Uzumaki Naruto

Seorang karyawan sebuah perusahaan kecil di tengah kota Konoha. Tubuh tegap nyaris tanpa cela. Paras yang bisa dikatakan cukup tampan dengan rambut kuning dan manik mata safirnya yang tak awam. Tak lupa tiga goresan menyerupai kumis kucing di setiap belah pipi tirusnya. Namun, segala ciri fisik itu sama sekali tidak melambangkan usia yang menginjak 30 tahun. Dilihat dari sisi manapun, pria itu tampak lebih dewasa. Raut wajah yang selalu tampil serius disertai rahang yang acap mengeras. Plus gurat tipis di dahinya yang terkadang suka memunculkan diri.

Saat ini, sang pria tengah berada di meja kerjanya. Dalam sebuah kubikel ia menghadap layar laptop dan dikelilingi tumpukan kertas yang berserakan di atas meja. Matanya menatap tajam pada layar elektron penampil berukuran 14 inci tersebut. Jemari bergerak lincah di atas tombol-tombol bertuliskan alfabet Romawi. Terlalu cepat, nyaris tak menyentuh pada pad lunaknya. Sesekali hidungnya menghembus napas kasar, sesekali matanya memejam erat diikuti dengan pijitan pelan pada pelipisnya, dan sesekali bibirnya mengumpat lirih. Dering telepon di sudut ruangan serta berisik mesin printer yang berderit menambah hingar bingar khas sebuah tempat bernama kantor. Gelegak tawa serta cekikikan geli kadang menyambangi telinganya. Ia tak acuh. Pikirannya terlalu fokus pada pekerjaan yang bagai tak ada habisnya.

Puk.

Bahkan tepukan keras di bahunya tak ia pedulikan. Matanya kini beralih pada lembar kertas di sisi kiri meja kerja. Saat tangannya hendak menggapai tumpukan paling atas, ada sesuatu yang menghentikan. Sang pria menoleh, matanya menyipit mendapati sosok seorang rekan yang tengah menyeringai padanya.

"Apa?"

Sinis jawabannya. Berontak gerakan tangannya hendak melepaskan diri dari cengkeraman tangan sang sahabat.

"Whoaa ..., woles Bro. Kau tidak lihat sekarang jam berapa?"

Pria dengan tato segitiga merah di pipi itu menunjuk jam bundar berukuran besar di dinding sudut ruangan. Naruto mendecih kesal.

"Aku menghadap komputer, Kiba. Di sini juga ada jamnya. Tak perlu kau beritahu aku."

Kiba terkekeh, tangannya bergerak pelan mencari tempat hangat di sebalik saku celananya. Lalu ia memutar tubuh dan berjalan meninggalkan Naruto.

"Beristirahatlah, tubuhmu butuh itu. Kalau terlalu serius nanti kau cepat tua dan ubanan macam Kakashi-senpai."

Bugh.

"Aw ...," teriakan Kiba terdengar mengaduh kesakitan. Benar saja, ia tengah mengusap-usap bahunya yang terasa panas.

"Warna rambutku memang seperti ini. Ini bukan uban, Kiba."

Kiba tertawa saat pria berambut perak di sampingnya merangkulkan tangan pada pundaknya.

"Naruto, kami mau makan siang di kedai ramen seberang. Kalau kau mau ikut, segera susul kami. Kecuali istrimu sudah membawakan bekal untukmu, itu lain persoalan."

Naruto mendengus terlebih ketika kedua kawannya yang berbeda generasi itu tertawa terbahak-bahak.

"Dia jones, Kakashi."

"Upz ..., maaf aku lupa."

"Berisik!"

Teriakan membahana tanpa perasaan dari seorang Uzumaki Naruto disusul dengan serangan sebatang pensil yang mematikan, berhasil membuat Kiba dan Kakashi lari terbirit-birit.


A/N :

Sebuah cerita yang muncul dari bibir seseorang sebut saja namanya Randy. Yang ia sebut sebagai kisah nyata nan amburadul dari kawan sepermainannya.

Untuk lebih jelasnya silakan PM sang legenda - Himeji Mizuki :v

Nama Hinami saya ambil dari ff Monolog Senja karya Kimono'z, saya hanya merubah gendernya.

.

ForgetMeNot09

present

.

WITHERED FLOWER

Chapter 1

.

.

.

Disclaimer : I own nothing

.

.

.


Denting sumpit beradu dengan mangkok, serta suara seruput memenuhi kedai ramen yang berukuran kecil di pinggir jalan utama kota Konoha. Uap panas beresonansi dengan udara yang saat itu juga cukup panas. Nikmat rasanya pada tempat sekecil itu, tanpa ada pendingin ruangan, menikmati kuah yang tersaji menghasilkan peluh di sekujur tubuh. Nyatanya tak ada yang mempermasalahkan itu, sebab rasa makanan yang cukup memanjakan lidah serta porsi sedemikian rupa yang mampu mengganjal perut untuk jangka waktu yang lama. Belum lagi harga yang dirasa hemat untuk ukuran karyawan di kota kecil ini.

Di sebuah meja yang terletak di sudut kedai, tiga orang laki-laki tampak bercengkerama. Sesekali tertawa dan bahkan terbahak-bahak. Perbincangan hangat masalah pekerjaan yang didominasi candaan membuat sajian makanan di hadapan mereka nyaris terabaikan. Sayangnya, ada seorang yang tampak tidak menikmati suasana tersebut. Naruto, hanya terdiam seakan menyimak obrolan kedua kawannya sementara mulutnya tetap sibuk mengunyah makanan.

"Jadi, kapan kau akan melamarnya, Kiba?"

"Mungkin weekend ini. Aku sudah menghubunginya untuk mengajaknya berkencan Sabtu malam ini."

"Hm ..., baguslah. Semoga kau ditolak."

"Sialan kau, Kakashi! Kau mengharapkan hal buruk itu terjadi padaku, eh?"

Gelak tawa Kakashi tak dapat dielak lagi. Kiba memandang jengkel pada senpainya itu sebelum mata slitnya beralih pada sosok Naruto yang masih menikmati miso ramen.

"Kau diam saja, eh? Tersinggung?"

Naruto melirik sebentar kawan rambut cokelatnya, kemudian menggeleng.

"Biasa saja."

"Kau ini, cemberut saja. Kapan kau laku jika mukamu selalu terpasang seperti itu? Percuma juga wajahmu tampan, semuanya tertutup oleh awan kelabu alias roman murammu."

"Wah ..., sejak kapan kau bisa berpuisi, Kiba?"

"Ini bukan puisi Kakashi. Dan kau jangan menyela saat aku sedang menasehati teman kuningmu."

Kakashi mendengus sebal.

"Kapan kau mau menikah?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Kakashi sempat menuai kejut pada wajah Naruto. Tapi kembali lagi pria itu menampilkan wajah datarnya.

"Mengapa mendadak itu jadi urusanmu?"

"Tidak juga, hanya saja ...,"

"Sudahlah Kakashi, kau tahu si kuning bodoh ini sedang serius dengan pekerjaannya. Mungkin sebenarnya dia sudah punya kekasih yang kita tidak tahu dan akan segera melamarnya?"

"Hahahahaha ..., baguslah jika memang seperti itu. Tapi sepertinya tidak. Bukankah sahabat rubahmu ini masih terjebak masa lalunya? Atau sebutan kekiniannya adalah ...,"

"... gagal move on," potong Kiba.

Naruto berdiri dengan cepat dan berlalu pergi setelah meletakkan lembaran 1000 yen di atas meja tepat di hadapan Kakashi. Mengabaikan tawa keras dari kedua kawannya itu.

"Hoi ..., Naruto. Jangan marah nanti kau lekas tua."

"Kiba betul, Naruto. Kau tahu kan kami hanya mengatakan yang sebenarnya."

"Pikirkan dirimu sendiri, Kakashi!"

Teriakan Naruto berhasil membungkam mulut Kiba dan Kakashi. Senyap kini menyergap keduanya, sampai Kiba tersadar terlebih dahulu.

"Hei Kakashi."

"Hm?"

"Aku minta maaf sebelumnya, kuharap kau tidak marah padaku."

"Huh?"

"Bukankah kau juga jones, Kakashi?"

"..."

"..."

"Jangan ingatkan aku, Baka!"

.

.

.

Umpatan kesal semakin deras mengucur dari bibirnya. Kaki kanannya menendang sebuah kerikil kecil yang menghalangi langkahnya, dengan penuh emosi.

'Apa urusannya dua pria anjing itu? Mengapa harus membahas masa laluku juga? Terserah aku kan, kalau aku gagal move on. Memang apa urusannya dengan mereka?'

Lamunannya sedikit terhenti. Saat sosoknya bertemu pandang dengan sepasang mata bulan. Ia melongo, menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya. Naruto setengah berlari mengejar sang empunya mata. Sayangnya, laju langkah kakinya tak cukup cepat untuk mengejar laju sepeda motor matic ungu yang ditumpangi sang sasaran. Terengah-engah Naruto terus mengejar, hingga nyaris degup jantungnya tak terkendali. Ia berdoa dalam hati.

'Ya Tuhan, jika memang itu dirinya, tolong hentikan ia. Aku ingin melihatnya lagi walau hanya sebentar. Cukup untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja dan bahagia dengan kehidupannya saat ini.'

Entah mukjizat yang datang, atau doa Naruto memang sangat makbul, motor yang dikendarai wanita bermata indah tersebut menepi dan berhenti tepat di depan sebuah toko buku. Safir Naruto melebar, tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Ia berlari sekuat tenaga yang tersisa demi mendekat pada wanita tersebut.

"Hosh ..., hosh ..."

Nafasnya terengah-engah. Naruto berhenti, membungkuk dan berusaha menetralkan jalur respirasinya.

Kemudian ia berjalan memasuki toko buku. Dilihatnya sosok yang ia kejar. Meski merasa ada sedikit yang mengganjal di batinnya, Naruto mengabaikan. Pria berambut kuning itu terus berjalan mendekat.

Awalnya meragu, cukup dalam hitungan detik ia kembali yakin. Ditepuknya bahu sang wanita perlahan. Nafasnya tercekat di tenggorokan kala yang pertama ia temui adalah tatapan lembut mata rembulan yang pucat nan bulat. Naruto menelan ludah gugup.

"Hai ...," sapanya lirih.

"Iya?"

Sebelah alis wanita itu naik. Sorot matanya menegaskan ekspresi bingung dan penuh tanya pada Naruto.

"A-ano ..., maaf sepertinya saya salah mengenali Anda. Saya kira Anda adalah teman saya."

Naruto tersentak ketika melihat helaian panjang indigo sang wanita. Ia mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa sebodoh ini. Wanita yang selama ini ada dalam benaknya, bergulat dalam pikirannya selama 4 tahun lamanya, adalah sosok wanita cantik dengan rambut pirang pucat. Hanya karena warna mata kedua wanita itu sama, Naruto mengabaikan fakta yang lebih kentara.

"Aahh ..., tidak masalah. Hal seperti ini sudah wajar terjadi, bukan?"

Wanita itu tersenyum manis.

Shit!

Bahkan senyuman itu pun begitu mirip dengan senyumannya.

"I-iya ..., maafkan aku. Uhm ..., saya Uzumaki Naruto."

Uluran tangan kurusnya tak butuh waktu lama untuk mendapatkan sambutan. Tangan sang wanita dengan lembut menggenggam balas.

"Hyuuga Hinata."

"Salam kenal Hyuuga-san. Anda suka membaca buku rupanya?"

Tak mengindahkan fakta bahwa kecanggungan menguasai mereka beberapa detik lalu, keduanya kini berjalan bersisian. Menyusuri lorong pertama dari ruangan berukuran cukup luas dan nyaman tersebut.

"Tentu saja. Ini bagian dari pekerjaan saya."

"Oh ya? Maaf kalau boleh tahu apa pekerjaan Anda sehingga mewajibkan Anda membaca buku?"

Hinata tersenyum mafhum meski tanpa menatap lawan bicaranya. Wanita itu menajamkan pandangan pada tiap deret alfabet yang menyusun kalimat judul buku.

"Kebetulan saya mengajar."

"Wah ..., hebat sekali. Anda seorang guru rupanya."

Lagi-lagi Naruto hanya menerima senyuman manis sebagai jawaban. Ia mendengus dalam hati. Merutuki sifat pendiam sang wanita atau mungkin menyesali sifat aslinya sendiri yang mendadak keluar, sok akrab dan cerewet.

"Anda sedang mencari buku apa?"

Sepertinya Naruto lupa membaca tag yang terpasang sebelum memasuki lorong ini. Pria itu berdecak kagum saat membaca judul buku tebal yang baru saja diambil oleh Hinata.

"Wah ..., Quantum Field Theory? Err ..., buku macam apa itu?"

Hinata tersenyum geli menatap mimik Naruto yang baginya tampak lucu. Seperti seorang bocah saja.

"Dari pada membahas buku ini, bukankah lebih baik Uzumaki-san segera mencari buku yang Anda butuhkan? Anda masuk ke toko buku ini untuk membeli buku bukan?"

"A-aaahhh ..., iya."

Naruto salah tingkah. Sedikit kesal sebenarnya dengan pertanyaan yang dilontarkan sang wanita. Sepertinya wanita ayu itu sudah mengetahui maksud dirinya memasuki toko ini. Tak mau kalah, ia mengangguk keras.

"Te-tentu saja. Saya sedang mencari novel yang direkomendasikan oleh teman."

Berusaha menutupi semburat merah malu, Naruto berpura-pura mengusap wajahnya. Tapi segera gerakannya terhenti saat Hinata justru tertawa geli.

Catat!

Tertawa, bukan tersenyum.

"Hihihihi ... Kalau begitu, bukan di sini tempatnya. Novel ada di lorong kedua dari sisi kiri toko, tepat pada deret pertama."

Semakin menjadilah rona pada wajah pria berambut kuning itu. Tak pelak ia segera berbalik dan berjalan menjauh. Ingin rasanya menenggelamkan diri pada kubangan pasir dan tak kembali lagi. Berjalan cepat, Naruto mengacuhkan panggilan Hinata.

"Uzumaki-san."

Naruto menoleh.

"Iya?"

Rasanya benar-benar kesal. Hinata yang masih tertawa geli kini mendekatinya. Apa maksud wanita itu untuk mengolok-olok dirinya?

"Kita bisa pergi bersama. Kebetulan saya juga sedang mencari novel tertentu."

"He? Saya kira Anda tidak suka membaca novel?"

"Uhm ..., memang tidak. Novel ini untuk hadiah ulang tahun adik saya. Dia suka sekali membaca cerita roman yang menurut saya hanya berisi khayalan dan impian yang bisa menghanyutkan pembaca dalam dunianya. Bahkan tidak sedikit mereka yang seakan terhipnotis dengan indahnya kisah percintaan yang sebenarnya tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi."

"Wow ..."

Hinata menoleh pada Naruto. Dahinya terkernyit keheranan.

"Apa?"

"Saya tidak tahu Anda bisa berbicara sepanjang itu."

"Tch ..."

"Ahahaha ..., maafkan saya. Hanya saja saya benar-benar terkejut. Sedari tadi saya mengajak Anda berbincang, belum ada kalimat sepanjang itu yang Anda ucapkan. Dan lagi ...,"

"Apa lagi?"

"Sepertinya Anda pernah patah hati dan terpuruk karenanya."

Naruto tersenyum penuh kemenangan saat ia melihat Hinata membelalakkan matanya. Terlebih rona merah pekat kini menghiasi wajah sang wanita.

"Apa urusannya dengan Anda?"

Hinata menghentakkan sebelah kakinya dan melangkah menjauh sementara Naruto berlari kecil mengejarnya.

"Hei, maafkan saya jika Anda menganggap saya lancang. Tapi saya yakin Anda juga tahu bahwa tadi saya hanya menebak. Dan dari jawaban Anda, sepertinya tebakan saya benar adanya."

Hinata bersungut-sungut. Tangannya tergerak mengambil salah satu novel tebal bahan tanpa memperhatikan judulnya. Tak berselang lama hingga wanita berambut indigo itu berlalu menuju meja kasir.

"Ano, Hyuuga-san."

Hinata masih enggan menoleh.

"Bukankah adik Anda menyukai novel roman?"

"Lalu?"

"Itu yang Anda ambil bukan novel roman."

Hinata menoleh kebingungan, sebelum menelan ludah gugup dan mulai membaca judul buku tebal yang belum terlepas dari genggaman tangannya.

DAN BROWN

INFERNO

Sontak wajah sang wanita semakin pekat. Menundukkan kepala, berjalan cepat berniat mengembalikan novel tersebut ke rak. Tepat sebelum tangan Naruto menahan lengannya.

"Ini."

Naruto menyodorkan sebuah novel lain pada Hinata. Awalnya Hinata kebingungan, matanya melirik sejenak pada sampul yang didominasi warna favoritnya tersebut.

Devil In Winter

Naruto tersenyum, sebelah tangannya yang bebas menarik lembaran tebal yang ada di tangan Hinata.

"Percaya padaku! Adikmu pasti menyukai novel ini."

Lalu berbalik arah dan berlalu pergi. Seandainya ini adalah dorama Jepang mungkin akan ada lantunan musik pelan yang mengiringi kepergiannya. Yang pada menit berikutnya akan mencipta bunga-bunga di sekeliling sang wanita yang merasa terpesona.

Sayangnya,

"Dasar! Mau sok pahlawan dia! Tsk!"

.

.

.

"Kau melihat sesuatu yang berbeda, Kakashi?"

"Hmm ..., sepertinya begitu, Kiba."

"Apa itu?"

"Entahlah. Semacam guntur yang tiba-tiba terdengar di siang bolong dan cerah."

"Hmm ..., hmm ..."

Naruto yang mendengar bisik-bisik kedua kawannya hanya melengos. Dia sangat tahu jika kedua pria penyuka anjing itu sedang menggoda dirinya. Ya, dirinya yang katanya mendadak berubah setelah pulang makan siang tadi. Heran, padahal Naruto tidak merasakan apapun. Hanya saja tadi dia merasa terkesan dengan sosok sang wanita yang sempat ia salah menyangka sebagai mantan kekasihnya dulu. Wanita itu terlihat lucu dan menyenangkan meski pada awalnya hanya sikap cuek yang ditunjukkan.

"Jadi? Apa kau ingin menceritakan sesuatu kepada kami, Uzumaki-san?"

Kiba melongokkan kepalanya dari bagian depan dinding kubikel tempat Naruto bekerja. Naruto tidak menghiraukan, ia tetap konsentrasi menatap barisan angka yang tercetak pada layar microsoft excel pada laptopnya.

"Rupanya dia mendadak bisu, Kiba."

"Kau benar, Kakashi."

"BERISIK! Kalian bisa diam atau tidak? Mau sampai kapan mengganggu aku bekerja?"

Kiba dan Kakashi terlihat memelototkan mata ketika Naruto menggebrak meja dan berbicara dengan nada tinggi. Keduanya menoleh ke sekeliling ruangan, dan ternyata benar. Mereka tengah menjadi pusat perhatian seluruh karyawan satu divisi. Mereka bergerak gelisah dan salah tingkah, membungkukkan badan dan berkali meminta maaf atas keributan yang mereka timbulkan.

"Kau ini kenapa, Naruto? Tidak biasanya seperti ini. Kau kan tahu kami hanya bercanda."

"Bercanda ada waktunya. Sialan kalian! Apa masih belum puas melihatku disemprot habis-habisan oleh Tsunade-san tadi gara-gara terlambat masuk kantor?"

Selanjutnya Naruto kembali meneruskan pekerjaannya sementara kedua kawannya masih saling memandang.

'Sesuatu pasti terjadi siang tadi.'

'Ya, tidak biasanya Naruto terlambat masuk kantor. Apapun alasannya."

'Kau benar, Kiba. Kita perlu menyelidikinya.'

'Ya, dan menemukan kebenaran di balik semua peristiwa aneh ini.'

'Kebenaran yang hanya ada satu.'

Lalu keduanya saling mengangguk pertanda mengiyakan percakapan telepati mereka.

.

.

.

Kompleks Hyuuga

Hinata merebahkan badannya yang terasa pegal di atas sofa ruang tamu. Memejamkan matanya dan berusaha mengatur napas. Sungguh hari ini melelahkan. Mengajar sepagi tadi, dari jam 7 hingga jam 12 siang. Jam istirahat ia pergunakan untuk mencari kado ulang tahun sang adik. Kemudian mengajar lagi hingga pukul 5 sore. Benar-benar tak ada jeda untuk dirinya beristirahat. Makan siangpun ia lakukan di sela-sela jam mengajar dengan kecepatan kunyah yang melampaui biasa.

"Huahhhh ...," erangnya kelelahan.

Tubuh mungil itu meringkuk di atas sofa setelah terlebih dahulu melepas sepasang sepatu pantofel hitam dari kakinya.

Tak butuh alunan lagu nina bobo, cukup semilir angin dari pintu depan yang sedikit terbuka telah mampu membuai sang wanita dalam kedamaian dan mengantarnya ke alam mimpi.

...

"Kaa-chan ..."

Suara cempreng seorang anak lelaki berumur 4 tahun berhasil membangunkan Hinata. Mata opalnya terkerjap selama beberapa detik kemudian melirik pada sosok bocah beriris mata sewarna dengan dirinya di sisi sofa. Hinata tersenyum. Wanita itu mengucek kedua matanya sejenak kemudian bangkit dan duduk. Rambutnya yang tergerai, ia angkat dan satukan dalam ikatan lepas.

"Hei Hinami. Kau sudah pulang?"

Bocah itu mengangguk. Ia beringsut duduk dan memeluk sang ibu. Hinata membalasnya penuh kelembutan. Sebelah tangannya mengelus rambut hitam sang anak, mengecupnya sejenak dan kembali mengelusnya.

"Sehari tadi ... belajar apa di sekolah?"

"Kami berlatih memadamkan api tadi. Namanya ..., ng ..."

Hinami tampak mengerutkan dahinya dan memasang pose berpikir.

"Pemadam kebakaran?"

"Ah ... Itu! Benar sekali, Kaa-chan."

Hinata tersenyum. Beranjak dari sofa dan menggandeng tangan kecil Hinami.

"Baiklah ... Sekarang waktunya mandi."

"Yeayyy ... Mandi bersama Kaa-chan."

"He? Memangnya biasa mandi bersama siapa?"

"Hanabi-bachan."

"Memangnya kenapa kalau mandi bersama Hanabi-bachan?"

"Ba-chan galak sekali. Hinami takut."

"Ahahaha ..."

Hinata tertawa kecil menanggapi ucapan sang buah hati. Hatinya sedikit tercubit saat mengingat sosok yang begitu serupa dengan sang bocah.

'Apa kabar, Sasuke-kun?'

.

.

.

TBC


Any comment? Please write down in the review column or feel free to PM me. Anything in your mind ^^

.

.

.

With Love,

.

ForgetMeNot09