Langit menyapa dengan biru senyumnya yang cerah, ketika siang bernyanyi merdu menyemangati penantang waktu. Keberadaan mereka adalah sesuatu yang kecil, rapuh, tetapi berarti untuk memberi arti kepada sekitar. Tanpa mereka, dunia bukan mengenang kenangan melainkan khayalan–khayalan yang bukan masa lalu atau depan, karena khayalan tidak hidup dalam masa, dan sebatas keberadaan yang mengada-ada.
Maka, pertanyaan itu akan selalu kembali pada mereka yang menantang waktu; kepada siapakah seseorang ingin memberi arti hari ini?
Apakah kepada tukang kebun, dengan menyayangi bunga-bunga mungilnya seperti orang itu merawat napas sendiri? Ataukah untuk bunga liar di pinggir jalan, yang tidak seseorang petik namun abadikan memakai lensa kamera?
Kriinggg ...
Bel di atas pintu toko bunga menjawab pertanyaan tersebut, dengan menghadirkan sosok remaja tanggung yang senyumannya mengharumkan suasana.
"Siang, Dazai-san."
Arti seperti apakah yang akan remaja ini berikan?
Flowers Love Hug
Chara: Dazai Osamu x Nakajima Atsushi
Genre: Hurt/comfort
Disclaimer: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.
Warning: OOC, typo, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, serta diikutkan pada event "dazai x happiness" di tumblr.
Day 1: Flowers
Senyum remaja itu mengharumkan suasana dengan aroma musim panas yang sejuk. Si pemuda jangkung–yakni 'Dazai-san', melambai dari arah meja kasir. Apron merah jambunya masih dikenakan, sewaktu memeluk sang pelanggan yang Dazai kenali sebagai Nakajima Atsushi–juniornya di Agensi Detektif Bersenjata, dan ada sejarahnya mengapa Dazai bisa berakhir menjadi kasir toko bunga.
(Meski sejarahnya hanyalah; Dazai tidak sengaja memecahkan salah satu vas–untung bukan impor dari mana-mana)
"Akhirnya Atsushi-kun datang~ Hari ini sangat ramai. Aku capek sekali." Curhatan itu ditanggapi dengan tawa kecil. Pelukan segera dilepas, setelah Dazai puas melampiaskan rindu.
"Berapa banyak kontak yang Dazai-san dapatkan hari ini?" Selain mengeluh capek, Dazai pun hobi menceritakan wanita-wanita cantik yang berkunjung. Nomor ponselnya akan diminta, dan Atsushi tidak pernah tahu bagaimana kelanjutannya.
"Lima! Sebenarnya mereka semua cantik-cantik, tetapi aku memilih terbaik di antara yang terbaik."
"Masa hukumanmu berakhir hari ini, bukan? Mereka pasti sedih, tidak bisa melihat Dazai-san besok."
"Selama benang merah menghubungkanku dengan mereka, pertemuan bisa bersemi di mana pun." Nada yang dramatis berpadu gestur ala pujangga membuat kalimat itu kian indah–meski hanya di luarnya saja, karena sifat playboy Dazai merusak keseluruhan makna.
"Omong-omong di mana ibu pemilik toko?"
"Dia sedang berbelanja. Tetapi, Atsushi-kun tenang saja karena suaminya akan menggantikanku berjaga."
"Kalau begitu ... ada tempat yang ingin Dazai-san kunjungi? Mumpung sekarang hari Minggu."
"Bagaimana kalau makan siang? Aku ingin sup kepiting~" Sudah pukul satu, ya? Perut Dazai juga terdengar bergemuruh, mengingat kuaci di meja kasir malah mengenyangkannya dengan rasa pegal.
"Tentu. Aku ingin chazuke."
"Paman! Aku pergi dulu, ya! Titip salam buat–", "Tunggu sebentar. Aku ingin membeli bunga. Dazai-san mau melayani sebentar?" Senyuman Atsushi tetap aroma musim panas yang sejuk, meski tidak meneduhkan Dazai karena sekarang, ia kehilangan ekspresi.
Membeli kembang di toko bunga jelas masuk akal. Hanya saja ... kenapa Dazai merasa aneh bahkan janggal, walau Atsushi semringah ketika menunjuk bunga matahari?
(Entah bagaimana, senyumannya justru menyejukkan dengan kesenduan)
Jam makan siang menjadikan kafe yang mereka datangi padat pengunjung. Dazai mengambil tempat di luar, sementara Atsushi ke toilet melaksanakan panggilan alam. Chazuke dan sup kepiting telah dipesan, bersama dua gelas es teh manis. Namun, antusiasme tidaklah tampak dari wajah Dazai. Gemuruh di perutnya juga telah berhenti, semenjak ia terpaku memandangi buket bunga matahari.
Kira-kira untuk siapa Atsushi memberikannya? Dazai terus-menerus terganggu, oleh senyuman di toko bunga tadi.
"Pesanannya sudah datang?" Pertanyaan Atsushi membuyarkan lamunan Dazai. Jemari yang memainkan kelopak bunga buru-buru Dazai tarik, dan pandangannya difokuskan pada mata nila Atsushi.
"Belum. Pelayannya bilang sekitar dua puluh menit lagi."
"Dazai-san tidak mau mengganjal perut? Kelihatannya takoyaki di dekat kafe ini enak."
"Pedagangnya seram, seperti bibi toko bunga. Bagaimana kalau Atsushi-kun dipelototi, terus malah kamu yang dijadikan makan siang?"
"Be-berhenti mengatakan hal-hal seram, Dazai-san. Zaman sekarang sudah tidak ada kanibalisme."
Kejanggalan yang memberatkan benaknya sedikit luntur, saat Dazai tertawa menanggapi ketakutan Atsushi. Mereka berhenti berkata-kata, baik dalam tatapan maupun suara. Diam-diam pula saling menebak, mengenai apa yang terjadi sampai jarak seolah-olah memisahkan–rasa di wajah Dazai selalu begitu jauh, untuk Atsushi tebak apa lagi mengerti.
"Ada apa?" tanya Atsushi yang sebenarnya resah, karena Dazai memilih diam dibandingkan bercerita. Apa dia melakukan hal aneh? Dazai terkena maag gara-gara lama menunggu? Lelah setelah menjaga toko?
"Warna bunganya cantik. Kenapa Atsushi-kun membeli bunga matahari?"
"So-soal itu ... karena dia orang yang kuat, bersinar dan mengagumkan."
"Apa jangan-jangan ... orang itu adalah Akutagawa-kun?" Pandangan Dazai terarah ke samping kanan. Atsushi turut mengikutinya dan seketika, ia mendadak masam.
Sumpah. Dari seluruh kenalannya mengapa harus Akutagawa? Terlebih, mata hitam jelaga itu mengincar buket bunga matahari yang buru-buru, Atsushi sembunyikan di belakang punggung. Merah tampak menyala di pipi Atsushi, dan canggung menjadi manis berkat kebetulan ini. Dazai yang secara tidak langsung 'menjodohkan' mereka sebagai 'shin soukoku', kini beranggapan kalau Atsushi jatuh cinta pada Akutagawa.
"Kenapa ragu-ragu, Atsushi-kun? Berikan saja. Akutagawa-kun bakal suka, kok," bisik Dazai pelan. Atsushi menggeleng cepat menolak saran tersebut.
"Bu-bukan begitu, Dazai-san ... aku–", "Apa yang kalian bicarakan?" Jika Akutagawa melotot (ditambah ia tak memiliki alis) Atsushi pasti ngeri sampai berpaling. Kondisi ini kian mengerikan, karena baik Akutagawa maupun Dazai mendekatkan wajah membuat Atsushi terpepet.
"Kami membicarakan soal cuaca!" Suara Atsushi dikeraskan membuat keduanya menjauh. Akutagawa berdeham, sementara Dazai cemberut gara-gara kecewa.
"Siapa juga yang mau mencuri bungamu."
"Y-ya. Aku juga tahu Akutagawa tidak mau mencuri bungaku."
"Mau memberikan bunga masa ekspresimu begitu?" Eh? Ternyata Akutagawa perhatian juga. Rasa gemas bercampur usil menjadikan Dazai bersiul, dan Atsushi tambah pusing meningkahi kesalahpahaman seniornya.
"Aku baik-baik saja, kok."
"Berikan dengan berani. Jangan ragu seperti itu. Kau tidak pantas untuk Kyouka jika selemah ini."
"I ... ya?"
"Ternyata Atsushi-kun ingin memberikannya untuk Kyouka-chan~ Kenapa tidak bilang dari tadi?"
Jadilah mereka makan bertiga. Dazai sangat cerewet macam ibu-ibu menasihati putranya sebelum lamaran, sedangkan Akutagawa seperti ayah yang bijak dengan kata-kata mutiaranya.
Satu jam penuh diceramahi, bukannya tercerahkan Atsushi justru kehabisan tenaga. Pusat perbelanjaan menjadi destinasi selanjutnya, mumpung hari belum sore dari pada mati bosan di apartemen. Mereka memasuki toko secara acak entah itu jam, permata, kacamata bahkan pakaian dalam wanita yang tentu saja, segera Atsushi cegat atau nama baik agensi tercoreng.
"Kapan Atsushi-kun mau menemui Kyouka-chan?" tanya Dazai memecah hening. Penunggu kios tembak-tembakan memperhatikan keduanya, mengira Atsushi ingin bermain karena sesekali melirik pada boneka raksasa di stan.
"Buat?"
"Tentu saja memberikan bunganya~ Kenapa kita malah kemari coba?" Entah apa yang Atsushi cari. Namun, menilik tingkah laku juniornya itu Dazai menerka, Atsushi mau bermain tembak-tembakan.
"Atsushi-kun mau hadiah apa dari kiosnya?"
"Eh ...? Aku tidak ingin bermain tembak-tembakan, Dazai-san. Lagi-" GREP! Penjelasannya kembali terpotong dengan cara yang lebih halus. Inisiatif Dazai menjadikan mereka berlari sambil bergandengan tangan, menuju kios yang menanti untuk ditantang.
"Pasti kudapatkan~ Atsushi-kun tenang saja."
Permainan menembak bukan perkara sulit untuk Dazai. Sebelum mulai bertarung, ia lebih dulu menanyakan hadiah apa yang Atsushi incar -jawabannya begitu tak terduga, walau Dazai memilih fokus sebelum berkomentar. Peluru karet itu mengenai box berukuran mungil dengan mulus. Demi menjaga kerahasiaannya Dazai sekadar meraba-raba, menerawang bahkan mengguncangkan isi kotak tersebut yang ternyata, lumayan berat.
"Kurasa Kyouka-chan lebih menyukai boneka," ujar Dazai menyerahkan hadiahnya. Ia meregangkan tubuh, sebelum mereka kembali berkeliling atau memutuskan pulang.
"Kyouka-chan sudah memiliki boneka kelincinya. Karena itu–", "Atsushi-kun! Dazai-san!" Suara yang familier menyapa indra pendengaran mereka. Perempuan berkimono merah, dengan seorang wanita dewasa tampak menghampiri keduanya yang tersenyum lembut.
"Heee~ Kyouka-chan panjang umur. Meski tidak kusangka Yosano-sensei juga di sini."
"Apa kau berkencan dengan Atsushi?"
"Yosano-sensei bisa saja~ Kami hanya berkeliling, kok. Kebetulan juga Atsushi-kun ingin menemui Kyouka-chan." Punggung Atsushi didorong pelan oleh Dazai. Kecanggungan mendadak ini mulai Yosano pahami, dan tangannya memegang kedua bahu Kyouka.
"Maksudmu Atsushi ingin melamar Kyouka dengan memberinya bunga?"
"Anggap saja seperti itu~ Ayo berikan, Atsushi-kun. Kata Akutagawa-kun juga kamu tidak boleh ragu."
Ah. Sekarang bagaimana cara Atsushi meredakan kesalahpahaman? Tujuan bunga ini bukanlah Kyouka. Lidahnya bahkan kelu sewaktu Dazai menyorot dengan harapan, antusiasme, dan ketidaksabaran yang ingin Atsushi perbaiki agar menjadi wajar–semua ini akan terus-menerus salah, yang lebih parahnya lagi tidak menemukan apa pun selain menyadarkannya, bahwa Atsushi kehabisan waktu.
"Kyouka-chan," panggil Atsushi pelan sembari menyodorkan box. Kyouka tidak langsung menerimanya yang berarti, ia belum memahami niat Atsushi.
"I-ingat kejadian dua minggu lalu? Kamu menginginkan hadiah ini, tetapi aku gagal mendapatkannya."
"Sekalian berikan bunganya, Atsushi-kun. Tadi itu sudah bagus." Asli. Dazai geregetan karena Atsushi terlalu lambat. Kalau ini lamaran sungguhan, pasti sudah ditolak gara-gara membuang waktu.
"Terima kasih, Atsushi-kun. Tetapi tidak perlu." Box tersebut didorong Kyouka yang sejurus kemudian menundukkan kepala. Atsushi menggeleng panik, dan ia berbisik agar Kyouka berhenti melakukannya.
"Memangnya kenapa?"
"Yosano-sensei memberitahuku, kalau box itu berisi jam tangan. Bukankah lebih baik jika Atsushi-kun memberikannya pada penjaga panti?"
"Dia sudah mati, Kyouka-chan. Untuk apa aku memberikannya?"
"Bagaimana kalau kau menganggapnya, sebagai tanda berbaikan dengan penjaga panti? Bunga itu juga sebenarnya ingin kau berikan pada dia, bukan?" sambung Yosano menepuk bahu Atsushi. Perhatian itu mengakhiri perjumpaan mereka, karena Yosano memutuskan berlalu diikuti Kyouka.
"Tolong temani aku, Dazai-san. Boleh?"
"Atsushi-kun. Aku–"
Sebelum Dazai diizinkan melengkapi kalimatnya, Atsushi lebih dulu meninggalkan kios, dan langkahnya seolah-olah menolak mendengarkan apa pun.
(Ternyata inilah kesenduan yang dimaksud)
Bukan tonggak batu, duka cita atau nyanyian gagak yang menyambut Dazai, melainkan sungai Yokohama di mana takdir mempertemukan mereka. Atsushi berdiri di pinggirnya, sementara Dazai menjaga jarak akibat rasa bersalah. Angin senja berembus membelai wajah, dan kelembutannya tidak pernah tiba untuk kembali menyejukkan Dazai dengan aroma musim panas.
"Ini bukan pemakaman, Atsushi-kun. Apa kamu–", "Aku merasa malu, Dazai-san," potong Atsushi menghadap wajah seniornya. Ada luka dan sesal yang mengetahui kenapa 'mereka' hidup di kalimat itu, serta untuk apa perasaan ini dihadirkan.
(Apa lagi kalau bukan untuk dihancurkan bersama air mata?)
"Malu kenapa? Atsushi-kun tidak perlu merasa seperti itu."
"Sebenarnya aku membeli bunga ini tanpa mengetahui akan memberikannya kepada siapa. Itu sangat memalukan, bukan? Apa jangan-jangan sosok yang kumaksud tidak benar-benar ada? Hanya khayalanku saja?"
"Kata siapa itu memalukan? Anggap saja Atsushi-kun membelinya karena tertarik, dan ingin menyimpan bunga tersebut. Menurutku Atsushi-kun seperti bunga matahari, kok."
"Bagaimana jika akhirnya aku memutuskan memberikan bunga ini pada Dazai-san?"
"Tetapi aku belum meninggal." Jawaban yang jelas-jelas konyol, menilik Dazai mendukung Atsushi memberikannya pada Akutagawa dan Kyouka. Hanya saja, dia punya alasan mengapa menolak dengan cara demikian.
Seseorang hanya boleh memberi bunga ketika Dazai meninggal, karena hidupnya tidak mungkin seindah kematian yang selama ini, ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh.
"Bunga juga bisa diberikan sebagai ucapan selamat atas kelulusan." Melantur sekali, ya. Atsushi benar-benar kehabisan cara, untuk memahami apa yang kalimatnya inginkan. Namun, dengan naifnya pula ia menolak diam, walau bisu atau berbicara sama-sama gagal membuat Dazai mengerti.
"Aku belum lulus dari kehidupanku. Atsushi-kun semakin tidak memiliki alasan, bukan?"
"Ungkapan kasih sayang juga bisa."
"Lalu ungkapan kasih sayangmu akan layu, dan tidak menyisakan apa pun. Menyedihkan sekali."
"Mungkin ini terdengar egois. Tetapi, aku ingin tahu rasanya memberikan bunga kepada seseorang, meski tidak mengetahui siapa dia."
"Dan aku kecewa, karena Atsushi-kun tidak memilih Akutagawa-kun atau Kyouka-chan. Bagaimana bisa kamu melakukan kesalahan sebodoh ini?"
"Kenapa begitu?" Kenapa pula Atsushi mengigit bibir? Kalimatnya akan terluka jika demikian. Mendengar Atsushi yang selembut itu, tetapi kelembutannya rapuh dan berhenti meneduhkan, sama saja dengan melukai Dazai yang diam-diam berharap, Atsushi akan tetap hadir dengan aroma musim panas yang sejuk.
"Atsushi-kun tidak akan merasakan kesenangan dari memberikan bunga padaku, karena aku sendiri tidak merasai apa pun. Apa lagi sebenarnya Atsushi-kun tidak tahu kepada siapa bunga itu akan diberikan. Sia-sia saja, bukan?"
"Namun, aku tetap ingin memberikannya padamu," ucap Atsushi maju selangkah. Dazai melangkah mundur menolak kehadirannya yang sekarang ini, paling memungkinkan untuk melukai.
"Hentikan sebelum Atsushi-kun terluka lebih dari ini. Cukup buang uangmu. Hatimu jangan."
"Dengarkan aku dulu, Dazai-san. Aku punya-", "'Aku punya cara untuk meyakinkanmu sampai Dazai-san menerimanya'. Apa itu yang ingin Atsushi-kun katakan?" Tatapannya sangat menyakitkan. Dazai yang terus mundur, dan menjaga jarak bukanlah apa yang kalimatnya inginkan (kalau selalu menjauh, bagaimana cara Atsushi memberitahu perasannya?)
Perasaan bukan tentang hal yang jauh. Bentuknya hampir tiada, sangat kecil, lebih ingin menghilang dibandingkan menetap. Kalau tidak dekat bagaimana caranya diungkapkan kepada orang lain? Apa karena keberadaannya sekecil itu maka tidak pantas diperhatikan?
"Bukan, Dazai-san. Maksudku adalah–", "'Maksudku adalah dengan terus mengatakan berbagai alasan, Dazai-san pasti menerimanya'".
"Berhenti menyela ucapanku. Aku–", "'Aku akan terus melukai diriku sendiri sampai Dazai-san luluh'. Kumohon hentikan, Atsushi-kun. Kamu–"
BUK!
Keningnya menghantam dada Dazai. Tanpa dibiarkan pergi atau menjauh lagi, Atsushi memeluknya dari depan. Menangis karena di senja yang perlahan terbenam ini, Atsushi berhasil menjaga takdir mereka yang selalu saja, menjadi hal pertama yang paling berharga untuknya.
"Bunganya memang ingin kuberikan padamu, Dazai-san. Aku sudah menolak Akutagawa dan Kyouka-chan. Tidak ada siapa pun yang terpikirkan lagi. Dazai-san memang orang yang kuat, bersinar dan kukagumi itu."
Atsushi merasa bodoh, karena sempat berputar-putar dalam pencarian.
"Tetapi aku tidak–", "Aku tidak peduli Dazai-san merasa senang atau tidak sewaktu menerima bunga dariku. Kamu bisa mencari tahunya nanti. Akan kuberikan lebih sering lain waktu."
"Ada seseorang yang lebih pantas menerimanya."
"Pantas atau tidaknya aku yang tentukan. Dazai-san tidak perlu protes karena sekarang, aku hanya ingin memelukmu."
"Kalau begitu bunganya kuterima, karena Atsushi-kun memberinya dengan memelukku."
Bunga tidak memiliki rasa yang nyata. Namun, Dazai tahu pelukan Atsushi itu hangat sekaligus menyenangkan–bukan kepalsuan yang berpura-pura menjadi realitas.
"Maaf telah mengatakan hal-hal kejam padamu. Padahal Atsushi-kun tidak berniat menyakitiku." Malah aku yang melukai diriku sendiri, karena bersikeras menolakmu.
Mereka saling berdekapan, menangis juga sama-sama sadar; bunga akan lebih indah kalau diberi dengan cara memeluk.
Tamat.
A/N: tolong kasih tau ini happy atau ga, udah itu aja. aku ngerasa gagal tapi di sisi lain sangat berhasil. oke thx buat yang udah fav, follow, review, atau sekedar lewat aku menghargai apa pun yang kalian berikan padaku~
