Author's note:

Hello, seorang pemula disini ^^
Awalnya aku berusaha menulis crossover dari Dragon Nest dan Warcraft universe dan akhirnya terpikir untuk mencoba membuat dunia sendiri, dan inilah awalnya, meskipun aku tidak bisa lepas dari dua element itu.

Chapter 1

The Last Guardian

"Pak, aku akan pulang sekarang." Suara sekertarisnya terdengar nyaring terdengar dari balik pintu. Sang jendral, Garthok Wolfgang tidak menjawab, kecuali melemaskan otot-otot punggungnya di tempat duduknya.

Matanya tertuju ke jam tua di ujung ruangan, tidak terasa sudah lewat tengah malam. Dia harusnya sudah tidur beberapa jam yang lalu.

Hari ini sangat melelahkan buatnya, menjadi veteran yang pensiun dari peperangan ternya tidak membuat kesibukannya berkurang. Dia seorang jendral strategis, yang menurut koleganya sangat jenius diantara bangsanya. Lalu itu membuatnya terpilih untuk menduduki jabatan ini, yang dipandang tinggi namun baginya jauh lebih membosankan.

Namun dia paham posisinya dimasa seperti ini. Peperangan dengan negara-negara manusia bisa terjadi kapan saja, dan karena itulah dia dibutuhkan sebagai pemegang komando yang mengatur strategi bagi pasukannya.

"Mungkin aku butuh liburan." Pikirnya.

Sebenarnya fasilitas yang diberikan padanya sangat lengkap, kantor yang luas, gaji yang besar dan akses ke rahasia-rahasia negaranya yang paling dilindungi sekalipun. Namun tetap saja, dia merasa seperti terkurung dalam sangkar yang mewah.

Sejenak dia teringat kontrak kerjanya, dia bisa mengajukan pensiun satu tahun lagi. Ya, dia memang bermimpi untuk punya rumahdia suatu tempat terpencil di dekat danau Stonetalon, dimana dia bisa bebas menghabiskan masa tuanya dengan berburu dan memancing.

Dengan perlahan dia bangkit dari kursinya, kemudian berjalan ke pajangan-pajangan senjata yang sudah di koleksi olehnya sejak dia masih muda. Dia tersenyum, benda-benda itu selalu bisa membuatnya bernostalgia saat dia masih aktif sebagai prajurit biasa.

Dia meraih salah satu kapak bergagang putih dan tersenyum saat wajahnya terpantul di bilahnya yang mengkilat. Salah satu senjata favoritnya, kapak ukuran sedang yang diwariskan oleh ayahnya setelah melewati banyak generasi. Penyerbuan kota Ravensun, lalu pertempuran di padang Hrathgar dan yang terakhir di pertempuran dua kota besar Ar-Harad dan Goldriver, dia menghitung dan Ingat semuanya seakan pertempuran-pertempuran itu baru saja terjadi kemarin.

Suara kegaduhan dan teriakan terdengar keras ditengah malam yang sepi itu. Garthok terbangun dari lamunannya dan memegang kapaknya erat-erat. "Apa apaan itu?"

Selama beberapa saat, suasana kembali hening mencekam.

Pendengaran sang jendral orc menangkap suara langkah kaki mendekat kearah pintu kantornya. "Penyusup." Pikirnya. "Kemana penjaga-penjaga sialan itu?"

Langkah kaki itu terdengar berat dan berirama, seolah oleh disengaja oleh si penyusup untuk menunjukkan kehadirannya. Untuk beberapa alasan, Garthok tahu dia telah menjadi target pembunuhan oleh pemerintah negara lain, itu alasan kenapa dia meningkatkan jumlah penjaga di kantornya, namun kemana mereka semua dia tidak tahu, apa mungkin satu penyusup bisa mengalahkan puluhan orc yang terlatih?

Sang jendral tidak punya banyak waktu untuk berpikir, dengan perlahan dia mematikan lampu dan mendekat ke pintu. Kapak miliknya bersiap, sementara pikirannya menghitung kapan si penyusup itu akan tiba di hadapan mata kapaknya.

Pintu terbuka.

Sosok penyusup itu melangkah masuk.

Dengan segenap kekuatannya, Garthok mengayunkan senjatanya, namun rupanya penyusup itu tahu serangan yang akan datang. Dia mendorong tubuhnya kebelakang untuk menghindar, dan Garthok sendiri nyaris tersandung jatuh karena pukulannya yang meleset.

Penyusup itu memutar tubuhnya, mengunci pergelangan tangan Garthok dan menancapkan sebilah belati ke lengannya. Kapaknya terjatuh, dan si penyusup itu dengan gesit menghantamkan lututnya ke dagu sang jendral.

Serangan itu tidak cukup kuat untuk menjatuhkan tubuh kekar sang veteran perang. Garthok mengambil satu langkah mundur dan dengan cepat menabrakkan tubuhnya ke si penyusup itu layaknya banteng yang marah.

Tubuh kekarnya menghempaskan lawannya ke dinding, senjata di tangannya terjatuh dan dari jarak sedekat itu Garthok bisa mendengar nafasnya yang sesak karena rasa sakit.

Sang jendral mengepalkan tinjunya, hendak menghancurkan wajah penyusup itu. Namun tenyata gerakannya lebih gesit untuk menghindar. Tinju kekar sang jendral meleset, dan belati yang menancap di bahunya, bukan saja membuat gerakannya menjadi lamban namun juga memberikan rasa nyeri yang hebat saat tinjunya memukul dinding.

Cengkraman lawannya melemah, penyusup itu mengangkat kakinya dan mendorong orc kekar itu dengan tendangan yang kuat. Dan saat dia lepas, Garthok merasakan pukulan lain menghantam wajahnya.

Sang jendral terhuyung. Tubunya terbungkuk, dia mencoba bertahan dengan menopangkan diri dengan satu tangan. Dia menoleh ke samping, tangan kanannya meraih sebuah greatsword dari sebuah rak, namun baru saja dia berdiri, sang Jendral merasakan panas membakar di lututnya. Dia jatuh… dan saat dia masih berjuang melawan rasa sakit, panah lainnya telah menancap di pergelangan kakinya, membuatnya benar-benar lumpuh untuk berdiri.

Sang jendral mencoba tenang, dia menarik nafas. "Aku masih hidup."

Hanya beberapa langkah kedepan, siluet penyusup itu mendekat kearahnya, cahaya yang masuk dari pintu menerangi sosoknya yang gelap oleh jubahnya yang kelabu. Sepasang mata 'hantu' berwarna keperakan menatap tajam – mengkilat oleh cahaya yang redup. Ranger itu melepas penutup kepanya, rambut putihnya yang panjang disingkapkan dari wajahnya, melewati sepasang telinganya yang lancip memanjang.

Garthok masih bisa mendengar suara nafasnya yang sesak saat Ranger itu memegang area dadanya. Itu sedikit menghiburnya; setidaknya dia tidak jatuh tanpa perlawanan.

"Kenapa? Tidak bisa bergerak lagi?" Ranger itu berbicara, suaranya terdengar dekat dan dingin.

Sang jendral menoleh kesamping, dengan putus asa menatap ke greatsword yang tergeletak jauh di luar jangkauannya.

"Siapa kau?! Apa yang kau inginkan? Emas? Harta?" Tanyanya. Ranger itu hanya diam, matanya yang keperakan menyorot tajam ke musuh lamanya, namun seulas senyum muncul dibibirnya, seperti sesorang yang menatap teman lama.

"Naif sekali seorang jendral yang terhormat bernegosiasi untuk nyawanya." Kata ranger itu akhirnya dalam aksen yang asing terdengar.

"AKu tidak tahu kau siapa! Tapi kalau dibayar oleh manusia-manusia di Earken, maka membunuhku hanya akan mengakibatkan perang dunia!"

Gertakannya sia-sia. Ranger itu berlutut, mengembil senjatanya yang tadi terjatuh. Lalu dia berdiri, mengancungkan senjata pendek yang digenggamnya.

Sang veteran perang terdiam, tubuhnya kaku. Moncong senjata itu terbidik kearahnya dengan laras yang dipasangi peredam, dan peluru yang siap menembus kepalanya dengan satu sentuhan.

Ranger itu belum menembaknya, melainkan memberinya tatapan yang menantang. Seberkas ingatan yang kabur sekarang terasa jelas dibenaknya.

"Nimrais!" Teriaknya dalam hati. Tubuhnya mendadak dingin, ototnya terasa menegang.

Itu sudah 19 tahun yang lalu. Saat dia dan ribuan pasukannya mencoba mengepung kota para elf Nimrais. Seluruh strategi penyerangan mereka berjalan lancar berkat bantuan pembelot-pembelot Nimrais yang membocorkan rahasia pertahanan kota mereka. Gerbang pertama dan kedua berhasil mereka duduki tanpa usaha yang keras, tinggal gerbang ketiga, dimana sisa-sisa pasukan kota membuat pertahanan terakhir.

Disisi sungai yang dikuasainya, Garthok memandang ke ujung jembatan yang menjadi satu satunya jalan ke pusat kota. Disana rintangan terbesar mereka dimulai, sudah berjam-jam usahnya tertahan oleh sekumpulan pemanah yang menyerang dari jembatan, dan benteng-benteng di sisi lain sungai.

Para elf ibarat melakukan bunuh diri dengan bertahan disana. Dan hanya masalah waktu sampai dia dan anak buahnya berhasil menerobos jembatan. Namun Garthok sadar, dia diburu oleh waktu, pasukan aliansi para elf mulai bergerak dari timur dan semua usahanya akan gagal jika mereka tidak bisa menduduki lokasi strategis kota ini.

Satu jam berlalu, dan kabar bahwa pasukan musuh yang hampir tiba di kota membuat sang jendral kehilangan kesabaran. Jembatan itu belum berhasil diterobos, para elf terus bertahan, meskipun satu demi satu rekan mereka tewas setiap saat.

Malam menyingkir digantikan pagi. Bunyi hiruk-pikuk pertempuran semakin meredup. Para elf membentuk barisan baru di tengah jembatan, para pemanah berlutut, dengan busur terentang. Penerobos-penerobos itu mulai ragu untuk maju. Dan Garthok melihat semua kegagalan ini dengan frustasi.

Dengan amarah yang meluap-luap, sang Jendral berteriak, memerintahkan anak buahnya untuk melontarkan batu-batu besar dari mesin perang mereka.

Batu-batu raksasa bersiul, melayang diudara. Bagaikan meteor yang menghancurkan apapun yang dihantamnya. Batu pertama jatuh di kerumunan elf yang berbaris, membubarkan-dan menghancurkan mereka yang tidak sadar apa yang menuju kearahnya.

Lubang besar menganga di jembatan itu, disekitarnya, api tersulut. Batu batu lain terlontar dan menghantam pondasi jembatan itu. Sisa pasukan yang bertempur disana mulai panik, baik orc maupun elf terperangkap di jembatan api itu. Sang jendral tidak perduli lagi soal rencana awalnya, dan tanpa ragu dia telah mengorbankan anak buahnya.

Sang jendral memandang jauh kedepan, diatas segala kekacauan itu, pandangannya menangkap sorot mata yang redup dari sosok elf yang merangkak pelan diantara api dan reruntuhan, tatapannya masih tajam ditengah ketidak berdayaan dan keputusasaan, seolah menyiratkan dendam. Seketika itu juga dia menghilang, saat api-api yang berkobar melahapnya dan jembatan itu akhirnya runtuh ke dasar sungai.

Akhirnya, sorot mata itu datang lagi setelah berahun tahun. Seperti hantu yang jadi nyata.

Garthok merasa seakan seluruh udara di paru-parunya tertarik keluar.

"Aku punya satu pertanyaan…"

"Katakan."

Garthok meludah dan tersenyum. "Apa yang membuatmu datang begitu lama?"

Dengan sisa tenaganya, mendadak sang jendral melompat kedepan untuk perlawanan. Kakinya yang tertembus panah robek dengan luka yang mengerikan. Pistol di tangan ranger itu menyalak dengan suara tercekik, dan hampir saat itu juga sang veteran terkapar di lantai. Dua lubang di dahinya yang lebar segera mengeluarkan darah, membasahi lantai, dan tubuhnya yang gemetar tak bernyawa.

Ranger itu segera membungkuk, sebuah lencana bintang perak disematkannya di genggaman korbanya. Dan seolah olah sedang melakukan pertukaran, dia menarik paksa sebuah kalung emas berbentuk kunci dari mayat orc itu.

Dengan cepat dia menyembunyikan benda itu di lipatan jubahnya lalu berdiri lagi.

"Tugasku disini sudah selesai."