"Vanilla latte, Baekhyun, dan keraguannya… seharusnya aku tahu kalau Chanyeol tidak pernah mencintaiku."

Cassandra Presents

Rêver

.

.

.

Cast : Byun Baekhyun (mentioned), Oh Sehun, Park Chanyeol

Disclaimer : All belongs to God

Rating : T

Warning :

Boy x boy, typo(s), OOC, absurd, marriage life!AU, etc

a/n :

Saya dapet ide pas denger lagu Lee Hi - Dream

.

.

.

Please, take your own risks

.

.

.

KEBERSAMAAN kami sudah terhitung dari banyaknya cangkir kopi di pagi hari yang kubuat, dan juga seberapa sering makanan yang kumasak berakhir di saluran pembuangan.

Orang-orang bilang, kami serasi, dilihat dari bagaimana tinggi badan Chanyeol yang seakan dibuat khusus untukku, dilihat dari betapa perbedaan-perbedaan kecil yang kami miliki.

Chanyeol suka memainkan gitar, sedangkan aku lebih suka menyanyikan sebuah lagu. Chanyeol mencintai kopi, sedangkan aku menyukai susu. Dan kupikir kami bisa saling melengkapi, bahwa suatu saat nanti, Chanyeol akan memetik gitarnya untukku ketika aku bernyanyi, dan ditemani dua cangkir americano sebagai penghangat…

Bisa dibilang, kami ini pasangan muda—karena usia pernikahan kami yang baru berumur enam bulan. Aku mencintai Chanyeol—tentu saja. Karena itulah alasan mengapa aku mengatakan 'ya' beberapa detik setelah dia melamarku.

Pesta pernikahan kami memang bukanlah suatu hal yang dibuat meriah. Tapi dengan sebuah cincin yang Chanyeol sematkan di jari manisku dan janji kami di altar, itu sudah cukup membuatku meneteskan air mata.

Tidak banyak waktu yang bisa kuhabiskan dengan Chanyeol. Pertemuan pertama kami juga bukanlah suatu hal yang benar-benar istimewa. Chanyeol adalah ketua klub instrumen musik sekaligus seniorku saat aku berada di universitas. Usia kami yang terpaut tiga tahun seolah-olah menjadi jurang di antara kami. Chanyeol bersikap dewasa, sedangkan aku kekanak-kanakan.

Meskipun dulu banyak orang yang mengatakan kalau kami pasangan yang serasi, tapi sekarang, kata-kata itu sudah tidak ada artinya lagi seiring dengan Chanyeol yang lebih suka memainkan gitarnya tanpa sebuah lagu, dan aku yang sudah terbiasa bernyanyi tanpa diiringi alat musik.

Kupikir, americano juga bukanlah pilihan yang tepat. Walaupun Chanyeol mencintai kopi, tapi dia tidak terlalu menyukai kopi yang dipadukan dengan susu. Meskipun pada kenyataannya presentase kopi dalam americano lebih tinggi daripada susu sekalipun, Chanyeol tetap tidak akan memilihnya.

Tapi aku tidak tahu kalau ternyata Chanyeol akan lebih memilih vanilla latte dibandingkan americano—aku tidak tahu kalau Chanyeol akan memilih minuman yang lebih manis dari americano. Kukira americano-lah yang paling tepat untuknya—karena kupikir dia memang tidak suka makanan manis—sama seperti dulu, ketika aku menganggap bahwa akulah satu-satunya yang paling tepat untuk Chanyeol karena dia telah memilihku, bahwa akulah yang paling sempurna untuknya.

Tapi ternyata aku salah…

Dan sekarang aku tahu, aku sadar betapa bodohnya aku dulu, saat kukira Chanyeol menyukaiku. Dia selalu memperhatikan aku, menuruti kemauanku, membuatku seolah-olah menjadi anak yang paling beruntung di sekolah karena seorang ketua klub instrumen musik yang tampan menyukaiku. Membuat siswi-siswi lain mendesah iri melihat kedekatanku dengannya.

Hingga saat aku berada di semester empat, Chanyeol menyatakan cintanya padaku. Dan aku seperti sedang berada di atas angin saat itu, bahwa aku merasa mimpiku untuk menjadi kekasih Chanyeol benar-benar terwujud.

Kehidupan percintaan kami juga bisa dibilang biasa-biasa saja, Chanyeol jarang bersikap romantis, karena memang, kupikir Chanyeol bukanlah tipe orang yang suka bersikap seperti itu untuk mengungkapkan kasih sayang. Kami juga jarang menghabiskan waktu berdua, karena saat itu Chanyeol sudah memasuki semester akhir dan jadwalnya sebagai ketua instrumen musik yang semakin padat. Tapi Chanyeol selalu menyempatkan diri untuk meneleponku malam harinya sebelum tidur dan mengucapkan kata yang sama setiap harinya saat dia meneleponku.

Aku tidak mengerti apa maksudnya dia mengatakan itu, dan aku juga tidak pernah menanyakan kenapa dia selalu mengucapkan maaf padaku…

Setelah melewati berbagai permasalahan, kami mulai bisa menjalankan kehidupan sebagai sepasang kekasih dengan benar. Chanyeol mulai mengajakku pergi berkencan atau hanya sekedar makan bersama di kantin. Lama-kelamaan, aku sadar bahwa ada hal yang berbeda dari Chanyeol saat ia bersamaku. Tapi aku tidak memikirkan hal itu terlalu banyak dan lebih memilih untuk menikmati momen kebersamaan kami.

Kehidupan percintaan kami juga tidak selalu berjalan mulus, adakalanya kami bertengkar untuk hal-hal kecil maupun besar. Dan saat itu, aku tidak tahu puncak kemarahanku adalah ketika aku melihat Chanyeol pergi ke sebuah toko buku bersama teman dekatku tanpa sepengetahuanku.

Aku cemburu melihat Chanyeol yang saat itu terlihat sangat dekat dengan dia. Aku tidak pernah melihat Chanyeol yang tertawa lepas seperti itu ketika bersamaku, tapi saat bersamanya, Chanyeol melakukannya. Aku tidak suka bagaimana cara Chanyeol memerhatikannya, mengingat kedekatan hubungan kami bertiga dulu. Dan tanpa kusadari, kecemburuanku membawa keretakan hubunganku dengan Chanyeol di tahun keempat kami berpacaran. Tapi aku selalu bertingkah seperti tidak terjadi apapun, dan malah merasa ketakutan sendiri. Aku takut Chanyeol tidak mencintaiku lagi, takut kalau dia sadar bahwa bukan akulah seseorang yang dia cari selama ini.

Dan akhirnya, ketakutan itu selalu membawaku pada kegelisahan yang tidak jelas. Membuatku selalu memaksa Chanyeol agar dia buru-buru menikahiku dengan alasan kalau aku malu terlalu lama berpacaran, sedangkan teman-temanku hampir semuanya sudah menikah.

Chanyeol terkesan selalu menghindari topik itu kalau kami bertemu—tahu bahwa aku tidak akan diam sampai dia menuruti kemauanku. Sampai akhirnya, setelah tiga bulan menghindar, Chanyeol datang padaku, dan berjanji kalau dia bakal melamarku.

Waktu itu, aku merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia ini. Kalau aku bakal menikah dengan pria yang tampan, seorang CEO dari perusahaan besar dan berasal dari keluarga terpandang. Aku merasa impianku sebentar lagi bakal benar-benar terwujud, bahwa nantinya aku akan menjadi satu-satunya orang yang berada di hati Chanyeol, satu-satunya orang yang Chanyeol cintai di sepanjang hidupnya.

Lalu, satu hari setelah hari pernikahan kami sepupuku—Luhan, berhasil membuka e-mail milik Chanyeol. Dengan wajah berseri, dia menghampiriku, dan berkata, "Kau mau melihat surat yang beberapa hari kemarin dikirim Chanyeol untuk Baekhyun?"

Awalnya aku ragu, tapi ketika mengingat Baekhyun yang sempat dekat dengan Chanyeol, aku mengangguk penuh kemantapan.

Baekhyun, aku tidak tahu apa ini cara yang benar atau tidak. Tapi aku lelah untuk terus berpura-pura. Aku tidak mau suatu saat nanti, aku akan melukai perasaan Sehun begitu dia menyadari ada begitu banyak perubahan yang terjadi pada diriku.

Aku merasakan ada hal yang berbeda saat aku menatap matamu dan ini semakin membuatku bingung karena aku tidak pernah merasakan hal yang seperti itu seperti ketika aku menatap Sehun. Kau selalu bisa membuat jantungku berdebar, tapi Sehun tidak. Dia tidak bisa membuatku tertawa lepas. Tapi kau bisa melakukannya.

Selama ini aku tidak pernah melihat Sehun, aku hanya melihat dirimu, Baekhyun. Aku merasa senang saat melihatmu bernyanyi. Dan aku tidak pernah merasa sebahagia itu saat mendengar suaramu, merasakan keberadaanmu.

Aku tahu betul apa yang kurasakan terhadapmu, dan karena itulah aku berjuang. Aku berusaha untuk menarik perhatianmu selama ini, semampu yang kubisa. Tapi yang kudapatkan malah kesia-siaan…

Waktu itu, aku hampir frustasi saat aku sadar perjuanganku untuk mendapatkanmu hanya sia-sia dan tak berujung. Kau berlagak tidak tahu dengan apa yang selama ini kulakukan padamu, berpura-pura ada kaca tebal tak tembus yang memisahkan kita berdua, dan malah berusaha mendekatkanku dengan Sehun. Aku tidak mengerti… kau membuatku bingung.

Dan setiap kali aku ingin mendekatimu, Sehun selalu datang, dan setelah itu kau meninggalkan kami berdua. Aku ingin mengejarmu, menginginkan penjelasan darimu, tapi aku tidak mau menyakiti perasaan Sehun dengan mengabaikannya.

Ini semakin membuatku sulit karena aku sadar Sehun mengira aku menyukainya. Dan hampir setiap hari juga aku semakin merasa perjuanganku untuk mendapatkanmu berujung tanpa hasil.

Kukira, waktu kau tahu aku berpacaran dengan Sehun, reaksimu akan sama seperti yang kuharapkan. Tapi ternyata tidak. Walau ciuman pertama kita seakan-akan kau memberikan kesempatan padaku, tapi setelah aku menunggu, kau tetap tidak mau memberikan penjelasan apapun padaku.

Aku bingung harus mengatakan apa saat Sehun memintaku untuk melamarnya. Aku tidak pernah siap dengan hal ini, dan di sisi lain juga aku masih menaruh harapan yang besar padamu. Aku menghindari Sehun, tapi aku sadar kalau aku juga tidak bisa terus-terusan menjadi pengecut seperti ini. Dan sekarang aku sudah memutuskan jalan yang akan kupilih, walau ini sangat sulit. Kupikir mungkin ini juga yang terbaik untuk kita berdua.

Aku akan menikahi Sehun, dan aku berharap kau bisa datang di hari pernikahan kami. Tapi aku tidak akan memaksamu kalau kau merasa itu tidak perlu. Aku akan mengerti.

Baekhyun, meskipun aku dan Sehun sebentar lagi menikah, tapi aku tidak menyesal pernah menaruh harapan padamu. Dan mungkin setelah itu Sehun bisa memiliki tubuhku, jiwaku. Tapi dia tidak akan pernah bisa memiliki hatiku, karena orang yang kucintai bukan dia, tapi kau, Baekhyun. Hanya kau yang aku inginkan, bukan Sehun…

Tanpa bisa dicegah, aku menangis. Aku malu. Aku malu pada diriku sendiri, pada Chanyeol, pada Baekhyun, dan pada semua orang yang pernah mengatakan bahwa kami serasi. Ternyata selama ini Chanyeol memang tidak pernah mencintaiku, dia tidak pernah menginginkan aku berada di sampingnya. Chanyeol tidak pernah menginginkan aku…

Satu minggu setelah pernikahan kami, banyak kabar yang beredar bahwa Baekhyun sakit. Dan aku merasa kalau Chanyeollah orang yang paling khawatir dengan keadaan Baekhyun. Meskipun aku juga datang menjenguk Baekhyun bersama Chanyeol, tapi itu terasa seperti hanya Chanyeol yang berada di sana. Aku hanya bisa memandangi mereka, diam saat Chanyeol yang seolah-olah lebih memerhatikan Baekhyun dibandingkan aku. Padahal saat aku sakit dulu, Chanyeol hanya datang beberapa kali, dan aku tidak pernah melihat sorot kekhawatiran di matanya seperti saat dia menatap Baekhyun. Aku tidak pernah melihat sinar cinta yang Chanyeol pancarkan saat dia menatapku, tapi aku bisa melihat sinar itu ketika dia menatap Baekhyun.

Aku cemburu. Aku marah pada Chanyeol yang lebih mementingkan Baekhyun dibandingkan aku. Aku tidak mau posisiku sekarang sebagai pendamping hidup Chanyeol digantikan oleh Baekhyun, apalagi setelah dia merebut posisiku di hati Chanyeol—kemudian menghancurkan mimpi-mimpi yang kubangun selama ini.

Chanyeol mulai sering pulang larut, dan aku tahu dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Baekhyun di rumah sakit. Dan setiap Chanyeol pulang, aku selalu marah padanya, menutup pintu kamar kami dan berteriak kalau Chanyeol lebih menyayangi Baekhyun dibandingkan aku sambil melempar semua benda yang ada dihadapanku.

Pertengkaran kami membuat kedua orangtua Chanyeol turun tangan. Dan semenjak itu, Chanyeol akan pulang lebih awal seperti biasanya. Tapi perlakuan Chanyeol padaku semakin hari semakin aneh. Chanyeol memandangku seperti orang asing di hidupnya setelah kepergian Baekhyun.

Aku sangat terpukul dengan kepergian Baekhyun, depresi dengan kehidupan pernikahanku yang berjalan seperti ini. Tapi kesedihan Chanyeol terlihat lebih menyakitkan dibandingkan aku. Aku juga lelah menangis, lelah dengan rasa bersalahku, lelah dengan Chanyeol yang seperti menyalahkanku, bahwa seolah-olah akulah yang menjadi penghalang kebersamaannya dengan Baekhyun.

Butuh waktu beberapa minggu untuk membuat Chanyeol merasa lebih baik, dan kupikir dengan mencoba bersikap manis layaknya Baekhyun, itu akan membuat hati Chanyeol luluh. Aku tidak lagi berteriak padanya ketika kami bertengkar, aku tidak lagi memecahkan barang-barang, dan aku juga tidak memaksanya lagi agar dia tidak memunggungiku saat tertidur kemudian berharap bahwa suatu saat nanti dia bisa belajar untuk mencintaiku, menerimaku sebagai orang lain yang bisa menggantikan posisi Baekhyun di hatinya. Aku mulai berubah, tapi Chanyeol tidak menunjukkan perubahan apapun padaku. Dia tidak melakukannya sama sekali.

Aku tidak lelah—tidak pernah merasa lelah untuk membuat Chanyeol mencintaiku. Bahkan meski Chanyeol diam, menganggapku seperti tembok saat aku berbicara dengannya, aku tidak peduli. Meskipun kopi di pagi hari tidak tersentuh lagi olehnya, meski bukan foto kami yang disimpan di meja kerjanya, aku akan terus berusaha.

Pernah sekali, saat aku melihat Chanyeol tertidur di sofa ruang kerjanya sambil memeluk sebuah bingkai fotonya bersama Baekhyun, aku sadar bahwa orang yang paling merasakan sakit adalah Chanyeol, dan orang yang membuatnya menanggung semua kepedihan itu adalah aku. Aku sadar betapa jahatnya aku selama ini, dan tidak semestinya aku berada di sini. Chanyeol masih mencintai Baekhyun, dan aku merasa seluruh perjuanganku selama ini tetap tidak bisa menggetarkan hati Chanyeol. Jadi untuk apa aku terus bertahan?

Aku ingat sekali kalau saat itu langit malam sangat gelap. Tidak biasanya Chanyeol pulang lebih awal, dan dia datang ketika aku menghidangkan makan malam di meja makan. Aku senang karena untuk pertama kalinya, Chanyeol memakan makanan yang kumasak. Dan saat itu aku mulai merasa kalau aku masih mempunyai harapan untuk mencapai mimpiku. Kami makan dalam diam, hanya suara denting sendok dan garpu yang terdengar. Setelah selesai makan, Chanyeol terdiam sebentar, memandangiku seolah ingin mengatakan suatu hal yang serius.

"Sehun, terima kasih atas makan malamnya," katanya. Ia terdiam sebentar untuk mengambil napas, kemudian mengambil file dokumen di tas kerjanya dan menyodorkannya padaku.

Sulit dihiraukan bahwa aku sedikit takut untuk melihat isi dari dokumen-dokumen ini. Tapi rasa penasaranku melebihi ketakutanku. Sambil menatap Chanyeol, aku mengulurkan tangan. Tapi sebelum itu, kudengar Chanyeol berbisik, "Aku sudah mengajukan surat cerai ke pengadilan."

.

.

.

The End

Apakah membingungkan? Fanfic ini memang didominasi oleh narasi, saya sengaja. Jadi kalau ada pertanyaan atau keluhan bisa tanya saya hehe.

Terakhir, mind to review?