Like a Dream

Chapter 1

Akira Veronica Lianis

Naruto © Masashi Kishimoto

Sasuke U. & Naruto U.

T+

1k+

Family & Romance

"Dia cantik. Dan dia akan memukulku ketika aku mengatakan itu padanya."

Warn! This is fic boys love. There are very much typos. This is fic not good for child and female pregnant. So, go to hell if you don't have strong mental or you don't like this pair. Thanks.

Don't Like – Don't Read

Desember semakin dingin. Aku mengeratkan sarung tanganku dan berjalan dengan bag travel yang kuseret sepanjang jalan paving yang bersih dari salju. Pandanganku lurus ke depan. Mencoba mencari sosok yang tadi berteriak dalam sambungan internasional ketika aku hendak masuk pesawat. Aku pulang. Pulang dari Swiss setelah 5 bulan bekerja disana, menjalankan bisnis. Aku merindukan sosok yang menelponku. Sosok yang selalu setia menemaniku selama 10 tahun. Apakah aku perlu memberitahu siapa sosok itu? Kurasa perlu. Karena aku masih belum menemukannya di sepanjang jalan kota ini.

Dia cantik. Dan dia akan memukulku ketika aku mengatakan itu padanya. Dia cantik tapi dia hanya mau di sebut tampan. Dia memiliki rambut yang unik, karena di seluruh kota ini, hanya dia berambut pirang asli. Kulitnya kecoklatan, kulit idaman wanita di kota ini. Dia memiliki tinggi yang jauh di bawahku, mungkin hanya se bahuku, dan Ia kesal dengan kenyataan itu. Umurnya? Oh, dia 4 tahun lebih muda dariku. Membuatku sedikit sensitive menyebutnya. Tapi dia sudah 20 tahun lebih usianya, dan banyak orang beranggapan bahwa dia masih belasan tahun. Yeah you know what I mean? Dia babyface, wajahnya menipu usianya. Walau aku juga awet muda, tetap saja aku kalah muda darinya. Tapi aku tenang-tenang saja, karena di antara kami, akulah yang tampan. Oh, dan dari semua hal yang kusebutkan tadi, aku hanya menyukai satu hal. Tentu saja hal itu a–

"Teme!"

Aku menoleh dan mendapati dia tengah merengut kesal. Matanya menyipit, sedikit membuatku terganggu untuk melihat dengan jelas bagian dari dirinya yang amat kusukai. Matanya. Bola matanya yang unik dan jarang kutemui di kota ini. Mata yang asli dari anugrah tuhan. Bola mata sapphire. Hal yang paling kusukai darinya

"Kau meninggalkanku, brengsek." dia berjalan mendekatiku seraya menyeret kakinya yang terbalut sepatu berbulu.

Aku melempar senyum padanya dan mengacak rambutnya ketika Ia berada di sampingku.

"Maaf... Memang aku meninggalkanmu dimana? Bukankah kau menunggu di stasiun?" tanyaku dengan lembut, aku selalu begitu dan hanya begitu padanya.

"Kau terlalu lama. Jadi aku cari makan dulu disana." dia menunjuk sebuah kedai di belakangnya "Dan aku kesal melihatmu lewat tanpa menyapaku." sungutnya.

Aku tersenyum lalu merangkul bahunya dan membawanya pergi. Dia sempat berontak dan semakin ku eratkan rangkulanku agar dia tidak bergerak.

"Kau membawa apa?" tanyaku ketika merasakan punggungnya menggendong ransel.

"Aku baru pulang dari Konoha Media."

Aku mengangguk. Konoha media adalah tempat pemuda di dekapku bekerja. Ia bekerja sebagai seorang lay outer, cita-citanya semenjak SMA. Selain bekerja, dia juga kuliah. Ia kuliah di universitas-ku dulu. Konoha University. Kudenger Ia akan di wisuda 3 bulan lagi. Ia terlihat bahagia ketika mengabarkan hal itu padaku.

"Aku boleh jadi sekretarismu kan teme?" tanyanya waktu Ia mengabarkan tentang kelulusannya nanti.

Dan aku tidak bisa menjawab tidak waktu itu. Namun aku bertanya, "Kau seorang layouter. Kenapa jadi sekretaris?" dan aku bisa merasakan Ia menggembungkan pipinya dengan kesal meski kami hanya berhubungan lewat sambungan internasional waktu itu. Lalu aku mendengus geli ketika mendengar alasan Ia ingin jadi sekretarisku setelah itu.

"Kau melamun teme!" serunya seraya menyeretku masuk ke dalam kereta.

Aku tak sadar jika kami sudah sampai di stasiun dan kini duduk di salah satu kursi yang telah kekasihku pesan tempo hari. Kami duduk disini. Di sebuah ruang kecil khusus yang berisi 4 penumpang. Aku sempat menggerutu karena kekasihku memilih kereta kelas ekonomi. Tapi aku tak terlalu mempedulikan ketika ternyata kursi penumpang di depanku ini kosong sampai kami tiba di tempat tujuan.

Stasiun Konoha.

Aku mencium aroma kopi ketika keluar dari kereta. Kurasakan kekasihku bergelayut manja di lengan kiriku. Membuat beban berat selain bag travel yang kuseret. Kami belum sampai di tempat tujuan sebenarnya. Kami harus memesan sebuah taksi atau mobil sewa untuk sampai di rumah kami. Aku sempat menanyakan mobil pribadiku yang kutinggal bersama kekasihku. Namun Ia menjawab dengan kecewa bahwa mobil yang kutinggal bersamanya itu rusak. Tanpa kutanya lebih lanjut aku sudah tahu mengapa mobil itu bisa rusak. Mobil Lamborghini ku rupanya memang tidak pantas di tinggal sendirian bersama kekasihku.

"Sedang ada badai." lirih kekasihku sambil mengeratkan dekapannya di lenganku.

"Hn?"

Kekasihku menjelaskan bahwa baru saja petugas stasiun mengabarkan lewat speaker bahwa Konoha saat ini dilanda badai. Aku tersenyum kecut ketika menyadari bahwa badai ini akan berlangsung sekitar 30 menit. Akibatnya akan banyak aktivitas terhenti karena hal ini, tak terkecuali aktivitas transportasi. Segera saja aku membawa kekasihku mencari tempat duduk untuk kami tinggali selama badai ini berlangsung. Tidak bahaya memang. Namun aku terus merangkul bahu kekasihku agar dia tetap berada di bawah perlindunganku. Aku tak mau terjadi apa-apa padanya.

"Aku baik-baik saja teme." ujarnya seraya melepas tanganku dari bahunya.

Saat ini kami duduk di peron stasiun. Menunggu redanya badai bersama ratusan orang yang memiliki tujuan berbeda-beda. Kekasihku mengambil tas-nya lalu mengeluarkan sesuatu di dalamnya. Sebuah buku ber-cover biru dengan judul yang menyilaukan mataku.

"Naruto?" kusebut namanya dengan sedikit penekanan karena terkejut atas tindakannya memberiku buku ini.

"Aku tidak bermaksud apa-apa teme. Aku di beri oleh Kiba. Dia staff di bagian percetakan. Tidak mungkin kan aku menolaknya. Lagipula, aku tidak membacanya. Karena aku tidak mengerti sama sekali isi buka aneh itu." jelasnya dengan pipi yang sedikit merona.

Aku memutar bola mataku dan membuka buku itu perlahan. Kulirik Naruto yang menyandarkan kepalanya di bahuku seraya memeluk tas ranselnya. Kubiarkan Ia begitu sementara aku mencari tahu apa isi buku ini.

"Aku tidur dulu ya teme… Capek…" ucapnya sebelum Ia mendengkur halus.

Aku tersenyum. Lalu mulai serius membaca. Buku ini… kurasa cukup menarik. Sex Positive. 30 menit membaca aku sudah mulai mengerti. Terang saja, hal yang di tulis di buku ini sudah kuketahui sebelumnya. Info-info mengenai berhubungan sexual dengan baik dan benar sudah kupahami sejak dulu. Tapi sayangnya, aku belum pernah mempraktekannya. Aku tertawa kecil. Kulirik pemuda yang nampak nyenyak di bahuku. Bukannya belum pernah mempraktekkannya. Aku hanya tidak mau mempraktekkannya bersama kekasihku. Yah, alasan simple karena kami belum menikah juga masuk dalam perhitunganku. Namun sebenarnya, aku hanya tidak ingin menyakitinya. Aku ingin menunggu dia benar-benar siap. Karena aku selalu menginginkan 'bercinta' dengan benar bersamanya. Aku tak ingin ada unsur pemaksaan, juga tak ingin di butakan oleh nafsu semata. Aku ingin 'bercinta' dengannya berdasarkan cinta dan kehendak bersama. Cukup konyol jika di lihat dengan realita di kota ini. Entah karena maraknya para exhibitionist atau apalah yang membuat hubungan sex sebelum married adalah hal yang lumrah. Aku menginginkan cinta. Bukan tubuh yang mudah kudapatkan dari siapa saja.

Jika aku menemukan sepasang kekasih yang mengaku sering melakukan sex dan mengaku saling mencintai—walaupun benar begitu—aku pasti akan muak. Apakah dengan sex akan membuktikan bahwa sepasang insan saling mencintai? Aku begitu heran dengan realita di kota ini. Banyaknya berita, realita, bahkan dalam cerita non fiksi selalu saja menggambarkan tentang hubungan sex yang di lakukan dalam suatu hubungan percintaan. Sex seakan-akan bukanlah sebuah kebutuhan biologis lagi, melainkan sebuah bukti tanda cinta yang menurutku sangat salah. Apabila nanti pihak bottom—wanita/uke/femme—tidak mau melakukan sex, apakah pasangan mereka akan meninggalkan mereka atau bahkan dengan tidak ber peri kemanusiaan me-rape mereka lalu meninggalkannya begitu saja? Pantas aku sering mendengar kasus pemerkosaan kemudian di mutilasi dengan penyebab utama 'tak membalas cinta' atau 'ketika keinginan biologis di tolak'. Apakah mereka tak pernah berpikir bahwa pihak bottom membutuhkan waktu dan keyakinan untuk melakukannya? Mereka juga berperasaan. Dan haruskah mementingkan kebutuhan biologis dibandingkan cinta yang di pupuk untuk kebutuhan psikis? Sepertinya suatu hari nanti harus di buat undang-undang mengenai hal ini. Dan aku akan jadi orang pertama yang menyetujuinya.

Aku menutup buku ini lalu ku letakkan di bangku peron. Kurasakan gerakan kecil dari tubuh kekasihku. Badai sudah reda. Dan orang-orang di stasiun nampak gelisah menunggu, entah menunggu apa.

Kubangunkan Naruto yang nampak terlihat sangat lelah. Agak tidak tega sebenarnya. Sempat ada niat untuk terus membuatnya terlelap. Mungkin akan ku gendong ketika mobil sewaan kami datang. Tapi tak mungkin karena aku membawa bag travel, akan sangat berat nanti.

"Sudah datang ya?" tanyanya seraya mengucek matanya.

"Belum." Jawabku.

"Emh~" tangan-tangan kecil menelusup di balik lenganku.

Kurasakan lenganku berat. Kekasihku melenguh manja. Sepertinya aku memang harus menggendongnya ketika mobil nanti datang. Akan kuperintahkan si sopir membawakan bag travel-ku nanti.

"Bukunya bagus tidak, Sasuke?" tanyanya lirih, dan hanya kubalas dengan 'hn' andalanku.

"Kalau tidak bagus, akan ku kembalikan."

"Akan ku simpan." Tukasku.

"Kau suka? Memang isinya apa?" tanyanya.

"Hanya sesuatu yang boleh di ketahui pria dewasa saja."

Dan aku merasakan perutku sakit. Belakangan kusadari kalau Naruto sengaja meninju perutku.

"Kau pikir aku ini masih bocah SMP apa? Dasar Sasuke-teme!" protesnya.

"Aku tidak mengatakan seperti itu." bantahku.

"Kau menyindirku tadi." tudingnya.

"Aku hanya menggoda." kilahku.

"Gahhh! Kau menyebalkan."

Kurasakan sesuatu menelusup di bawah ketiakku. Aku hafal sekali kalau Naruto akan melakukan itu ketika perdebatan kumenangkan. Dan tanpa melihat, aku tahu dia sedang kesal dengan bibir yang Ia majukan beberapa centi.

"Kau bau teme."

"Dan kau menyukainya, dobe."

Dia terkikik geli sebelum sebuah suara menyapa gendang telingaku. Naruto keluar dari tempat persembunyiannya dan menatap seorang pria yang tengah bicara padaku. Tangannya masih memeluk lenganku. Dan Ia terus begitu sampai kami di giring menuju mobil sewaan kami.

Aku tidak menggendongnya. Ia menolak ketika kutawarkan punggungku untuk dia naiki. Tentu saja dengan rona merah tak kasat mata menghiasi pipinya. Tapi bag travel-ku di bawa si sopir. Karena tak mungkin aku menyuruhnya membawa kekasihku. Dia bukan barang dan hanya aku yang boleh membawanya.

FIN?

This fic I've ever published on facebook. So don't be shock XD

Thanks for reading. And then, you may review this fic. Because 1 hour again, this fic will be published. Wait please~ :D but… Insyaallah… xD

-Akira-