Journey 1-1 Begins Night

Bio Laboratorium Lightalzen

Malam ini terasa lebih dingin dari malam-malam yang biasa aku rasakan, dan rasa dingin tersebut melengkapi kegundahan yang saat ini aku rasakan. Aku berusaha menghilangkan perasaan tersebut, aku berfikir bahwa perasaan mengganjal ini hanya di akibatkan oleh kelelahan akibat operasi yang seharian ini aku jalankan. tetapi semakin aku mencoba mengacuhkan perasaan tersebut, perasaan tersebut malah bertambah kuat dan membuatku semakin tidak nyaman.

"Hey, malam yang dingin ya?" suara seseorang membangunkanku dari lamunan. "Sebaiknya kamu cepat tidur, karena besok akan banyak tes yang menunggumu." jelasnya sambil perlahan berjalan mendekat.

Tangan yang terlihat halus dan ramping tersebut mendekati wajahku secara perlahan, hingga terhenti oleh kaca keras berbentuk tabung yang memisahkan ku dari dunia luar. Wajahnya selalu saja menggambarkan sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan saat beliau memandang diriku. Bola matanya terlihat sangat layu dan lemas, dan bahkan aku dapat melihat sedikit air di kelopak matanya.

Aku selau bertanya kepadanya di saat dia mengeluarkanku dari dalam tabung, tetapi jawaban yang aku terima selalu saja sama. Dia hanya menjawab bahwa dia baik-baik saja dengan wajah berseri dan bibirnya yang tergerak membentuk huruf U, jika aku tidak salah, hal tersebut adalah apa yang kau sebut dengan senyum.

Nama dari wanita ini adalah Leina thorose, para ilmuan lain di tempat ini selalu memanggil dirinya dengan sebutan miss Leina. Dia adalah orang yang selalu mengurus kami para 'kelinci percobaan', dan dia adalah satu-satunya ilmuan di tempat ini yang memperlakukan kami dengan baik. Para ilmuan lain tidaklah berfikir 2 kali untuk melakukan tindakan kasar kepada kami jika kami tidak menuruti perintah mereka.

Kedua bola mataku terus memandangnya dengan terheran-heran, membuat miss Leina sekali lagi mengubah ekspresi wajahnya. Kali ini dia menutup mulutnya dengan tangannya, untuk menahan tawa yang hampir lepas dari bibir berwarna merah jambunya tersebut. "Saat ini kamu pasti sedang menebak-nebak ekspresi apa yang aku buat?" tanya miss Leina dengan nada riang dan ceria.

Dia yang tadi berdiri di depan tabung tempat aku terdiam, kini mulai mengambil posisi duduk tanpa merubah ekspresi senyum yang saat ini masih ia tampilkan. Tiba-tiba saja ekspresi lemah yang tadi aku lihat kembali muncul, dengan suara yang terdengar bergetar dan lemah dia pun mulai berbicara.

"Maafkan aku ya, hari ini pasti berat buatmu bukan?," wajanya menunjukan ekspresi bernama senyum, tetapi senyum itu jauh berbeda dengan yang barusan aku lihat, tidak ada keriangan dan keceriaan yang terpancar dari senyum ini. "Aku mohon bertahanlah, aku mengerti ini pasti berat untukmu. Tetapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi kepada mu." Tambahnya lemah, masih dengan senyum murungnya itu.

Aku tidak bisa menjawab pernyataan yang ia berikan, karena aku tenggelam di dalam cairan kimia dan juga menggunakan topeng oxygen untuk membantu pernafasanku saat berendam di dalam cairan kimia ini. Jawaban bisa aku berikan hanya angukan kepala yang membuat senyumnya kini berubah menjadi senyum riang beberapa saat yang lalu.

"Kalau begitu istirahatlah, lain kali aku akan mengajarkanmu banyak hal tentang dunia luar, aku sudah tidak sabar mengajarkan semuanya kepada mu," miss Leina mulai bangun dari duduknya dan sekali lagi tangan lembut miliknya itu kembali menyentuh kaca tabung yang menjadi penjara bagiku. "Selamat malam 0.3, semoga tidurmu nyenyak." Itulah kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum berjalan keluar dari ruangan gelap ini.

Suara pintu otmatis yang tertutup pun kini terdengar jelas di telingaku, meninggalkan ku berdua dengan suara gelembung yang ada di dalam tabung ini. Aku mencoba memejamkan mataku, mencoba mengusir perasaan tidak enak yang terus menggangguku, tetapi semakin aku mencoba memejamkan mata dan berusaha tertidur, kegundahan tersebut semakin besar terasa di dalam dadaku.

Instingku terus berteriak bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, apakah operasi yang biasa aku jalani? Ataukah tes bertarung? Semua hal tersebut adalah hal yang aku benci dari tempat ini, tetapi tidak pernah sekalipun aku merasakan perasaan tidak enak ini di saat menjalankan hal-hal tersebut. Kedua mataku terbuka secara perlahan hanya untuk memandang kegelapan dan sedikit lampu kecil yang berkedip dari mesin-mesin di ujung ruangan ini.

Tangan kananku yang masih terasa kaku karena operasi mulai berusaha bergerak, sedikit demi sedikit hingga akhirnya telapak tangan tersebut menyentuh kaca tabung yang memisahkan ku dari dunia luar ini. Keinginanku untuk bebas dari tabung ini semakin besar setiap harinya, aku tidaklah ingat sudah berapa lama aku berada di tempat ini, yang aku ingat setiap harinya hanyalah tes, operasi, tes, tes dan tabung regenerasi.

Aku ingin bebas, melihat dunia luar yang selalu di ceritakan oleh miss Leina kepadaku.

Padang rumput berwarna hijau yang luas, laut luas berwarna biru terang yang di penuhi dengan hewan bernama ikan, gunung yang menjulang tinggi sampai ke langit dan juga cahaya bulan beserta bintang yang terang nan indah.

Apakah terlalu berlebihan jika aku menginginkan bebas dari tempat ini?

Aku yang tidak memiliki ingatan apapun tentang diriku sendiri, bahkan nama ku pun aku tidak ingat. Mereka hanya memanggilku test subject 0.3, salahkah bagi mahluk sepertiku menginginkan kebebasan tersebut?

Terlalu sibuk membayangkan dunia luar dan mimpi akan kebebasanku, membuat aku telat menyadari bahwa terjadi getaran-getaran kecil yang aku rasakan di sekitar ruangan ini. Getaran tersebut hanya terasa sangat kecil pada awalnya, hingga pada getaran ke sepuluh semakin besar sampai membuat tabung regenrasi tempat aku berdiam bergetar.

Ledakan? Atau gempa bumi? Pikirku tenang di dalam hati.

Instingku yang memang sedari tadi telah merasakan hal-hal tidak enak kini semakin menajam, tubuh-tubuhku yang tadi terasa sangat lemah dan perih kini mulai bergerak dengan baik, walaupun rasa sakit masih menemani tiap gerakannya. Aku meninju penjara kaca ini dengan kedua tanganku, berharap penjara ini hancur karena kekuatan tinjuku. Tetapi hal tersebut hanyalah mimpi belaka yang mustahil. Sekeras apapun aku meninju penjara kaca tersebut tetap berdiri dengan kuat tanpa ada goresan atau retakan sedikit pun.

Tinju yang tadi bertenaga kini mulai kehilangan kekuatannya. Bukan karena aku kehabisan tenaga, tetapi aku menyadari bahwa hal yang aku lakukan adalah hal yang percuma. Tiba-tiba suara pintu otomatis terbuka, membuat ku melihat sedikit cahaya dari lampu lorong di luar ruangan ini. Miss Leina berlari kearah unit komputer yang berada di ujung ruangan, dengan lincah dan cepat dia mengetik sesuatu yang aku tidak menegrti. Setelah ia selesai mengoperasikan komputer tersebut, cairan kimia yang tadi memenuhi tabung penjara ini mulai surut dengan cepat, dan penjara kaca yang mengurungku ini pun terbuka secara perlahan.

Membebaskan tubuhku dan membiarkannya merasakan dinginnya udara malam. "Kita harus segera pergi dari sini," miss Leina berlari kearahku dengan terburu-buru, menarik tanganku untuk berlari. Aku yang sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi hanya terdiam mengikuti miss Leina yang menuntunku menuju ke pintu keluar. "Pemerintahan republik telah menurunkan perintah untuk membekukan fasilitas ini, lab ini akan di tutup dan di hancurkan secara paksa."

Lagi-lagi tidak ada kata-kata yang berhasil keluar dari mulutku. Aku hanya diam sambil berlari mengikuti miss Leina, genggaman tangannya makin erat aku rasakan pada setiap langkah yang kami lakukan. Langkah kami terhenti di depan pintu besi yang berukuran sedang, miss Leina segera mengambil sesuatu yang berbentuk kartu dari dalam jubah labnya dan menggesekannya ke sebuah terminal komputer kecil yang ada di samping pintu besi tersebut.

Sebelum miss Leina meraih gagang pintu tersebut, telinga dan instingku menagkap suara kecil dari gesekan besi. Kokangan senjata? Tanpa memberikan peringatan kepada miss Leina aku menarik tangan kanannya dan melemparnya ke belakang, setelah melemparnya dengan tenaga sedang, aku pun berusaha melompat menjauh dari pintu besi itu, tetapi sebelum sampat aku melakukan lompatan, tubuhku sudah terhempas dan terasa sangat panas pada bagian tangan kananku.

Aku terseret di lantai, kedua telingaku terasa hancur dan berdenging keras. Suara miss Leina yang kini berada di depanku dan terlihat panik tidak terdengar sedikit pun. Keuda bola mataku mengalihkan perhatiannya yang saat ini terfokus pada miss Leina kepada pintu besi yang kini sudah tidak terlihat karena tertutupi oleh asap tebal akibat ledakan dari senjata api berat.

Kepulan asap tersebut mulai menipis dan memperlihatkan sesosok laki-laki berambut perak dengan irisnya yang berwarna merah darah sama seperti diriku. Kedua tangannya menggenggam senjata api jenis berat dengan mantap. Tatapan matanya lurus langsung menatap kedua bola mataku, yang kini masih terbaring tidak berdaya akibat terkena angin ledakan dari senjata berat tersebut.

Miss Leina yang tadi duduk bersimpuh di sampingku kini mulai bangun dari duduknya, matanya yang tadi menunjukan ke khawatiran kini berganti menjadi mata tajam yang serius dan siap membunuh. Tangannya meraih beberapa botol yang tersimpan rapih pada tas pinggangnya. Tanpa berbicara sedikitpun miss Leina melempar botol berukuran yang ada di tangannya kearah sang pria. Pria berambut perak tersebut mudur beberapa langkah untuk menghindari lemparan botol tersebut, botol berukuran tersebut akhirnya membentur tanah dengan keras dan pecah, menyebarkan lautan api yang mengelilingi sang pria berambut perak.

Dia tidak bergeming dari posisinya, bahkan tidak terlihat terganggu dengan api yang mengelilingi dan mengancam nyawanya tersebut.

"Nona, aku dikirim kesini atas perintah langsung dari presiden republik untuk membekukan fasilitas penelitian ini," sambil memasukan peluru baru kedalam senjata api berukuran sedang tersebut dia terus berbicara. "Tolong menyerahlah dengan tenang dan serahkan anak laki-laki itu kepadaku."

"Tidak perlu repot-repot memberitahu tujuanmu kepadaku tuan, tetapi maaf, aku tidak bisa menyerahkan dia padamu!" balas miss Leina dengan nada yang tidak kalah dingin dan tinggi.

"Jangan membuat ini sulit untuk kita berdua nona."

Miss Leina tidak menggubris peringatan dari sang pria dan langsung menyerang pria tersebut dengan melemparkan botol berwarna hijau tepat kearah sang pria. Dengan tenang sang pria menjatuhkan senjata berat di tangannya dan mengambil senjata api berbentuk handgun yang tersimpan rapih di pinggangnya. Dia melepaskan beberapa tembakan cepat untuk menghancurkan botol acid yang di lemparkan miss Leina kearahnya.

Gerakan dari sang pria sangat halus dan tenang, tidak sedikit pun gerakan sia-sia ia tunjukan. Setelah menembak hancur botol acid yang di lemparkan oleh miss Leina, sang pria berambut perak langsung memasukan handgun miliknya kedalam sarungnya dan mengambil senjata berat yang jatuh tepat di depannya. Hanya dalam hitungan detik peluru besar muncul dari mulut senjata tersebut, menimbulkan ledakan es besar yang berhasil melahap api ganas yang mengelilinginya.

"Baiklah nona, permainan selesai. Aku tidak akan berkata untuk ketiga kalinya," dia berjalan secara perlahan kearah kami berdua sambil terus mengarahkan ujung senjatanya kepada kami. "Menyerahlah dengan tenang dan serahkan anak itu kepada ku!"

"Apa yang kau inginkan darinya!? Kau ingin membunuhnya bukan!?"

"Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan anda nona. Sekali lagi, jangan buat ini lebih sulit.." ucapnya dingin dan tenang, sambil terus mengarahkan senjata beratnya kepda kami.

Wajahnya yang dingin dan tenang tidak sedikit pun menunjukan kelemahan. Dia berdiri tegak di depan mangsanya yang sudah lumpuh dan siap melahapnya. Wajah dingin itu pun mulai goyah dan tergantikan oleh wajah terkejut, saat dia melihat aku bangun dari posisiku. Luka di lenganku dengan perlahan mulai membaik dengan sendirinya, mengeluarkan asap dan cairan hitam pada setiap inci dari luka bakar yang derita oleh kulitku. Sedikit demi sedikit luka itu tertutup dan akhirnya sembuh.

Masih terkejut melihat diriku yang bangkit dengan luka-luka yang perlahan sembuh, sang pria mengambil sedikit langkah mudur dan siap. "Jadi kalian benar-benar melakukan penelitian illegal ya?" aku terus menatapnya tanpa berbicara satu patah kata pun. Mencoba mengintimidasi lawanku yang masih terlihat terkejut. "Manusia buatan, yang akan di gunakan untuk perang. Atau mungkin di jual?" lanjutnya tenang.

Tangan dari wanita berambut biru muda ini mengepal, matanya yang biasa terlihat sayu dan anggun menyipit tajam kearah sang lelaki, tatapan yang selalu menunjukan kehangatan dan kasih sayang kini menyuguhkan kebencian.

"Dia bukan manusia buatan!" bantah miss Leina. "Dia hanyalah manusia biasa seperti kita, dia hanyalah korban dari semua kegilaan ini.."

Sang pria yang tadi terlihat terkejut dengan perlahan menjatuhkan senjata api besar di genggamannya. Berjalan pelan maju sambil menarik senjata api handgun dengan tangan kanannya, mengetahui bahwa sang pria tidak bisa di bujuk dengan kata-kata, aku mulai mengambil ancang-ancang untuk bertarung. Senjata api yang berwarna perak itu tertuju langsung kearah wajahku.

"Tolong berhenti!, aku mohon," mendengar perkataan miss Leina sang pria pun berhenti dan menurunkan senjata apinya. "Aku akan menjadi tahanan mu dan memberitahukan semua informasi mengenai lab ini, tapi tolonglah, lepaskan anak ini. Setidaknya biarkan ia bebas."

Dia terduduk bersimpuh, hampir berposisi bersujud di depan sang pria, memohon dengan suara yang di penuhi keputusasaan.

Sang pria membuang nafas panjang dan berjalan secara perlahan melewati kami berdua yang masih terdiam di posisi kami masing-masing. "Aku tidak bertemu dengan kalian berdua di tempat ini, jadi aku akan meneruskan misiku menuju ke pusat penelitian." ucapnya tegas.

Miss Leina yang tadi terlihat tertunduk putus asa kini mulai bangkit dari duduknya, telapak tangan halusnya kembali menggenggam tanganku dengan erat dan mulai menarik ku berlari tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. Kami berlari jauh, cepat, melewati setiap lorong-lorong. Wajahnya terlihat tersenyum penuh harapan di antara nafasnya yang memburu karena terus menerus berlari tanpa berhenti.

Melihat wajahnya yang di hiasi oleh rona senyum kebahagianaan, tanpa sadar akupun ikut tersenyum. Perasaan hangat yang aku rasakan, mungkin inilah yang dinamakan kebahagiaan?


Lorong-lorong dari laboratorium ini terasa sangat hampa dan sunyi, hanya suara langkah kaki kami berdua yang saat ini terdengar menyeruak ke seluruh lorong. Tiba-tiba suara langkah kaki kami tertelan oleh suara yang terdengar lebih besar, suara tersebut adalah suara sekelompok orang yang berteriak meminta tolong dari ujung lorong. Suara mereka di penuhi keputusasaan dan juga teror, wajah mereka terlihat seakan-akan mereka baru saja melihat monster pemangsa yang menyeramkan.

Melihat wajah miss Leina yang terlihat tidak mengetahui apa yang terjadi di depan, aku segera menarik tangan miss Leina yang masih menggengam erat tanganku menggunakan tangan kiriku. Dia pun tehenti secara paksa dan terlihat cukup terkejut dalam nafasnya yang masih tidak beraturan.

"Ada..Apa..? Kenapa..Berhenti..?" kata-katanya terpatah-patah karena nafasnya masih terdengar sangat berat.

Keringat mulai bercucuran dari leherku, suara-suara penuh ketakutan dan teror tersebut makin mendekat. "Miss Leina, mundurlah dari sini.." hanya kata-kata pelan yang terdengar dari mulutku. Sebelum akhirnya suara yang lebih besar terdengar sangat keras menghancurkan bisikanku kepada miss Leina.

"Ada apa di depan sana..? Jawab aku, hey!?"

Pendengaran dan instingku yang 4 kali lipat lebih tajam dari manusia biasa mulai mendengar suara-suara penuh teror tersebut makin mendekat.

"Gyaaa..! Tolong kami..! Uaakhhh.." sang pemilik suara terjatuh setelah pedang es tajam bersarang langsung tepat di dadanya. Kepalanya yang tadi mengeluarkan suara kini terpisah dari badannya setelah pedang tajam dengan halus dan cepat menebas lehernya. Dari kegelapan yang ada di depan sana, dapat aku lihat enam pasang bola mata merah yang menyala di dalam gelap.

Kulit mereka sangat pucat, bahkan 3 kali lipat lebih pucat dari kulitku, terdapat asap-asap putih yang mengelilingi tubuh mereka. Wanita pertama memegang dua bilah pisau pada kedua tangannya, memakai jaket kulit berwarna cream dan celana pendek cokelat selutut. Sedangkan yang satu lagi, adalah laki-laki berbadan tinggi, seluruh tubuhnya tertutup mantle berwarna putih bercampur emas dan memegang tongkat kayu di tangan kirinya.

Dan wanita terakhir memakai dress armor terusan berwarna cokelat, sarung tangan dan sepatu besi berwarna perak, serta memengang pedang yang berlumuran darah. Dari ketiga orang tersebut, wanita pemegang pedanglah yang aku rasakan paling berbahaya dari yang lain. Ada perasaan kesamaan saat aku menandang mereka bertiga yang kini berjalan mendekat kearah kami secara perlahan.

'Apakah mereka sejenis denganku? Test subject? Test subject yang gagal?'

"Ke, kenapa mereka berada di luar?" terdengar getaran kecil dan ketakutan saat miss Leina berbicara. "Me, mereka seharusnya berada di, didalam penjara bawah tanah. Siapa yang membebaskan mereka?"

"Miss Leina, cepat pergi dari sini.."

"Tidak..!, kita berdua harus pergi dari sini, bersama.." dengan cepat dia menggenggam tanganku, dan kembali mengajakku berlari. "Kita bisa keluar lewat saluran pembuangan, kita akan keluar dari sini Jean.."

"Jean?"