Black Coffee and Lemon Tea

Naruto belong's to Masashi sensei

Warning: AU, OOC, typo

"Aku tidak akan mencegahmu jika itu memang keputusanmu," ujar seorang pria beriris mata hitam kepada wanita di depannya. Wanita itu mengambil cangkir yang ada di depannya dan meminum isinya. Kopi tanpa gula. Entah sejak kapan, sepertinya seleranya mulai terpengaruh oleh pemuda yang kini duduk di depannya itu.

"Kau seolah-olah melemparkan kesalahan padaku. Padahal kau tahu akau tidak akan mengambil keputusan itu jika kau memintaku," ucapan wanita itu tak bisa dibantah olehnya.

Pria itu mendesah pelan, ia memandang wanita yang ada didepannya. Cantik. Rambut panjang berwarna merah muda yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai. Rok selutut berwarna hijau tosca, serta kemeja putih berlengan pendek berbahan sifon mempercantik penampilannya.

"…. Aku tahu." ujar sang pria sambil memandang mata wanita di depannya. Mata yang selalu membuatnya terpesona.

"Tapi…," Sakura mengaduk-aduk kopi yang ada dicangkirnya, "…, kita masih bisa bertemu 'kan?" Sasuke menatap Sakura yang kini memilih untuk berkutat dengan cangkir kopinya. Pemuda itu tahu, Sakura merupakan wanita dengan harga diri yang tinggi sama sepertinya, untuk mengucapkan kalimat seperti itu, ia pasti membutuhkan keberanian yang besar untuk mengalahkan egonya. Pemuda itu tersenyum tipis saat sadar bahwa wanita yang ada di depannya, di luar dari keputusan yang ia ambil masih mencintainya, dan masih menginginkan keberadaannya. Sasuke menatap ke arah luar café. Sejak dulu ia tak ingin Sakura melihat senyumannya.

"Aaa…."

Sakura menengadahkan kepalanya, dan menatap Sasuke yang entah mengapa kini lebih memilih untuk menatap pemandangan di luar kafe melalui dinding kaca di samping mereka di bandingkan menatapnya. Wanita berambut merah muda itu menarik nafas panjang. Sejak dulu ia memang tidak bisa sepenuhnya memahami Sasuke. Yang ia tahu bahwa Sasuke adalah pemuda dingin yang arogan, akan tetapi entah mengapa ia tetap mencintai pria ini sejak mereka masih sekolah dulu, bahkan mencintainya hingga kini.

Sakura menatap jam di pergelangan tangannya, jam makan siang, sudah saatnya. Ia memanggil pelayan untuk mendatangi meja mereka. "Aku harus pergi, ada janji makan siang," ia membuka dompetnya mengambil beberapa lembar uang saat sang pria menahan tangannya.

"Biar aku yang bayar," Sasuke mengambil sompet di saku celananya dan menyerahkan beberapa lembar kepada seorang pelayan berambut pirang yang menghampiri meja mereka. "Kau janji makan siang dengan pria itu?"

"Iya, aku pergi dulu. Nanti aku akan menelponmu," ujar Sang wanita sambil mengecup bibir kekasihnya. "Aku mencintaimu Sasuke-kun."

"Aku tahu," wanita itu menatap sang pemuda dengan pedih. Setiap ia mengucap kata cinta kepadanya, ia pasti hanya menjawab dengan kata itu, bukan dengan ucapan bahwa ia juga mencintai dirinya. Sering ia merasa ragu, apakah pemuda yang ada di depannya juga mencintainya?

Sakura tersenyum ke arah Sasuke sebelum bangkit dari bangkunya. Dengan anggun wanita itu pergi meninggalkan café yang sudah menjadi langganan mereka ketika kencan. Sasuke menatap kepergian Sakura dengan tatapan bermakna, ini merupakan perayaan tahun kedua mereka menjalin hubungan, akan tetapi tidak seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, perayaan mereka justru terkesan dingin dan… rapuh. Sasuke tak ingin mengakuinya, tapi saat ini ia benar-benar merasa rapuh, sama seperti yang ia rasakan saat mendengar berita kematian ibunya ketika ia sedang kuliah di Denmark. Sasuke menghela nafas panjang sebelum akhirnya bangkit dari bangkunya, dan berjalan meninggalkan café untuk segera kembali ke kantornya.

Sakura menatap pria didepannya. Sakura mengakui pria yang ada dihadapannya merupakan pria yang tampan, rambut berwarna peraknya yang melawan gravitasi, wajahnya yang rupawan, serta kedua mata yang Sakura tebak heterokimia itu, mampu membuat seorang wanita berbalik untuk menatapnya. Tak lupu pula ditunjang dengan tubuh yang proporsional, Sakura yakin, pemuda yang ada di depannya ini sudah berulang kali membuat seorang─tidak, mungkin berpuluh-puluh wanita patah hati karenanya.

Sakura melihat ke arah sekitar restauran sebelum, ia bisa melihat beberapa wanita menatapnya iri, saat Kakashi, nama pria itu tersenyum lembut menyambut kedatangannya begitu ia memasuki restauran tadi.

"Kau mau pesan apa?" Tanya Kakashi setelah seorang pelayan memberikan buku menu kepada mereka berdua.

"Terserah Kakashi-san saja," ujarnya sambil menutup buku menu yang ada di depannya dan memberikannya ke pelayan.

"Spageti bolognase dan lemon tea," ujar Kakashi sambil tersenyum manis, Sakura bisa melihat sang pelayan meninggalkan meja mereka dengan pipi yang merona hebat. Ah, sudah ia duga, tebakannya tadi mengenai sang pria tepat.

"Aku heran padamu Kakashi-san, mengapa kau mau menerima perjodohan ini jika kau bisa mendapatkan gadis manapun yang kau inginkan," Kakashi menatap Sakura intens. Ia bisa melihat dahi Sakura sedikit berkerut, menandakan bahwa ia memang benar-benar penasaran mengapa ia menyetujui perjodohan ini. Kakashi tersenyum lembut, andai saja wanita di depannya ini tahu bahwa ia sudah jatuh cinta padanya sejak ia tak sengaja melihatnya di pesta natal dua tahun yang lalu. Perlahan, Kakashi mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Sakura yang berada di atas meja.

"Dan gadis yang kuinginkan adalah dirimu."

Sakura yakin, jika saja saat ini ia tidak memiliki orang yang ia sukai, ia pasti sudah jatuh cinta pada pria ini. Wajah yang tampan, tubuh yang atletis, sikap yang lembut dan ramah, serta sepertinya sedikit romantis. Sayang di dalam hatinya sudah ada sosok lain. Meskipun begitu Sakura tetap tersenyum, dan dengan perlahan melepaskan genggaman tangan Kakashi.

"Terima kasih, aku terharu mendengarnya."

"Lalu mengapa kau menerima perjodohan ini Sakura-san?" Tanya Kakashi sambil meminum air putih yang berada di gelasnya, ia berpura-pura tidak menyadari bahwa dengan sengaja Sakura melepaskan genggamannya.

"Karena..." Sakura terpaku. Apakah ia harus mengatakan pada Kakashi bahwa ia menerima perjodohan ini karena lelah dengan penantiannya terhadap Sasuke, serta karena desakan dari ibunya ataukah lebih baik ia berbohong dan mengatakan karena ia mencintai Kakashi?

Pft, yang benar saja. bertemu dengan dia saja belum pernah….

"Karena ini adalah keputusan yang terbaik," ujar Sakura setelah memikirkan bahwa untuk saat ini, jawaban itu merupakan jawaban yang paling tepat, lagipula ia tidak sepenuhnya berbohong, karena ia memang sadar bahwa ini merupakan keputusan yang terbaik bagi dirinya.

"Aku tersanjung mendengarnya," Kakashi tersenyum lembut ke arah Sakura. "Aku akan membahagiakanmu," Sakura tersenyum pahit. Ia tidak tahu apakah jika bersama dengan Kakashi ia akan bahagia, hanya saja yang ia tahu ia tidak akan bisa bersama dengan Sasuke, meskipun menderita sekalipun.

"Maafkan aku," gumam Sakura lirih. Ia merasa bersalah pada Hatake Kakashi yang nampaknya tulus padanya. Tapi bagaimanapun, ia begitu mencintai Sasuke, akan tetapi saat ia berkata pada pemuda itu bahwa orang tuanya telah menjodohkannya pada seorang pemuda anak sahabat ayahnya, ia tak berkata apa-apa. Sakura merasa terluka, tentu saja. Tapi ia adalah tipe wanita dengan harga diri tinggi, sama seperti Sasuke. Jika Sasuke tidak berusaha mempertahankan hubungan mereka, maka Sakura pun tidak. ia tak ingin menjadi satu-satunya pihak yang terluka dan kecewa, ia takut jika sebenarnya Sasuke sudah merasa lelah dengannya. Oleh sebab itu biarkan saja kisahnya dengan Sasuke berakhir seperti ini, lagipula bukan berarti mereka benar-benar berpisah bukan? Sakura hanya akan menikahi pria lain, ia masih bisa bertemu dengan Sasuke sebelum ia dan Kakashi resmi terikat di hubungan pernikahan. Maka biarkanlah hubungan mereka seperti ini, ia tidak peduli meski ia akan di cap sebagai wanita murahan karena tetap menjalin asmara dengan pemuda lain meskipun ia akan menikah. Toh mereka belum resmi tercatat sebagai suami istri 'kan? Maka biarkanlah, biarkanlah sebelum ia akan menangis pada akhir kisah cintanya.

END