas kacanya terisi setengah. Tapi sekarang tangkai itu mulai merunduk walau airnya masih berkilau. Rio bingung sendiri.
Setelah mengitari rak buku bolak-balik, Rio baru sadar kalau bunga itu ia letakkan di tempat yang tidak tepat. Dengan semangkuk buah di dekat vas dan jendela terbuka di sampingnya, jelas saja tangkai-tangkai itu akan layu.
Rio mendesah. Sekarang ia harus mencari bunga yang baru sebagai pengisi bagian tengah meja, untuk makan malam nanti.
Karma mungkin akan kembali dengan berjuta cerita setelah entah berapa bulan mereka tak pernah bertatap muka. Tapi mungkin cerita-cerita itu akan lebih dulu tersingkirkan dengan argumen tak berujung yang Rio rindukan. Seperti pertemuan terakhir mereka yang diisi dengan perdebatan mengapa orion dinamai orion, merembet pada mitologi yang belakangan itu sedang gemar Rio pelajari, dan ditutup dengan seringaian jahil Karma.
Laki-laki itu, entah bagaimana caranya, selalu punya lebih banyak isi kepala daripada Rio.
Baru pukul empat lebih sedikit. Masih banyak waktu untuk membuat santap bagi mereka berdua. Cukup pula untuk mampir ke toko bunga dan membeli beberapa tangkai krisan baru. Karma berkata akan mampir sebentar jam delapan malam nanti. Dan Rio kira akan bagus kalau mereka menikmati makan malam di kebun belakang.
Ada beberapa lentera baru yang ingin ia pamerkan.
Kemudian Rio mencari ponselnya. Ia ingin lebih dulu memastikan—karena Karma suka ada acara dadakan, maka Rio mencari nama Karma dan menghubunginya.
Belum sampai sepuluh detik, Karma sudah mengangkatnya.
"Kenapa, Nakamura?" tanya Karma. Entah sejak kapan ucapan basa-basi semacam halo tak lagi mereka gunakan.
"Jam berapa kau sampai sini? Aku belum menyiapkan makan malamnya."
"Siapa bilang aku ke situ minta makan?" Karma terkekeh di seberang sana. Detik itu juga Rio merasa keceplosan. "Tunggu saja di rumahmu, aku akan muncul lima menit lagi."
"Hah?! Kau bilang kemari jam delapan?"
Rio bingung. Oh, jangan sekarang. Ia masih mengenakan kaus polos warna hijau dan celana pendek. Tidak etis, tidak elit, tidak cocok untuk makan atau sekedar pertemuan singkat sekalipun.
"Tidak jadi. Ada rapat jam tujuh, jadi tak bisa ke sana malam-malam. Tunggu aku di balik pintumu."
Rio mengutuki jadwal bar-bar milik Karma. Mudah sekali berubah haluan seperti kapal tanpa nahkoda.
"Kenapa mendadak sekali?"
"Tanyakan sendiri kenapa harus ada masalah mendesak di hari liburku yang langkah ini. Sudah, kututup ya, sebentar lagi mau sampai."
Rio menaikkan alis dan matanya melebar sedikit. "Sebentar, sebentar. Jangan bilang kau sudah dekat."
Tak ada respon. Rio menjauhkan ponsel putihnya.
Sayang, sambungannya sudah putus.
Karma melempar rendah cincin yang ia bawa ke udara, ditangkap, dan dimasukkan dalam kotak persegi.
Rumah Rio sudah di depan dan debaran jantungnya belum mau tenang. Padahal Karma sudah habiskan satu jam duduk merenung di dalam mobil bersama dengan kaca yang terbuka setengah, berusaha mengenyahkan bunyi berisik di dadanya. Karma menarik napas. Pintu mobil dibuka tanpa ada deritan.
"Baiklah, akan kubuat kaget si kepala pirang itu."
END
AN : Hanya suka sama krisan putih, tidak ada korelasi antara arti dan fanfik ini. Makasih udah mampir ~
VEE
[Lmg/11.06.2017]
