Naruto © Kishimoto Masashi

Unmitigated Pleasure © Haruno Aoi

Setting: selalu AU

Warning: diusahakan tidak terlalu OoC

.

.

.

#*#*#*#*#*

Unmitigated Pleasure

Kegembiraan yang Sejati

#*#*#*#*#*

.

.

.

Hinata memandang sayang pada sosok mungil di gendongan Mama. Matanya berbinar bahagia melihat adik perempuannya yang baru saja dilahirkan ke dunia. Berbeda dengan dirinya dan Mama, adiknya mempunyai rambut berwarna pirang seperti pria yang duduk di sebelah mamanya. Ia melongokkan kepalanya agar bisa melihat adiknya yang berbalut kain ungu pucat tersebut, sedikit berebut dengan anak perempuan seusianya yang berambut pirang.

Hinata tidak bisa mencegah senyumnya tatkala melihat adiknya menguap kecil. Pipinya yang tembam merona merah menahan rasa gemas. Ingin sekali ia mencubit dan menciumi pipi kemerahan adiknya, namun ia harus menunggu gilirannya setelah si pirang yang juga merupakan kakak dari adiknya.

"Hinata…," Suara Mama mengalun lembut, memintanya untuk lebih mendekat, "… sini, Sayang…."

Hinata dibantu oleh ayah adiknya agar bisa duduk di tepi ranjang mamanya. Akhirnya ia bisa mencium adik bayinya yang sangat menggemaskan.

Sesaat kemudian suara berisik datang bersamaan dengan pintu ruangan yang terbuka. Seorang bocah laki-laki berambut kuning datang bersama dengan pria yang mirip dengannya, juga wanita berambut merah panjang. Bocah berusia lima tahun itu menampakkan sorot iri ke arah anak perempuan yang kini menciumi adiknya secara bergantian dengan Hinata.

"Touchan, Kaachan…!" Anak laki-laki bermata biru itu berbicara dengan suara keras, membuat orang-orang dewasa di sekitarnya meletakkan telunjuk mereka di depan bibir. Tetapi ia seakan tidak peduli dan kembali mengeluarkan suaranya, bahkan lebih kencang dibandingkan sebelumnya, "Aku juga mau adik kayak Ino…!"

Tangisan bayi langsung membahana di ruangan bernuansa putih tersebut. Mama Hinata sibuk menenangkan bayinya. Sementara pasangan yang baru datang itu langsung meminta maaf dan segera mengambil tindakan terhadap putra mereka yang semakin susah diatur.

"Adik…! Pokoknya aku mau adik…!"

Bocah itu berhasil menarik perhatian Hinata. Pandangan gadis cilik itu terpusat pada si bocah yang hampir menangis dan berusaha turun dari gendongan ayahnya. Sayangnya Hinata tidak bisa lebih lama berada di sana karena suruhan papanya sudah datang untuk menjemputnya. Padahal ia masih ingin berkenalan dengan mereka yang seusia dengannya.

Sekali lagi ia mencium adiknya, kemudian mendapatkan banyak ciuman dari mamanya, sebelum seorang paman menggendongnya keluar ruangan. Di belakangnya, bocah bersuara keras itu meronta-ronta dalam gendongan sang ayah karena menolak untuk diajak meninggalkan kamar rawat tersebut.

Selama di koridor, Hinata memusatkan perhatian ke arah yang berlawanan dengan langkah paman berambut cokelat yang menggendongnya. Ia bisa melihat bocah laki-laki itu menangis sambil menutup matanya dengan punggung tangan karena sepertinya sedang dimarahi oleh ibunya. Bocah seusianya itu tidak lagi digendong ayahnya, tetapi tengah berdiri di hadapan ibunya yang menduduki bangku tunggu. Sayup-sayup, Hinata juga bisa mendengar suara sang ibu yang cukup mampu menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.

"Naruto, kalau kamu tidak berhenti menangis, Kaachan akan mengurungmu di kamar mayat. Tuh, lihat, kamar mayatnya ada di sebelah situ."

Sontak tangisan bocah itu semakin kencang.

"Benar-benar minta dikurung, eh, Naruto?"

"Sudahlah, Kushina…," Sang ayah menengahi dengan sabar.

Hinata menggumam lirih sebelum berbelok di tikungan koridor, "Na—ruto…."

.

.

.

Akhirnya Hinata berhasil mengakali dua pengawalnya yang sedikit bodoh. Kini gadis berusia duapuluh tahun itu tengah bersembunyi di balik tembok salah satu toko. Dari sana, ia bisa mengawasi dua orang pria berpakaian rapi yang berjalan ke arah berlawanan dengan tujuannya. Ia tersenyum simpul—misi pertamanya sukses.

Setelah memastikan bahwa mereka berdua sudah berada cukup jauh dari keberadaannya saat ini, Hinata berlari ke trotoar untuk menghentikan taksi. Sekarang tujuannya adalah rumah mamanya. Hari ini, diadakan pesta ulang tahun yang ke limabelas untuk adiknya—adik seibunya. Karena adiknya sangat mengharapkan kehadirannya, ia tidak kuasa untuk menolak saat diundang via telepon. Itu sebabnya ia harus menepati kesanggupan yang telah diucapkannya.

Hinata dan keluarganya tinggal di distrik Chiyoda, tetapi ia merupakan seorang mahasiswi kedokteran di Universitas Tokyo. Ia memilih Tokyo Daigaku atau Todai sebagai tempatnya menempuh pendidikan karena mamanya juga tinggal di distrik Minato yang terletak di sebelah selatan kota Chiyoda. Jadi, sewaktu-waktu ia bisa menemui mamanya, meskipun harus berusaha keras untuk kabur dari dua orang pria yang selalu mengawalnya atas perintah papanya—seperti saat ini.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Hinata sudah sampai di kediaman Yamanaka—rumah suami mamanya. Pintu gerbang rumah itu terbuka lebar, dan beberapa remaja sebaya adiknya berjalan bergerombol memasukinya. Ia sedikit ragu untuk memasuki tempat yang jarang didatanginya, apalagi pestanya pasti dihadiri oleh orang-orang yang sebagian besar masih asing baginya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, berharap dapat mengurangi kegugupannya.

Hinata sama sekali tidak menyangka bahwa Mama dan adiknya sudah menyambutnya di pintu masuk begitu ia mulai menginjakkan kaki di anak tangga teras. Saat ia hampir melewati pintu, adiknya yang bermata violet itu langsung memeluknya.

"Aku kangen Neechan~" rengeknya manja.

"Neechan juga kangen Shion," balas Hinata sembari tersenyum lembut.

Terkadang Hinata berpikir bahwa silsilah keluarganya cukup rumit, terutama pada generasinya. Di rumah, ia mempunyai seorang kakak perempuan bernama Hanabi yang lahir dari ibu yang berbeda dengannya. Ia dan kakaknya terpaut tiga tahun. Sementara ia dan Shion—yang memiliki ayah yang berbeda dengannya—terpaut lima tahun. Dan dari ibu barunya yang berusia tiga puluh tahunan, ia juga akan segera mendapatkan adik lagi.

Seusai melepas rindu, Hinata digelandang Shion menuju kamarnya. Ia meminta Hinata untuk mengenakan gaun biru muda sepanjang lutut yang telah disiapkannya. Mama bertugas untuk memoleskan make up minimalis dan menata rambut Hinata. Sedangkan Shion tengah tertarik dengan isi kotak kado yang dibukanya pertama kali di hari ulang tahunnya kali ini—hadiah dari Hinata yang berupa jepit rambut dengan hiasan seperti kristal keunguan yang serasi dengan gaun yang dikenakannya saat ini. Sederhana namun memukau, dan Shion tampak bahagia mendapatkannya.

Mama puas dengan hasil pekerjaannya dan meminta Hinata untuk berdiri di depan cermin. Hinata tersenyum dengan pipi merona ketika melihat bayangannya. Ia memang jarang berdandan, jadi sekali wajahnya dibedaki sedikit tebal dan bibirnya dipoles pemerah dengan tipis-tipis, maka sudah mampu membuatnya tampak berbeda. Selain wajah kalem Mama, ia juga bisa melihat bayangan Shion yang tengah tersenyum di belakangnya. Berikutnya, Shion memintanya untuk memakaikan jepit rambut di surai pirang yang dibiarkan tergerai itu. Ia mengambil sejumput rambut dari masing-masing sisi kepala Shion dan menjepitnya di belakang. Sekarang Shion terlihat lebih anggun.

Ino menyusul ke kamar dan meminta mereka untuk segera turun ke lantai dasar dimana pesta dilangsungkan. Pesta sengaja diadakan sepulang jam sekolah agar Hinata tidak terlalu malam pulang ke rumahnya. Bagaimanapun Hinata tidak mungkin diperbolehkan menginap oleh papanya, meskipun di rumah mamanya. Papa Hinata termasuk orang yang kolot, tidak akan memperbolehkan putri kesayangannya tidur di luar rumah selama putrinya itu belum menikah. Jadi, kesimpulannya, Hinata hanya boleh menginap di rumah suaminya kelak, selain di rumahnya sendiri.

.

.

.

Yamanaka Inoichi adalah seorang detektif divisi investigasi Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo. Namun demi putri-putrinya ia rela meluangkan waktu di tengah agendanya yang padat. Selain teman-teman Shion serta keluarga besarnya, tentu saja tamu yang hadir sore ini adalah orang-orang penting yang juga tidak jauh dari profesi sebagai pelindung masyarakat. Karena itu, Hinata sedikit merasa was-was berada di antara mereka, mengingat status keluarganya. Tetapi, selama keluarganya tidak berbuat kesalahan yang merugikan orang lain, ia tidak boleh merasa takut.

Ketika Shion mempersembahkan potongan pertama kue ulang tahun kepada ayahnya, tidak sengaja pandangan Hinata bertemu dengan mata biru seorang lelaki di seberangnya. Laki-laki yang terasa sudah tidak asing baginya, apalagi saat pertama kali melihat rambut kuning yang secerah mentari pagi itu. Sejurus kemudian ia mengalihkan pandangan karena orang itu juga sedang sibuk dengan temannya yang berambut cokelat.

"Namanya Namikaze Naruto," bisik Mama tiba-tiba, "Lulusan Metropolitan Police Academy. Dia lulus di usia delapanbelas tahun, dan dia sebaya denganmu."

Lulus akademi kepolisian di usia delapanbelas tahun? Hinata tidak heran karena siapapun bisa menjadi polisi setelah enam bulan masa pendidikan dan pelatihan di akademi kepolisian.

Eh, sebentar….

"—Namikaze…?" tanyanya pada Mama dengan suara lirih.

"Ayahnya, Namikaze Minato, adalah walikota di distrik Minato ini," Mama menjelaskan disertai senyum.

Pantas saja Hinata seperti sudah pernah mendengar marga itu. Seingatnya, Mama juga sudah pernah memberitahunya kalau keluarga Namikaze merupakan saudara jauh dari keluarga Yamanaka.

"Setahu Mama, belakangan ini dia ditugaskan untuk patrol di daerah Chiyoda bersama temannya yang sekarang berbicara dengannya itu, namanya Inuzuka Kiba."

Mama menambahkan penjelasannya, yang entah apa maksudnya Hinata pun kurang mengerti. Tetapi, Hinata terus menyimak apapun yang dikatakan oleh Mama.

"Kiba itu kekasih Ino, jadi Mama bisa tahu," imbuh Mama seraya tersenyum, yang seolah bisa membaca pertanyaan yang tidak dilontarkan oleh Hinata.

Selain mulut yang membulat tanpa suara, Hinata juga mengangguk-angguk pelan sebagai pertanda bahwa ia mengerti.

.

.

.

Hinata mendengar percakapan yang kurang mengenakkan hati ketika ia mengambil makanan di salah satu meja. Secara tiba-tiba saja dua polisi muda itu berbicara di dekatnya sembari mengambil hidangan yang disediakan.

"—Apa menurutmu, klan Hyuuga juga terlibat?"

"Kita tidak boleh menuduh sembarangan sebelum dilakukan penyelidikan secara lebih mendalam."

Hinata menyibukkan diri dengan kue basah yang diambilnya. Namun, ia tidak dapat mengabaikan debaran jantungnya, juga tangannya yang gemetaran dan berkeringat dingin. Dari sekian kelompok yakuza yang tersebar di prefektur Tokyo, klannya juga dicurigai memiliki hubungan dengan kasus uang palsu yang akhir-akhir ini beredar di daerah Chiyoda. Ia percaya pada klannya. Mereka salah bila sampai menuduh klan Hyuuga sebagai bagian dari pelaku tindakan kriminal semacam itu.

Klan Hyuuga memang kelompok yakuza yang menguasai sebagian daerah di distrik Chiyoda secara turun-temurun. Ayah Hinata, Hyuuga Hiashi, adalah pemimpin klan saat ini. Klan Hyuuga memang menarik upeti dari para pedagang di sekitar tempat tinggal mereka, namun tidak banyak sampai tidak ada yang merasa keberatan. Dan sebagai gantinya, klan Hyuuga akan membereskan setiap kekacauan yang terjadi di daerah kekuasaannya, termasuk melakukan penyelidikan terhadap peredaran uang palsu yang sangat meresahkan dalam sebulan terakhir ini.

Bahkan Hinata tahu kalau kakaknya turun tangan dalam penyelidikan, ditemani oleh Hyuuga Neji yang merupakan saudara sepupu mereka.

"… Hyuu—ga…?"

Hinata tersedak saat lelaki berambut kuning itu memanggil nama klannya. Yah, siapapun pasti tahu bahwa ia adalah bagian dari klan Hyuuga hanya dengan melihat matanya yang berwarna pucat.

.

.

.

Hyuuga Hanabi adalah orang pertama yang mendapatkan laporan dari Sakon dan Ukon—pengawal pribadi Hinata—yang gagal membawa putri kesayangan kepala klan pulang dari kuliah tepat pada waktunya.

"Oyasan pasti akan membantai kami kalau tahu bahwa Hinata Ojousan menghilang selama berada dalam pengawasan kami," ujar seseorang dari dua bersaudara kembar identik tersebut dengan suara bergetar.

"Oyaji memang terlalu memanjakannya," kata Hanabi tenang, "bahkan mengizinkannya kuliah di luar Chiyoda."

Sakon dan Ukon masih menunduk takut. Pundak mereka bergetar pelan.

Hanabi mendecak sebal sebelum bangkit dari tempat duduknya yang nyaman. "Sudahlah, aku ada di pihak kalian," ujarnya.

Sontak dua bersaudara itu membungkuk hormat disertai ucapan terima kasih.

"Ayo pergi."

"Hai'!" seru mereka berdua dengan serempak.

.

.

.

Note: Terinspirasi dari Mou Yuukai Nante Shinai, tapi ceritanya sudah beda lah. Sebenarnya ini adalah fic yang tidak jelas juntrungannya(?). Hanya buat refreshing di tengah tugas yang menumpuk. Mau dibawa ke mana fic ini? #lah

Terima kasih bagi yang bersedia membaca….

Tuesday, April 17, 2012