Title: Enchanted
Rate: T
Genres: Romance, Humour, Drama
Wordcount: 4,360
Pairings: DMHP/Drarry
Warning: Slash (BL), OOC, mild-language
Setting: AU/elseworld
Hana's Headnotes:: Haaaaai Hana disini! Makasih udah mau klik link fanfic ini, dan yep, Drarry lagi. Kali ini, Hana ngambil judul cerita dari lagu berjudul Enchanted, milik Taylor Swift—karena lagi sering dengerin lagu itu, hehe. Hana gak ngambil apa-apa lagi. I don't own anything but the story. If someone wanna flame me, that someone really shouldn't appear anonym. Enjoy and Happy Reading! =)
Summary:: Cinta memang buta, itulah yang terjadi pada Harry. Awal yang pahit, terasa semanis madu di akhirnya. Draco Malfoy bukan hanya arogan dan menyebalkan, tetapi pemuda yang membangun sebuah jembatan menuju hati Harry. 1/3.
.
.~.
.
_.=*o*o*=._
Harry Potter by J.K. Rowling
Enchanted by HanariaBlack
_.=*o*o*=._
.
.~.
.
"You know you're in love when you don't want to fall asleep because reality is finally better than your dreams."
—Dr Seuss
[1/3]
Harry Potter, pemuda berkacamata dengan mata hijau cemerlang, menatap pintu masuk kafé dari tempatnya sebagai pelayan dengan malas. Hhhh—helaan nafasnya terdengar di ruangan itu karena sepi.
Membosankan.
Menjadi pelayan adalah hal terakhir yang Harry inginkan sebagai pekerjaan paruh waktunya (ia lebih memilih menjadi librarian atau kasir swalayan), tapi lihatlah—ia berakhir di kafé bernama Cup-of-Weasley, yang dimiliki kakak sahabatnya. Bukannya ia tidak ingin berkerja di tempat kakak sahabatnya yang setia dan baik itu, tapi dari dulu, Harry selalu ingin menjadi agen rahasia Inggris, bukan pelayan membosankan yang bisa disuruh-suruh atau diprotes ketika ia mendapatkan meja pengunjung yang cerewet dan perfeksionis, karena sebuah kesalahan kecil yang tidak disengaja.
"Hey, Harry," suara familiar membuatnya menoleh, dan dua sosok tinggi berambut merah yang menjadi kakak sahabatnya, menghampiri Harry. Entah siapa yang bicara, pokoknya antara Fred dan George. "Bagaimana pendapatmu berkerja disini? Ini hari pertamamu, 'kan?"
Harry tersenyum sopan. Ia tidak mungkin mengatakan semuanya, termasuk keluh-kesahnya, pada Fred dan George, pemilik kafé ini. "Tidak terlalu membosankan," seandainya Harry bisa menghapus bagian 'tidak' di kalimatnya... "Hanya saja kurang nyaman, karena aku banyak mendapatkan kustomer yang egois dan pemarah."
"Oh," kata Fred—kalau tidak salah—sambil menghela dramatis. "Apa kami harus memasang peringatan bertuliskan, 'orang menyebalkan dilarang masuk'?"
Harry tertawa, "Tidak perlu," katanya. "Nanti malah berdampak ke jumlah pengunjung."
"Tidak akan," balas George—mungkin, "Omong-omong, kau tidak keberatan 'kan, kalau berkerja disini? Maksudku, ayolah, aku tahu kau lebih baik berkerja menjadi kasir toko lelucon kami daripada kafé ini."
"Yeah, toko lelucon," tambah Fred.
"Yang dibatalkan karena Mum lebih menginginkan kami membuka bisnis sesuai peraturan,"
"Jangan main-main,"
"Dan bisnis bukan untuk membuat orang tertawa," sambung George.
Fred dan George menghela nafas bersamaan dengan dramatis, lalu mengucapkan, "Menyebalkan."
Harry menatap mereka maklum. Keluarga Mrs Weasley bukan keluarga yang memiliki uang berlebihan dan kekayaan standar, jadi, pantas saja kalau Mrs Weasley khawatir jika toko lelucon Fred dan George bangkrut karena orang-orang yang kurang peduli dengan lelucon. "Mrs Weasley menyayangi kalian, makanya ia meminta kalian untuk serius dalam hal membuat bisnis." kata Harry.
"Ada benarnya juga, perkataanmu itu, Harry," kata Fred.
"Tapi kenapa tidak boleh?" tanya George, mengangkat alisnya.
"Kami jelas hebat dalam menghibur dan membuat orang lain tertawa." kata Fred dan George bersamaan.
Terkadang, Harry sering bingung bagaimana Fred dan George bisa mengucapkan sesuatu, dan menyambungnya, lalu mengatakan sesuatu yang kompak dengan langsung dan tanpa naskah. Seperti sekarang—bagaimana Fred dan George bisa melakukannya? Ah, sudahlah. Mereka kembar, sih, pikir Harry. Mungkin punya telepati. "Menurut sajalah pada apa yang dikatakan Mrs Weasley," kata Harry, tersenyum. "Karena kalian masih memiliki ibu."
Fred dan George menatapnya, lalu sebuah pelukan dari kembar berambut merah itu mengejutkan Harry. "Kami tahu, Harry," kata Fred dan George bersamaan di bahunya. "Thanks sudah mengingatkan kami."
Harry tersenyum lagi ketika kembar Weasley itu melepaskan pelukan mereka.
"Omong-omong, mana Ginny?" tanya George sambil mengedarkan pandangannya.
"Dan Neville? Kok pada menghilang gini, sih? Dimana juga si muka lemas? Siapa yang mau memasak, kalau begini?" tanya Fred.
"Tenang, mereka sedang mengunjungi—"
"Mengunjungi apanya?" George memasang tampang murka yang tidak nyata.
"Mengunjungi siapa?"
"Neville dan Hannah mengunjungi Grandma Augusta di rumah sakit," jawab Harry. "Dan Ginny menemani Luna membeli sayuran—Ginny bilang, sih, keburu grosirnya tutup dan takut besoknya tidak keburu."
"Kenapa mereka pergi saat kafé belum tutup?"
"Kenapa mereka tidak minta izin pada kami?"
"Fred, George, kalian tadi menghilang entah kemana," kata Harry, "Dan karena kafé milikmu ini akan tutup lima menit lagi, dengan tanpa pelanggan yang kemari, mereka memutuskan untuk pergi saja."
"Lalu pulang?" tanya Fred dan George serempak.
Harry mengedikkan bahunya. "Mungkin," jawab Harry. "Dan karena malam ini akulah yang akan mengunci pintu kafé—"
"Berarti kami bisa pulang juga!" potong Fred dan George tidak bertanggung jawab. "Oke, kami akan pulang."
Harry menatap Fred dan George yang tertawa tanpa sebab penuh protes. "Kalian mau meninggalkan aku disini? Sendiri?"
"Oh, ayolah, dasar anak baru," kata Fred, menggelengkan kepalanya.
"Belajarlah untuk menutup pintu sendiri. Lagipula, hanya pintu depan dan belakang yang butuh dikunci, Harry."
"Bukan begitu maksudku!" kata Harry, entah kenapa merasa panik. "Siapapun bisa mengunci pintu sendiri. Maksudku, Kalau ada pelanggan yang datang bagaimana? Kalau ada orang asing kemari, bagaimana? Kalian jangan tinggalkan aku sendiri, dong! Aku 'kan kurang tahu daerah—"
George mendadak memeluk Harry dengan cepat, membuat wajah Harry dihalangi bahu George yang berkemeja abu-abu—seragam rutin kafé ini. "Jangan khawatir, anak baru," kata George.
Sepasang lengan melingkar lagi, dan Harry yakin Fred pasti ikut-ikutan memeluknya, membuat persediaan oksigennya menipis. "Tidak akan ada apa-apa yang mengganggumu," kata Fred. "Kami sudah tiga tahun disini,"
"Dan tidak ada orang-orang semacam penculik atau perampok." kata Fred dan George, lalu melepaskan pelukannya pada Harry yang langsung megap-megap.
Harry menatap kedua pasang mata di depannya agak ragu. Ia benar-benar kurang mengetahui daerah dimana kafé ini berada, dan Harry betul-betul baru di kafé milik Fred dan George Weasley ini.
"Kalian.. janji?" tanya Harry pelan.
Fred dan George saling berpandangan, sebelum melebarkan cengiran khas mereka di bibir dan pandangan hangat ke arah Harry. "Janji, anak baru," kata mereka berdua. "Tidak akan ada sesuatu yang mengganggumu."
Ketika Fred dan George sudah berganti pakaian dan membawa tas mereka untuk pulang, melambai pada Harry dan memastikan lagi bahwa daerah kafé itu aman (dan mereka yang juga mengatakan bahwa sekali-sekali Harry harusnya dijahili di tempat itu), dan memberikan sebuah senyuman yang lebar, terkesan bandel, tapi bisa membuat Harry percaya.
Yeah, Harry sebenarnya sudah mengenal Fred dan George lama sekali. Tapi ketika ia terpaksa pindah ke Moskow karena orangtuanya yang meninggal disana akibat pekerjaan, Harry memutuskan untuk menenangkan—beberapa menyebutnya mengasingkan—diri di sana selama tiga tahun; sampai umurnya sembilan-belas.
Dan yah, setelah kembali ke Inggris tiga hari yang lalu, tinggal di residen keluarga Potter yang dulu sambil menahan pahit yang teringat ketika melihat figura foto kedua orangtuanya di dinding-dinding rumahnya, dan ditawarkan pekerjaan oleh Mrs Weasley untuk berkerja paruh waktu di kafé Cup-of-Weasley milik anak kembarnya sementara Harry memilih untuk mengikuti jalan kedua orangtuanya; menjadi agen Inggris. Karena akan menjadi agen rahasia suatu saat nanti, setelah menyelesaikan kuliahnya di Oxford, Harry akan mencalonkan diri ke Akademi Pelatihan Agen—ini adalah salah satu tujuannya kembali ke Inggris, selain merindukan teman dan sahabatnya, juga kediaman Potter di Doncaster.
Mata Harry bergulir dari titik dimana Fred dan George menghilang menuju jam yang terpasang di tengah ruangan. Dua menit lagi, ia akan menutup kafé ini.
.~.
Harry mengambil kunci keemasan dari sakunya, dan mengambil tasnya yang teronggok di dekat meja kasir. Harry merapikan kerah pakaiannya tanpa menghadap cermin, memakai jaket tebal merah gelapnya, dan segera keluar dari kafé dengan kunci bergemerincing di tangan kanannya.
Setelah mengunci pintunya dengan benar, Harry berbalik untuk pulang, dan sesosok pemuda tinggi yang membuatnya mendongak membuat Harry menahan nafas dengan refleks dan menelan ludahnya.
"Maaf," suara bariton yang berdengung membuatnya bergidik, dan Harry kembali menarik nafas dengan perlahan kembali. "Aku mencari Fred dan George Weasley."
Harry menelan ludahnya lagi. Apa orang ini rentenir? Apa orang ini orang yang berniat menculiknya dengan hipnotis? Karena panik berlebihan yang meradang di benaknya, Harry menundukkan kepalanya agar matanya tidak bertemu dengan pemuda itu (tadi sih, sempat lihat sekilas, tapi mungkin pemuda ini belum mulai menghipnotisnya) sambil menjawab, "Mereka sudah pulang, aku yang terakhir berada di kafé ini."
Setelah itu, hening. Tidak ada yang bicara, hanya bunyi deruman mesin mobil dari kejauhan.
Ah, sial. Kenapa ia meminta shift malam pada Fred dan George? Harusnya ia ikut saja shift pagi-sore. Bersama Ron, Hermione, dan
"Tunggu dulu," kata pemuda di depannya, dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang dingin di dagunya, dan kepalanya terangkat tanpa perintah otaknya. "Kau pekerja baru disini?"
Pipinya memanas dengan cepat ketika mengetahui bahwa tangan pemuda yang tidak dikenalnya ini mengangkat dagunya. Matanya melebar ketika bertemu tatap dengan mata kelabu pucat milik pemuda yang jelas lebih tinggi darinya, dan kepalanya serasa berputar ketika ia menyadari betapa tampan pemuda yang berdiri tak jauh di depannya itu.
Tampan. Hell yes, ia berpikir bahwa pemuda berambut platina dan berwajah pucat, runcing, dan asing ini tampan.
Dan benar sekali, ia belum berkedip secara tidak sadar ketika wajah itu ditatapnya dan mata kelabu itu balas memandangnya dingin.
"Halo?" suara bariton yang sama, yang sumbernya masih berdiri di depannya, menyadarkan Harry dari ketololannya yang maha idiot. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Harry mengedipkan matanya beberapa kali, dan segera menepis tangan pemuda itu di dagunya. Wajahnya masih terasa panas, tapi pikirannya yang mengatakan bahwa pemuda itu bisa saja adalah orang yang jahat sangat kuat.
"Tidak, aku tidak mengenalmu," kata Harry, membuat nada suaranya menjadi datar, dan tetap tidak menatap mata orang asing di depannya. "Kau bisa kembali kesini besok."
"Aku Draco Malfoy," kata orang itu tanpa ditanya. "Kau tidak perlu menunduk-nunduk begitu. Kau sedang mencari sesuatu?"
"Tidak," alis Harry mengerut, dan ia sedikit mengangkat kepalanya, tapi tetap tidak bertemu dengan mata Draco Malfoy itu. "Apa kau membutuhkan sesuatu?"
"Aku butuh sesuatu," jawab Draco Malfoy. "Aku butuh kau untuk menatapku, bukan menunduk seperti budak yang minta hukuman."
Wajah Harry memanas dengan cepat, dan sesegera mungkin ia mendongakkan kepalanya untuk menatap mata Malfoy itu. "Aku bukan budak," balas Harry, kesal. "Kau menyebalkan. Cepat katakan apa maumu. Aku mau pulang."
"Oh, aku bisa mengantarmu pulang."
Mata Harry membulat, dan ia mengirip tatapan tajam pada iris kelabu di depannya, "Kau pikir aku orang bodoh? Aku tidak akan mau diantar pulang oleh orang mencurigakan aneh yang bahkan baru kutemui."
"Aku tidak akan macam-macam, kalau itu yang kau mau tahu," kata Malfoy, dan senyuman melengkungkan bibirnya yang tipis. "Kau mau berkenalan? Aku bisa bersumpah bahwa aku tidak berniat buruk padamu."
Harry menatap mata kelabu itu, cukup lama, dan ia menemukan kejujuran disana. Biarpun merasa agak lega, Harry tidak akan lengah sedikitpun. "Baiklah," kata Harry, dan ketika Malfoy mengulurkan tangannya, ia menjabat tangan pucat itu. "Harry Potter."
Senyuman Malfoy melebar, dan Harry bersumpah ia melihat sebuah seringai disana, sebelum kembali menjadi senyuman ramah yang kurang cocok di wajah runcingnya. "Senang mengenalmu, Harry," kata Malfoy, dan genggamannya di tangan Harry tidak lepas. "Tadinya aku datang untuk meminta pesananku pada Fred dan George, tapi sepertinya bisa kutunda besok. Karena aku sudah mendapatkan yang lebih dari perkiraanku."
Dahi Harry mengerut. "Pesanan apa?"
"Oh, Harry," Malfoy tertawa, dan pegangannya di telapak tangan Harry naik ke pergelangannya. "Apakah itu termasuk urusanmu?"
Harry mengatupkan kedua bibirnya, merasa jengkel berikut malu. "Baiklah, lebih baik aku pul—"
"Biarkan aku mengantarmu, Harry."
Harry berdecak pelan, sehingga Malfoy tidak perlu mendengarnya. Ia menarik tangannya agar lepas dari genggaman Draco, dan berhasil. "Aku bilang tidak—"
"Dimana rumahmu?"
"Aku menolak, Malfoy," ulang Harry, merasa risih. "Untuk apa kau mengantarku pulang? Aku bukan siapa-siapamu."
"Kau pekerja Fred dan George. Pekerja Fred dan George juga temanku. Dan kau berarti teman baruku," jelas Malfoy, dan pemuda itu tersenyum, sebuah senyuman yang Harry nilai tampak palsu dan dibuat-buat. "Kau menolak tawaran dari teman barumu?"
Harry menggerutu, "Justru karena kau teman baruku, aku menolak sepenuh hati."
"Sayangnya, aku juga menolakmu," balas Draco, lalu menggapai lengan Harry, menarik siku pemuda berambut berantakan itu, "Kau bisa sebutkan alamat rumahmu saat di perjalanan."
Harry menghela nafas berat, dan ia menarik tangannya kembali, membuat Malfoy menoleh ke arahnya dengan wajah beraut datar.
"Apa lagi?" tanya Malfoy, kedengaran mulai habis kesabarannya.
Harry ingin sekali membuat orang serba pucat yang mirip kaum Vampir itu lebih kesal, tapi ia ingin segera pulang. "Beritahu aku bukti bahwa kau teman Fred dan George," tuntut Harry.
Malfoy berdecak, dan tangannya yang berjemari panjang masuk ke saku di celananya, dan hand-phone dengan cassing hitam mengilap di bawah lampu kafé yang bersinar oranye. Jari-jarinya menekan keypad tanpa suara, lalu membawa hand-phone itu ke telinga kirinya. Ia berbicara singkat dengan orang di ujung sana, dan mendadak menyerahkan hand-phone-nya kepada Harry yang sedari tadi sudah berada di posisi siaga satu.
Harry menatap Malfoy dengan dahi mengerut, pandangannya berbicara, 'kau-memberikan-ini-untuk-ku?'
Wajah Malfoy terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu yang menghina seperti bodoh, tolol atau dungu, tapi bibir itu tersenyum dan Malfoy menatapnya menahan tawa. "Tentu tidak, Harry honey," katanya, dan Harry melempar delikan pada panggilan aneh yang diberikan Malfoy. "Kau bisa bicara dengan George."
Harry ragu-ragu mengambil hand-phone dari tangan Malfoy, yang sangat tipis, dan kaget ketika melihat layar hand-phone-nya yang datar, tanpa ada sebiji keypad yang terlihat. Harry mendongak, agak panik dengan bentuk hand-phone yang berbeda dari tempatnya selama ini di Moskow. Dengan ragu-ragu Harry mendongak, dan bertemu tatap dengan Malfoy yang menatapnya dengan ekspresi terhibur.
"Bagaimana aku.. menerima panggilannya?" tanya Harry, dan pipinya langsung penuh dengan warna merah. Serius, ia tidak pernah melihat secara langsung model hand-phone seperti milik Malfoy, kecuali di beberapa iklan dari televisi sewaktu di Moskow.
"Kau sangat menarik, Harry. Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang tidak mengetahui bagaimana menggunakan hand-phone touch screen," kekeh Malfoy, dan Harry mengirimkan tatapan membunuh yang setengah gagal karena semburat merah di pipinya itu sangat memalukan. "Tekan simbol telepon yang berwarna hijau, sayang."
Harry berdecak mendengar panggilan aneh dari Malfoy, tapi rona merah di pipinya tidak mau hilang juga, membuatnya bingung antara merasa bingung, malu, atau kesal. Ketika Harry menekan tombol seperti kata Malfoy tadi, ia nyaris melonjak kaget karena hand-phone itu bergetar lalu ada suara orang yang sering didengarnya.
Harry, gigi atasnya menggigit bibir bawah, membawa benda itu ke telinganya, lalu membalas, "Halo? Ini Harry."
/"Hey, Harry! Ini George. Kau tidak apa-apa 'kan? Kau sudah mau pulang?"/ tanya George dari seberang sana, suaranya kehilangan sense humour yang biasanya selalu terdengar.
Harry tersenyum, dan dengan perlahan menghembuskan nafas lega, senang kembar Weasley itu masih peduli dengannya. "Aku tidak apa-apa," jawab Harry.
/"Baguslah,"/ kata Geoge, tertawa. /"Aku tidak mau Ronnikins dan 'Mione mencincangku karena bersekutu dengan Fred untuk mencelakaimu,"/ guraunya, dan Harry mendengus. /"Oya, Draco Malfoy yang sedang bersamamu itu bukan orang jahat, tahu. Dia rekan kami, kau bisa mempercayainya. Biarpun.. well, mukanya sangat mencurigakan."/
Harry tertawa mendengarnya, "Kurasa kau benar," kata Harry, lalu memelankan suaranya, sehingga hanya George yang bisa mendengarnya di sambungan telepon. "Tapi dia menyebalkan."
Di ujung sambungan, George tertawa. /"Aku tahu kau pasti akan bilang begitu. Tapi, Harry, kalau dia memang mau menawarkan tumpangan pulang, terima saja. Lumayan, menghemat ongkos,"/ kata George, tidak terdengar sedang bergurau. /"Tapi, yah, hati-hati saja..."/
Dahi Harry mengerut, "Kenapa?" tanyanya.
/"Dia itu orangnya suka pegang-pegang barang manis,"/ kata George, dan suaranya berlebihan. /"Harus hati-hati. Apalagi kau, Harry, kau masuk ke dalam kategori manis-manis seleranya.. biarpun kau bisa menonjoknya sampai pendarahan, asal tidak sampai kehilangan kesadaran, itu lebih baik."/
"Genit, maksudmu?" tanya Harry dengan pipi memerah, dan mengeratkan pegangannya pada hand-phone, lalu mendekatkan wajahnya ke benda itu, supaya Malfoy tidak perlu mendengar pembicaraannya dengan George. "Tapi kau tetap menyarankan Malfoy agar mengantarku pulang?"
/"Yah, begitulah. Itu pilihan terbaik, berhubung rumahmu jauh dan menunggu taksi di trotoar itu agak.. riskan,"/ balas George. /"Maaf kalau kami tidak bisa mengantarmu pulang. Kami sibuk dengan pebisnis lain."/
Harry mengangguk, biarpun ia tahu George disana tidak akan mengetahuinya. "Aku mengerti. Thanks," kata Harry.
/"No probs,"/ kata George, dan Harry bisa mendengar ada senyuman di ucapannya. /"Kau tahu, Harry, kau sudah seperti saudara kami, bagian dari keluarga Weasley juga. Jadi.. take care, 'kay? Jangan pernah lengah."/
"Pasti," balas Harry. "Night, George. Salam hangat dariku untuk kalian."
/"Night, Harry."/ dan sambungan tertutup dengan bunyi tut-tut.
Harry menjauhkan hand-phone Malfoy, lalu ketika ia berbalik untuk mengembalikannya, tidak ada Malfoy disana.
"Malfoy?" panggil Harry, melihat sekeliling, dan tidak ada pria berambut platina yang pucat disana. Hanya pintu kafé, sebuah pohon rimbun yang biasa digunakan Fred dan George untuk menjemur kain pel, dan dirinya beserta hand-phone yang bukan milik Harry.
Harry terdiam. Tidak mungkin Malfoy meninggalkannya sendiri, karena pria itu sudah bilang akan mengantarnya pulang.. dan George sendiri mengatakan bahwa Malfoy bukan orang jahat.
Mata hijaunya menutup untuk beberapa detik, lalu menghela nafas. Ia menunduk untuk melihat layar hand-phone Malfoy dan terkejut melihat sebuah foto wanita berambut pirang yang elegan, dengan mata biru dan postur tegak layaknya ratu Inggris. Ia menatap beberapa lama, bingung siapakah wanita itu dalam hati, terbawa kesunyian, sebelum ada suara bariton yang baru dikenalinya, muncul tepat di depan wajahnya.
"Halo."
Harry refleks berteriak—untungnya tidak terdengar girly—sambil menggampar wajah pucat di depannya dengan tangannya yang masih memegang hand-phone karena refleks.
"Ow," kata orang itu, yang ternyata Malfoy, sambil memegangi hidungnya yang baru digebuk dengan tangan ber-hand-phone. "Itu sakit, Harry."
"Bodo amat!" balas Harry, mengatur nafasnya yang terengah-engah karena keterkejutan, lalu mengirim tatapan mematikan pada Malfoy yang kelihatan setengah kesakitan dan setengah ingin tertawa. "Salah sendiri tiba-tiba muncul."
"Maaf," kata Malfoy ringan, sambil tetap memegangi hidungnya yang pasti cedera. "Aku 'kan hanya ingin memberi surprise. Kau tidak perlu memukulku dengan hand-phone-ku sendiri, sungguh."
"Kalau kau mau tahu, aku benci kejutan," balas Harry gelap, dan Malfoy duduk dari posisinya menggelantung terbalik di dahan pohon, kemudian turun dari sana sambil melompat.
"Aku 'kan sudah bilang maaf," kata Malfoy, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya. "Kau akan kuantar pulang."
Harry tidak bisa menolak. "Terserah," jawabnya, masih agak kesal.
Malfoy terkekeh, lalu mengelap hidungnya dengan sapu tangan itu, dan Harry menatap noda kemerahan yang muncul di sana dengan agak kaget.
"Aku menggamparmu sampai berdarah?" tanya Harry takjub.
"Tidak," kata Malfoy, lalu menutup hidungnya dengan sapu tangan, suaranya terdengar sengau. "Sepertinya patah."
Harry merasa ia peduli pada Malfoy, karena dirinyalah yang menyebabkan pendarahan itu—tapi seperti kata George, tidak apa-apa memukul, asalkan jangan sampai hilang sadar—tapi begitu mengingat bahwa Malfoy-lah yang mengagetkannya, Harry bergumam, "Kau yang membuatku terpaksa memukulmu."
"Ya, ya," kata Malfoy, dan Harry bisa melihat seringainya yang nyaris tersembunyi di balik sapu tangan. "Kau mau pulang bersamaku, yang penting."
Harry memutar matanya, dan ketika melihat noda darah semakin banyak di sapu tangan Malfoy, ia berusaha agar rasa bersalahnya tidak perlu muncul di ekspresi wajahnya atau sampai membuatnya kasihan pada Malfoy. Merasa bahwa situasi tidak mengenakkan Harry, ia berkata,
"Kau bilang mau mengantarku pulang?"
Malfoy mengangguk, dan menyimpan sapu tangannya, memperlihatkan bekas darah yang cukup kontras di wajah pucatnya. "Oke. Mobilku ada di seberang jalan."
Harry berhenti berjalan, "Kau mengantarku dengan mobil?"
"Tentu," balas Malfoy, dan kepercayaan dirinya sudah naik seperti sedia kala, seolah ia tidak memiliki hidung yang barusan dipukul sampai mimisan. "Kau mau aku menjemputmu dengan pesawat pribadi? Atau kapal pesiar?"
Harry mengangkat bahunya, merapatkan jaket, dan membiarkan Malfoy berjalan mendahuluinya, "Kukira jalan kaki," kata Harry.
Malfoy mendengus di depannya, lalu kepala itu menoleh untuk menatapnya, "Kau punya selera yang unik, Harry," kata Malfoy, tersenyum, dan Harry menahan dirinya untuk tidak melihat bekas darah yang mengering di bawah hidungnya—itu membuatnya ingin meminta maaf.
Sesampai mereka di samping mobil Malfoy—yang hitam metalik dan Harry tahu bahwa Malfoy itu orang super makmur karena merk-nya Mercedes, beda sekali dengan mobil Mr Weasley yang Ford Anglia—Malfoy mempersilakan Harry masuk terlebih dahulu di sebelah kursi kemudi, dan Harry harus menahan tangannya agar tidak melukai wajah Malfoy lagi; ia merasa seperti seorang gadis, tahu, dibukakan pintu begitu.
"Dimana rumahmu?" tanya Malfoy setelah memanaskan mesin dan memutar balik mobil untuk melaju di jalan raya.
"Magnolia Crescent. Nomor tiga-puluh satu," jawab Harry singkat.
"Perumahan?" tanya Malfoy, dan Harry hanya mengangkat bahu. "Kau seharusnya tinggal di villa. Atau mansion."
Harry berdecak pelan, supaya Malfoy tidak perlu mendengarnya. "Memang kenapa?"
Tiba-tiba Malfoy mengarahkan spion yang ada di sebelahnya, dan membuat Harry menatap dirinya sendiri dalam pantulan cermin. Malfoy ikut menatapnya, tapi hanya sesaat.
"Kau lihat?" tanya Malfoy, mata kelabunya sesekali beralih untuk menatap mata hijau Harry yang masih bingung dengan kaca spion Malfoy yang masih menghadap ke arahnya. "Wajahmu itu di atas rata-rata. Kau campuran antara seni yang indah, cantik, dan menarik."
Harry menganga, dan pipinya kembali gelap semerah apel matang. Sebelum Harry sempat membalas, tangan pucat Malfoy terulur, dan menaikkan lagi rahangnya yang tadi terbuka.
"Ekspresimu lucu," komentar Malfoy, tertawa. "Tapi jangan buka mulutmu lebar-lebar. Kita tidak tahu apa yang akan masuk nanti; lidahku atau serangga malam."
Sepanjang perjalanan, Harry mengatup mulutnya dengan wajah merah seperti selesai dipanggang, dan melipat lengannya di dada dengan defensif. Ia tidak mau melakukan apa-apa, mungkin Malfoy akan mengatakan sesuatu yang bisa membuat pipinya merah dan lidahnya berbelit dalam tenggorokan saking malunya; seperti saat ini.
Betapa bersyukurnya Harry bisa melukai hidungnya. Mungkin lainkali Harry akan menyumpal mulut cerewet Malfoy dengan sampah burger kafé yang busuk supaya manusia pucat-runcing tidak perlu bicara tentang sesuatu yang tidak perlu—seperti mengomentari wajahnya.
"Hey, Harry," suara Malfoy kembali terdengar, dan Harry bergidik mendengarnya. "Ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat seperti sedang menjilat lemon. Mau kucium supaya lebih baik? Rasa mulutku manis, kok."
Harry menggeram marah dengan kepala yang ingin terbakar.
.~.
Harry menghela nafas di posisinya di dekat meja kasir dengan berat. Hari ini cukup melelahkan karena, ajaibnya, pelanggan yang datang hari ini empat kali lipat lebih banyak dibanding biasanya. Fred dan George bilang mereka akan pergi sebelum kafé tutup karena ada acara—acara apa, entah, Harry tidak pernah tahu.
"Harry?" suara lembut yang kedengaran sedang melamun membuat Harry menoleh, dan ada Luna di sampingnya, menatap datar ke pintu masuk, lalu menunjuk ke sana. "Sepertinya orang itu mencarimu."
Harry mengikuti arah jari yang menunjuk Luna, dan berhenti di sebuah mobil hitam metalik yang ia kenal, dan...
Ada seorang pemuda yang berdiri di sana, sangat penuh gaya, dan pucat, runcing, juga kelihatan sombong.
Draco Malfoy.
Harry bergidik. "Kenapa orang itu datang lagi?" tanyanya sambil meremas rambut hitamnya kesal, "Sial."
Luna menatapnya, dan mata keperakannnya menatap Harry dengan polos, "Dia keren," kata Luna, tapi tidak terdengar antusias—datar. "Kau punya pacar baru, Harry?"
"Apa? Tidak mungkin!" seru Harry, "Itu mustahil, Luna. Kau tahu aku ini tidak memikirkan hal-hal semacam.. pacaran."
"Kau seperti besi padat," kata Luna, mendadak dan tidak nyambung. Matanya menerawang mata Harry, dan Harry kurang menyukai sensasinya. "Besi awalnya sulit dibengkokkan, tapi ketika dipanaskan, jadi mudah sekali bengkok."
Harry menggelengkan kepalanya, dan mengedipkan matanya berkali-kali, supaya wajahnya tidak menampakkan ekspresi cengo yang kurang ajar. "A-aku tidak tahu maksudmu, Luna." tidak pernah, sejujurnya, batin Harry.
"Oh, tidak masalah," kata Luna, lalu tersenyum cerah. Harry dengan kikuk membalas senyuman itu, takut menyinggung Luna. "Suatu saat kau akan mengerti sendiri."
Kemudian, Luna pergi meninggalkannya dengan benak penuh pertanyaan, masuk ke dapur, dan jam berdentang, menunjukkan waktu untuk mengakhiri shift hari ini. Harry ingin cepat-cepat pulang dan beristirahat, oleh sebab itu, ia tidak mengganti seragamnya—karena cukup normal dan tidak kelihatan bodoh—dan mengambil tas selempangnya di kamar ganti. Ia baru pulang dari Oxford, makanya masih bawa baju selain seragam ini.
Setelah pamit pada teman-temannya yang lain, Harry yang masih memikirkan absurdnya perkataan Luna tentang.. besi tadi, tidak sadar bahwa ada mobil yang tepat berada di depannya, dan bunyi klakson yang lantang membuatnya terlonjak kaget, dan melotot ke arah bunyi suara yang ternyata adalah—
"Kau lagi!" seru Harry sambil menunjuk kepala pirang platina yang menyembul dari kaca jendela hitam. "Ngapain kau disini?"
"Menjemputmu, pastinya," balas Draco Malfoy, dan menyeringai ke arah Harry, "Kau pasti kelelahan."
"Tidak terlalu," kata Harry, setengah berbohong. "Kenapa kau kembali? Beritahu aku alasannya."
Malfoy membuka pintu mobilnya, keluar, lalu menyandarkan tubuhnya pada mobil dan kelihatan dua kali lipat lebih sombong. "Fred dan George memintaku secara pribadi untuk mengantarmu pulang; karena kebetulan, aku lewat sini," jawabnya, dan ia mendongak menatap langit, membuat Harry ikut menatap langit hitam di atas, sebelum kembali menatap Harry dengan mata kelabunya. "Dan sekarang sudah cukup malam. Aku berbaik hati mau mengantarmu pulang, tahu. Kau masih tidak terbiasa? Sudah tiga kali aku menjemputmu."
Harry terdiam sesaat. Ia tidak tahu harus berterima kasih atau marah pada Fred dan George, dan ia tidak tahu pula harus memasang wajah marah atau tersenyum pada Malfoy karena mau mengantarnya pulang. Kemudian, Harry memutuskan untuk sedikit berlaku malaikat pada Malfoy dengan mengatakan, "Trims, kalau begitu," dengan senyum sesingkat berkedip.
Harry tidak menyangka Malfoy bisa menangkap senyumnya, dan pemuda pucat itu mengambil tangan Harry, dan mengusapnya perlahan, "Kau tidak perlu mengucapkannya, Harry," kata Malfoy, dan mengecup punggung tangannya. Mengecup, sodara-sodara! Mengecup! Sinting. Sial. Argh, kepalanya serasa berputar.
Wajah Harry pasti sebuah adukan antara marah dan malu; tapi pipinya sangat panas dan merah tua, juga tangan yang selesai di cium Malfoy bergetar hebat. Dengan perlahan ia mengangkat kepalanya untuk menatap Malfoy, dan saat mata mereka bertemu, Harry memberikan tatapan membunuh yang lebih mematikan pada Malfoy. Mulutnya berkerja, memilah kata kutukan yang tepat untuk Malfoy. Ketika menemukannya, suaranya penuh dengan emosi,
"Kau—"
"Harry!"
Kata-kata mati seketika di pangkal tenggorokannya, tidak jadi keluar, karena suara melengking Ginny terdengar, dan ia tahu betapa gobloknya ia terlihat dengan tangannya di genggaman Malfoy—dan ia tidak tahu harus membalas apa ketika langkah-langkah mendekat itu terdengar.
"Wow, Harry," itu suara Ginny, dan ada senyuman di suaranya. "Pacar barumu setelah sekian lama?"
Darah yang mewarnai di pipinya merosot dengan drastis, membuat kompleksinya jadi sepucat Malfoy. Ia menoleh untuk menatap teman-temannya, dan.. oh, demi apapun, kenapa mereka memasang cengiran yang sama; yang mengatakan bahwa mereka mengetahui sesuatu...?
"Well, halo, pacar Harry," itu suara Neville. Sial. "Perkenalkan, aku Neville, dan ini Luna, ini Hannah, dan ini Ginny."
Harry merasa oksigen menipis di sekitarnya.
"Halo, Neville, dan kalian semua," kata Malfoy, terdengar sangat santai, dan membuat Harry ingin mendorongnya ke jurang yang tidak berdasar. "Namaku Draco Malfoy. Senang bertemu dengan kalian."
Neville, Ginny, Luna, dan Hannah tertawa, dan Harry menggeram di bawah nafasnya.
"Berapa lama kalian pacaran?" tanya Ginny, mengikuti instingnya sebagai penggosip hubungan orang yang sudah terkenal seantero Oxford—oh, dia kuliah juga disana. "Aku—kami tahu Harry orangnya pemalu dan agak tertutup, tapi kami baru tahu kalau dia punya pacar yang..."
Suara tawa lagi, dan ada dengusan dari Malfoy. Harry menatap teman-temannya dengan merana, lalu berusaha untuk menampik fitnah yang mereka percaya itu.
"Oh, guys," kata Harry, suaranya sangat kecil dan memohon. "Jangan bilang bahwa Malfoy ini pa—"
"Harry, tidak perlu malu-malu," goda Ginny, masih tersenyum. "Kau bisa terbuka, kau tahu. Kau bisa menceritakan pacarmu ini pada kami."
Harry menatap mereka semua dengan mata menyipit, dan memutuskan bahwa tidak baik untuk kesehatannya kalau bicara dengan empat orang yang tidak membantunya dalam kondisi yang memalukan itu. Tanpa berpikir lagi, Harry menarik tangan Malfoy, berdesis, "Pulang, se-ka-rang," dengan pelan dan menekan tiap suku kata, lalu dengan cepat mengitari mobil untuk duduk di sebelah bangku Malfoy, mengabaikan godaan dan seruan entah-apa-bodo-amat dari empat temannya itu. Ia tidak percaya mereka semua bisa mengambil keputusan hanya dengan melihat—
"Harry," suara bariton Malfoy menambah emosinya, membuat Harry menoleh ke arah pemuda itu dengan gigi bergemeretak, "Kau tidak perlu menganggap ucapan mereka itu serius, nant—"
"Diam," potong Harry dingin, merasa sakit kepala menyerang pelipisnya. "Jangan bicara apapun. Please."
Sepanjang perjalanan, Harry menyibukkan diri dengan memandang keluar jendela, dan mengabaikan Malfoy yang menyetir di sebelahnya.
.
.
.~. Part One: End .~.
.
.
Hana's (long) Footnote::
Makasih yang udah mau baca sampai sini! Yap, ini ada tiga part, dan Hana janji, part two-nya bakal cepet di-update, karena udah selesai—cuma nunggu keputusan readers aja, mau cepet update atau nggak XD *diguyur* tadinya mau buat oneshot, eh tapi Hana pikir potong aja disini. Kasian yang gak tahan baca panjang2. *digiles* ini bakal jadi threeshot/trilogi abisnya.. kepanjangan. TwTa sebelumnya, untuk Phantomhive Black Lupin, fic SBRL-mu masih tetep Hana kerjain, cuma gegara WB aja nih mandek ide. Buat Uci, fic dari lagu Sparks Fly juga masih on-going. Buat readers, fic Detention (kek yang ada di profil Hana) itu juga ketiban WB. Fic ini ngebantu Hana copot dari WB (ga enak banget yah WB itu) karena banyak masalah in real life. Author juga manusia #nyanyi *digibeng* Hana mohon respon di review, yah. :) reviews mean everything to every writer.
Peyukcium,
-Hana,
Finished 17 May 2012.
