POURQUOI

by

fontaineclaire11


Pria itu bernama Kim Taehyung. Ia adalah seorang lelaki bertubuh jangkung dengan bentuk wajah yang agak lancip. Unik memang, penampilannya itu. Semua orang bilang Taehyung tampan, wajahnya awet muda. Usianya baru tiga puluh lima, namun orang-orang di kampung, kecuali anak-anak, memanggil beliau 'Bapak'. Aku sendiri juga terkadang ikut-ikutan memanggilnya begitu. Nama panggilan itu diberikan oleh Jimin lantaran melihat kedekatannya dengan anak-anak di kampung. Selain karena sifatnya yang penyayang anak kecil itu, kelakuan Taehyung juga tidak beda jauh dari seorang bapak-bapak pada umumnya. Setiap siang, selalu ada sebuah koran di tangannya dan secangkir kopi di hadapannya. Tentu saja aku yang buatkan.

Sebagai seorang istri, memang itulah kewajibanku. Banyak hal telah kupelajari bersama Bapak selama tiga tahun menyandang status tersebut. Tentang kebiasaannya, hobinya, makanan kesukaannya, tim sepak bola favoritnya, beserta hal-hal kecil lainnya mengenai Bapak yang jarang disadari oleh orang lain. Walaupun aku tujuh belas tahun lebih muda darinya, jalan pikir kami cukup serupa. Hampir tidak pernah terjadi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga kami. Menghabiskan waktu dengan seseorang yang selalu bersikap dewasa seperti Bapak membuatku lebih cepat matang. Aku selalu berusaha memahami Bapak dan setiap keputusan yang diambilnya. Begitu pula dengan Bapak yang senantiasa mencoba untuk sabar menghadapi emosiku yang kadang tidak stabil. Memang orang hamil cepat berubah-ubah perasaannya, kata ibu mertuaku.

Aku sedang duduk di atas bangku teras ketika Bapak tiba-tiba datang dengan sebuah koran yang dijepit di ketiaknya. Tak lupa secangkir kopi yang sudah agak mendingin turut dibawanya pula. Kopi itu aku buat hampir setengah jam yang lalu. Tak heran bila uap panasnya benar-benar sudah tak tampak lagi. Bapak duduk di sampingku sambil tersenyum.

"Tidak biasanya kamu duduk di sini."

Kudekatkan tubuhku kepadanya, lalu kepalaku bersandar pada bahunya. Tangannya merayap dari belakang, bergerak untuk merangkul bahuku.

"Hanya sedang ingin melihat anak-anak saja. Kira-kira nanti anak kita ikut main di sana juga." aku tak dapat menahan senyuman yang diakibatkan oleh angan tersebut. Bapak tertawa mendengar omonganku.

"Masih lama, Jungkook. Lihat, anak kita masih sekecil ini." Bapak menunduk, menyejajarkan kepalanya dengan perutku, kemudian menempelkan hidungnya di sana. Ia agak kesulitan merendahkan tubuhnya lantaran posturnya yang kelewat tinggi itu.

"Lagipula kalau main dengan anak-anak di sini, nanti ia jadi yang paling kecil di antara mereka. Pasti dikucilkan, lalu jadi anak bawang. Tapi jangan khawatir. Bapaknya siap untuk menemaninya bermain." Taehyung kembali menegakkan tubuhnya, menepuk-nepuk dadanya sendiri.

Sebuah kekehan keluar dari bibirku. Bahagia sekali rasanya memiliki seseorang seperti Bapak. Aku percaya ia akan menjadi ayah yang baik bagi anak kami. Atau anak-anak kami, mungkin?

Tiba-tiba beberapa anak kecil berlarian memasuki teras kami. Hampir seluruh anak di kampung dekat dengan Bapak dan sering main ke rumah kami, maka kubiarkan saja mereka. Menyenangkan juga melihat manusia-manusia kecil ini melompat-lompat riang, menanyakan setiap hal kecil yang membuat mereka penasaran.

"Kak Taehyung minum air got lagi!" teriak seorang anak dengan kepala botak dan gigi depan yang ompong.

Anak-anak memanggil Taehyung dengan sebutan 'Kak' supaya tidak tertukar dengan bapak mereka yang sesungguhnya. Sekali lagi, hanya orang dewasa di kampung yang memanggil beliau 'Bapak'.

"Kak Jungkook, kenapa Kak Taehyung suka lihat kertas yang banyak tulisannya, ya? Aku mau yang ada gambar!"

"Ayo kita main lompat tali!"

Pria yang duduk di sampingku itu langsung bangkit dan menggendong salah seorang bocah di hadapannya. Anak itu tertawa sambil mengangkat kedua tangannya dengan semangat.

"Kalian saja yang main. Kak Taehyung temani Kak Jungkook di sini."

"Kak Jungkook juga ikut main, dong!" debat anak itu seraya melemparkan pandangannya ke arahku.

"Kak Jungkook tidak bisa ikut main, sayang."

"Kenapa begitu?" tanya anak yang berdiri di dekatku tadi.

"Karena Kak Jungkook pakai rok! Hahaha!" Taehyung menjawab pertanyaan itu dengan ngawur. Dasar.

"Tinggal ganti baju, kok susah?"

"Main petak umpek sajaa..."

"Jadi kenapa Kak Taehyung minum air got terus?"

Dan masih banyak lagi celotehan mereka yang membuat hariku dan Taehyung menjadi lebih cerah. Siang itu kami habiskan bersama anak-anak yang nyentrik itu. Bahkan aku sampai hampir ketiduran di teras gara-gara kelelahan meladeni mereka.

.

.

.

"Kudengar Jimin kembali ke kampung." Bapak memulai percakapan saat kami akan tidur, mengakhiri seluruh kegiatan pada hari ini.

Kutolehkan kepalaku ke arahnya.

"Oh ya? Sejak kapan? Yoongi juga ikut, kan?"

"Baru tadi siang. Mungkin ada urusan penting sehingga mereka belum sempat mampir ke sini." aku mengangguk mendengar jawaban Bapak.

Bapak menjatuhkan dirinya di atas ranjang besar yang dilapisi seprai bermotif floral ini. Kasihan, ia pasti kelelahan mengurusi kebunnya. Meskipun Bapak pemilik kebun tersebut, ia tetap rutin mengecek keadaan tanah yang telah dibelinya dengan hasil jerih payahnya sendiri itu. Namun belakangan ini Bapak lebih sering berada di rumah. Sedang ingin melepas rasa penat, katanya. Sekalian menemaniku di rumah juga.

"Tidur, yuk. Jangan baca buku terus." tahu-tahu Bapak sudah masuk ke dalam selimut dan memeluk pinggangku dari samping.

Ah, jantungku mau copot rasanya. Dapat kurasakan aliran darah di sekitar wajahku terpompa lebih cepat. Bapak tidak mengenakan pakaian malam ini. Sebenarnya ia mau mengajakku tidur atau 'tidur', sih?

Namun tetap kuletakkan buku bersampul usang itu tepat di sebelah lampu meja. Jari-jariku bergerak menekan saklar pada gagang lampu itu, mematikkan satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini. Setelahnya aku menemukan diriku bergelung nyaman di pelukan Taehyung. Perutku yang sudah agak besar sama sekali tidak menjadi penghalang bagi kami untuk saling berbagi kehangatan malam ini. Pandangan kami saling bertemu, berusaha memasuki pikiran satu sama lain. Netra hitamku menyelami netra kecokelatannya, begitu pula sebaliknya.

"Hei, Bapak." tiba-tiba aku memanggilnya dengan nada jenaka. Sejujurnya Taehyung tidak terlalu suka jika aku memanggilnya begitu.

Taehyung menyipitkan matanya, tidak setuju dengan panggilan itu.

"Sengaja, ya. Dasar." Lalu dia menarik hidungku main-main sambil cekikikan seperti gadis remaja yang kecentilan. Tak lama kemudian tangannya mulai merambat ke pipiku, leherku, bahuku, semakin ke bawah... makin ke bawah... dan ke bawah.

"Ehhh, sudah, bapak. Jangan pegang-pegang terus." omelku dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi ingin dibelai, namun di sisi lain ingin tidur juga.

"Sudah, ayo tidur! Besok mau ketemu Jimin dan Yoongi tidak?" lanjutku lagi, sebelum si Bapak meneruskan tindakan provokatifnya tadi.

Bapak hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali mengeratkan pelukannya pada pinggangku.

"Ngomong-ngomong jangan panggil aku Bapak, dong. Kamu membuatku merasa semakin tua. Lagipula aku kan bukan bapakmu, Jungkook."

"Hahaha, habis lucu sih melihatmu kesal begitu. Salahkan orang yang memberi julukan, dong." aku sedikit menyindir Jimin di akhir ucapanku.

"Huh, ya,ya, besok kita temui orangnya."

.

.

.

"Apa kabar, bung?!" suara cempreng bernada ceria itu menyambut indra pendengaran kami saat sedang duduk menikmati udara pagi di teras.

Bapak tersenyum menyambut kedatangan temannya itu. Jimin dan Taehyung berjabatan tangan, sedangkan aku dan Yoongi menyambut kehadiran masing-masing dengan sebuah pelukan. Kami berdua cepat akrab karena jarak umur yang berdekatan. Sama sepertiku, Yoongi juga menikahi pria yang lebih tua darinya. Memang, lelaki di kampung ini hobi mengincar wanita-wanita yang usianya jauh di bawahnya.

Kami mengundang mereka untuk masuk ke dalam dan menghabiskan makan siang bersama, sekalian mengobrol-ngobrol setelah sekian lama tidak bertemu. Untunglah aku sempat menyiapkan banyak makanan tadi pagi. Tentu saja dibantu si Bapak, kalau tidak, juga tidak akan selesai sampai siang.

Setelah kami selesai menyantap makan siang, kedua pria itu pergi ke halaman belakang untuk merokok sambil ngerumpi, sementara aku dan Yoongi membereskan meja makan, sambil ngerumpi juga.

"Sudah berapa bulan?" ia menunjuk perutku dengan dagunya.

"Baru empat bulan, kak. Kak Yoongi sendiri belum mau punya?"

Yoongi terdiam sebentar. Matanya menatap ke langit-langit, sedangkan bibirnya sedikit dirapatkan. Ia tampak sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku barusan, namun tangannya tak berhenti mengelap piring dengan kain kering yang telah kuberikan sebelumnya.

"Bukan belum mau punya, Kook. Memang belum dapat. Padahal Jimin juga suka anak kecil, ya." setelahnya Yoongi tertawa. Entah tawanya menyiratkan kesedihan atau tidak, aku tak dapat membacanya.

"Sebenarnya salah satu alasan kami kembali ke kampung karena Jimin rindu dengan anak-anak di sini. Masa ia bilang mau bawa mereka pulang bersamanya? Konyol sekali."

Aku menganggukkan kepalaku. Berarti kedatangan Jimin dan Yoongi ke sini juga dilandasi rasa rindu terhadap kampung halaman mereka. Kampung ini begitu berarti bagi mereka, aku yakin akan itu. Keduanya dilahirkan dan dibesarkan di sini. Di tempat ini pula mereka mengawali kisah mereka sebagai sepasang kekasih. Aku ingat dulu julukan yang dilontarkan orang-orang kepada mereka berdua. Si perjaka tidak laku, Jimin dan si macan salju galak, Yoongi. Bagi beberapa orang, Jimin dan Yoongi adalah perpaduan ter-aneh sepanjang sejarah kampung ini. Bagaimana bisa pria yang ramah dan cepat akrab dengan anak kecil itu menikahi perempuan judes macam Yoongi? Walaupun demikian, aku ini salah seorang dari sekian banyak yang percaya bahwa keduanya saling melengkapi. Dengan kehadiran Jimin, Yoongi jadi lebih menyukai anak kecil, sebaliknya, dengan adanya Yoongi di kehidupan Jimin, ia jadi belajar untuk menjadi pria yang tegas dan tidak cengengesan.

Tiba-tiba lelaki bertubuh pendek yang kusebut-sebut tadi itu masuk bersama Bapak. Mereka berdua bau rokok, meskipun puntung rokoknya sudah dibuang di luar. Aku tak pernah melarang Taehyung merokok karena aku percaya ia bisa mengatur dirinya sendiri. Tidak perlu sampai dimarah-marahi istri segala.

"Hei, kalian. Aku pergi dulu, ya. Nanti malam Yoongi kujemput." Jimin melambaikan tangannya ke arah kami berdua.

Ia berjalan cepat menuju pintu sambil menenteng sebuah tas hitam berukuran besar. Ah, kalau diingat-ingat ia memang membawa tas aneh itu bersamanya saat datang tadi. Karena warnanya yang gelap, tas itu jadi tampak kurang mencolok. Aku hampir tidak menyadari keberadaan benda itu seandainya Jimin tidak lewat di depan kami barusan. Sekilas, mataku menangkap noda kuah berwarna kecokelatan di sudut tas itu.

"Kenapa Kak Jimin terburu-buru sekali, kak?" tanyaku kepada Yoongi selepas kepergian suaminya. Namun wanita yang lebih tua dua tahun dariku itu hanya mengangkat bahunya skeptis. Ia menepuk-nepuk ujung rok putihnya untuk menghilangkan sedikit debu yang menempel di sana.

"Kemarin katanya ada pekerjaan mendadak di sini. Kau tahulah Jimin. Penggila kerja." jawabnya cuek. Bahkan ia sendiri tak tahu pekerjaan yang akan dilakukan suaminya selama kunjungan mereka ke sini. Begitu pula denganku, aku berusaha mengabaikan urusan pria itu di sini. Barangkali betul kata Yoongi, ia hanya ingin melepas rindu dengan kawan-kawan di kampungnya.

.

.

.

Bapak sedang keluar saat tiba-tiba seorang wanita mendatangi rumah kami. Aku mengenalinya sebagai tetangga kami, Seokjin namanya kalau tidak salah. Ia bertanya kepadaku jika mungkin aku melihat anaknya hari ini. Dengan sedih kugelengkan kepalaku. Sejak pagi aku memang tak melihat anak-anak yang biasanya suka bermain di sekitar rumah kami. Tampaknya ia mendatangi rumahku karena tahu anaknya suka main ke sini. Wanita berambut cokelat itu terlihat risau, maka aku mengundangnya masuk untuk minum teh terlebih dahulu. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman hangat itu, sedangkan Yoongi menemani Seokjin. Dapat kudengar suara Yoongi yang berusaha menenangkan dan menghibur wanita malang itu.

Kuletakkan nampan berisi tiga gelas teh di atas meja, lalu kuminta ia menceritakan mengenai anaknya itu.

"Tadi pagi ia sempat pamit kepadaku untuk pergi keluar, bermain bersama teman-teman katanya. Memang ia biasanya kan main dengan anak yang itu-itu saja, jadi kubiarkan. Setahuku juga ia bersama kawan-kawannya suka mampir ke rumahmu, makanya aku pikir dia ada di sini. Ah, baru beberapa hari yang lalu aku memarahinya gara-gara kenakalannya itu. Kau tahu? Gigi depannya jadi ompong gara-gara terjatuh. Duh, bagaimana ini? Matahari sudah hampir tenggelam dan ia masih belum kembali. Padahal sebentar lagi suamiku pulang." Seokjin semakin resah. Kedua kakinya dihentak-hentakkan perlahan, sedangkan tangan kanannya memijat keningnya.

Yoongi mengusap-usap punggung Seokjin perlahan.

"Anak kakak tidak mungkin main ke tempat yang jauh, kan? Kalau begitu kita coba cari saja di sekitar sini."

Perempuan berwajah dingin itu berdiri, lalu mengulurkan tangannya kepada Seokjin. Baru saja aku akan menyusul mereka ke pintu depan ketika tiba-tiba Yoongi menghentikanku.

"Kau tetap di sini, Jungkook. Siapa tahu anak itu kembali ke sini saat kami pergi."

Mereka bergegas keluar sebelum langit berubah gelap. Semua orang tahu penerangan di kampung agak jelek saat malam hari, kecuali jika sedang ada perayaan, pesta, festival, atau semacamnya. Hanya pada saat itu saja lampu-lampu di kampung ini sudah seheboh Kota New York.

Sambil menunggu mereka kembali aku kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang sempat tertunda tadi. Samar-samar aku mendengar bunyi kenop pintu diputar dari luar, diikuti suara langkah kaki yang agak keras. Pasti Bapak.

"Hei, aku pulang." pria yang kutunggu-tunggu sejak tadi akhirnya menampakkan batang hidungnya juga. Bau rokok tadi siang sudah hilang, digantikan oleh amis keringat dari pakaiannya. Beberapa sudut pakaiannya juga dihiasi noda tanah. Sudah bisa dipastikan Bapak habis dari kebun.

Aku tersenyum ke arahnya.

"Mandi dulu, ya. Setelah itu kita tunggu Jimin dan Yoongi untuk makan malam."

"Lho, Yoongi kan tadi di sini?"

"Yoongi pergi sebentar. Ceritanya panjang."

"Ceritakan."

Maka kuceritakan kejadian tadi dengan panjang lebar. Tentang anak-anak yang tidak main ke sini, hilangnya anak Seokjin, kedatangan Seokjin kemari, dan seterusnya. Taehyung hanya mendengarkan ceritaku dengan saksama. Ketika aku selesai berbicara, ia meletakkan telapak tangannya di atas bahuku, lalu menatap mataku dalam-dalam.

"Mandinya nanti saja. Sekarang aku akan menyusul mereka berdua. Kasihan, wanita berkeliaran jam segini. Sekalian kujemput Namjoon juga. Sesuai perintah Yoongi, kamu tetap di sini, ya." Bapak mendaratkan sebuah kecupan di atas kepalaku.

Ah, lagi-lagi aku ditinggal sendirian. Hanya ada aku dan bayiku sekarang. Tanganku bergerak perlahan mengusap tonjolan di perutku itu. Dalam hati aku berdoa supaya anakku tidak suka keluyuran jauh-jauh dan baru kembali saat matahari terbenam.

.

.

.

Jarum pendek menunjuk angka sepuluh ketika Bapak kembali bersama Seokjin, Yoongi, dan Namjoon. Namun, yang membuatku terheran-heran, mereka tidak hanya kembali berempat. Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak lainnya juga ikut mengumpul di depan rumah kami. Tidak ada Jimin di antara kerumunan orang-orang itu.

"Ada apa ini?" tanyaku begitu keluar dari rumah. Yoongi mengalihkan atensinya ke arahku. Kedua matanya tampak memerah dan bibirnya pucat sekali. Aku jadi khawatir.

"Itu, Kook. Ternyata bukan hanya anak Kak Seokjin yang hilang. Anak-anak mereka pun belum kembali sejak tadi. Suamiku juga belum kembali." aku dapat melihat kecemasan dari wajahnya yang pucat itu. Suaranya bergetar menahan tangis. Selama mengenal Yoongi, tak pernah sekalipun aku melihat wanita tegas itu menjadi serapuh ini.

Aku menarik Yoongi ke dalam pelukanku, lalu kubawa masuk dirinya ke dalam rumah. Urusan orang-orang di luar biarlah Taehyung saja yang selesaikan.

"Kak Yoongi tidur di sini saja malam ini, ya. Aku yakin Jimin pasti kembali, kok. Tadi pagi kan sudah janji mau jemput kakak." Aku berusaha menghibur Yoongi. Tampaknya tindakanku tidak terlalu membuahkan hasil sehingga aku hanya membiarkan wanita itu menangis di pundakku sepanjang malam.

Tak lama setelahnya Taehyung masuk ke rumah. Ia mengusap-usap keringat di dahinya menggunakan lengan pakaiannya, setelahnya berjalan mendekat ke arah kami berdua.

"Kamu tidur dengan Yoongi saja malam ini. Aku rasa Jimin tidak akan ke sini karena sudah terlalu larut."

Malam itu, aku dan Yoongi tidur berdua di kamar tamu, sedangkan Bapak tidur di kamar kami sendirian. Tadinya Yoongi kesulitan memejamkan matanya karena mengkhawatirkan suaminya itu. Kasihan sekali. Seandainya Taehyung tidak kembali ke rumah sampai larut begini, aku juga pasti cemas setengah mati. Memikirkan masalah ini membuat tidurku tidak nyenyak. Aku juga terbangun beberapa kali saat tengah malam gara-gara mendengar suara berisik dari luar, seperti suara binatang yang sedang kawin. Namun Yoongi sama sekali tidak terusik dengan suara-suara itu. Ia tetap tertidur pulas meskipun tadi sempat panik tidak karuan.

.

.

.

Keesokan paginya berjalan seperti biasa bagiku. Aku bangun untuk menyiapkan sarapan, tentunya setelah membangunkan Yoongi, lalu beres-beres rumah, persis seperti hari-hari lainnya. Musibah ini tidak boleh menjadi alasan bagiku untuk bermalas-malasan di rumah. Dengan penuh semangat kukenakan rok panjang berwarna polos yang sudah kusiapkan tadi. Aku bertekad untuk membuat Yoongi lebih ceria sambil menunggu kepulangan Jimin. Ah, ngomong-ngomong rasanya rok ini sudah agak sempit. Mungkin sudah saatnya membeli pakaian baru untukku.

Begitu aku memasuki dapur, kulihat Bapak sedang menyeduh kopi untuknya sendiri sembari membaca koran. Ia melakukan kedua hal itu sambil berdiri dan menopang bobot tubuhnya dengan satu tangan pada kabinet dapur. Ia menyunggingkan senyumannya ketika melihatku datang.

"Tumben baca korannya pagi-pagi?" tanyaku seraya berjinjit sedikit, kemudian mendaratkan sebuah ciuman pada pipinya.

"Kerjaan menunggu. Aku mungkin tidak sempat ke rumah siang nanti."

Dilingkarkannya lengan kekar itu pada pinggangku dengan penuh afeksi. Oh, betapa aku ingin berlama-lama dengannya di dapur kalau saja aku tidak ingat aku sedang meninggalkan Yoongi di ruang tamu.

"Kenapa? Mau mencari anak-anak lagi, ya?"

Bapak menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatapku dalam-dalam, namun senyuman itu tetap terukir di bibirnya.

"Aku mau ke kebun hari ini. Kembali agak larut. Kamu makan malam duluan saja, nanti."

Aku mengangkat alisku heran. Seingatku ia bilang akhir-akhir ini sedang tidak ingin ke kebun. Ah, mungkin ia sudah rindu dengan tanaman-tanamannya.

"Sedang banyak pekerjaan, ya?" tanyaku sekadar berbasa-basi.

"Ya. Banyak lubang yang harus digali. Aku pergi dulu, ya. Jaga rumah baik-baik." setelahnya Bapak mengecup keningku cukup lama. Ah, jarang-jarang ia memberiku sebuah kecupan seperti barusan ini. Biasanya aku harus merengek-rengek terlebih dahulu agar bisa mendapatkannya.

Kuputuskan untuk kembali berkutat di dapur. Toh, Bapak saja bisa tetap berkepala dingin dalam situasi seperti ini. Harusnya tak ada yang perlu kukhawatirkan. Bapak tidak cemas-cemas sekali, tuh.

Beberapa detik kemudian bola mataku melebar.

Aku baru sadar...

Barangkali memang kepergian Jimin adalah yang terbaik untuk kami semua.

Begitu pula dengan anak-anak yang dibawa pergi oleh Bapak.

.

.

The End

.

.


Tadi waktu di perjalanan pulang, aku lihat ada orang dan beberapa anak kecil... ya begitulah heheh. Lalu kejadian itu menginspirasi cerita ini. Silakan berspekulasi sendiri mengenai endingnya... kalau ada yang mau ditanyain boleh nih hehehe.

Semoga kalian menikmati one shot ini.