A/N: Halo semua, salam kenal ya… ^^! Saya baru di category Harry Potter Indonesia, sebenernya sudah bosan sama Harpot, tapi terinspirasi bikin fic ini setelah nonton HBP, hehehe…
Saya ngefans banget sama Aa' Severus XD, sampai saya bikin skripsi (waktu itu emang lagi lebay-lebaynya…XD)
Moga-moga temen-temen suka. Sekali lagi salam kenal…! *hugs*
Disclaimer: Harry Potter bukan punya saya.
Ketika Ia Telah Tiada
Aku membencinya.
Sangat membencinya.
Ia telah merebut posisi ayahku dan berhasil menjadi tangan kanan Pangeran Kegelapan, penasihatnya yang paling dipercaya. Aku tidak berharap ia akan menolongku. Tapi di sinilah ia, menggumamkan mantra yang terdengar seperti lagu, untuk menyelamatkan nyawaku. Aku tak menyangka Potter bisa sekuat itu; mantra macam apa ini…? Sectum…sempra, katanya…? Ayahku yang amat kuhormati pernah memberitahuku, mantra itu berarti "memotong". Memotong segalanya: leherku, dadaku, mungkin juga menembus jantungku. Aku tidak peduli. Aku takut sekali mati, tetapi aku juga lelah dengan semua ini… Aku membenci laki-laki yang meletakkanku dalam pangkuannya ini, tetapi di sisi lain, secara tidak kusadari, aku membutuhkannya untuk menyembuhkanku.
Napasku semakin pendek, tapi Severus Snape tak lelah menggumamkan kontra kutukannya, ujung jubah hitamnya terbenam dalam genangan air yang bercampur darah. Guru yang sebelumnya adalah guru yang paling kukagumi, namun sekarang semuanya kacau. Dia bukan lagi guru favoritku. Dia menawarkan banyak sekali bantuan padaku, yang sama sekali tidak kuhiraukan. Nyatanya dia masih memperhatikanku, membopongku, mengatakan akan membawaku ke klinik dan memberikanku dittany untuk menghilangkan bekas lukaku.
Setelah kami tiba di klinik, Madam Pomfrey yang khawatir langsung menuntunku ke tempat tidur, sementara laki-laki itu langsung melesat keluar, menggumamkan tentang menghukum si Potter. Aku masih kesakitan, dadaku rasanya amat panas, juga pipiku yang terkena mantra Potter. Tapi aku tidak bisa pingsan, aku juga tidak bisa sepenuhnya sadar, seperti selama ini.
Beberapa waktu berlalu, dan Profesor Snape kembali untuk menjengukku.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Nadanya mencerminkan kekhawatiran, nada yang jarang sekali kudengar dari dirinya.
"Aku tidak apa-apa," aku menjawab dingin.
"Kau harus istirahat, kau tahu—"
"Dan membiarkan Anda merebut kejayaan saya dengan melakukan tugas yang diberikan Pangeran Kegelapan? Saya rasa tidak."
Aku melihat wajahnya mengeras, mata hitamnya memandangku tajam. Aku merasa puas telah menyakiti hatinya, tapi seperti sebelumnya, dilema dalam hatiku tidak pernah sirna. Pada saat yang bersamaan aku juga merasa bersalah telah berbicara kasar pada orang yang telah mengobatiku. Mantra yang digunakan Potter sepertinya adalah ilmu hitam, dan orang yang bisa menangani ilmu hitam di sekolah ini mungkin hanya Snape seorang. Bisa dibilang, aku sangat beruntung dia datang pada yang tepat.
Tapi aku tetap membencinya.
"Aku tidak akan berdebat lagi denganmu soal itu, Draco," ia berkata dingin, lalu berbalik, jubah hitamnya melambai di belakangnya. "Istirahatlah."
Aku memandang pintu setelah ia pergi. Dia benar-benar tidak pernah peduli pada apapun; dia tidak peduli aku tidak berterima kasih padanya setelah ia menolongku.
Dan aku juga tidak! Aku perlu pelampiasan. Untuk ayahku yang kini mendekam di penjara. Dia! Dia adalah salah satu orang yang bersalah, karena ia, baik secara sadar maupun tidak, telah mengambil posisi ayahku!
Aku membencinya.
Sangat membencinya.
Itulah yang terus kurasakan terhadapnya.
…
Sampai aku mendengar berita kematiannya.
Pada saat itulah aku sadar bekas luka di dadaku ini menunjukkan betapa tulus hatinya, ketika ia meletakkan kepalaku di atas pangkuannya dan melantunkan kontra kutukan selaik musik itu.
Dan aku pun tak lagi membencinya.
The End
