Bughats
x
x
x
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
x
x
x
"Alhamdulillah..." Sai menggumamkan ucapan syukur selepas meneguk es teh manis buatan sang istri.
Sensasi dingin dan segar mengaliri tenggorokannya yang kering kerontang, penat dan dahaga pun terpuaskan setelah hampir satu jam lamanya, Sai berjibaku di kebun belakang rumah, hanya bersenjatakan pacul, sekop dan ember.
"Sepertinya kau memang berbakat menjadi tukang kebun, Sayang." Ino mengerling pada suaminya, menyimpul senyuman sehangat sinar matahari pagi kala ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kebun mungil yang terletak di belakang rumah mereka.
Ternyata tangan dingin Sai tak hanya piawai menggores kuas di atas kanvas, tapi juga cukup ahli memangkas semak belukar dan rumput liar, serta menggemburkan tanah agar tanaman dapat tumbuh subur.
Sai hanya menunjukkan seringai pongah merespon pujian dari sang istri. Berkebun sudah menjadi aktifitas kegemarannya, meski pada awalnya ia melakukan hal tersebut demi menarik perhatian Ino agar wanita itu jatuh cinta padanya.
Bertukar kata sanjungan, curahan hati dan tutur nasihat telah menjadi rutinitas Ino dan sang suami agar komunikasi tetap terjalin dan keintiman hubungan mereka tetap terjaga. Ino dan Sai telah bersepakat untuk menyimpan romantisme di rumah saja, tak mau diumbar-umbar ke tetangga atau di sosial media. Cukuplah dirasakan oleh mereka berdua seperti saat ini.
Sepasang suami istri itu duduk di bangku taman yang terletak di dekat pohon besar nan rindang. Meskipun tempat itu cukup teduh, tapi pakaian Sai tetap lepek karena keringat. Entah peristiwa apa yang menyebabkan Sai begitu mencintai warna hitam, hingga suaminya itu selalu mengenakan pakaian berwarna hitam, bahkan saat di bawah terik matahari.
Ino pun berinisiatif mengambil kotak tisu di dekat nampan berisi cemilan ringan, menarik keluar beberapa helai tisu dari dalamnya dan dengan gerakan tangan yang halus, Ino menyeka kening sang suami yang mulai bercucuran keringat.
Sorot mata wanita itu memancarkan kelembutan dan kasih sayang tak terperi pada sosok seorang laki-laki yang telah mendatangkan begitu banyak kebahagiaan dalam hidupnya. Setiap kali memandang suaminya sedekat ini, Ino selalu ingat betapa beruntung dirinya. Memiliki Sai di sisinya, memiliki seorang pria yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang untuk keluarganya, memiliki seorang suami yang begitu perhatian pada istri dan anaknya.
xxxxx
Sai meletakkan gelasnya yang telah kosong, kemudian membelai lembut perut besar sang istri. Wajah pria itu terlihat sumringah ketika merasakan gerakan kecil di dalam rahim Ino.
"Hmm... Apa kau juga ingin minum es teh?" tanyanya pada si jabang bayi.
"Hari ini kau aktif sekali yaa! Mentang-mentang Ayah sedang libur." Ino mengelus-elus perutnya, bermaksud menenangkan janin berusia delapan bulan di dalamnya yang terus saja menendang-nendang rahimnya, entah karena sudah tak sabar ingin lahir ke dunia, atau karena terlalu senang ayahnya berada di rumah seharian penuh.
Sai tersenyum lebar menanggapi kemesraan Ino dan bayinya yang sudah terjalin erat meski sang anak belum terlahir ke dunia. Rasa haru bercampur bahagia selalu menyelimuti hatinya setiap kali melihat Ino berinteraksi dengan janin di dalam rahimnya.
Ino tak hanya membelai dan mengelus perutnya, tapi juga mengobrol dengan calon bayinya dan menyenandungkan shalawat dengan suaranya yang merdu. Terkadang membacakannya ayat-ayat suci Al-Qur'an atau cerita-cerita inspiratif sarat hikmah.
Dalam kandungan, organ pendengaran janin lebih dulu berkembang daripada penglihatan dan suara yang paling jelas didengar janin adalah suara sang ibu. Hal itu juga dapat mempererat ikatan batin antara seorang ibu dan anaknya.
Sai sangat bersyukur karena Ino menyadari sepenuh hati tugas dan kewajibannya sebagai seorang ibu. Ino bahkan rela mengikuti pelatihan dan konseling pra nikah di sela-sela kesibukannya agar dapat menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi keluarganya.
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan dia dari tulang rusukku, yang telah menghadirkannya di dalam kehidupanku, yang telah membimbing hati dan jiwanya agar bersatu denganku." Sai menatap Ino penuh kasih sayang seraya mendengungkan rasa syukur pada Tuhan di sanubarinya.
Ino Yamanaka adalah anugerah terindah dari Tuhan untuknya.
Tuhan telah membukakan jalan kebaikan untuknya melalui perangai lembut Ino, menuntunnya di dalam kegelapan melalui pancaran cahaya yang tercermin dalam diri wanita cantik itu, mendampingi setiap langkahnya melalui genggaman erat tangan Ino yang tak pernah sekalipun melepasnya dan selalu menariknya bangkit dari keterpurukan. Cinta dan kasih-Nya mengalir melalui kasih sayang Ino yang tercurah untuknya.
Oleh karena itu... Membahagiakan Ino Yamanaka merupakan salah satu wujud rasa syukur Sai pada Tuhan atas limpahan karunia dalam hidupnya. Sai telah berjanji pada Tuhan untuk selalu mencintai Ino dengan segenap jiwa dan raga, melindungi dan membahagiakan Ino dengan segala daya dan upaya.
xxxxx
"Masuklah ke dalam. Udara semakin panas," kata Sai pada Ino seraya mengelus punggung wanita itu dengan protektif.
"Kurasa dia pun sudah lelah," imbuh Sai ketika tak lagi merasakan gerakan menggebu di perut Ino. Janinnya masih menendang sesekali meskipun tak seintens barusan.
Ino menutup mulutnya sebelum menguap pelan. Rasa kantuk mulai menghinggapinya lagi, walaupun dia baru saja bangun dari tidur siangnya tiga jam yang lalu. Ino pun akhirnya menuruti saran sang suami dan beringsut bangkit dari kursinya dibantu oleh Sai.
"Kau masuk saja, Sayang. Aku akan membereskannya nanti," ujar Sai saat Ino hendak menyusun gelas-gelas kosong di atas nampan.
Ujung bibir Ino terangkat, mengukir sebuah senyum dan berkata, "kau yang terbaik, Sayang."
Sai hanya meresponnya dengan sebuah kecupan ringan di tangan halus Ino yang membelai pipinya dengan lembut.
Ino kemudian beralih pada bocah laki-laki berambut pirang pucat yang tak sengaja menjatuhkan sandalnya dari atas pohon. "Cepat turun dari sana, Sayang! Ibu tak ingin kau jatuh."
"Baik, Bu! Sebentar lagi aku turun!" Inojin menyahut dari dahan pohon rambutan tempatnya berpijak yang tingginya nyaris menyamai atap rumah mereka. Ia melihat sang ibu sudah masuk ke dalam rumah dan ayahnya sedang membereskan peralatan berkebun dan menyimpannya di gudang.
Sayup-sayup terdengar suara cicitan ketika Inojin melompat ke dahan besar di sisi yang berlawanan. Suaranya terdengar lemah dan memilukan. Terdorong rasa penasaran yang begitu besar, bocah berusia tujuh tahun itu pun memanjat ke beberapa dahan yang lebih tinggi, mencari sumber suara tersebut.
Inojin memanjat hampir mencapai puncak dan rasa penasarannya terbayar saat anak itu menemukan sarang burung di dahan itu. Suara cicitan itu berasal dari bayi burung yang baru saja menetas. Hanya ada satu telur yang menetas menjadi anak burung, dua telur lainnya telah hancur sebelum membentuk embrio.
"Coba lihat ini, Yah!" Inojin tak mengindahkan panggilan ayahnya dari bawah pohon yang menyuruhnya segera turun dari sana. Bocah itu terlalu antusias mengamati unggas kecil tak berbulu dan berkulit merah muda yang menciap-ciap dengan lirih.
Sai memanjat ke atas pohon, menghampiri sang anak yang memeluk batang pohon dengan satu tangan, sementara tangan satunya memegang ranting sepanjang tiga puluh sentimeter.
"Ada apa, Inojin?" Pertanyaan Sai dijawab oleh kicauan burung kecil dari dalam sarang yang terbuat dari ranting-ranting pohon. Gerakan bayi unggas itu tampak ringkih. Tubuhnya masih berlumur lendir dari cangkang telur.
"Bughats."
"Eh? Bughats itu apa, Yah?" Inojin memutar bola matanya, bertanya pada sang ayah dengan nada polos.
"Bughats." Sai menjulurkan telunjuknya ke arah burung kecil yang kicauannya mulai terdengar serak. "Bayi burung gagak."
"Burung gagak? Kok Ayah bisa tahu?"
"Karena ini." Sai menunjuk benda kecil berbentuk bulat yang tampak berkilauan di bawah terpaan sinar matahari yang menelisik di antara dedaunan.
Sekeping uang logam bernilai lima sen, tersembunyi di antara serpihan daun kering yang ada di dalam sarang. Burung gagak terkenal dengan keunikannya yang gemar mengumpulkan benda-benda kecil yang berkilau, seperti uang logam, kaca mungil dan cincin.
Inojin mengaduk-aduk sarang gagak dengan rantingnya. Anak itu berusaha menjauhkan serangga-serangga yang mulai berdatangan ke dalam sarang. Tapi kemudian Sai mencengkram tangan Inojin dan menyuruhnya berhenti melakukan hal tersebut.
"Memangnya kenapa, Yah? Kan kasihan kalau nanti kulitnya gatal-gatal karena digigit serangga," ujaran bernada jenaka terlontar dari bocah berkulit pucat itu.
Sai terhenyak mendengar penuturan polos sang anak dan mau tak mau mengulas senyum. Ia tak pernah sekalipun memproklamirkan diri sebagai ayah yang baik bagi Inojin, karena menjadi orang tua adalah pembelajaran diri yang bersifat terus menerus seiring perkembangan sang buah hati.
Sai menikmati setiap proses tumbuh kembang sang anak, berusaha memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak, serta mengajarkan tata krama dan nilai-nilai kebaikan seperti mengasihi mahluk kecil ciptaan Tuhan yang ada di hadapan mereka saat ini.
"Bisa tolong ambilkan dedaunan di ranting itu?" Sai menunjuk ke dahan yang ada di belakang Inojin.
Inojin mengangguk pelan, kemudian memetik beberapa lembar daun yang masih segar dan bertekstur agak lunak, lalu menyerahkannya pada sang ayah.
Sai memilin selembar daun menjadi gulungan kecil, lalu mengarahkannya ke paruh bughats itu. Si anak burung langsung mematuk daun yang disodorkan Sai dan mendorongnya masuk ke dalam mulut. Inojin tampak gembira ketika bayi burung itu melahap habis makanannya.
"Bolehkah aku memeliharanya, Yah? Boleh yaa... Pleaseeee..." Sepasang mata biru cerah menatap Sai penuh harap.
Bila sedang bersikap membujuk seperti itu, Inojin sangat mirip dengan ibunya dan Sai pun tak kuasa menolak keinginan anaknya. Ino sering mengomelinya karena terlalu memanjakan Inojin, meskipun tidak setiap saat Sai mengabulkan permintaan sang anak dan ada kalanya ia melarang dan menasihati Inojin bila anak itu sudah bertingkah kelewat batas.
Namun Sai sekalipun tak pernah memarahi Inojin. Sama seperti Ino, Inojin dan janin yang masih berada di dalam kandungan Ino merupakan karunia terbesar dalam hidupnya.
Inojin adalah identitasnya. Kelahiran Inojin mengukuhkan eksistensinya di dunia ini. Tak ada yang mengetahui atau bahkan peduli pada latar belakangnya ketika ia menyandang nama Sai. Keberadannya di dunia ini seolah hanya kebohongan, karena semua orang menganggap dirinya tak pernah ada.
Namun semua berubah ketika Inojin lahir. Sebutan 'Ayahnya Inojin' atau 'Papanya Inojin' yang selalu disematkan kepadanya terasa sangat nyata. Well, itu memang kenyataan.
Sai adalah ayahnya Inojin dan itu akan berlaku selamanya karena Inojin adalah belahan jiwa Sai, darahnya mengalir di dalam tubuh Inojin, cetak biru asam nukleat miliknya melapisi setiap urat dan nadi Inojin, tercermin dalam penampilan fisik dan karakter sang anak yang nyaris mirip dengannya.
xxxxx
Inojin menuruni pohon dengan lompatan-lompatan cepat meski Sai sudah memperingatkannya agar berhati-hati. Anak itu terlihat bersemangat setelah Sai mengatakan padanya agar meminta izin pada ibunya sebelum memelihara bayi burung gagak itu dan untuk menyatakan persetujuannya, Sai pun membawa unggas kecil itu beserta sarangnya.
Inojin melompat kegirangan ketika Ino mengizinkannya memelihara bughats itu asalkan ia berjanji akan merawatnya sendiri tanpa merepotkan orangtuanya. Inojin pun tak lupa mengecup lembut pipi sang bunda sebagai ungkapan terima kasih.
Sai meletakkan sarang bughats tersebut di meja dapur. Bayi burung gagak itu masih berciap-ciap meski telah melahap dedaunan dan biji-bijian. Inojin menyingkirkan retakan cangkang dari tubuh unggas kecil itu dengan hati-hati dan dari gelagatnya, ia bermaksud memandikan peliharaan barunya untuk menghilangkan bau amis yang menyengat dari tubuh si bughats, tapi Sai melarangnya.
"Bau amis itu merupakan penanda," ujar Sai seraya menarik bangku dan duduk di sana.
"Penanda untuk apa, Yah?" Inojin melakukan hal serupa, duduk di hadapan sang ayah sembari melipat kedua lengannya di atas meja.
"Penanda agar serangga berdatangan ke arahnya." Jari besar Sai menunjuk ke barisan semut yang berjalan tertib menuju sarang bughats.
"Ketika baru menetas, tubuh bayi gagak tak berbulu dan masih berwarna kemerahan. Karena kondisi itulah, Ayah dan Ibu gagak meninggalkan bayi mungil ini. Mereka menganggap bahwa bayi ini adalah mahluk lain, bukan anak mereka," tutur Sai dengan nada prihatin.
"Berarti mereka gak sayang anaknya yaa, Yah?! Lalu, bagaimana nasib bayi gagak nantinya, Yah?! Bayi gagak kan gak bisa terbang buat cari makan?!" Raut wajah Inojin terlihat hampir menangis bercampur kesal. Ia tak menyangka kalau orangtua gagak sangat tega menelantarkan bayinya yang tak berdaya.
Melihat ekspresi sedih sang anak, Sai pun menenangkannya. "Tenaaang... Ada yang lebih sayang kok sama bayi gagak."
"Siapa, Yah?"
"Allah Subhanahu wa ta'ala."
"Eh? Benarkah?"
"Tentu saja benar. Allah sudah tahu bahwa Ayah dan Ibu gagak akan meninggalkan bayinya setelah mereka menetas. Bayi gagak yang lemah takkan bisa mencari makan sendiri. Maka, dengan kuasa-Nya, Allah menjadikan aroma amis di tubuh bayi gagak untuk mengundang serangga-serangga berdatangan ke sarang. Bayi gagak pun tahu bahwa Penciptanya takkan pernah menelantarkannya. Ketika serangga-serangga itu mendekat..." Tatapan Inojin secara refleks mengikuti gerakan tangan Sai yang menunjuk ke sarang bughats itu.
"... bayi burung gagak akan mematuknya dan memakannya." Inojin ternganga melihat bayi burung gagak mematuki semut-semut di tubuhnya kemudian melahapnya.
"Subhanallah... Jadi seperti itu yaa, Yah! Bayi gagak takkan kelaparan karena Allah senantiasa mendatangkan makanan ke sarang melalui bau amis di tubuh bayi gagak."
"Anak Ayah pintar sekali!" Sai membelai pipi tembam Inojin dengan gemas. Riuh tawa gembira keduanya memeriahkan suasana.
Sai kembali menuturkan beberapa keunikan burung gagak pada sang anak. Inojin pun menyimak penjelasan ayahnya dengan seksama sambil sesekali melayangkan pertanyaan yang terlintas di benaknya.
Sementara Inojin mengamati bayi gagak yang masih sibuk mematuki semut-semut dan serangga lainnya, Sai menuangkan sisa es teh yang ada di kulkas ke dalam dua gelas kaca.
"Secara tak langsung, bayi burung gagak telah mengajarkan sesuatu pada kita," ujar Sai seraya menyerahkan segelas es teh pada anaknya.
Inojin meneguk es tehnya hingga setengah. Saking senangnya memiliki hewan peliharaan, Inojin sampai lupa pada rasa haus yang menggerogotinya sejak berada di atas pohon.
"Pelajaran apa, Yah?" Inojin bertanya setelah menghabiskan minumannya.
"Melalui bayi burung gagak, kita diajari untuk selalu yakin bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita, sesulit dan seburuk apa pun keadaan yang kita alami. Bayi gagak yakin bahwa Allah takkan pernah mengabaikannya dan keyakinannya pun berbuah manis."
"Semestinya kita pun demikian, meyakini sepenuhnya bahwa Allah telah mengatur rezeki kita masing-masing dan dengan cara-Nya yang unik, Allah akan membukakan jalan bagi kita untuk memperolehnya. Seperti bayi burung gagak ini. Kau mengerti, Nak?"
"Iya, Yah!" Inojin mengangguk senang karena mendapat pelajaran yang berharga dari sang ayah.
Sai menarik Inojin ke dalam pelukannya dan mencium pucuk kepala sang anak. "Maka dari itu, kita harus senantiasa mengucapkan..."
"Alhamdulillah..."
x
x
x
- FIN -
x
x
x
Bughats (bayi burung gagak) berasal dari bahasa Arab.
Notes :
Saya random yaa? Setelah bikin 'lemon' terus bikin es teh manis :D
Gak ada alasan khusus sih, just unleash my imagination sesuai tagline FFN. Imajinasi saya random dan complicated, jadinya yaa beginilah. Kadang nulis fic Islami, kadang mature, dan kebanyakan fic gaje. Tapi harapannya sama, semoga reader sekalian bisa terhibur dan menikmati setiap karya saya :)
Lagi stuck di tengah-tengah plot Granada, trus nonton episode 71 pas Inojin bawa-bawa anak ayam, dan jadilah fic dadakan ini. Tiga fic InoSai berturut-turut setelah Shape of You dan Lukisan Kehidupan, bikin dua lagi dapet piring cantik nih :D
Papa Sai dan Mama Ino, tolong anaknya dikondisikan, jangan kebangetan lucu dan ngegemesin gitu, pake nemplokin anak ayam di pundaknya. Ekspresinya Inojin gak nahan banget XD
Walaaah. Jadi ngalor ngidul kan sayanya. Okelah. Segini aja cuap-cuap gak pentingnya. Terima kasih sudah berkenan mampir di sini. Feel free to critic and review. Thanks anyway :)
