Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Pairing: Hermione Granger & Cassius Warrington.
Warning: Tak ada Voldemort dan tak ada Perang Besar Hogwarts. Nama Warrington pertama kali tercantum di buku ketiga, Harry Potter dan Tawanan Azkaban, halaman 377.
Rating: T
"Hermione, gawat! Serangan terbaru Slytherin kembali memakan korban anak Gryffindor!"
Hermione Jean Granger, salah satu penyihir paling genius abad ini membenturkan kepala semak belukar ke meja perpustakaan, mengutuki dan meratapi waktu belajar yang kembali terinterupsi untuk kesekian kali.
Tadi, sebelum kedatangan Dean Thomas, konsentrasi Hermione sudah terusik dengan kehadiran satpam sekolah, Argus Filch yang merayap mengendap-endap di antara lemari buku tinggi dan rak-rak perpustakaan.
Belum lagi dengan ulah usil si hantu jahil, Peeves yang menerbangkan pesawat kertas berisi Bom Ketombe. Bom serbuk putih gatal yang membuat kepala mangsanya bentol-bentol sebesar Quaffle, bola merah besar yang biasa dipakai di pertandingan Quidditch.
Dan kali ini, Dean datang dengan membawa berita terbaru. Kabar termutakhir tentang kenakalan teranyar penduduk Slytherin yang lagi-lagi menelan korban jiwa warga Gryffindor tak berdosa.
Mengusap lencana Prefek yang berkilau terang karena selalu dipoles setiap saat, Hermione menutup buku Kebangkitan dan Kejatuhan Ilmu Hitam yang sudah dibedah dan dibaca sejak dua jam lalu. Usai memasukkan buku bersampul kulit naga itu ke dalam ransel sekolah, Hermione memandang gencar wajah Dean yang bersimbah keringat.
"Kali ini siapa yang jadi korban, Dean? Oh ya, siapa pelakunya? Apa anak-anak Gryffindor berhasil menangkap si tersangka agar aku bisa memberi bajingan terkutuk itu detensi berkali-kali?" Hermione bertanya bertubi-tubi, mengingatkan Dean akan sosok agen FBI galak yang sering dilihatnya di film-film laga.
Melihat gelengan lemah Dean, Hermione mengerucutkan bibir. Kandas sudah hasrat kuat Hermione untuk menindak si eksekutor kejahatan dengan lencana dan jabatan Prefek yang disandangnya.
Jika si aktor utama kebatilan tak tertangkap tangan, susah bagi Hermione untuk menjatuhkan sanksi detensi atau vonis pengurangan poin asrama. Tindakan tegas yang sudah kebelet dijalankan sejak permainan konyol ala bocah-bocah Slytherin menggila.
Ya, permainan konyol, Hermione mendengus gusar dalam hati, memasukkan tumpukan buku yang belum dibaca ke dalam tas sekolah yang sebesar ransel pendaki gunung.
Mengurut dada untuk melepaskan ketegangan batin, Hermione bersiap-siap melakukan tugas tersisa yang bisa dilakukan. Menghibur si korban terbaru yang saat ini pasti sedang direparasi di Ruang Kesehatan.
Memanggul tas dengan tenang, seolah tak merasakan beban berlimpah yang memenuhi isi ransel, Hermione berjalan anggun menuju pintu keluar perpustakaan.
Merayap melipir di samping Hermione, Dean meringis ngeri melihat muatan berlebihan yang mengintip dari tas teman seasramanya itu. Tumpukan buku berat beraneka judul, bergebung-gebung perkamen lebar, botol tinta aneka warna serta sekotak pena bulu saling berebut memenuhi ransel cokelat berbordir emblem singa Gryffindor tersebut.
"Apa tulang bahu dan punggungmu tak sakit Hermione? Setiap hari membawa sekarung beban seperti itu?" Dean bertanya lamat-lamat, deretan titik-titik peluh masih membanjiri dahi gelapnya yang berkilat.
Melirik sekilas, Hermione membalas sapaan petugas perpustakaan, Madam Irma Pince, yang tengah membersihkan buku berjamur dengan kemoceng sihir. Sikat berbulu yang dengan tangkas dan teratur menggosok helaian lembar buku, membuat gerombolan jamur menjerit-jerit kabur.
Biasanya, Madam Pince selalu merengut masam seperti burung nasar kurang makan, namun kali ini suasana hati wanita berambut gelap itu tampaknya secerah matahari senja yang bersinar terik di luar sana. Terbukti ketika penyihir temperamental itu berbaik hati mengumbar senyum singkat pada Hermione dan Dean yang menggigil heran.
"Tumben Madam Pince senyam-senyum begitu. Aku kok jadi ngeri ya," Dean memegangi pundak cekingnya yang bergetar, sibuk mengira-ngira roh halus macam apa yang membuat pustakawati seangker Madam Pince berubah sesantun ratu bidadari.
Melempar pandang geli, Hermione membetulkan posisi tas sekolah yang sedikit kedodoran. Berbeda dengan Dean yang jarang kongkow di perpustakaan, di setiap waktu luangnya Hermione selalu menyambangi ruangan luas penuh buku berjamur dan perkamen berkutu itu.
Setiap hari bertemu dengan Madam Pince tentu membuat Hermione paham betul karakter penyihir tinggi kurus itu. Termasuk hubungan rahasia Madam Pince dengan Argus Filch. Penyihir Squib yang sejak satu jam lalu berindap-indap di balik rak perpustakaan. Kencan sesaat yang pastilah menjadi alasan di balik keceriaan sikap Madam Pince hari ini.
Di depan pintu perpustakaan, untuk kedua kalinya Hermione membenahi posisi ransel yang mulai melorot ke ujung lengan. Melihat gadis sekecil Hermione kewalahan mengontrol tas dan tumpukan buku yang dikepit di dada, Dean dengan jantan menawarkan bantuan. Menyodorkan tangan, penyihir kelahiran Muggle itu meminta Hermione untuk menyerahkan beban ransel berat padanya.
"Tak usah, Dean. Tanganku kuat kok soalnya aku sudah biasa membawa banyak barang," tolak Hermione halus, sedikit mengernyit saat Dean menampilkan ekspresi skeptis.
"Tak kusangka kalau tulang belulangmu sekokoh Millicent Bulstrode," ujar Dean lambat-lambat, tak sadar akan mimik kesal Hermione yang tak terima raga kurus keringnya disamakan dengan kerangka Millicent Bulstrode, si cewek subur makmur yang tersohor dengan julukan buldoser Slytherin paling ditakuti.
Tiba-tiba, seolah dicambuk dengan cemeti transparan, Dean menyalak lantang. Menepuk jidat dengan sebelah tangan, pemuda penggemar tim sepakbola Muggle, West Ham United itu menyeret Hermione dengan tangan kanannya yang bebas.
"Ya ampun, aku baru ingat. Millicent Bulstrode!"
"Memangnya kenapa dengan Millicent Bulstrode?" Hermione bertanya terengah-engah, keteteran menjejeri langkah panjang Dean yang berderap kesetanan menuju Ruang Kesehatan.
"Dia pelaku penyerangan terbaru, Hermione," jawab Dean lugas, tak menyurutkan kecepatan kaki yang secepat kucing garong kelaparan.
Mendesah miris, Hermione membayangkan kondisi si korban malang yang jadi bulan-bulanan Millicent Bulstrode. Satu-satunya siswi Slytherin yang memecahkan rekor dunia sebagai pelajar bertubuh paling berat sepanjang sejarah Sekolah Sihir Hogwarts.
"Kasihan sekali anak yang jadi mangsa Millicent," kata Hermione prihatin. Terus mengimbangi laju Dean yang membabi-buta, Hermione kembali membuka mulut, mengajukan pertanyaan yang sedari tadi berkelintaran di sudut benak.
"Ngomong-ngomong, siapa anak malang itu, Dean?"
Meringis muram, sadar sepenuhnya akan bahaya yang mengancam, Dean dengan enggan memberi informasi pada Hermione. Bocoran data yang diyakini bisa membuat Prefek perempuan Gryffindor itu mengamuk tak terkendali.
"Ron, Hermione. Ron yang jadi korban Millicent Bulstrode."
Sesuai dugaan Dean, Hermione meradang tak terkira mendengar jawaban tersebut. Memacu tungkai pendeknya sekencang mungkin, membuat Dean yang terkenal jago maraton terseret-seret di belakang, Hermione melesat berkelebat ke Ruang Kesehatan, terus meneriakkan nama Ron di setiap langkah kaki yang berkepul-kepul...
"Ya, bagus Mr Weasley. Terus minum cairan berkepul ini sampai habis."
Tersenyum sabar melihat wajah pasien barunya yang kecut, matron Ruang Kesehatan, Madam Poppy Pomfrey menyodorkan ember besar di pangkuan Ron. Tindakan antisipasi yang diperlukan jika pemuda berambut jerami bernama lengkap Ronald Bilius Weasley itu memuntahkan isi perut pasca meminum segentong ramuan tengik berbau menyengat.
"Blearggh! Haruskah aku meminum obat menjijikkan ini?" Ron bertanya gamang, mata biru langitnya bolak-balik menatap wajah tenang Madam Pomfrey dan tabung larutan menakutkan yang berdesis-desis seram.
"Tentu saja kau harus meminumnya, Won-Won! Kau harus menghapus racun mulut Millicent Bulstrode dengan cairan itu!"
Bertindak seolah-olah dirinya tangan kanan Madam Pomfrey, Lavender Brown memegang bahu Ron erat-erat, tanpa ampun menjejalkan eliksir berbusa ke mulut Ron yang menganga terpana.
Melihat antusiasme gadis berambut ikal panjang itu, Madam Pomfrey hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sebelum beranjak ke bilik sebelah guna memeriksa pasien lawasnya yang belum siuman sejak kemarin malam.
Usai menyuapi Ron dengan ramuan penuh gelembung, Lavender menyeka mulut dan bibir Ron keras-keras dengan serbet putih yang sudah ditetesi cairan pembasmi hama. Seolah tuli dengan teriakan mual Ron maupun tawa tertahan para pembesuk, Lavender dengan membabi-buta menggosok mulut Ron yang membiru.
"Oh, jangan tertawa dong! Hal ini tidak lucu tahu!" Hermione mendelik, memelototi kakak kembar Ron, Fred dan George Weasley yang terbungkuk-bungkuk menahan tawa. Mengusap air mata geli di sudut mata dengan lengan jubah Hogwarts, Fred mencoba menenangkan Hermione yang mondar-mandir tak tentu arah.
"Sori, Hermione. Habis, mau bagaimana lagi? Tragedi yang menimpa si kecil Ronnie ini lucu sekali sih," Fred bergumam girang sambil menangkup mulut dengan tangan kiri, berjuang membendung gelak yang menuntut untuk dikeluarkan.
"Betul, Hermione. Coba kau ada di sana, menyaksikan kejadian fenomenal itu," George mendukung argumentasi saudara kembarnya. Berdeham untuk membersihkan tenggorokan, George merekonstruksi ulang insiden yang menimpa adik laki-lakinya.
"Petang tadi, sehabis berlatih Quidditch, kami berjalan di sekitar Aula Depan, berniat menuju Aula Besar untuk minum teh sore. Sekonyong-konyong, bumi yang kami injak bergetar dan pilar besar berderak-derak," George menggoyang-goyangkan tubuh, berlagak seperti aktor pantomim yang pernah dilihat Hermione di jalanan Piccadilly, London.
"Dari balik kepulan debu dan debam langkah, muncullah Millicent Bulstrode yang langsung melompat ke pelukan si kecil Ronnie," George melirik Ron yang balas mendelikkan mata lebar-lebar ke arahnya.
"Mendorong dan memasung Ron di pilar Aula Depan, Millicent Bulstrode tanpa basa-basi menyapukan bibir dower-nya di bibir empuk Won-Won," Fred menyambung, memonyongkan bibir untuk memperkuat efek dramatis.
"Di depan mata kami yang ternganga, Millicent Bulstrode mencium si kecil Ronnie dengan sangat, sangat oh membara," George mendesah, meletakkan telapak tangan kanan di dahi, membuat penonton di sekitarnya mengembik geli.
"Setelah puas merampok bibir Won-Won, si Troll jelek itu meninggalkan Won-Won-ku dalam kondisi patah tulang!" Lavender ikut-ikutan bercerita sambil meratap-ratap dan menjerit-jerit histeris. Lengkingan seram ala kuntilanak kesurupan yang sudah pasti membuat suasana semakin bertambah miris.
"Ya, dan itulah sebabnya mengapa Won-Won kita jadi mumi Mesir begini," seru Fred, mengakhiri cerita dengan menepuk-nepuk tubuh adiknya yang digulung perban putih. Gebukan brutal yang ujung-ujungnya membuat ember besar berisi muntahan Ron mental ke sekitar kasur.
"Jadi, pada intinya, Ron adalah korban terbaru permainan tolol anak Slytherin, kan!" gerutu Hermione, meletakkan kedua tangan di pinggul dengan gerakan sarat amarah.
"Betul sekali, Hermione," Ginny Weasley, adik perempuan Ron yang sedari tadi terpekur membisu menggeram berang. Menggigit-gigit ujung bibir bawah, Ginny menyingkap tirai putih di bilik samping Ron, memperlihatkan sosok lunglai Harry James Potter yang tengah diperiksa intensif oleh Madam Pomfrey.
"Sampai sekarang Harry masih belum sadar dari mati suri karena dicium paksa si anjing pesek Pansy Parkinson kemarin malam. Dan di sana," Ginny menuding ranjang paling ujung dekat jendela, "Neville juga masih terus-menerus mengigau, meracau ketakutan karena bibirnya dipatok si musang Draco Malfoy."
"Si kodok bego Neville Longbottom," Parvati Patil mendengus suntuk. Mengibaskan seuntai rambut panjang hitam ke balik bahu, menguarkan aroma dupa kemenyan ke sepenjuru ruangan, gadis hitam manis berdarah India itu melanjutkan lantunan cemoohan.
"Dicium Malfoy saja sampai jatuh pingsan seminggu penuh. Kalau aku, aku pasti tersadar dan terus menuntut Malfoy untuk menciumiku."
"Ya, dan sebagai gantinya, Malfoy-lah yang akan tidur merana di kasur sana. Mengigau ngeri karena dihantui mimpi buruk bibirmu, Parvati," balas Hermione sewot, memelototi salah satu teman sekamarnya itu dengan kejengkelan terang-terangan.
"Jadi pada hakekatnya," Ginny berdiri di tengah Parvati dan Hermione, berupaya menengahi dua remaja perempuan yang saling berebut melontarkan tatapan mematikan. Tak menggubris omelan Parvati yang ingin meluruskan ikal lebat Hermione dengan kepalan tinju, Ginny terus berceloteh, manik cokelat kekuningannya menyala dibakar bara amarah.
"Kita harus berbuat sesuatu, Hermione. Permainan sinting yang dilakoni Slytherin kembali menimbulkan trauma mendalam, terutama bagi para korban-korbannya."
"Apa kau trauma, Adik Kecil?" gurau Fred, menyenderkan lengan di bahu Ron yang terbungkus perban putih. Menggerundel tak jelas, Ron menepis lengan kakak kembarnya yang menyeringai kegirangan.
Demi rambut merah klan Weasley yang berkibar-kibar, tentu saja ia trauma! Selain ciuman pertamanya dirampas Millicent Bulstrode, ia juga harus dirawat inap di Ruang Kesehatan karena tulang belulangnya rontok ditindih tubuh raksasa betina yang beratnya ampun-ampunan itu.
Menatap wajah Hermione yang cemberut, Ron meringis getir. Gara-gara Millicent Bulstrode dan permainan sableng Slytherin, hancur sudah mimpi manisnya untuk berciuman pertama kali dengan Hermione. Satu-satunya gadis yang ingin diciumnya dengan sepenuh jiwa.
Menghenyakkan batok kepala merah ke bantal yang beraroma desinfektan bercampur muntahan, Ron mengernyit pilu memikirkan dampak jangka panjang insiden memuakkan yang dialaminya.
Kemungkinan pertama, Fred dan George bakal menjadikan kenangan memalukan ini sebagai bahan ledekan seumur hidup. Kemungkinan kedua, dirinya tak akan bisa berciuman tanpa mengingat bibir Millicent Bulstrode yang tebal, berliur dan berbau tahi naga.
"Astagaaa! Seseorang, tolong Obliviate aku, please!"
"Yah, kau tak bisa sembarangan meng-Obliviate memorimu, Harry."
Bersimpuh melingkar di dekat perapian, Hermione menggenggam tangan Harry, teman terbaiknya yang duduk bersila di atas permadani merah marun bergambar singa berburu mangsa. Mata hijau zamrud Harry yang biasanya bersinar cemerlang kini agak meredup, serupa dengan nyala api yang berpijar lemah di perapian Ruang Rekreasi.
Menepuk halus pundak Harry, Hermione berusaha membangkitkan semangat sahabat terdekatnya itu. Gairah hidup yang menipis semenjak Pansy Parkinson menempelkan cungur beracun di bibir perawan Harry.
"Ugh, sampai sekarang aku tak bisa melupakan mulut Parkinson yang bau kotoran naga. Rasanya, lebih baik dicium Fluffy ketimbang dicium Parkinson," sungut Harry, menahan rasa mual yang merambati isi perut.
Hermione mengerutkan dahi mendengar analogi tersebut. Bagi Hermione, dicium Fluffy atau diseruduk Pansy Parkinson sama saja buruknya. Fluffy itu anjing berkepala tiga milik Hagrid, anjing ganas bergigi runcing yang rajin memproduksi air liur. Di lain pihak, Parkinson itu cewek judes bertampang mirip anjing pesek dengan mulut berbisa berbau bangkai naga.
"Pasti Parkinson makan dragon tartare dulu sebelum menyantap bibirmu, Harry," Seamus Finnigan, penyihir berdarah campuran asal Irlandia yang duduk di seberang Harry mendadak buka suara.
"Kau tahu kan, dragon tartare, camilan dari daging naga yang membuat napas pemakannya sebau bangkai busuk," sambung Seamus, mengunyah perlahan Siput Jeli yang dibelinya di kampung sihir Hogsmeade, pekan lalu.
"Apapun itu, yang penting Parkinson sukses merebut ciuman pertama sekaligus membuatku trauma sampai ke ujung jiwa!" Harry mendesis marah, mengepalkan buku-buku jari yang tengah dielus-elus Hermione. Di dekat Harry, Ginny tercenung muram, mencabuti bulu-bulu permadani dengan jemari lentik yang dihiasi cat kuku warna-warni.
Seperti Ron yang merana tiga belas turunan karena kehilangan momen ciuman pertama dengan Hermione, Ginny juga menderita setengah mati karena tak bisa menuntaskan mimpi mendapatkan ciuman pertama Harry, pemuda yang sudah dicintai dan dikagumi sejak masa kanak-kanak.
"Kau masih mending, Harry. Lihat dong Ron atau Neville," Dean berusaha menghibur, menepuk-nepuk punggung kaku Harry yang diam membatu.
"Ron harus menenggak sekuali Skele-Gro karena tulang punggungnya patah ketiban badan subur Millicent Bulstrode. Sedangkan Neville, sebelum tidur malam harus minum sebotol Ramuan Kedamaian karena terus-menerus bermimpi dikejar-kejar bibir musang Malfoy."
Bergidik, Hermione memandangi Ron yang bergelung di depan perapian, sibuk menyodok-nyodok kayu bakar dengan besi panjang. Meski punggung dan bagian atas tubuhnya masih dibebat perban, setidaknya kondisi Ron tak lagi seperti mumi Mesir.
Mengalihkan pandangan iba dari profil kuyu Ron, Hermione mencermati Neville yang meringkuk di sudut sofa empuk. Wajah bulat Neville kini sedikit tirus, lingkaran hitam menggantung di bawah mata, melengkapi bibir kelu yang membiru.
"Neville kelihatannya trauma sekali dicium Malfoy," Lavender berbisik, mendekatkan kuncup bibir merah cerah ke kuping Hermione.
"Masih untung dicium Malfoy. Bagaimana kalau Neville dicium Profesor Snape? Bisa mati dia," ujar Parvati usil, mengintip dari balik majalah gaya hidup yang dibacanya.
Meski sayup-sayup, kuping Neville rupanya menangkap kalimat yang diutarakan Parvati. Memucat seakan jiwanya disedot Dementor, Neville tumbang seketika. Ketakutan membayangkan dirinya dicium bibir Profesor Snape yang dijamin tak kalah berminyak dari rambutnya.
Merebahkan tubuh ke tumpukan bantal yang terserak di sekitar permadani, Hermione sibuk memutar otak, mencari jalan untuk menghentikan permainan brutal anak-anak Slytherin. Permainan mencuri ciuman pertama yang sialnya justru dianggap angin lalu oleh para staf pengajar.
Saat Hermione melaporkan kasus ciuman paksa ke Kepala Asrama Gryffindor, Profesor Minerva McGonagall, guru Transfigurasi berwajah tegas itu hanya mengangkat alis dengan galak. Membetulkan lensa kacamata persegi, mata kucing Profesor McGonagall menyipit segaris saat memberikan ultimatum terakhir.
"Detensi baru bisa dilakukan jika pelaku tertangkap tangan, Miss Granger."
Tertangkap tangan...
Menggelembungkan pipi, Hermione memutar-mutar ikal rambut gelombang di antara ibu jari dan telunjuk. Bukan ular kebun Slytherin namanya jika tak bisa mengakali peraturan sekolah tentang detensi.
Setiap kali selesai melaksanakan misi, murid Slytherin langsung menghilang secepat mungkin, sampai-sampai Hermione mengira dinding Hogwarts tak lagi ditempeli Mantra Anti Apparition.
Berkali-kali gagal membekuk pelaku cium paksa, Hermione mengambil alternatif lain yang paling tak disukai. Mengadu pada Kepala Sekolah Sihir Hogwarts, Profesor Albus Dumbledore. Berharap penyihir kharismatik bermata biru jernih itu bisa menghentikan kegilaan otak siswa Slytherin.
Sayangnya, harapan Hermione tak menjadi kenyataan. Menyesap permen asam segar rasa jeruk lemon, penyihir sepuh berkacamata bulan separo itu hanya mengelus jenggot kelabu panjang sembari bersenandung girang, "Aah, ciuman masa remaja. Alangkah indahnya."
Indah bagaimana, Hermione menggeram memikirkan respon ringan Profesor Dumbledore. Ciuman pertama memang indah jika dilakukan dengan orang yang disuka. Bukan dengan lawan main yang berbau sangit seperti dedemit.
"Kau harus berhati-hati, Hermione. Kau kan belum pernah berciuman. Bisa jadi bibir sucimu jadi target Slytherin selanjutnya."
Wanti-wanti Parvati membuat seisi Ruang Rekreasi hening seketika. Memerah menahan jengah, Hermione berdeham, mencoba mengatur ulang atmosfer mencekam yang melingkupi seisi ruangan.
"Astaga, Hermione? Di usia lima belas tahun seperti sekarang kau belum pernah berciuman?" Angelina Johnson, siswi tahun ketujuh berdecak takjub. Mata cokelat madu gelapnya perlahan-lahan menyusuri sekujur tubuh Hermione, sibuk mengira-ngira mengapa gadis populer semanis Hermione belum pernah merasakan nikmatnya ciuman pertama.
"Hermione berniat menyimpan ciuman pertama untuk Ron," Ginny membuka kartu As sobat baiknya. Pernyataan yang membuat Lavender Brown memonyongkan bibir sejauh mungkin. Ketertarikan Lavender pada Ron memang sudah jadi rahasia umum. Tak heran jika gadis penggila gosip itu merasa kedudukannya terancam dan tersaingi.
"Ginny," desis Hermione risih, menyumpal mulut juniornya dengan punggung tangan. Ron yang sedari tadi asyik mengorek abu kayu bakar merona terpesona. Tampak tersanjung mengetahui kenyataan bahwa gadis yang diam-diam disukainya menyimpan ciuman pertama untuknya.
"Sebaiknya kau buru-buru berciuman, Hermione. Jangan sampai ciuman pertamamu direbut Crabbe atau Goyle," Fred memberi saran, melepaskan tangan Hermione yang masih menyumpal mulut adik perempuannya, tanpa banyak cakap membebaskan Ginny dari ancaman tewas mendadak karena kekurangan napas.
"Aku mau jadi sukarelawan, Hermione," sahut Dean dan Seamus serempak sebelum kepala keduanya rontok disabet besi pengorek perapian yang dipegang Ron...
"Total jenderal, sejak September lalu, sudah ada tiga orang Gryffindor yang rontok di tangan kita."
Bersemayam pongah di dekat perapian besar yang menyala-nyala cerah, Cassius Warrington mengangkat gelas Wiski Api untuk bersulang. Tatapan puasnya menyapu sekelompok siswa berdasi hijau bergaris-garis yang duduk bersilang kaki.
"Idemu untuk menggelar permainan ini benar-benar brilian, Cass," Adrian Pucey, Wakil Kapten tim Quidditch Slytherin tersenyum lebar. Seringai di wajah tampannya setara dengan seringai raja setan saat berhasil menggoda mangsa ke ujung neraka.
Membalas senyum iblis Pucey dengan acungan gelas, Warrington berusaha menyembunyikan kilat konspirasi yang berdansa di bola mata.
Untuk menghindari terkuaknya tujuan utama, Chaser Slytherin itu mewanti-wanti diri untuk bertindak ekstra hati-hati. Sehati-hati aksinya dalam menyelundupkan bergalon-galon Wiski Api, minuman beralkohol yang hanya boleh diminum oleh penyihir di atas usia tujuh belas tahun ke atas.
"Aku benar-benar tak menyangka kalau si Weasley dan Potter belum pernah mengalami ciuman pertama. Kupikir mereka sudah diserang Lavender Brown dan Ginevra Weasley," Blaise Zabini, penyihir berkharisma berdarah Italia yang duduk di samping Warrington berdecak takjub, tak menyangka bibir dua jejaka Gryffindor yang terbilang kondang itu masih perawan.
Ya, sebelum diseruduk Pansy Parkinson dan Millicent Bulstrode tentunya...
"Jangan remehkan jaringan informasiku, Zabini," balas Warrington, menuangkan kembali Wiski Api ke piala perak berukir. Meletakkan botol Wiski Api di dekat kaki, Warrington menyeringai tipis mengingat info terselubung yang diraup berbekal ketajaman keenam indra.
Menghirup seteguk, meresapi rasa keras yang membakar tenggorokan, manik ungu Warrington menatap sinar api yang memercik dan melompat-lompat. Tersenyum-senyum sendiri, Warrington cengengesan mengenang keberhasilan rencana besar yang digagas sejak awal tahun ajaran terakhir di Hogwarts.
"Kenapa kau cengar-cengir begitu, Cass?" Pucey bertanya penasaran, manik cokelat terangnya menyipit curiga, menatap waspada profil teman seangkatannya yang cekikikan seperti orang gila.
Merapikan helaian rambut seputih salju, Warrington mengangkat bahu tanpa emosi. Menyumpahi kejelian mata Pucey, Warrington menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan utama yang sudah dipersiapkan sejak semula.
"Aku hanya gembira karena berhasil mengerjai anak-anak Gryffindork. Ketimbang Ravenyawn serta Huff and Puff, menjahili Gryffindork jauh lebih menyenangkan bukan?"
Sudut bibir Pucey membentuk seringai geli mendengar pelesetan nama asrama yang disebut teman sekamarnya. Merenggangkan tangan, Pucey mengatur tumpukan kartu yang akan dimainkan tengah malam nanti.
"Mengerjai Gryffindor tentu sangat, sangaaat menyenangkan," Pansy Parkinson meringkik puas, tanpa henti memuntir-muntir ujung rambut bob sampai seruncing taring Ular Basilisk. Menyenderkan kepala hitam kelam di pundak Draco Malfoy, Pansy meminum habis satu mug Butterbeer dingin sambil berceloteh riang.
"Sampai detik ini, aku tak bisa melupakan ekspresi wajah Potter saat ciuman pertamanya kurebut paksa. Aku benar-benar senang bisa membuatnya trauma," Pansy mendesah sembari melingkarkan tangan di lengan kanan Malfoy. Bergelantungan manja, Pansy tanpa malu-malu menyapukan lelehan Butterbeer di kemeja sekolah Malfoy.
Malfoy yang tak sadar kemeja elitnya dikotori Pansy mengisi ulang piala perak dengan botol Wiski Api kedua. Cegukan sekilas, mata abu-abu perak Malfoy memicing menatap Millicent Bulstrode yang berusaha membersihkan mulut dari sisa-sisa dragon tartare dengan meminum satu gentong Butterbeer.
"Bagaimana denganmu, Millie? Apa kau puas mencium Won-Won?" tanya Malfoy sarkastik, mentertawakan jongos gendutnya, Vincent Crabbe yang uring-uringan di belakang sofa. Maklumlah, sejak tahun pertama, Crabbe dan Millicent sudah berkencan dan berkasih-kasihan. Jadi, tak heran jika pemuda mirip gorila itu senewen berat saat pacar raksasanya mencium cowok sekerempeng Ron Weasley.
"Kalau bukan untuk membayar kekalahan, mana mau aku mencium bibir kurang gizi seperti dia," Millicent menjawab sambil lalu, melambaikan sebelah tangan yang sebesar batang pohon Dedalu Perkasa. Mengelus-elus bulu gelap kucing betina gemuk yang melingkar elegan di pangkuan, Millicent tanpa sungkan menenggak bejana Butterbeer kedua dengan sekali tegukan.
"Sejauh ini, aku yang paling sukses dong. Bayangkan, Longbottom langsung pingsan seminggu penuh. Ada gunanya juga aku menyantap ramuan tahi Doxy campur kotoran naga jamuran," Malfoy menghembuskan napas dengan bergaya. Menyelonjorkan kaki panjang yang terbungkus celana bahan gelap berpotongan mahal, pemuda berambut pirang platina itu memutar-mutar gelas Wiski Api dengan malas-malasan.
Menyembunyikan seringai geli di balik bibir gelas, Warrington berusaha keras menahan sedak tawa melihat kepatuhan boneka-boneka darah murninya. Boneka hidup yang dengan mudahnya didikte, persis seperti marionet, boneka yang digerakkan dengan permainan benang dan tali.
Bayangkan, kapanlagi bisa melihat penyihir sombong berdarah murni seperti Pansy Parkinson, Draco Malfoy dan Millicent Bulstrode merendahkan diri dengan melahap dragon tartare bercampur kotoran Doxy hanya untuk menuntaskan sepotong misi?
Misi yang pada akhirnya berujung ke satu target yang paling diinginkan selama ini.
Hermione Jean Granger...
"Kita tak bisa sembarangan menuduh, Hermione. Belum tentu dia pencetus kontes ciuman gila itu, bukan?"
Memutar bola mata, Hermione menjejalkan serangga dan telur peri ke mulut menganga Bowtruckle. Meletakkan makhluk penjaga pohon tongkat kayu sihir itu ke dalam kotak, Hermione memelototi Dean yang gelagapan rikuh.
"Pasti Malfoy pelopor permainan sinting itu, Dean. Siapa lagi sih yang suka berbuat onar dan gemar menjahili anak Gryffindor selain dia?" tuding Hermione, menunjuk Malfoy yang tengah berkutet membebaskan diri dari sekelompok Bowtruckle yang mencakari lengan jubah.
Menggosok-gosok leher belakang, Dean mengangkat bahu, enggan bersilat lidah dengan Hermione yang tengah terbakar amarah. Memang, sejak gagal mendapatkan ciuman pertama Ron, Hermione cenderung mudah meledak. Persis seperti Skrewt-Ujung-Meletup raksasa yang saat ini tengah dininabobokan Hagrid di sudut Hutan Terlarang.
"Kalau saja aku bisa menemukan bukti yang menyatakan Malfoy pelakunya, akan kupastikan lencana Prefek bajingan sialan itu dicabut," geram Hermione gemas, nyaris mencekik Bowtruckle kerempeng yang digenggamnya.
"Kelakuan, Granger. Kelakuan," suara bernada lambat dan diulur-ulur mengalun dari belakang punggung Hermione. Menegapkan tubuh, Hermione menengok cepat, berhadap-hadapan langsung dengan sosok flamboyan yang sangat ingin dicekiknya saat ini.
Menyodorkan Bowtruckle yang meronta-ronta marah ke arah Dean, Hermione menyilangkan tangan di depan dada. Mata cokelatnya memicing sengit menatap lencana Prefek Malfoy yang berkilap-kilap.
"Seharusnya kau yang menjaga kelakuan, Malfoy. Sebagai seorang Prefek, kau tak pantas menyebarluaskan permainan konyol itu."
Menautkan alis, memasang tampang pura-pura bingung, Malfoy merapikan jubah Hogwarts yang kusut gara-gara ditarik-tarik Bowtruckle. Mengapit di kiri dan kanan, dua tukang pukul Malfoy yang bertubuh gembur, Vincent Crabbe dan Gregory Goyle menjulang melingkar.
Sudah bisa dipastikan, kedua bocah kelebihan gizi itu berusaha menutupi perseteruan Malfoy dan Hermione dari mata kumbang Hagrid yang asyik membuai Skrewt-Ujung-Meletup di sudut gelap Hutan Terlarang.
"Permainan konyol? Permainan apa ya?" Malfoy menepuk-nepuk dagu runcing dengan jari telunjuk. Mata abu-abu keperakannya menyipit senang melihat gelombang emosi yang menguar dari akar rambut keriting Hermione.
"Jangan berlagak pilon, Malfoy! Kau kan yang merancang ide Permainan Mencuri Ciuman Pertama Berbonus Trauma dan Mulut Bau Naga?" tanpa sadar Hermione berteriak, membuat seluruh siswa Gryffindor dan Slytherin yang memadati pinggiran Hutan Terlarang terdiam kaget.
"Alamak, Hermione. Tolong jangan ingatkan aku lagi tentang kejadian itu," bisik Ron memelas, menyumpal mulut Bowtruckle dengan segepok telur peri berwarna putih keunguan.
Di dekat Ron, Harry mendelik kesal, memelototi Pansy Parkinson yang memonyongkan bibir ke arahnya, mengingatkan Harry akan insiden kurang ajar yang menimpanya beberapa hari lalu.
"Granger, Granger, Granger," ujar Malfoy, menirukan gaya bicara Profesor Gilderoy Lockhart yang centil bin tengil.
"Sayang sekali membuatmu kecewa. Tapi, bukan aku pembuat ide permainan spektakuler itu."
"Lalu siapa, Malfoy?" tanya Hermione habis sabar, sudah gatal untuk mempermak biang keladi keributan dengan kepalan tangan kosong.
"Cassius Warrington," sembur Goyle, berkuak nyaring saat tulang rusuknya disodok Malfoy. Sepertinya, keinginan Malfoy untuk memperulur kontroversi tak sejalan dengan otak sempit kroni gendutnya.
"Idiot, ngapain kau buka kartu secepat itu?" sungut Malfoy pedas, mengacak-acak rambut pirang keperakan klimis hingga hancur berantakan. Goyle yang dimarahi habis-habisan hanya bisa menunduk diam, menatap penuh minat gundukan telur peri yang teronggok di dekat kaki.
Menggeram tak jelas seperti manula berkumur-kumur, Malfoy beranjak pergi, disusul dua kompatriot yang terseok-seok kepayahan. Pansy yang melihat muka kecut Malfoy bergegas mendatangi pangeran idamannya itu. Berharap tuah kata-kata manisnya bisa melunturkan aroma suntuk yang membungkus pori-pori Malfoy.
"Cassius Warrington? Apa si bego Goyle tak salah sebut?" Dean berdecak tak percaya, memasukkan sekompi Bowtruckle galak ke dalam kotak kayu mawar. Mengangguk sekilas, Hermione mengerutkan dahi, mencerna informasi mengejutkan yang disampaikan Goyle barusan.
Jika dilihat dari segi kelogisan, kisikan Goyle sepertinya tak bisa dipertanggung jawabkan. Berbeda dengan Malfoy yang panjang akal dan licik, si kalem Warrington terbilang tak banyak mengumbar ulah.
Chaser tim Quidditch Slytherin itu juga jarang muncul di permukaan. Tak seperti sang Kapten, Marcus Flint maupun si Wakil Kapten, Adrian Pucey yang sering jadi sasaran mimpi basah dan gosip-gosip panas.
Selama lima tahun bersekolah di Hogwarts pun, Hermione jarang berbicara maupun bersirobok pandang dengan seniornya itu.
Satu-satunya percakapan singkat Hermione dengan Warrington hanya terjadi di toko buku Flourish and Blotts, lima tahun lalu. Komunikasi singkat itu pun tak banyak meninggalkan kesan bagi Hermione, kecuali bekas rasa malu yang mendera sampai sekarang.
Berkaca pada semua aspek tersebut, Hermione meragukan penyihir sederhana sekaliber Warrington bisa bertindak sebagai dalang permainan gila. Namun, sekuat apapun Hermione menepis praduga, gadis berambut mekar itu masih dicekam kemasygulan sewaktu mengingat reaksi heboh Malfoy ketika Goyle kelepasan bicara menyebut nama Warrington.
Seruan Hagrid agar anak didiknya segera meletakkan kotak Bowtruckle di rak penyimpanan menyadarkan Hermione dari kubangan lamunan. Menutup rapat tutup kotak Bowtruckle, Hermione bergegas menghampiri Ron dan Harry yang tengah bergulat melawan cakaran tiga Bowtruckle kelaparan.
Tak sadar sama sekali kalau setiap langkah kakinya diamati sepasang mata violet yang mengawasi dari balkon Menara Astronomi...
Bersandar santai di pagar balkon, Warrington mencermati kesibukan menghebohkan yang terjadi di bawah kaki Menara Astronomi. Memuntir-muntir helaian rambut ekor Unicorn layaknya mengendalikan boneka marionet, Warrington mengawasi salah satu boneka hidupnya, Gregory Goyle yang menguap lebar di dekat bonggol pohon lapuk.
Boneka hidupnya...
Ya, bukan cuma Goyle yang menjadi wayang Warrington tahun ini. Hampir seluruh anak Slytherin yang ikut dalam permainan kreasinya telah diubah menjadi bidak bernyawa yang dengan sukarela menjalankan semua titah sang baginda.
Menyeringai puas, Warrington menengadahkan wajah, menatap gumpalan awan seputih kapas yang berdansa di angkasa. Setelah bertahun-tahun menyandang talenta supranatural yang berbeda dari rekan sebayanya, baru kali ini Warrington berterima kasih atas keistimewaan darahnya.
Tak seperti penyihir biasa lain, Warrington terbilang spesial. Selain berstatus darah murni, pemuda berkulit bersih itu juga dialiri darah agung Unicorn, hewan legendaris yang dihormati masyarakat dunia sihir.
Percampuran darah yang terjadi sejak nenek moyang Warrington, gadis perawan tercantik di Skandinavia yang ditugaskan untuk memburu dan menangkap Unicorn malah jatuh hati dan menikahi hewan sihir berkulit seputih salju itu.
Dengan alasan menjaga keselamatan keturunan, percampuran darah itu dirahasiakan dari silsilah pohon keluarga. Pilihan yang terbilang realistis mengingat sejak ratusan tahun lalu, Unicorn yang tersohor sebagai medium hidup abadi sering diincar penyihir hitam untuk dibunuh dan diawetkan.
Kendati darahnya tak semujarab darah Unicorn yang bisa mengawetkan hidup manusia, Warrington tetap punya berbagai kemampuan khusus yang tiada dua. Di antaranya, ketajaman penglihatan yang mampu menembus kegelapan serta bakat mengendalikan perbuatan seseorang berbekal rambut ekor dan surai magis Unicorn.
Bakat yang sudah dipraktikkan sejak awal tahun ajaran September silam melalui permainan kartu sihir yang berlangsung setiap tengah malam di Ruang Rekreasi. Tentu saja kartu yang dimainkan bukan sembarang kartu melainkan kartu yang sudah ditempeli surai magis Unicorn. Rambut putih ajaib yang memungkinkan Warrington mengendalikan semua gerak-gerik korbannya.
Gelak tawa riang Hermione menyentakkan Warrington dari lingkaran imajinasi. Mengulas senyum jantan, Warrington menatap ke bawah, mencermati gadis mungil berhidung penuh bintik yang sudah menjadi obsesi terpendamnya sejak lima tahun lalu.
Tak mengalihkan tatapan sampai punggung Hermione menghilang di undakan Aula Depan, Warrington bergumam optimistik. Desahan yang sarat rasa percaya diri dan penuh dengan aura memiliki.
"Bersiap-siaplah, Cantik. Besok malam kau akan menjadi milikku selamanya..."
"Besok malam, permainan ini harus kita akhiri."
Gelombang buu dan huu mengalir deras menyusul pengumuman tak terduga tersebut. Mengulas senyum tipis menyaksikan ketidakpuasan teman-teman seasramanya, Warrington menyenderkan tubuh di bantalan sofa berlapis brokat hijau keperakan.
"Sebelum staf pengajar maupun Profesor Dumbledore mengambil tindakan terkait pengaduan anak-anak Gryffindor, mau tak mau kita harus berhenti di tengah jalan," lanjut Warrington lancar, menatap satu persatu wajah merengut yang bersimpuh patuh di hadapannya.
"Sepertinya, kita memang tak punya pilihan lain," Draco Malfoy yang duduk di samping perapian ikut ambil suara.
"Tadi pagi si Perfect Prefek Granger menuduhku sebagai pencetus permainan ini. Dia juga mengancam akan melaporkan tindakanku ke Profesor Snape," cetus Malfoy, melebih-lebihkan fakta yang dialaminya.
Mengangguk-angguk sepakat, tanpa banyak cakap Warrington meminta teman sekamarnya, Adrian Pucey untuk membagi-bagikan kartu sihir. Kartu yang jika disentuh membuat surai ajaib Unicorn Warrington menyatu ke dalam tubuh pemegangnya.
"Jadi, malam ini adalah malam terakhir permainan kita. Siapapun yang kalah di tengah malam ini harus mencium tumbal Gryffindor yang namanya muncul dari balik kartu," tukas Warrington, mengangkat kartu perak bergambar Unicorn kembar.
Diiringi bunyi gumam pelan dan denting jam yang berbunyi dua belas kali, permainan kartu tersebut pun dimulai. Sebenarnya, tak ada hal istimewa dalam permainan kartu yang dimainkan siswa Slytherin tahun kelima, keenam dan ketujuh itu. Satu-satunya pembeda mungkin hanya gambar hewan magis di kartu atau bonus ekstra surai sihir Unicorn transparan yang sudah ditempel Warrington di dalam kartu segi empat tersebut.
Saat jam di sudut ruangan menukik ke angka dua, pemain yang tersisa tinggal Warrington dan Pucey. Di malam-malam sebelumnya, Warrington memang bermain serius agar dirinya keluar sebagai jawara sehingga bisa memerintahkan lawan mainnya melakukan semua perintahnya, termasuk melumuri mulut dengan tahi naga sebelum berciuman.
Namun, berhubung malam ini merupakan malam penentuan tujuan, Warrington bermain asal-asalan, membuat Pucey menang telak untuk kali pertama.
"Tumben kau tak bersemangat, Cass. Biasanya permainanmu sulit dipatahkan," tutur Pucey sumringah, dengan bersemangat menggulung lengan kemeja putih untuk mengambil kartu Unicorn kembar yang bertuliskan nama calon korban bibir Warrington.
Berjuang menyembunyikan senyum setan, Warrington hanya mengangkat bahu. Berkilah dirinya terlalu letih gara-gara berlatih Quidditch seharian, pemuda berambut putih bersih itu meminta Pucey untuk segera membalik kartu penentuan.
Membalik kartu Unicorn keperakan, mata cokelat benderang Pucey membulat tak percaya. Desisan takjub pun keluar dari mulut sensual Pucey yang digilai gadis-gadis Hogwarts berotak waras.
"Hermione Granger? Astaga, aku tak mengira dia tidak pernah berciuman sama sekali," decak Pucey terkesima, terus memelototi nama Hermione seakan-akan tulisan nama tersebut terbuat dari deretan berlian kualitas tinggi.
"Wajar saja dong kalau si gigi panjang Granger tak pernah berciuman," timpal Pansy ketus. Menyibak rambut bob runcing ke belakang pundak, anjing jelek bersuara sumbang itu kembali menyambung ledekan.
"Siapa juga yang mau mencium penyihir kotor bermulut lumpur itu."
Memasukkan kepalan tangan ke saku jubah, Warrington menahan keinginan mencabik-cabik tubuh kerempeng Pansy sampai hancur lebur. Di saat-saat genting seperti ini, ia harus meminimalisir segala bentuk kecurigaan, termasuk tindak kekerasan brutal terhadap siapapun yang berani mengejek Hermione di depan mata kepalanya.
"Berarti besok malam aku harus mencium Granger?" tanya Warrington sok polos, menyembunyikan irama hati yang menari salsa. Menatap kamerad-kamerad setia yang mengangguk berulang kali, Warrington kembali berceloteh.
"Berhubung ini korban terakhir, kita tak perlu memakai kotoran naga," seru Warrington, mengangkat tangan untuk memotong ombak protes yang mengalir dari penonton di sekelilingnya.
"Tanpa tinja naga pun aku pastikan mulut Granger akan kering dan asam. Asalkan kalian bisa membawa tiga orang untuk tiba dan datang tepat pada waktunya," sambung Warrington, jemarinya dengan licik dan perlahan menjalin surai magis Unicorn di kantung jubah. Aktivitas tersamar yang membuat seluruh penghuni Ruang Rekreasi Slytherin langsung mengangguk-angguk patuh seperti gerombolan kerbau bego.
Menyambar gelas berisi Wiski Api, Warrington mengangkat piala dalam gerakan bersulang. Menyesap seteguk, pemuda berpostur jangkung itu memberikan komentar terakhirnya.
"Aku pastikan permainan terakhir besok akan jadi buah bibir di Hogwarts selama berbulan-bulan..."
"Kita tak perlu menunggu berbulan-bulan hanya untuk jadi bulan-bulanan bibir beracun Slytherin, Ron," semprot Hermione sengit, dengan brutal memasukkan lengan ke mantel panjang Hogwarts. Di samping Hermione, duduk bertengger di atas meja kayu murni, Ron tercenung lesu, memutar-mutar lencana Prefek dengan ogah-ogahan.
"Tapi, Hermione," timpal Harry, berjengit mundur melihat kilat galak di iris cokelat Hermione.
"Kau saja tak mendapat respon positif dari Profesor Dumbledore dan Profesor McGonagall. Lalu, kenapa kau berharap mendapat reaksi dari Snape yang jelas-jelas menganakemaskan murid asramanya sendiri?"
"Jangan menyerah sebelum mencoba, Harry," ujar Hermione sok bijak. Merapikan ikatan mantel hitam, Hermione membenahi keliman rok sekolah hingga rapi sempurna.
"Siapa tahu Profesor Snape mau menegur murid asramanya untuk menghentikan perbuatan kekanak-kanakkan itu," cetus Hermione penuh percaya diri.
"Mustahil, Hermione," cecar Ron tak mau kalah. "Itu seperti berharap Snape mau mengubah potongan rambut lepek minyak jelantah menjadi model mohawk."
Mohawk sendiri merupakan model rambut anak-anak jalanan, gaya rambut yang memotong habis bagian sisi kiri dan kanan hingga menyisakan bagian tengah.
"Ya sudah kalau kalian tak mau menemaniku!" bentak Hermione habis sabar. Melangkahkan kaki lebar-lebar, Hermione memanjat lubang lukisan Nyonya Gemuk sambil menggerundel, meninggalkan Ron dan Harry yang saling berpandangan salah tingkah.
Menghentak-hentakkan kaki di sepanjang koridor, aksi anarkis yang membuat lukisan hidup di selasar mencak-mencak karena jam tidur mereka terganggu, Hermione turun ke asrama Slytherin yang terletak di bawah tanah. Tak menyadari kalau semua pergerakannya dipantau dan dilaporkan lukisan ksatria gila Sir Cadogan yang berlari berkelontangan.
"Target sudah dataaang!" teriakan cempreng Sir Cadogan sempat membuat Hermione tersentak. Namun, belum sempat Hermione mencerna apa yang terjadi, sepasang lengan kekar menariknya dari balik pintu kelas yang sedikit terbuka.
Menggeliat dalam pasungan erat laksana gelang baja, Hermione mendengar penyanderanya merapalkan Mantra Lumos. Dalam sekejap, sinar putih kecil muncul dari ujung tongkat sihir, membuat Hermione bisa mengenali profil penyihir yang nekat menyekapnya tanpa permisi.
"Cassius Warrington..." desis Hermione tercekat, terus berjuang melepaskan diri dari dekapan posesif Warrington.
Menyibak rambut gelombang Hermione, Warrington menundukkan wajah, mencium lembut leher dan tulang selangka Hermione. Menggigit bibir untuk menahan erangan yang menuntut keluar, Hermione berupaya membebaskan diri. Perjuangan yang berujung sia-sia sebab Warrington menambah daya cengkeraman.
"Lepaskan aku, Warrington!" geram Hermione, sedikit tercekat saat jari-jari kokoh Warrington menyusup posesif di ikal rambutnya yang megar ke sembarang arah.
"Kau tak akan pernah kulepaskan, Cantik," bisik Warrington pelan. Hembusan napas hangatnya menembus masuk pori-pori leher Hermione, membuat perut Hermione berdesir seperti disesaki ribuan kupu-kupu.
"Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya aku mendapatkanmu," desah Warrington, mengulum dan mencium telinga Hermione dengan penuh kelembutan. Membelai lekukan leher Hermione dengan ujung jari, Warrington membalik tubuh Hermione, membuat posisi wajah mereka menjadi berhadap-hadapan.
Kendati penerangan di ruang kelas bawah tanah itu terbilang minim, Hermione menyadari tatapan intens dan panas yang menguar dari iris lavender Warrington. Jantung Hermione berayun-ayun seperti pendulum ketika menyadari cara Warrington menatapnya. Tatapan sarat kepemilikan yang absolut dan tak bisa diganggu gugat.
"Kau tercipta hanya untukku, Hermione. Kau milikku. Selamanya milikku," suara halus Warrington mengalun di udara, berdenting bening seperti alunan musik menghipnotis.
Tertegun menatap tarian api violet di mata Warrington, Hermione tak bisa bertindak cepat saat tubuhnya dibaringkan di atas permukaan meja kayu yang keras dan dingin. Membuka kedua kaki Hermione dengan paha kekarnya, Warrington menyapukan hidung mancungnya di pucuk hidung mungil Hermione.
"Tunggu, Warrington. Aku-"
Protes Hermione teredam ketika Warrington melumat bibirnya dengan penuh gairah. Memiringkan kepala, Warrington terus memperdalam ciuman panas yang menghanyutkan.
Dicium posesif seperti itu membuat otak Hermione berputar seperti komidi putar. Seiring dengan setiap pagutan, ketegangan di tubuh Hermione menghilang, digantikan gelenyar aneh yang baru pertama kali dirasakan seumur hidupnya.
Dibelenggu perasaan nyaman yang baru pertama kali dikecap, Hermione tak bisa mencegah saat jemarinya merayap naik, membelai dada bidang Warrington yang terbalut kemeja putih sekolah. Merasakan sentuhan jemari tak berpengalaman Hermione di tubuhnya, Warrington mendesah dan mengerang rendah.
Terus menguasai bibir Hermione dengan ciuman liar yang memabukkan, jari-jari Warrington dengan terampil membuka kaitan mantel serta kancing kemeja sekolah Hermione. Langsung menampakkan lekuk pemandangan indah yang membuat Warrington tak bisa membendung gelombang geraman maskulin.
Sebelum Warrington sempat menikmati berkah menggiurkan yang tersaji, teriakan kaget Profesor McGonagall menyadarkan Hermione dari trans memusingkan yang melanda.
"Oh ya ampun, Miss Granger!"
Mengumpat pelan karena tak berpikir untuk memperpanjang waktu pemanggilan para guru, Warrington merapikan baju Hermione dengan jentikan tongkat sihir. Mengangkat tubuh, Warrington mengulurkan tangan untuk membantu Hermione berdiri. Sodoran tangan yang langsung ditepis kasar oleh Hermione yang mengejang terbakar malu.
Memandang dari balik bulu mata, Hermione meringis ketika mendapati ruang kelas bawah tanah yang tadinya kosong melompong kini dipadati banyak penghuni. Di ambang pintu yang terbuka lebar, Profesor McGonagall berdiri terperangah, diapit Profesor Snape yang cemberut serta Profesor Dumbledore yang tersenyum penuh arti.
Di belakang ketiga guru, puluhan anak Slytherin dari berbagai angkatan menjulurkan kepala, berusaha melihat lebih jelas ke dalam ruang kelas.
"Apa ini termasuk salah satu permainan yang kau ributkan, Miss Granger?" Profesor McGonagall bertanya tajam. Manik hijau galaknya yang dibingkai kacamata berbingkai tipis menyipit tegas, tampak tak suka dengan proyeksi salah satu anak didik kesayangannya menjadi korban kejahilan murid Slytherin.
"Er... anu," gagap Hermione, tak bisa merangkai jawaban tepat atas situasi yang membelitnya. Jika ia menyatakan diri sebagai korban, hal itu tak sepenuhnya benar. Sebab, selain minus bau mulut naga, Hermione juga menikmati momen ketika dirinya dicium Warrington. Tak seperti Ron, Harry dan Neville yang keok saat dipatok Malfoy dan kawan-kawan.
"Miss Granger, apa kau bisa menjelaskan kenapa kalian berdua tertangkap basah berkencan di ruang kelasku?" suara dingin Profesor Snape membuat suhu kelas bawah tanah semakin anjlok ke titik beku. Memandang remeh Hermione dari balik hidung bengkok berminyak, Profesor Snape mengetuk-ngetukkan tongkat sihir di pinggiran jubah hitam yang berkelepak-kelepak.
Hermione hampir pingsan di tempat mendengar penjabaran Profesor Snape. Hermione sama sekali tak menyangka kalau ruang kelas yang dimasukinya merupakan ruang kelas Ramuan. Ruang studi dan lokasi bersemedi yang sangat diagung-agungkan serta amat dikeramatkan oleh Profesor Snape.
Melirik sengit ke arah Warrington yang jelas-jelas menampakkan kepuasan khas laki-laki, Hermione berdeham kikuk. Meremas-remas jari di ujung mantel, Hermione menjelaskan kalau sesungguhnya ia hendak pergi ke kantor Profesor Snape di ujung koridor untuk melaporkan permainan sinting anak-anak Slytherin.
Keisengan yang disebut Hermione Permainan Mencuri Ciuman Pertama Berbonus Trauma dan Mulut Bau Naga.
"Apa ciuman barusan itu ciuman pertamamu, Miss Granger?" Profesor Dumbledore yang sedari tadi hanya tersenyum jenaka mendadak membuka suara. Mengusap-usap ujung jenggot panjang yang bersinar keperakan, mata biru cerah Profesor Dumbledore bersinar-sinar gembira.
"Sepertinya, kau tidak terkena trauma, Miss Granger. Kami melihat kau sangat menikmatinya," jejak senyuman jelas-jelas tercetak dari pernyataan Kepala Sekolah Hogwarts yang paling disukai dan dihormati itu.
"Indeed," balas Profesor Snape dingin, memicing galak menatap paras Hermione yang semerah apel matang pohon.
Disertai senyum pengertian, Profesor Dumbledore memutuskan mengakhiri perdebatan, tak menghiraukan cerocosan penjaga sekolah Argus Filch yang ngotot menjatuhkan sanksi digantung terbalik seperti kelelawar tidur di batang terbesar pohon Dedalu Perkasa.
"Oh sudahlah, Argus. Mereka hanya remaja yang terlibat cinta. Masalah ini jangan terlalu dibesar-besarkan," ujar Profesor Dumbledore tenang, menepuk-nepuk pundak ringkih Filch yang menggerung gusar.
Sebelum Profesor Dumbledore membalikkan tubuh, Hermione sempat melihat penyihir berusia lanjut itu mengedipkan sebelah mata. Rasa malu yang menggunuk membuat Hermione tak mampu mengartikan kedipan mata beraura konspirasi itu.
Mengalihkan perhatian dari sosok Profesor Dumbledore yang berjalan sambil bersiul-siul, Profesor McGonagall memperhatikan Hermione dengan intens. Sedikit sinar kecewa terbersit di kedua mata kucingnya yang memicing.
"Miss Granger, sebagai Prefek Gryffindor, aku mengharapkan hal terbaik darimu. Bermesraan di ruang kelas sangat tidak patut apalagi dilakukan oleh seseorang yang seharusnya jadi suri tauladan sepertimu," Profesor McGonagall berkotbah dalam satu tarikan napas.
"Tapi, Profesor-"
"Untuk itu, dengan sangat menyesal aku terpaksa memotong dua puluh angka dari Gryffindor," Profesor McGonagall menyela tajam, memotong aneka sanggahan dan bantahan Hermione.
Wajah Hermione memucat mendengar keputusan Kepala Asramanya. Pantat Merlin! Ancaman digunjingkan seisi sekolah karena ketahuan berciuman di meja Profesor Snape saja sudah cukup buruk. Apalagi ditambah dengan sanksi pemotongan nilai. Bisa-bisa besok pagi ia dikeroyok karena menggagalkan impian rumah asrama Gryffindor untuk merebut Piala Asrama tahun ini.
"Tapi, Profesor..."
"Miss Granger," suara berbahaya Profesor Snape menghentikan protes Hermione. Menengok takut-takut, Hermione memberanikan diri menatap mata hitam Profesor Snape yang berkilat licik.
"Detensi besok malam dan potong lima puluh angka dari Gryffindor karena mengotori mejaku," ungkap Profesor Snape tegas, menyeringai keji saat gelak tawa murid Slytherin mengiringi ultimatumnya.
Jika tak mengingat risiko kehilangan lencana Prefek yang sangat diagung-agungkan, Hermione mungkin sudah memutilasi gerombolan Slytherin yang menjengek di balik punggung Profesor Snape. Menghela napas kalah, Hermione bergegas menyusul Profesor McGonagall yang sudah berjalan mendahuluinya.
Belum sempat beranjak lebih jauh, langkah layu Hermione terhenti ketika suara fals Pansy Parkinson melengking nyaring di dekat kupingnya.
"Oooh, apa kalian melihat wajah tololnya tadi? Mulut bau lumpur si jalang darah beracun itu benar-benar mengering sampai tak bisa berkata apa-apa. Kau benar, Cass. Pertunjukan terakhir ini benar-benar heboh!"
Menengok dari balik pundak, Hermione menatap Warrington dengan sorot sakit hati. Rupanya, sejak semula Warrington sudah memplot dirinya sebagai mangsa empuk edisi penutup.
Memandang Warrington dengan manik berkilauan karena air mata tertahan, Hermione berjuang mengendalikan emosi. Gumaman lirih pun terlahir dari perasaan sakit yang berkecamuk.
"Jadi, inikah balasanmu, Cassius Warrington? Mempermalukanku seperti aku mempermalukanmu lima tahun lalu?"
Memutar tumit dengan kecepatan tinggi, Hermione berlari menyusuri koridor bawah tanah. Tak menyadari getar kesedihan yang berpijar di kedua mata ungu gelap Warrington...
"Pasti dia gelap mata sampai berani bercinta di meja Profesor Snape."
"Padahal dia Prefek favorit para guru, tapi kok hobi berbuat mesum begitu?"
"Berani juga dia, memakai meja Profesor Snape yang angker untuk ajang begituan."
Mengangkat dagu setinggi gedung pencakar langit, Hermione melenggang angkuh melewati barisan anak Hufflepuff dan Ravenclaw yang berbisik-bisik menggosipkan dirinya.
Sesuai dengan asumsi, kejadian kemarin malam langsung jadi bahan pembicaraan hangat di seantero Hogwarts. Semakin spektakuler dan berkibar-kibar setelah dikipasi kabar burung yang bukan-bukan.
"Bercinta apaan," dengus Hermione suntuk, menyingsingkan lengan baju untuk memulai proses detensi yang dijatuhkan Profesor Snape.
"Cuma ciuman kok disebut bercinta. Sepertinya mereka perlu diberi korek kuping ekstra," Hermione mencerocos sendirian, bertopang dagu menunggu instruksi dari Profesor Snape yang tengah sibuk mencatat di atas permukaan meja kayu ek gelap.
Semburat merah mewarnai pipi Hermione saat matanya menelusuri struktur meja keras tersebut. Meja tempat di mana dirinya menikmati bara api ciuman pertama yang memabukkan.
Sebelumnya, Hermione selalu mengira akan mengalami ciuman pertama yang manis dan syahdu. Tapi, ciuman semalamnya bersama Warrington jauh dari kata polos dan lugu. Ciuman membara yang diberikan Warrington tak ubahnya kecupan nakal dan dalam yang membuatnya terbakar nyala gairah sampai ke sumsum tulang.
Dehaman seram Profesor Snape memutus imajinasi Hermione tentang ciuman pertama yang mendebarkan. Menundukkan wajah untuk menyembunyikan pipi yang panas memerah, Hermione menunggu vonis yang akan dijatuhkan guru Ramuan-nya.
"Tugasmu kali ini membersihkan usus kodok dan hati buaya, Miss Granger. Tanpa sihir," tekan Profesor Snape, menunjuk gundukan usus kodok dan hati buaya segar yang masih berdengap.
"Tanpa sarung tangan juga," tambah Profesor Snape lancar, menyeringai menyebalkan melihat dahi Hermione yang mengernyit.
Menyimpan kembali sarung tangan kulit naga ke dalam ransel sekolah, Hermione mengempiskan lubang hidung, mencoba membendung bau anyir memuakkan yang meruap dari tumpukan hati buaya dan usus kodok.
"Masih untung dia tak menugaskanku menangkap dan mengambil hati Anaconda," bisik Hermione, mencoba menghibur dan menenangkan diri sendiri. Anaconda sendiri merupakan ular terbesar dan terpanjang di dunia. Reptil raksasa yang tak segan-segan memakan manusia sebagai camilan sehari-hari.
Di dua jam berikutnya, Hermione terus bergumam pelan, tanpa henti menyemangati diri selama membersihkan organ dalam kodok dan buaya yang tidak ketulungan banyaknya. Setelah seratus dua puluh menit yang menyiksa, Hermione akhirnya bisa menyelesaikan tugas dengan sempurna.
Menatap hati buaya dan usus kodok yang sudah berbaris rapi di dalam toples, sudut bibir Profesor Snape meliuk puas. Melambaikan tangan seakan mengusir kecebong nyasar, Profesor Snape menyuruh Hermione untuk menghilang dari hadapannya detik itu juga.
Mengucapkan terima kasih dengan ogah-ogahan, Hermione menutup pintu ruang kelas Ramuan. Merayap di sepanjang koridor bawah tanah yang berpenerangan seadanya, Hermione merapalkan Mantra Tergeo dan Scourgify untuk membersihkan sisa-sisa usus kodok yang menyelip di ujung kuku.
Kesibukan membersihkan jejak menjijikkan membuat Hermione lengah dan tak bisa berkutik ketika tubuhnya ditarik ke balik koridor sempit. Meski punggungnya terjepit di antara tembok batu dingin dan dada sekokoh baja, Hermione bisa menebak siapa penyihir edan yang berani memasungnya seperti ini.
Ya, siapa lagi kalau bukan si dalang pencuri ciuman. Cassius Warrington...
"Cassius Warrington," desis Hermione bengis. "Kenapa kau tak kapok mengerjaiku sih? Bukannya permainan untuk mempermalukanku sudah tamat kemarin malam?"
Meletakkan kedua lengan kuat di samping kepala Hermione, Warrington tanpa sungkan merapatkan tubuh. Membuat Hermione terjerat sepenuhnya dalam kendalinya.
"Aku tak pernah berniat mempermainkanmu, Cantik," ujar Warrington lembut, mencium tulang alis Hermione yang merengut. Menurunkan tangan kiri, Warrington menangkup pinggang Hermione, membawa tawanan kecilnya semakin mendekat ke arahnya.
"Hah! Gara-gara ciuman konyolmu, aku terkena detensi membersihkan usus kodok dan hati buaya secara manual," geram Hermione, menyesali keputusan membersihkan ujung kuku dengan mantra sihir. Jika saja jarinya belum dicuci bersih, detik ini juga Hermione pasti sudah menjejalkan buku jari dan kuku-kuku beracun ke dalam mulut Warrington.
"Ciuman konyol? Itu bukan ciuman konyol, Hermione," bisik Warrington, menangkap cuping kuping Hermione dengan sapuan bibir. Menyesap dan menggigit lembut, cumbuan terlatih Warrington mengirimkan getaran elektrik ke sel-sel terkecil Hermione.
"Ya, ciuman konyol," tampik Hermione sengit, mencoba menyembunyikan respon tubuh terkait posisi intim mereka saat ini.
"Seharusnya ciuman pertamaku itu dengan Ron, bukannya denganmu!"
Hermione memekik kaget ketika Warrington menghempaskan tubuh ke tubuhnya, menciuminya dengan liar dan ganas. Terbelenggu dalam dekapan tubuh kekar Warrington, Hermione hanya bisa mengerang pelan saat seniornya memperdalam ciuman. Meninggalkan jejak membakar di seluruh saraf dan aliran darah.
"Apa ini masih bisa disebut ciuman konyol, Hermione?" Warrington menggeram di sela-sela pagutan panas yang tak kenal ampun. Menjilat bibir bawah Hermione, Warrington kembali menaklukkan bibir Hermione, membuat kedua lutut Hermione lemas seperti tak bertulang.
"Apa ciuman Ron Weasley sebanding dengan ciumanku, Hermione?" desah Warrington, menyusuri lekuk bibir Hermione dengan penuh kelembutan. Menyaksikan Hermione terpana melihat aura seksualitas predator yang melesak dari tubuhnya, Warrington tak bisa mengendalikan diri lebih lama lagi.
Keinginan menghapus bayangan Ron Weasley dari hati Hermione membuat pemuda berambut seputih Unicorn itu kembali menghujani Hermione dengan lumatan ciuman panas, bernafsu dan berbahaya.
"Beginilah rasanya saat seseorang menginginkanmu sepenuh hati, Hermione," ujar Warrington serak di sela-sela ciuman hebat yang seolah tanpa akhir.
"Beginilah rasanya saat seseorang bersedia melakukan apapun untuk mendapatkanmu, Cantik."
Terombang-ambing dalam debur perasaan janggal yang membuat tubuh mabuk kepayang, Hermione tanpa sadar mengalungkan lengan di leher Warrington. Berjinjit untuk mengantisipasi perbedaan tinggi badan yang menyolok, Hermione membalas ciuman Warrington dengan bersemangat.
Antusiasme Hermione membuat Warrington tertawa pelan. Resonansi gelak halusnya mengirimkan getar yang membuat jantung Hermione berdebar-debar. Mengakhiri ciuman, Warrington menatap Hermione dengan sorot mendamba.
Menyurukkan bibir ke telinga Hermione, Warrington bergumam berulang-ulang. Membisikkan kalimat pemujaan yang sarat aroma kepemilikan.
"Hermione... Hermione... gadisku yang cantik. Milikku... milikku selamanya."
Tak urung kalimat frasa penuh cinta itu membuat mata Hermione berkaca-kaca bahagia. Selama lima belas tahun berkelana di dunia, baru kali ini Hermione merasa dirinya sangat diinginkan. Sejak masa pubertasnya, baru kali ini ia dipeluk, dicium, dibelai serta diperlakukan dengan penuh gairah kelembutan dan kasih sayang.
Mengangkat wajah, Warrington mencermati setiap detail wajah gadis yang sudah mencuri dan menguasai hati. Hermione menelan ludah ketika melihat garis bibir Warrington yang melembut saat menatapnya. Sorot pemujaan tanpa akhir yang membuat Hermione nyaris melupakan kemarahannya atas ulah usil kakak kelasnya.
Yup, nyaris. Sebelum akal sehat Hermione mengambil alih tali kendali.
Mendorong pelan dada bidang Warrington, Hermione mencoba menjauh dari seniornya. Menautkan kedua alis dengan bingung, Warrington dengan berat hati menggeser badan, memindahkan bobot tubuhnya yang sedari tadi menghimpit Hermione.
"Kenapa, Cantik? Apa yang membuatmu risau?" Warrington bertanya galau, menatap kerut-merut yang muncul di antara lengkung alis Hermione.
"Sebenarnya, apa maksudmu mencuri ciuman dariku tadi malam dan sekarang? Apa itu merupakan ajang balas dendam karena lima tahun lalu aku mempermalukanmu di toko buku Flourish and Blotts?" sembur Hermione, tak bisa lagi menyembunyikan keingintahuan yang meraja.
Tersenyum membesarkan hati, Warrington merapikan kerut di antara alis Hermione dengan ibu jari. Membuka salah satu pintu kelas kosong dengan Mantra Alomohora, Warrington membawa Hermione masuk ke dalam ruangan temaram. Membimbing perlahan, Warrington mendudukkan Hermione yang merengut masam di salah satu meja persegi panjang.
Menatap raut penasaran Hermione, Warrington tanpa membuang waktu membuka kartu. Membongkar rencana permainan yang disusun hanya untuk mendapatkan perhatian dan cinta Hermione. Gadis cantik yang sudah mengisi sukma sejak pertemuan pertama mereka lima tahun lalu.
Saat Warrington dengan gamblang dan terus terang menjelaskan asal-usul ide permainan mencuri ciuman pertama tersebut, Hermione hanya bisa terpana.
Mulut menganga Hermione kian terbuka lebar tatkala Chaser Slytherin itu mengungkapkan jati diri sebagai penyihir yang dialiri darah istimewa Unicorn. Darah dan talenta spesial yang membuat Warrington bisa dengan leluasa mengendalikan perilaku siswa Slytherin yang terlibat permainan kartu bersamanya.
"Tuyul Gila! Sejak semula aku heran mengapa makhluk sombong seperti Draco Malfoy, Pansy Parkinson dan Millicent Bulstrode dengan ikhlas dan sukarela melumuri mulut mereka dengan tahi naga bercampur kotoran Doxy. Rupanya, mereka semua dikendalikan olehmu ya," seru Hermione, menepuk dahi dengan tapak tangan keras-keras.
Menyipitkan mata, Hermione menatap Warrington yang cengar-cengir polos seperti bocah tak berdosa. Hermione mungkin tak keberatan Malfoy muntah-muntah saat harus memakan tahi naga, tapi bagaimanapun juga, Harry, Ron dan Neville juga kena getahnya gara-gara skenario sinting tersebut.
"Seharusnya kau tak perlu sejauh itu, tahu! Kasihan Ron, Harry dan Neville. Mereka sampai trauma dan sekarat di Ruang Kesehatan gara-gara berciuman pertama kali dengan manusia bau naga!" gerutu Hermione kesal, menyilangkan lengan di depan dada.
Menepuk dagu Hermione dengan jari telunjuk, Warrington tersenyum lebar. Bagi Warrington, perintah memakan tahi naga sebelum berciuman itu memiliki manfaat ganda. Membalas dendam atas tindakan barbar geng Malfoy pada Hermione sekaligus sebagai bentuk pelampiasan kekesalan pada tiga remaja laki-laki yang akrab dengan Hermione.
"Seperti yang tadi kubilang, Cantik. Aku akan melakukan apapun untuk merebut dan mendapatkan perhatianmu seutuhnya," Warrington mengulas senyum predator, mengawasi Hermione dari atas dan bawah dengan tatapan seorang pemangsa.
Ditatap penuh hasrat seperti itu membuat sekujur tubuh Hermione bergelenyar. Demi rambut minyak curah Snape, apa benar Warrington keturunan kuda sihir macam Unicorn? Dengan insting dan tindak-tanduk predator seperti ini, Hermione malah lebih percaya jika Warrington mengumumkan dirinya sebagai keturunan macan kumbang.
"Jika aku tak melakoni permainan ini, aku tak punya kesempatan untuk menciummu, Cantik," gumam Warrington, merutuki permusuhan antar asrama yang membuat peluang terjadinya asmara nihil alias nol besar.
Melihat bibir Hermione menyiratkan senyum pengertian dan pemahaman, Warrington mendesah lega. Mendekap Hermione dengan protektif ke dadanya, Warrington mensyukuri respon lunak Hermione atas tindakan anarkisnya selama ini.
Tadinya, Warrington tak berharap Hermione yang keras kepala dan bertekad baja mau memahami secepat itu. Tadinya, Warrington sudah siap menghadapi kemurkaan dan caci-maki Hermione yang keberatan teman baik dan dirinya dijadikan objek permainan.
Namun, ketakutan tersebut rupanya tak beralasan sebab saat ini gadis yang paling diinginkannya melumer di dalam pelukan posesifnya.
"Tentang insiden di toko buku Flourish and Blotts, aku tak pernah menyimpan dendam padamu, Hermione," bisik Warrington, menempelkan pipi di puncak rambut megar Hermione yang wangi beraroma.
"Aku malah berterimakasih pada Tuhan karena mempertemukanmu denganku saat itu," ujar Warrington lugas, membingkai pipi Hermione dengan kedua telapak tangan.
Memandangi riak cinta di manik ungu Warrington, Hermione seolah terlempar ke masa lalu. Ke masa lima tahun jelang tahun ajaran pertama di Hogwarts...
Kala itu, Hermione yang baru mengetahui identitas barunya sebagai penyihir sangat bersemangat menjelajahi seantero Diagon Alley, pusat perbelanjaan kaum penyihir yang terletak di pusat kota London.
Setelah memborong baju dan perkakas sekolah, tiba saatnya bagi Hermione untuk membeli buku sekolah. Di toko buku Flourish and Blotts itulah Hermione berjumpa dengan Warrington yang tengah duduk berbincang akrab dengan dua teman laki-lakinya.
Melihat rambut putih Warrington, Hermione yang penuh rasa ingin tahu berteriak nyaring sambil memegangi kepala Warrington yang duduk membelakangi.
"Lihat, Mom. Kasihan sekali anak laki-laki ini. Masih muda tapi sudah ubanan seperti ini."
Tak pelak teriakan lantang Hermione membuat seisi toko buku yang penuh pengunjung meledak dalam gelak tawa. Hermione yang tak menduga bahwa di dunia sihir keberadaan manusia muda berambut seputih salju merupakan hal yang lazim hanya bisa tercekat ketika Warrington menengok dan menatap intens dari atas ke bawah.
Kala itu, Hermione menyangka tatapan menyeluruh itu merupakan reaksi kekesalan Warrington atas komentar menyengat barusan. Apalagi dua sobat Warrington yang belakangan diketahui Hermione sebagai Adrian Pucey dan Marcus Flint tak henti-hentinya mengejek Warrington sebagai kakek-kakek ubanan.
Menyembunyikan rasa malu dan segan, Hermione langsung berlari keluar toko buku tanpa meminta maaf atas ucapan menyakitkan yang tak beralasan...
"Untunglah, kupikir kau membenciku karena menyebutmu cowok ubanan. Saat itu, aku benar-benar tak tahu kalau penyihir memiliki banyak warna rambut yang beraneka ragam," gumam Hermione, membenamkan wajah dalam pelukan hangat Warrington.
"Aku tak pernah membencimu, Hermione. Aku malah bersyukur kau nekat menyentuhku saat itu," urai Warrington, menepuk-nepuk punggung Hermione dengan penuh kelembutan.
"Saat kau memegang rambutku, aku langsung tahu bahwa kau adalah belahan jiwaku. Seperti yang tersirat dalam legenda bahwa hanya gadis perawan dan pasangan hidup sajalah yang bisa menyentuh tubuh Unicorn," ungkap Warrington, mengangkat dagu Hermione dengan ibu jari dan telunjuk.
Pipi Hermione memanas di bawah tatapan Warrington yang tajam dan penuh kasih. Sebagai seorang pencinta cerita legenda, Hermione tentu tahu seluk-beluk dongeng Unicorn. Makhluk mitologi legendaris yang menjadi simbol cinta dan pernikahan setia yang abadi.
Membenamkan kembali mukanya di dada Warrington, Hermione meresapi kenyamanan yang membungkus perlahan-lahan. Sepanjang hidupnya, Hermione tak pernah merasa sedekat ini dengan seseorang. Begitu lekat dan intim seakan-akan mereka sesungguhnya adalah satu orang yang berbagi satu denyut jantung.
Sekelebat kesadaran mengusik keromantisan atmosfer hati Hermione. Menengadahkan wajah, Hermione menatap wajah rupawan Warrington yang secerah cahaya langit musim panas.
Meski Hermione berusaha menutupi keresahan, insting tajam Warrington tak bisa dikelabui. Sadar gadis dalam pelukannya sedang serius memikirkan sesuatu, Warrington mengulas senyum persuasif, membujuk Hermione untuk membuka hati dan menceritakan semua masalah pada dirinya.
"Kenapa mukamu merengut begitu, Cantik?"
Memainkan kancing kemeja putih Warrington, Hermione menyuarakan semua kekhawatiran. Rasa cemas yang membuat Hermione makin menyadari arti penting dan keberadaan Warrington bagi dirinya.
"Apa pemakaian surai Unicorn untuk mengendalikan orang tak termasuk tindakan ilegal? Bukannya itu sama saja dengan Kutukan Imperius? Bagaimana jika Profesor Dumbledore tahu? Kau bisa dikeluarkan dari Hogwarts, Warrington," Hermione menyemburkan semua kekalutan tanpa jeda, membuat senyum maklum Warrington semakin melebar.
"Jangan panik, Cantik. Profesor Dumbledore sudah tahu kemampuan alamiahku, kok. Dia bahkan mendukungku untuk mendapatkan cintamu sepenuhnya," jawab Warrington gamblang, membuat mata cokelat Hermione membulat sebesar roda pedati.
"Profesor Dumbledore tahu dan menyokongmu?" teriak Hermione takjub, mengingat-ingat kembali kedipan mata sarat konspirasi yang dilayangkan Profesor Dumbledore di malam dirinya tertangkap basah berciuman mesra di atas meja Profesor Snape.
"Benar sekali, Hermione. Hal yang aku lakukan tak ilegal kok. Yah, cuma sedikit ngawur saja," tukas Warrington, tergelak halus ketika mulut Hermione mengerucut cemberut.
"Bukan sedikit! Banyak! Kau sudah membuat teman-temanku heboh dan trauma."
"Wah, wah, wah, di mana sifat pemberani dan pantang menyerah khas anak Gryffindor? Aku yakin ketiga teman baikmu bisa melupakan momen ciuman pertama mereka yang seperti neraka dengan sempurna," ujar Warrington sok yakin, menciumi puncak kepala Hermione dengan bertubi-tubi.
Menghembuskan napas, Hermione memilih mengalah dan tak memperpanjang masalah. Warrington memang benar. Sebagai penghuni Menara Gryffindor, Harry, Ron dan Neville memang punya kekuatan tekad untuk melepaskan diri dari trauma masa lalu.
Menyenderkan kepala di rengkuhan lengan Warrington, menikmati kekokohan tubuh yang menimangnya dengan lembut, Hermione memejamkan mata rapat-rapat. Meski kelopak mata tertutup, Hermione masih bisa merasakan pandangan Warrington yang membakar. Tatapan panas seorang kekasih yang mau tak mau membuat degup jantung Hermione kembali bertalu-talu.
"Jangan cemas begitu, Hermione. Aku sudah berjanji pada Profesor Dumbledore untuk menghentikan sihir surai Unicorn begitu aku berhasil mendapatkanmu. Jadi, kau tak perlu takut aku akan ditendang keluar dari kastil Hogwarts," bisik Warrington menentramkan, salah mengartikan detak jantung Hermione sebagai simbol kekhawatiran berlebihan.
Menggeleng lemah, Hermione menarik napas dan menghembuskan pelan-pelan. Bergumam lirih, Hermione mengungkapkan pengakuan bahwa dirinya sama sekali tak menyangka Warrington sampai berbuat nekat sejauh itu hanya untuk menyita perhatiannya.
"No pain no gain, Cantik. Tak ada hasil tanpa ada perjuangan," Warrington menjawab enteng. Menyusuri ubun-ubun Hermione dengan usapan bibir, Warrington bergumam parau.
"Selain itu, jika aku bisa menciummu, aku yakin bisa mendapatkan hatimu. Seperti prinsip yang aku junjung selama ini. Dari bibir turun ke hati."
Mendengar dengusan tak anggun Hermione, Warrington menaikkan sebelah alis. Binar nakal berkelap-kelip di manik ungu berkilatnya. Pijar sensual yang membuat deru napas Hermione berubah panjang pendek.
"Kau tak percaya ya, Cantik? Kalau begitu biar kubuktikan," sela Warrington, mendorong tubuh Hermione ke permukaan meja kayu.
Menutup kikik halus Hermione dengan lumatan bibir, Warrington dengan bersungguh-sungguh membuktikan kebenaran prinsip hidup yang dianutnya...
"Aku penganut prinsip hari esok harus lebih baik dari hari ini, Hermione," ujar Ron bangga, membusungkan dada seperti ayam jago menang pacuan.
"Daripada berkutat memikirkan bibir tebal berliur Millicent Bulstrode, aku memilih menghapus memori busuk itu dengan kenangan manis lain yang tak kalah sedap," tutur Ron malu-malu, melirik Lavender Brown yang menggelayut lengket di lengan kanan.
Seisi Ruang Rekreasi yang tadi bising seperti pasar pagi langsung hening menyusul pemberitahuan tersebut. Sejumlah mata saling melirik cemas, berharap tak terjadi pertumpahan darah di ruang luas berpemadani merah marun itu.
Ketakutan bakal meledaknya aksi saling bunuh bukan khayalan paranoid semata. Bagaimanapun juga, sinyal ketertarikan Hermione pada Ron sudah terlihat sejak tahun lalu. Jadi, bukan tak mungkin gadis cerewet berambut gelombang yang tengah menguap lebar itu mengamuk tak terkendali mendengar pernyataan kontroversial tersebut.
"Ow, jadi maksudmu, kau memupus kenangan akan ciuman Millicent Bulstrode dengan cara berciuman sepanjang waktu bersama Lavender? Teman kencan dan pacar barumu itu?" tanya Hermione sambil lalu, menutup kembali buku Tanda-tanda Kematian dengan sentakan pelan.
Menepuk-nepukkan jari di lengan kursi, Hermione mengawasi Ron dan Lavender yang saling pandang terpesona. Sepanjang bulan ini, Hermione dan anak-anak Gryffindor lain memang harus membiasakan diri menyaksikan bibir Ron dan Lavender yang saling menempel seperti stiker yang ditetesi lem perekat.
Anggukan mantap Ron disambut engahan tajam penduduk Ruang Rekreasi. Kakak kembar Ron, Fred dan George bahkan sudah membuka bursa taruhan, memprediksi darah siapa yang akan muncrat duluan di karpet Ruang Rekreasi. Darah Ron, darah Lavender atau bahkan tidak ada darah sama sekali.
"Baguslah kalau begitu, Ron. Aku senang kok kalau kau berpacaran dengan Lavender," ujar Hermione sumringah, bangkit dari kursi untuk memeluk Ron sepintas lalu. Tepukan persahabatan yang membuat sejumlah siswa yang kalah taruhan menjerit nelangsa karena miskin mendadak.
"Benarkah kau merestui kami, Hermione?" Ron bertanya tak percaya, mengetatkan dekapan di lingkar pinggang Lavender yang terpana keheranan.
Tadinya, sebelum berciuman dengan Lavender, Ron memang menyukai Hermione dan berharap bisa berpacaran dengan teman dekatnya itu. Namun, semenjak insiden ciuman bau naga Millicent Bulstrode, hati Ron berputar haluan.
Kesetiaan Lavender yang terus mendampingi di masa-masa sulit membuat pemuda berhidung panjang itu tertarik. Ditambah dengan terapi ciuman Lavender, Ron makin tak kuasa melepaskan diri dari jerat pesona gadis berpostur sintal yang tengah menatapnya dengan sorot menghamba.
Menyaksikan kemesraan Ron dengan Lavender, Hermione tak merasakan setitik pun torehan rasa cemburu. Sejak berkencan rahasia dengan Warrington, Hermione tak lagi memandang Ron sebagai calon pendamping di masa depan.
Kini, hati, otak, benak dan alam mimpi Hermione sudah dipenuhi oleh sosok Cassius Warrington. Pemuda Slytherin keturunan Unicorn yang gemar sekali mencuri ciuman diam-diam dari dirinya.
Ya, meskipun permainan mencuri ciuman sudah resmi diakhiri, tanpa meninggalkan jejak kecurigaan dari anak Slytherin, Warrington tetap tak bisa menghentikan kebiasaan. Setiap kali ada kesempatan, termasuk di jam patroli Hermione sebagai Prefek, Warrington tak pernah bosan untuk mencuri ciuman kecil yang memabukkan.
Ketika Hermione mempertanyakan hobi mencuri ciuman itu, Warrington hanya tergelak pelan. Mengacak-acak surai cokelat Hermione, pemuda darah biru berperawakan tegap itu mengungkapkan kalau tindakan tersebut merupakan alat pemacu adrenalin yang efektif.
"Selain itu, sampai kita berdua lulus dari Hogwarts, hubungan rahasia kita tak boleh ketahuan. Nah, supaya kehangatan dan kemesraan tetap terjaga, salah satu solusinya adalah curi-curi ciuman," lanjut Warrington, menciumi pipi dan bibir Hermione dengan menggebu-gebu.
Argumentasi Warrington mau tak mau membuat Hermione tak lagi mempermasalahkan aksi curi-curi ciuman.
Lagipula, seperti yang diutarakan kekasihnya, hubungan rahasia yang mereka jalani tak akan berlangsung lama. Beberapa bulan lagi Warrington akan lulus dari Hogwarts disusul Hermione yang akan diwisuda dua tahun lagi.
Memikirkan kelulusan Warrington sempat membuat Hermione kelimpungan. Apalagi, pasca menerima ijazah Hogwarts, Warrington yang tergila-gila pada olahraga terbang Quidditch siap masuk ke Akademi Quidditch Internasional di Bulgaria.
Untungnya, kesedihan Hermione karena harus menjalani hubungan jarak jauh tak berlangsung lama sebab Warrington selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjungi.
Meskipun tak bisa bertemu sesering mungkin di sesi liburan mengingat jadwal latihan Quidditch yang padat, Warrington tak kurang akal. Pemuda berparas tampan itu menjanjikan sesi pertemuan setiap kali Hermione bertandang ke desa sihir Hogsmeade yang terletak di dekat kastil Hogwarts.
Pertemuan yang selalu dinanti-nanti Hermione setiap tahunnya. Pertemuan yang selalu meninggalkan bekas kesan mendalam yang melekat di hati...
Membuka pintu kayu bar butut Hog's Head dengan hati-hati, mengingat engsel pintu berkarat itu sudah hampir copot, Hermione melangkahkan kaki perlahan-lahan. Mengedarkan netra cokelat, Hermione meringis tipis melihat meja bar yang disesaki penyihir berdandanan aneh.
Di antara meja yang padat, sejumlah pelayan hilir mudik melayani pengunjung. Setiap awal gajian dan di tanggal-tanggal muda, barisan penyaji minuman berkostum hitam putih itu memang disewa musiman untuk mengantisipasi animo pengunjung yang tergila-gila dengan Butterbeer Jahe Hog's Head.
Sebenarnya, Hermione tak berminat bertemu dengan Warrington di bar rombeng yang tak romantis seperti Hog's Head. Tapi, hanya kedai minum jelek milik adik Profesor Dumbledore, Aberforth Dumbledore inilah yang menjanjikan privasi serta kerahasiaan. Aspek utama yang sangat menentukan kelangsungan cinta Hermione dengan Warrington.
Jalinan asmara rahasia yang hanya diketahui segelintir orang. Termasuk tiga sobat terdekat Hermione; Harry, Ron dan Ginny.
Mengingat tiga teman terbaiknya, Hermione tak bisa menyembunyikan senyum sumringah. Awalnya, Harry, Ron dan Ginny yang sangat membenci punggawa Slytherin tak bisa menerima hubungan tersebut. Apalagi semenjak mereka mengetahui kalau Warrington-lah dalang di balik insiden ciuman pertama berbau mulut naga.
Untungnya, seiring pergantian waktu, kekeraskepalaan itu akhirnya memudar. Sadar bahwa Hermione bahagia bersama Warrington, Harry, Ron dan Ginny akhirnya mengalah. Kendati menyerah kalah, Harry dan kawan-kawan tetap mewanti-wanti Hermione untuk berhati-hati dan menjaga diri sebaik-baiknya.
"Ohoho, tentu saja aku selalu berhati-hati. Lihat, aku sampai memilih tempat minum-minum kumal seperti ini sebagai lokasi kencan rahasia," bisik Hermione pada diri sendiri sambil beranjak perlahan menuju meja paling ujung yang sunyi tak berpenghuni.
Setibanya di depan meja bulat yang keropos dan bocel-bocel, Hermione baru menyadari kalau meja itu ternyata sudah ada yang menduduki. Melingkar nyaman di bangku kayu, seekor kambing kurus mendengkur halus. Posisi enak yang membuat Hermione terpaksa menggaruk kepala cokelat semak yang tegak mencuat.
"Halo, Mbek. Bisakah kau tidur di bawah lantai?" pinta Hermione, meringis ketika si kambing jantan membuka sebelah mata dan menatap dengan sorot mengantuk.
Menguap sebentar, si kambing kembali memejamkan mata, pura-pura bersikap selayaknya kambing congek. Mendesah frustrasi, Hermione melihat ke sekeliling ruangan, mencari-cari meja kosong lain yang sayangnya tak ada saat ini.
Mengambil napas berat, Hermione menghenyakkan pantat di bangku kayu yang tersisa. Mungkin saat Warrington datang, ia bisa mengusir kambing tak tahu adat itu. Kambing berbulu putih polos seperti cahaya rembulan.
Putih polos seperti cahaya bulan...
Hermione terhenyak dan menatap dalam-dalam kambing putih yang masih mendengkur santai. Sepanjang pertemuan rahasia mereka, terkadang Warrington memang suka muncul tiba-tiba. Jadi, mungkinkah kambing jantan ini merupakan penyamaran terbarunya?
"Err, apakah kau Cass?" tanya Hermione, mendadak merasa bego saat si kambing tak merespon pertanyaan barusan. Ketika Hermione berniat menjulurkan tangan untuk menepuk perut si kambing yang masih berbaring malas, sepasang lengan kekar yang mengangsurkan gelas besar berisi Butterbeer penuh buih menghentikan pergerakannya.
"Minumanmu, Nona. Butterbeer dengan perasan air jahe."
Belum sempat berterima kasih, Hermione memekik kaget ketika lengan si penyaji minuman menelengkan kepalanya ke samping, melumat bibirnya dalam ciuman liar yang menggiurkan. Ciuman dan cumbuan tiba-tiba yang membuat dunia Hermione berputar-putar dalam kaleidoskop warna pelangi.
"Cass..." Hermione mengerang ketika Warrington melepas pagutan bibir hanya untuk memberinya sedikit kesempatan bernapas. Setelah beberapa kali ciuman panas yang membuat darah Hermione menggelegak seperti lahar merapi, Warrington akhirnya mengakhiri siksaan manisnya.
Mengusap bibir bawah Hermione dengan lembut, Warrington melirik sengit ke arah si kambing yang melongo terbengong-bengong. Mendelikkan mata ungu tajam, Warrington sukses membuat si kambing buru-buru mengambil langkah seribu.
Menghenyakkan pinggul di kursi bekas kambing tersebut, alis Warrington merendah membentuk kerut marah. Mengelus-elus pipi Hermione dengan punggung tangan, Warrington langsung menyuarakan keberatan.
"Baru enam bulan tak bertemu dan kau sudah tak bisa membedakan diriku dengan kambing? Merlin, Hermione. Sikapmu itu sudah menyinggung harga diri seorang laki-laki," seru Warrington pura-pura marah.
Merona merah padam, Hermione mengutuki kebodohan karena bisa-bisanya menyamakan Warrington yang keturunan kuda suci Unicorn dengan kambing bau milik Aberforth Dumbledore.
Menyeringai tertahan melihat ekspresi bersalah Hermione, Warrington mengecup jemari Hermione dengan takzim. Menyalurkan rasa cinta dan kerinduan melalui gerakan sederhana tersebut.
"Kali ini kau aku maafkan, Cantik. Tapi, untuk lokasi kencan setengah tahun berikutnya, aku yang menentukan. Aku tak mau lagi dianggap sebagai kembaran kambing," cetus Warrington, mengecup dan menggigiti jari manis Hermione dengan lembut.
"Uhm. Ya, boleh," timpal Hermione, sedikit terhuyung-huyung melihat sinar licik yang berkilap-kilap di iris ungu gelap Warrington yang menghipnotis.
"Enam bulan lagi kita akan kencan di dalam Gubuk Menjerit," ujar Warrington, nyaris tertawa guling-guling melihat roman horor di muka Hermione.
"Eeh? Gubuk Menjerit?" cicit Hermione, membayangkan pondok kayu yang berderit-derit dan diisi angin bersuit-suit itu. Gubuk lapuk yang kabarnya banyak dihuni hantu gentayangan dan makhluk lain dunia tak jelas lainnya.
"Ya, Hermione. Gubuk Menjerit," ulang Warrington, bangkit dari kursi dan berdiri di samping Hermione. Menundukkan wajah, Warrington berbisik di lubang kuping Hermione.
"Jeritan hantu penasaran di sana mungkin bisa meredam jeritan nikmatmu, Hermione. Jeritan puas yang muncul saat aku mencumbu dan melumatmu habis-habisan."
Membelalakkan bola mata, Hermione berupaya menutupi respon hangat tubuhnya. Mengangkat muka dengan pongah, Hermione menaikkan sebelah alis cokelat dengan gaya mengejek.
"Mana mungkin ciumanmu bisa membuatku menjerit puas, Cass."
Mencium tulang alis Hermione yang menukik ke atas, Warrington tergelak parau. Ujung jempolnya berkelana di sepanjang lereng leher Hermione dalam gerakan malas dan sensual. Gerakan seksi yang membuat denyut nadi di lekuk leher Hermione berdenyar tak terkendali.
Menyurukkan kepala ke kuping Hermione, Warrington membisikkan janji-janji. Janji penuh kenikmatan yang membuat Hermione mengeluarkan jeritan kecil yang menyita perhatian pengunjung bar Hog's Head.
"Kita lihat saja, Cantik. Mungkin enam bulan lagi Gubuk Menjerit akan berubah nama menjadi Gubuk Mendesah..."
"Gubuk Mendesah? Julukan konyol macam apa itu?"
Meletakkan senampan pai lemon asam manis di atas meja, Hermione berusaha menyembunyikan rona malu. Di seberang meja, suami tercintanya menyeringai hangat, menampakkan seulas senyum menggoda yang membuat warna pipi Hermione kian merona.
"Betul, Mom. Aku belum pernah ke sana sih karena murid tahun pertama tidak diizinkan pergi ke Hogsmeade. Kata kakak kelasku, Gubuk Menjerit berubah nama menjadi Gubuk Mendesah karena menjadi saksi bisu percintaan panas antara putri bidadari dengan Pangeran Unicorn."
Menutup mulut dengan tangan, Hermione bersusah-payah menutupi derai tawa mendengar gosip hiperbola tersebut. Rupanya, sampai sekarang kemampuan penduduk Hogwarts untuk memoles isu biasa menjadi gosip luar biasa tak berubah jua.
"Jangan percaya rumor tak jelas itu, Cassie," Warrington membelai rambut putih putri sulungnya dengan penuh kasih. Mengedip nakal ke arah istrinya, Warrington kembali berceloteh.
"Gubuk itu cuma lokasi kencan rahasia pasangan remaja beda asrama. Bukan tempat percintaan panas," melihat air muka skeptis putrinya, Warrington kembali menyambung penjelasan.
"Kalau si bidadari dan si Unicorn bercinta di gubuk itu, gubuk itu pasti sudah meledak berkeping-keping karena jeritan puas si bidadari. Jeritan klimaks yang muncul saat si Unicorn-"
"Cassius Warrington," sela Hermione galak, menyumpal mulut suaminya dengan telapak tangan, menghentikan diskusi berbahaya yang membuat mata ungu gelap putrinya membulat tertarik. Melepaskan sumbatan tangan, Hermione memelototi suaminya yang cengengesan sok polos.
"Jangan berlebihan, Cass. Jeritan puasku tak sampai merubuhkan bangunan. Selain itu, kita tak pernah bercinta di dalam gubuk itu. Apa kau lupa kalau percintaan pertama kita-"
"Oh, benarkah itu, Mom? Jadi Mom dan Dad yang jadi inspirasi nama gubuk reyot tersebut? Jadi kalian ya pasangan panas beda dunia yang diceritakan itu? Lalu, bagaimana cerita lengkapnya, Mom?"
Menahan keinginan menendang bokongnya sendiri, Hermione menegur diri dalam hati karena selalu keceplosan bicara di saat-saat penting. Mencubit pelan lengan Warrington yang terkekeh rendah, Hermione meminta bantuan suaminya untuk menetralisir situasi.
"Cassandra Jean Warrington," Warrington berdeham dengan lagak sok berwibawa, berupaya menyembunyikan rasa geli di intonasi suara.
"Kau masih kecil dan belum cukup umur untuk mendengarkan kisah percintaan panas kami," Warrington meringis halus saat Hermione mencubit keras lengan kirinya, menuntutnya untuk bertindak lebih tegas.
"Betul sekali, Sayang. Nanti saja setelah kau sudah besar," celetuk Hermione, menepuk lembut pundak putrinya yang mendengus pasrah. Bersenandung pelan, Hermione melangkah ke dapur, bersiap-siap membawakan sepoci kopi untuk suaminya.
Menatap punggung ibunya yang menghilang di balik pintu dapur, Cassie menggerung kecewa. Menyelonjorkan kaki mungil yang terbungkus kaus kaki merah keemasan, gadis berusia sebelas tahun itu mengunyah sepotong pai lemon dengan ogah-ogahan.
"Yaahh, padahal tadinya aku berharap bisa mengurangi kebosanan hidup di asrama dengan cerita fantastis di balik nama Gubuk Mendesah."
Menautkan dua alis putih hingga saling menyatu, Warrington menelan potongan terakhir pai lemon hangat. Meletakkan koran sore edisi Minggu, Warrington menatap wajah putri cantiknya yang merengut sebal.
"Jadi, kau mencari permainan untuk mengurangi kejenuhan di asrama? Wah, wah, wah. Ketimbang cerita di balik perubahan nama gubuk, Dad punya ide permainan menarik untukmu."
Melompat ke pangkuan ayahnya secepat Unicorn berlari, Cassie menatap ayahnya dengan mata berbinar-binar. Pijar mata yang serupa dengan mata Hermione saat menemukan hal baru yang membuatnya tertarik.
"Permainan apa, Dad? Kuharap itu benar-benar heboh sebab suasana di asrama Slytherin sangat dingin dan membosankan," gerutu Cassie, memuntir-muntir surai Unicorn di jemari. Surai magis yang diberikan ayahnya sesaat setelah dirinya dinyatakan masuk ke Sekolah Sihir Hogwarts.
Mengacak-acak rambut putih halus putrinya, Warrington menyeringai senang. Tak sekadar memfotokopi dirinya dalam rupa fisik, putri sulungnya itu juga mengikuti jejaknya masuk ke rumah asrama Slytherin yang untungnya tak lagi mengkhususkan diri pada penyihir berdarah murni.
Meski kekuatan magis Unicorn yang melekat di diri putrinya tak sekuat dirinya, Warrington yakin sihir ekstra Cassie masih bisa menyemarakkan ruang bawah tanah Slytherin yang gelap dan menjemukan.
"Tenang saja, Cassie. Permainan ini pasti heboh dan mengesankan. Yang kau perlukan cuma ini," Warrington mengangkat surai Unicorn yang dimainkan putrinya.
"Dan sedikit kotoran naga," bisik Warrington di telinga mungil putrinya.
"Kotoran naga?" Cassie menjerit takjub, sibuk mengira-ngira jenis permainan ngaco macam apa yang membutuhkan kotoran berbau menyengat itu.
"Ya, kotoran naga," bisik Warrington konspiratif, sibuk berkasak-kusuk dengan putrinya terkait permainan yang pernah dilakoni di masa remaja. Permainan yang berbuah cinta dan kehidupan penuh romansa bersama sang belahan jiwa. Belahan jiwa yang saat ini sedang menatapnya dengan sorot hangat memuja.
"Apa yang kalian bicarakan?" Hermione bertanya curiga, meletakkan seteko kopi yang masih mengepul di meja. Menuangkan cairan pekat panas ke cangkir suaminya, Hermione melirik putrinya yang tersenyum gembira.
"Ada deh, Mom. Ra-ha-si-a," Cassie mengedipkan sebelah mata ke arah ibunya sebelum berlari ke taman belakang yang terbungkus salju. Tak menggubris hembusan angin dingin bulan Desember, gadis berkulit putih bersih itu bermain-main dan berlompat-lompatan seperti anak kuda liar.
Mengernyit melihat tingkah putrinya yang mencurigakan, Hermione meletakkan kembali ceret kopi di tempat semula. Menyodorkan cangkir kopi yang masih menebarkan uap panas, Hermione mengambil posisi di samping suaminya yang cengar-cengir ceria.
"Tadinya kupikir Cassie tak cocok masuk Slytherin. Tapi, sepertinya dia menikmati hari-harinya di sana," gumam Hermione, menyenderkan kepala ke bahu kukuh Warrington.
"Jangan ngambek begitu, Cantik," bujuk Warrington, merapikan anak rambut yang menggantung di dahi Hermione. Memang, sejak putri sulung mereka masuk ke Slytherin, September silam, Hermione jadi sedikit uring-uringan.
"Cassie mungkin tak bisa jadi The Next Princess Gryffindor tapi setidaknya jagoan kecil kita ini bisa menjadi Pangeran Gryffindor selanjutnya," bisik Warrington, membungkukkan tubuh untuk mencium lembut perut Hermione yang membuncit.
"Selain itu, aku yakin jagoan cilik kita yang segera lahir bakal menjadi pemain Quidditch profesional yang terkenal dan bisa mengalahkan popularitas Om Won-Won," lanjut Warrington, menekankan nada sinisme di kalimat 'Om Won-Won'.
Hermione tak bisa menahan seringai geli mendengar intonasi jengkel suaminya. Sebenarnya, jika tetap pada pendirian semula, Warrington bisa menjadi atlet Quidditch internasional yang mendunia. Ditunjang prestasi dan bakat alami, sejak lulus dari Akademi Quidditch Internasional, Warrington bahkan sudah ditawari masuk ke tim nasional Inggris.
Namun, dengan alasan tak bisa berjauhan dari Hermione, mengingat kontrak pemain Quidditch mengharuskan hidup membujang untuk beberapa tahun, Warrington mengurungkan mimpi menjadi pemain profesional.
Sebagai gantinya, penyihir bertubuh atletis itu menyalurkan kecintaannya pada dunia Quidditch dengan membeli seluruh saham klub yang bermain di Liga Quidditch Inggris dan Irlandia, Pride of Portree.
Semenjak dibeli dan dikuasai Warrington, tim yang berkostum ungu, sesuai dengan warna mata Warrington kian melesat ke puncak klasemen. Bersaing ketat dengan jawara Liga, Puddlemere United, tempat di mana Ron alias Om Won-Won bergabung.
"Sepertinya kau tahu betul mengenai masa depan anak kedua kita," cetus Hermione, mengusap-usap surai putih suaminya yang sehalus beludru. Menengadahkan wajah, bibir maskulin Warrington tersungging indah.
"Tentu saja aku tahu, Hermione. Seperti saat aku tahu kalau kau akan menjadi milikku. Milikku selamanya," seru Warrington, mencuri ciuman singkat dari Hermione. Ciuman kecil yang lama kelamaan berubah panas mendebarkan.
"Eww, Mom! Dad!" Cassie menjerit kecil, menutupi kedua manik ungu dengan telapak tangan.
"Apa kalian ingin menjadikan rumah ini menjadi Rumah Mendesah?" Cassie mendecak-decakkan mulut, kedua kaki mungilnya menghentak-hentak lantai, menirukan kebiasaan ibunya saat sedang marah.
Tergelak rendah, Warrington mengedipkan sebelah mata. Menyurukkan kepala ke leher istrinya yang berbau wangi bunga, Warrington berbisik di telinga Hermione yang merona.
"Benar-benar ide brilian. Bagaimana kalau kita segera mengubah julukan rumah ini?"
Tak menunggu jawaban Hermione, Warrington langsung membopong istrinya ke lantai atas dengan kecepatan ekstra yang hanya bisa dimiliki Unicorn profesional.
"Cassius Warrington!" pekik protes Hermione yang terdengar di sepanjang tangga teredam setelah Warrington menutup mulutnya dengan bibir. Bonus ciuman tiba-tiba yang membuat putri mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Mengalihkan pandangan dari profil orangtuanya yang menghilang di bordes lantai atas, Cassie memuntir-muntir surai Unicorn yang halus keperakan. Seulas senyum penuh perhitungan tersampir di bibir mungilnya yang menawan.
"Bersiap-siaplah, Scorpius Hyperion Malfoy. Aku punya permainan menarik untukmu..."
TAMAT
