Hari ini, merupakan hari terkelam bagi diriku, juga Kaasan. Aku tak pernah menyangka, Tousan ... pria yang terkuat bagiku, mati karena jutsu kutukan yang diberikan oleh musuhnya saat dia sedang dalam pengembaraan menebus dosa masa lalunya. Jiwa Tousanku melemah secara perlahan. Begitu Kaasan bilang.
"Sarada, ayo pulang."
Hampa. Aku hanya memandang Kaasan dan kembali memperhatikan batu nisan Tousan dihadapanku. Banyak sekali bunga putih disini. Orang-orang bilang, bunga ini tanda mereka berduka cita atas kematian Tousan.
"Sarada, jangan seperti ini."
Air mataku terus berlinang. Lama terdiam, akhirnya aku memaksakan diri untuk menanggapi Kaasan.
"Padahal selama ini, aku sangat menantikan kepulangan Tousan."
"Ayo pulang nak, sebentar lagi turun hujan."
Aku tau sebenarnya Kaasan pun sudah tak tahan berlagak tegar seperti tak terjadi apa-apa didepanku.
"Aku tak terima melihat Tousan kemarin pulang hanya untuk menemukan Tousan mati diatas tempat tidur pagi tadi!"
Aku kembali terduduk lemah di depan nisan Tousan. Langit mendung yang semakin gelap seolah mewakili apa yang kurasakan sekarang. Walau Tousanku jarang sekali pulang, tapi aku menyayanginya. Karena disetiap kepulangannya, ia selalu berusaha membahagiakanku dengan caranya. Berusaha membuatku mengakuinya dan berhasil membuatku selalu menunggu kepulangannya disaat ia kembali pergi mengembara.
"Setidaknya ... Kaasan sedari dulu merasakan cinta Tousan, tapi aku? Tousan terlalu cepat meninggalkanku!"
Aku merasakan Kaasan memelukku. Ia kembali menangis, sepertiku. Lama ... sampai hujan pun mengguyur kami. Entah sejak kapan orang-orang meninggalkanku. Meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Ayahku. Tempat terbaringnya salah satu pahlawan terhebat Konoha. Sang legenda. Sasuke Uchiha.
"Kau takan pernah tau, Sarada ..."
.
.
Naruto – Masashi Kishimoto
There are Still
Terinspirasi dari The Notebook nya ArchernarEve. Semoga ia masih membuat suatu karya baru yang menakjubkan.
.
.
Tiga minggu selanjutnya, rutinitas diriku dan Kaasan kembali normal. Bangun pagi, pergi ke akademi dan membantu Kaasan. Seperti saat Tousan sedang mengembara. Namun didalam lubuk hatiku, aku selalu merindukan Tousan.
Siang ini, aku sengaja menyelusup masuk kedalam kamar Kaasan dan Tousan. Aku benar-benar merindukan Tousan dan ingin mengenangnya. Menurutku, kamar ini adalah satu-satunya tempat dimana 'jiwa' Tousan ada di rumah ini. Karena tempat iniah yang paling sering ditempati Tousan saat pulang.
Aku membuka pintu lemari dengan harapan bisa menemukan benda apapun milik Tousan. Aku mengernyit kala melihat berpuluh-puluh buku di dalam lemari bagian bawah. Beberapa diantaranya—atau mungkin hampir semuanya—terlihat usang. Aku mengambil satu yang paling atas dan terlihat cukup tua. Apakah ini buku medis milik Ibu? Sepertinya bukan karena bagian depannya tak bersampul.
April.
Ini tulisan Tousan!
Sudah 2 tahun berlalu sejak Itachi membumi hanguskan klan Uchiha. Sampai sekarang pun Aku tak habis pikir mengapa—
"Sarada!"
Aku terlonjak. Buku itu terjatuh dengan bunyi yang sangat keras karena kaget mendengar Boruto yang tanpa kusadari sudah berada di jendela yang menghubungkan kamar ini dengan dunia luar.
"Baka Boruto! Bagaimana jika aku terkena serangan jantung, huh?"
"Habis dari tadi aku mengetuk pintu dan tak ada yang membuka. Apa Sakura baasan tak ada dirumah?"
"Ibuku sedang berbelanja."
Boruto terlihat memandang sekelilingku. "Kau sedang apa?"
Buku itu pun langsung kutendang kebawah. Entah kenapa aku merasa buku-buku ini adalah rahasia Tousan. Dan tak boleh ada seorang pun yang tau. "Tak ada."
"Tak mau membuka pintu untukku?"
"Tidak. Apa maumu?"
"Aku mengajakmu latihan. Tapi sekarang aku haus. Tunjukan sopan santunmu Uchiha."
"Bawel."
Saat aku membuka pintunya, Boruto langsung melesak masuk ke tempat dimana aku menemukan buku Ayahku. Aku kelabakan sambil mengejarnya. Seharusnya aku sudah menduga akan terjadi seperti ini. Keusilan Boruto memang menjengkelkan!
"Aku tau kau menyembunyikan buku ini, Sarada."
"JANGAN DIBUKA!"
"Terlambat. Aku sudah membukanya."
Rasanya aku ingin mencincang Boruto saat ini.
"Astaga! Ini milik Sasuke jiisan!"
"PERGI. DARI. RUMAHKU!"
"Aku ingin membacanya juga! Aku mengaguminya, Sarada. Lagipula apa kau mengantongi izin dari Sakura baasan, huh?"
Nah, yang itu ... aku lupa. Ibu selalu marah jika aku masuk kamarnya tanpa izin. Masuk saja sudah seperti itu apalagi mengobrak-abrik barang didalamnya?
"..."
"Habis kau Sarada! Kalau kau mau, aku bisa membantumu."
"Maksudmu?"
"Aku bisa menggunakan jutsu untuk melipat gandakan buku ini, dan kita bisa membacanya kapanpun tanpa ibumu tau. Bagaimana?"
Terdiam untuk berpikir, akhirnya aku menjawab. "Apapun untuk membuatmu bungkam. Setuju."
Aku membuka kembali lemari berisi buku-buku yang mungkin adalah buku milik Tousan yang lain. aku melihat Boruto membelalakan matanya melihat ini.
"Gila! Butuh bertahun-tahun untuk membaca semuanya!"
"Dan kau harus menggandakan buku-buku ini juga."
o0o
April.
Sudah 2 tahun berlalu sejak Itachi membumi hanguskan klan Uchiha. Sampai sekarang pun Aku tak habis pikir mengapa ia tega melakukan itu semua pada klan. Pada keluarganya sendiri. Dan meninggalkanku dengan beban besar sebagai satu-satunya klan Uchiha yang tersisa. Beban itu adalah ... membalaskan dendam klanku padanya. Dan membunuhnya.
Sebenarnya aku ingin menjadi lebih kuat. Sangat-sangat kuat melebihi siapapun agar dapat segera menghabisi Itachi. Namun Hinata selalu mengingatkanku untuk jangan terlalu memaksakan diri berlatih.
Hinata Hyuuga. Aku peduli padanya. Ia adalah teman pertamaku dan mungkin satu-satunya teman selamanya. Dulu, Itachi juga tau bahwa kami berteman.
Hinata dengan segala kekeras kepalaannya memohon padaku agar pertemanan kami dirahasiakan. Cukup kami berdua yang tau. Awalnya aku berpikir ia mungkin malu berteman denganku. Tapi ia membantahnya. Katanya, aku adalah teman yang paling berharga yang pernah dimilikinya, dan ia tak mau kehilanganku karena aku terlalu populer diantara semua gadis seusia kami. Keh ... alasan yang konyol. Namun anehnya, aku menyetujuinya.
Kurasa kami adalah teman sejati. Saling menyemangati. Ketika Hinata dengan masalah adik dan klan Hyuuga nya, juga aku dengan masalah pengakuan Ayahku. Aku pun masih ingat saat Itachi membantai habis klan Uchiha dan membuatku pingsan akibat genjutsunya. Saat itu, Hinata terus menerus menunggu dan menemaniku di rumah sakit. Ia juga menyemangatiku agar bangkit dari luka yang ditorehkan kakakku.
Hinata bilang, aku menjadi lebih diam. Ia sangat mengkhawatirkanku. Bahkan ia yang memberiku buku ini dan mengusulkanku agar menuliskan apapun yang ada di benakku jika aku tak bisa mengungkapkannya pada siapapun. Sebenarnya aku tak mau terlihat lemah dihadapannya. Jadi kubilang saja malahan ia yang semakin berisik. Tapi aku tak mengerti mengapa aku menuruti perkataanya dengan menulis dalam buku ini.
Aku tau, ini bukanlah perkataan yang akan diucapkan oleh anak normal berumur 9 tahun. Mengingat aku bukanlah anak dengan kehidupan normal harmonisnya, jadi sepertinya aku oke-oke saja berkata seperti ini, "Kepedulianku pada Hinata semakin bertambah." Kuharap Hinata tidak membaca kemelankonisanku ini.
o0o
"Aku tak menyangka Kaasan dan Sasuke Jiisan ternyata berteman sejak kecil. Apa kutanyakan saja pada Kaasan ya?"
"Kalau kau membocorkan rahasia ini pada siapapun, tamat riwayatmu!"
"Hee... gomen, gomen."
Saat ini kami sedang berada di dalam kamarku. Kami membaca buku-buku—atau mungkin bisa dibilang jurnal— Ayahku dalam diam. Bahkan sekarang Boruto melupakan tujuannya datang kemari untuk mengajakku berlatih. Semoga saja Mitsuki tidak mencari kami, kalau iya ... bisa-bisa bertambah lagi satu orang yang mengetahui rahasia ini.
o0o
Februari.
Sebentar lagi ujian Genin. Kelulusan akademi. Aku penasaran apakah Hinata bisa melewatinya? Aku berharap semoga setelah menjadi Genin nanti, kami bisa satu kelompok.
.
.
Juni.
Uh, menyebalkan. Aku berada di tim 7 bersama Naruto dan Sakura. Jounin yang membimbing kami adalah Kakashi. Aku tau sistem pengelompokan Genin memang sudah diatur. Tapi, apakah anggota tim bisa ditukar? Aku ingin sekali bersama Hinata. Bagaimanapun aku mungkin tak akan bisa bangkit dari masa-masa kelamku jika tak ada dirinya.
Kurasa aku mulai ketergantungan pada Hinata. Semoga ia baik-baik saja dengan tim-nya.
.
.
Juli.
Mungkin bagi rata-rata orang, ini merupakan hal yang biasa saja. Namun tidak bagiku. Sebenarnya aku sudah lupa tentang kapan hari ulang tahunku, tapi seseorang memberiku selamat dan kue ulang tahun saat pertemuan rutin kami. Siapa lagi kalau bukan Hinata.
Gadis pemalu itu ... selalu membuatku terpana dengan jalan pikirannya. Iya, jika dihadapan orang lain, tingkat kegugupannya tinggi, namun padaku tidak. Ia bilang kami sudah saling kenal lamaaa sekali, jadi ia tak canggung terhadapku.
Kumohon jangan biarkan Hinata membaca apalagi tau jika aku menyebutnya gadis pemalu. walau akhirnya dia tau, aku tak akan pernah mengakuinya.
.
.
Oktober.
Aku tak bisa melupakan dendamku pada Itachi.
.
.
Desember.
Selamat ulang tahun, Hinata. Entahlah, tapi cewek-cewek kan selalu menyukai aksesoris apapun. Kuharap ia menyukai hadiahku. Sebuah kalung dengan liontin bulan, seperti byakugannya. Aku tak punya ide lain selain itu.
Jadi, malam ini, aku membawanya menuju hutan dekat kediaman klan Hyuuga dan memaksanya untuk menutup mata. Aku mengalungkannya dan berbisik "Otanjobi omedettou, buka matamu ..." saat itu, ia melihat liontin yang kuberikan padanya, kemudian memandangku dan memelukku.
Uh, aku tak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu, ini pertama kalinya seorang Hinata memelukku. Bodohnya, aku malah terpaku karena kaget. Yang jelas jantungku berdegup kencang, tak tahu mengapa.
"Sasuke-kun, aku mengerti kalau dibelakang liontin ini tertulis HH, artinya pasti Hinata Hyuuga, kan? Tapi mengapa HS? S artinya apa?"
Aku benar-benar kelabakan mencari alasan yang tepat! Mengapa ia menanyakan hal tak penting itu sih?
"Nah, kupikir ... apakah artinya Sasuke? Mengapa? Ini kan hadiah untukku bukan untukmu."
Ia sungguh-sungguh cerewet. "Memang kenapa? Protes? Kan aku yang memberikannya!"
Yang terjadi selanjutnya adalah ... ia tersenyum. "Arigatou." Dan kembali memelukku.
Senyuman yang mampu menghangatkan dinginnya salju dan mencairkan kebekuan hatiku.
o0o
Aku menutup buku ini dengan pandangan penuh dengan tanda tanya. Bahkan Boruto yang biasanya banyak omong, sama terdiamnya denganku. Mungkin ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kami baca. Isinya sungguh diluar perdiksi kami.
"Lanjut atau berhenti?"
Boruto langsung menjawab, "Tentu saja lanjut, lagipula didalamnya ada kisah ibuku."
"Yasudah, aku akan membawa camilan dulu."
o0o
Ujian Chuunin.
Babak pertama tak ada yang menarik. Hanya menyiratkan agar para genin menyontek dengan bijak. Itu hal mudah untukku, tapi Naruto tidak. Otak bodohnya tak bisa berpikir. Padahal aku sudah memberinya petunjuk. Level Naruto berada dibawahku.
Hal yang tak terduga ada di babak kedua. Seorang ninja dari Oto bernama Orochimaru menggigit dan meninggalkan segel gaib di leherku. Aku pingsan dan saat terbangun tubuhku dipenuhi tato berbentuk api dan chakraku langsung melesat. Kukira timku tak akan lolos namun akhirnya berhasil.
Di babak penyisihan menuju babak ketiga, Kakashi membawaku pergi dan menyegel sesuatu yang ditanamkan Orochimaru padaku. Setelahnya babak ketiga akan dimulai bulan depan dan kudengar Hinata gagal melewati babak penyisihan.
.
.
Ujian babak ketiga.
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Aku akan bertarung melawan Gaara, iblis merah dari Suna. Aku tak suka, ia menyebalkan. Untung saja satu bulan ini aku diberi jutsu Chidori oleh Kakashi. Hinata selalu menyemangatiku dan mendoakan agar aku bisa menggapai sesuatu yang kuinginkan. Ia pecaya aku pasti bisa mengalahkannya, dan aku tak akan menyia-nyiakan kepercayaannya.
Sesuatu yang tak kuduga adalah terjadi pemberontakan. Ninja dari Suna dan Oto menyerang Konoha. Aku mengejar Gaara yang tadi sedang terluka karena Chidoriku. Sialnya, Gaara berubah menjadi monster. Aku dengan cepat dikalahkan dan terpaksa memakai Chidori yang ketiga, padahal sebelumnya Kakashi melarangku menggunakannya untuk yang ketiga kali dalam waktu 24 jam.
Aku tak mempedulikannya. Namun yang terjadi adalah segel gaibku lepas dan aku hampir pingsan karenanya. Naruto kemudian menyelamatkanku dengan melawan Gaara, dan menang. Aku menyadari kekuatan Naruto. Aku membenci diriku yang tidak cukup kuat.
.
.
Maret.
Itachi datang kembali ke Konoha dan memburu Naruto. Tak akan kubiarkan! Aku mengejarnya dengan sekuat tenaga. Aku sudah bisa memakai sharinggan dan sudah sangat siap untuk membunuhnya. Namun satu pertanyaan dalam benakku. Mengapa ia tak memburuku?
Itachi menjawab aku lemah. Bahkan lebih lemah dari Naruto. Tentu saja aku geram. Ia membangkitkan kemarahan dalam diriku. Tapi kenyataannya aku memang lemah. Aku tak bisa mengahbisi Itachi dan malah pingsan terkena jutsunya.
Aku marah, dan melampiaskannya pada Naruto. Kami bertarung di atap rumah sakit. Jika tak ada Sakura dan Kakashi, aku sudah pasti akan menghabisi Naruto. Apa yang membuat Naruto spesial di mata Itachi? Seseorang yang kuanggap bodoh melampaui kekuatanku? Aku ingin sekali membunuh Naruto. Apalagi setelah tau bahwa Hinata menyukai Naruto.
Aku memutuskan untuk pergi menemui Orochimaru. Aku akan mencari kekuatanku sendiri, dan mengalahkan Itachi! Sakura menghadangku dan ia bilang mencintaiku. Sebenarnya aku bertanya-tanya, walau satu tim tapi kami jarang mengobrol. Apa yang ia lihat dariku? Aku tau aku tak bisa membalasnya. Aku membuatnya pingsan dan berterima kasih padanya.
Satu hal yang aku lupakan. Seseorang yang berada di ujung jalan. Matanya sembab.
"Kamu mau kemana?"
"Darimana kau tau aku akan pergi?"
"Semua orang mengkhawatirkanmu."
Aku tak tau harus menghadapi Hinata dengan cara apa.
"Jangan tinggalkan aku."
"Tak akan."
"Kau ... bohong. Aku bisa melihatnya."
Hinata benar-benar membuatku ragu.
"Aku akan selalu mengunjungimu."
"Tapi aku ingin bersamamu."
"Apa kau menyukaiku, huh?"
Sedetik kemudian pipinya memerah. Kurasa aku bisa memakai celah ini untuk membuatnya pingsan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan apalagi membuatku pingsan!"
"Bagaimana dengan Naruto? Ku masih menyukainya kan?"
"Sasuke ... kumohon ..."
Aku tak tega bila harus melukainya. Tanpa pikir panjang, akupun menariknya dan mengecup keningnya dan berbisik. "Aku selalu bersamamu. Jika kau merindukanku, cukup genggam liontin itu dan aku akan merasakannya." Aku mencium pipi nya dan menghilang sebelum ia membuka mata.
Ini bukanlah tindakan wajar yang dilakukan oleh anak seumuranku. Tapi aku ingin ini segera berakhir dan aku teringat adegan dari buku Kakashi yang tak sengaja kubaca.
o0o
"Sarada, apakah kau masih sanggup membacanya?"
Aku mendengar Boruto bertanya lirih. Aku pun merasakannya. Tak pernah terbayang Tousan dan Hinata baasan berinteraksi seperti ini. Tapi aku yakin Tousan dan Hinata baasan hanya berteman.
"Kau mau berhenti? Berhenti saja, aku akan melanjutkannya."
"..."
"Sarada, apa yang kau lakukan dengan mengurung diri di kamar?"
Itu suara Kaasan.
"Nani mo nai, Kaasan!"
"Boruto cepat pergi! Ibuku sebentar lagi menuju kemari!"
"Kau akan melanjutkan membacanya?"
"Besok."
"Jangan membaca tanpaku!" Sesaat setelahnya, Boruto menghilang.
o0o
.
.
.
A/N: Sebenarnya ini adalah bentuk permohonan maaf karena kuputuskan Another Life tak akan dilanjut. Saya khawatir akan merubah makna yang ingin Saya sampaikan di dalamnya. Maka dari itu, Saya membuat There are Still. Mungkin kesananya, akan saya masukan Another Life kemari agar ini lebih terasa seperti sekuel. Untuk The Notebook nya kak ArchernaEve, Saya benar-benar mengaguminya. Alasan Saya membuat fanfiksi-fanfiksi ini adalah karenanya. Teman-teman bisa melihat karyanya dalam fandom Harry Potter. Saya membuat ini dengan konsep "buku harian" seperti karya milik beliau. Saya berharap semoga Beliau membuat karya-karya mengagumkan lainnya.
