Title : Letters for my Mother
Author : Daiichi
Genre : drama, family, angst
Rating : General

Chapter : 1

Fandom : the GazettE, Hyde L'arc~en~Ciel
Casting :

Uruha – Kouyou Takashima/Shima/Uruha

Reita – Akira Suzuki/Reita

Ruki – Takanori Matsumoto /Ruki

Aoi – YuuShiroyama /Aoi

Kai – Uke Yutaka/Kai

Hyde (Hideto Takarai)– Hideto Takashima (ayah Uruha)

Megumi Oishii – Megumi Takashima (ibu Uruha)

Beberapa Original Characters yg numpang lewat ^^

Ezuki – Ezuki Takashima (kakak Uruha)

Chisato Hatakeyama – kekasih Uruha remaja

Disclaimer : Pinjem nama doang hehehe... Mangap Om Hyde, tante Megumi nama kalian juga saya pinjem *sungkem *
Note Author : Pengen nulis ff yg berhubungan dengan Hari Ibu aja walau telat^^ Jika ada perubahan nama asli hanya untuk menyesuaikan aja hehehehe...

=0=

Wajah bocah laki-laki berwajah manis bernama Kouyou Takashima itu nampak berseri-seri. Tak henti-hentinya ia menolehkan wajah ke arah pintu menantikan sesuatu. Hari ini adalah hari kunjungan wali murid ke sekolah. Otomatis baik ayah maupun ibu dari anak-anak yang bersekolah di TK Miseinen akan datang. Bocah yang dipanggil Shima itu sangat menantikan kedatangan kedua orang tuanya.

"Shima-kun, apa orangtuamu juga akan datang?," tanya bocah laki-laki berwajah tak kalah manis berlesung pipi dengan suara cadel khas anak kecil.

"Tentu saja Kai-kun. Mereka akan datang," jawab Shima bersemangat.

"Aku ingin melihat ibumu. Kau selalu bercerita kalau ibumu itu sangat cantik, lembut dan sangat menyayangimu. Kau bilang dia seperti malaikat. Aku jadi penasaran," ujar bocah satu lagi yang berambut hitam kelam dengan bentuk bibir penuh bernama Yuu Shiroyama.

"Ibuku memang malaikat. Dia sangat-sangat cantik. Kata tou-san, kaa-san dulu seorang model terkenal. Kaa-san itu tidak cuma cantik tapi juga sangat baik. Tak pernah memarahiku, selalu memberi apapun yang kuminta. Tak ada yang sebaik kaa-san di dunia ini," tukas Shima lagi membanggakan sang ibu.

Sebelum ketiga bocah polos itu melanjutkan perbincangan mereka, guru mereka Ayumi sensei menginterupsi.

"Anak-anak. Orang tua kalian sudah datang semua. Mari kita sambut mereka," ujar sang sensei kepada murid-muridnya.

Tak lama kemudian rombongan orang tua murid pun memasuki kelas. Wajah masing-masing murid terlihat gembira saat melihat orangtua mereka.

"Shima-kun, mana ibumu?," tanya Kai pada Shima.

"Itu ibuku..," Shima menunjuk pada seorang wanita cantik dengan gaun elegan berbahan chiffon warna putih duduk di atas sebuah kursi roda. Di belakangnya seorang pria dewasa berwajah tampan nampak mendorong kursi roda tersebut.

"Itu ibumu?," tanya temannya yang satu lagi.

"Hai. Dia cantik bukan? Serasi dengan ayahku yang tampan," bangga Shima pada temannya.

Kedua teman Shima yang bernama Kai dan Yuu mengamati sosok wanita cantik yang ditunjuk Shima dari atas hingga ke bawah. Memang benar-benar sangat cantik dan terlihat anggun. Tatapan matanya terhenti ketika melihat kaki wanita itu. Walaupun tertutupi kain lebar, namun jelas terlihat tak ada satupun kaki disana.

"Shima...ibumu tidak mempunyai kaki ya?," tanya Kai dengan polosnya.

Shima hanya terdiam. Memang selama ini ia melihat ibunya yang cantik itu berbeda dengan yang lain. Ia tidak memiliki sepasang kaki dari tungkai ke bawah sehingga membuatnya harus berada di atas kursi roda. Walaupun begitu, Shima tak mempermasalahkannya. Selama ini ibunya tetap memberikan kasih sayang dan kehangatan yang utuh untuknya.

"Shima-kun... Kau bilang ibumu seperti malaikat. Kau pasti bohong ya? Malaikat yang cantik mana mungkin tak mempunyai kaki seperti itu," timpal Yuu.

"Aku tidak bohong! Ibuku itu memang malaikat.. Memangnya kenapa kalau kaa-san tidak memiliki kaki? Ibuku masih bisa memakai kursi roda untuk berjalan," ujar Shima tak terima karena diejek teman-temannya bahkan tatapan mata mereka terarah kepada sang ibu yang berada di atas kursi roda.

Nada suara Shima meninggi, membuat semua perhatian yang semula ke arah ibunya berganti tertuju kepadanya.

=o=

Semenjak hari kunjungan wali murid itu, Shima tidak lagi ceria seperti biasanya. Ia menjadi malas ke sekolah bahkan untuk berangkat sekolah pun harus dibujuk keras karena Shima selalu menolaknya. Shima pun selalu murung setiap kali pulang dari sekolah. Biasanya Shima selalu bermanja-manja dengan sang ibu, meminta perhatiannya hingga sang kakak Ezuki bahkan cemburu karena ibunya yang bernama Megumi itu lebih memperhatikan Shima daripada dirinya. Namun kini Shima menjauh dari sang ibu.

Semula Megumi berpikir bahwa mungkin putra kesayangannya itu hanya sedang merajuk saja. Namun ini sudah satu minggu perilaku anaknya benar-benar berubah. Megumi merindukan celotehan dan sifat manja putra bungsunya tersebut.

"Shima-chan. Tidak memeluk kaa-san hmm?," senyum lembut terulas dari bibir Megumi saat melihat putranya bersiap berangkat sekolah bersama pengasuhnya.

Bocah manis yang dipanggil Shima itu hanya melengos, tak menggubris panggilan sang ibu.

"Shima-chan...," panggil Megumi lagi.

Putranya tak mempedulikan panggilan Megumi tadi. Ia malah berlari begitu saja kembali masuk ke kamarnya. Menghempaskan diri di atas ranjang yang bergambar Doraemon. Menangis tersedu-sedu disana.

"Shima-chan, kenapa nak?," tanya wanita itu dengan suara lembut terhadap putra kecilnya yang masih duduk di bangku TK dan berusia 5 tahun tersebut. Ia menggerakkan kursi rodanya mendekati sang putra. "Katakan pada kaa-san. Kenapa Shima-chan menangis hmm?"

"Pergi!," bocah kecil itu menepis tangan sang ibu yang hendak membelainya. Membuat wanita itu menampakkan guratan keterkejutan atas sikap kasar sang anak, namun sekejap kemudian memakluminya karena putranya itu masih terlalu kecil.

"Sayang, kau kenapa?," sang ibu tetap berkata dengan nada lembut.

"Pergi! Shima benci kaa-san!," hardik sang anak lagi yang membuat sayatan luka tak kentara di hati sang ibu mendengar perkataan itu walaupun terucap dari mulut mungil putranya yang berwajah manis tersebut.

"Shima...," bibir merah sang ibu bergetar hebat.

"Shima bilang pergi!," usir sang anak kembali.

"Apa salah ibu nak?," tanya ibunya tetap bersabar.

"Shima benci kaa-san. Kenapa kaa-san harus menjadi ibu Shima?," ucap jujur sang anak yang semakin menyakiti hati sang ibu.

"Shima?"

"Ini semua gara-gara kaa-san. Pokoknya Shima tidak mau masuk sekolah lagi!," teriak Kouyou dengan histeris sambil masih menangis tersedu-sedu.

"Ada apa ini?," sang ayah yang mendengar teriakan putra bungsunya pun memasuki kamar putranya.

"Shima..," ucap Megumi lirih dengan mata berkaca-kaca pada suaminya.

"Doshite? Tidak berangkat ke sekolah hmm? Nanti kau terlambat... kakakmu Ezuki sudah menunggumu," ayah Shima yang bernama Hideto itu mendekati putranya.

"Shima tidak mau sekolah, tou-san," ucap Shima tersedu-sedan di pelukan sang ayah.

"Daijobu ka? Shima tidak sedang sakit kan?," Hyde mengecek kondisi tubuh putranya dengan menempelkan punggung tangannya ke kening Shima.

"Pokoknya Shima tidak mau..," bocah laki-laki itu menggelengkan kepala dengan keras.

"Kalau Shima-chan tidak sekolah, bagaimana Shima bisa pintar? Malu dong sama nee-chan yang rajin sekolah," bujuk Hyde.

Shima tetap menggelengkan kepala dengan keras sambil mengeratkan pelukannya pada sang ayah.

"Apa Shima-chan mau diantar tou-san dan kaa-san ke sekolah?"

"Shima tidak mau diantar kaa-san. Shima benci kaa-san!," jerit Shima.

"Shima! Jangan berkata seperti itu pada ibumu! Tou-san tidak suka kau tidak sopan begini. Cepat minta maaf," Hyde melepaskan pelukannya dari Shima dan menatap tajam putranya.

"Suamiku.. Sudahlah. Shima masih kecil. Jangan terlalu keras padanya," Megumi berusaha menengahi walau tak bisa dipungkiri, sikap putranya itu menyakitinya. Tentu saja, ibu mana yang tidak sedih ketika sang anak mengatakan benci padanya padahal ia sangat menyayangi anak yag telah dilahirkannya dengan susah payah.

"Tidak bisa begitu istriku. Meskipun masih kecil, dia harus teta diajar sopan santun," tegas Hyde. "Shima, cepat minta maaf pada ibumu!," perintah Hyde lagi.

Shima kecil tetap tak bergeming. Ia menundukkan wajahnya dalam. Ketakutan dengan sikap keras ayahnya.

"Shima!," ulang Hyde.

"Tou-san. Shima tidak mau sekolah lagi," bocah laki-laki itu terisak. "Teman-teman mengejek Shima semua. Mereka berkata kaa-san cacat, kaa-san tidak memiliki kaki. Tidak ada lagi yang mau berteman dengan Shima."

Penjelasan jujur nan polos dari putra bungsunya itu sangat menohok hati kedua orangtuanya terutama Megumi. Wanita cantik ini mulai mengeluarkan bulir-bulir airmata dari sepasang mata indahnya. Sikap dan perkataan putranya tadi memang melukainya, namun mendengar penjelasan dari Shima membuatnya merasa bersalah. Putranya yang sekecil ini harus mengalami rasa malu dan sakit dengan cemoohan teman-temannya karena keadaan fisik ibunya. Ia merasa sakit ketika anaknya mengalami kesakitan seperti ini. Begitulah seorang ibu. Lebih memikirkan perasaan anaknya daripada dirinya sendiri.

"Shima-chan..," Hyde mendesah pelan. Direngkuhnya tubuh kecil putranya ke dalam pelukannya. Ia tak bisa menyalahkan sepenuhnya sikap sang anak tadi. Bagaimanapun, putra bungsunya masih terlalu kecil untuk memahami masalah seperti ini.

=o=

Semenjak itu, beberapa kali Shima berganti-ganti sekolah. Setiap kali berada di sekolah yang baru dan mulai memiliki teman. Ketika mereka mengetahui kekurangan fisik dari Megumi, maka Shima kemudian menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya. Lama-kelamaan Shima tak memiliki teman sama sekali. Ia selalu meminta sang ayah untuk memindahkannya sekolah. Shima tak lagi menjadi pribadi yang ceria, ramah dan mudah berteman pada siapa saja. Ia tumbuh menjadi tertutup, dingin, dan penyendiri. Memberi jarak terhadap teman-temannya begitu juga dengan sang ibu yang ia anggap sebagai penyebab dirinya menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Musim berganti, tahun-tahun pun tanpa terasa terlewati. Kouyou Takashima atau Shima kini telah tumbuh menjadi remaja. Di usianya yang menginjak ke-16 tahun, ia telah tumbuh menjadi pemuda yang pintar, berwajah tampan namun juga terlihat cantik dalam satu waktu. Dengan tubuh yang menjulang tinggi, kulit seputih porselin, serta sifat dingin dan keahliannya bermain gitar yang mampu menarik perhatian gadis-gadis di sekolahnya. Ia cukup terkenal di Tokyo Gakuen High School tempatnya menimba ilmu sekarang ini.

"Ohayou, Uruha-kun," seorang remaja bertubuh lebih pendek dengan rambut menyentuh leher berwarna mahogany menyapa Shima yang kini biasa dipanggil Uruha oleh teman-temannya.

"Ohayou, Ruki-kun," jawab Uruha datar tanpa menoleh.

Dulu Uruha adalah bocah laki-laki yang ceria dan ramah terhadap siapapun. Namun sejak memasuki SMP ia berubah menjadi pendiam dan dingin seperti sekarang ini.

"Wow..kau selalu dingin teman. Aku ini sahabatmu bukan? Bersikaplah lebih hangat padaku," goda remaja laki-laki berkulit pucat bernama Ruki ini.

Uruha tak merespon perkataan Ruki. Ia sudah biasa dengan perilaku Ruki tersebut. Entah hubungan mereka apakah bisa disebut sebagai persahabatan? Uruha pun tak berpikir seperti itu. Semenjak pertama kali memasuki bangku SMA, Ruki yang lebih dulu mendekatinya, kemudian mulai mengikuti Uruha kemana pun. Mengklaim bahwa Uruha adalah sahabat satu-satunya. Uruha tidak mempedulikan hal itu, selama Ruki tidak mengganggu privasinya.

Sering Ruki memaksa untuk bermain ke rumah Uruha, bahkan setengah memaksanya. Namun Uruha selalu menolaknya. Semenjak 10 tahun ini, Uruha tak pernah mempunyai teman dekat dan tak pernah mengijinkan siapapun untuk datang ke rumahnya. Ia tak mau ada yang mengetahui keadaan fisik sang ibu agar kejadian beberapa tahun yang lalu terulang kembali. Tentu saja ia malu jika teman-temannya melihat kekurangan fisik ibunya dan kemudian menjadi bahan hinaan di sekolah seperti yang dulu-dulu. Entah apa nanti Ruki kelak akan menganggapnya sahabat ketika pemuda manis itu tahu keadaan ibunya.

"Kau mewarnai rambutmu?," tanya Ruki ketika menyadari bahwa warna rambut Uruha yang semula gelap menjadi pirang madu.

"Hmm..," hanya itu jawaban yang diberikan Uruha.

"Kau terlihat lebih...err..cantik?," ucap Ruki dengan ragu setelah menatap wajah Uruha.

Mewarisi wajah ibunya membuat garis wajah Uruha itu lebih terlihat cantik daripada disebut tampan. Namun Uruha paling tidak suka jika orang lain mengatakannya cantik karena bagaimanapun ia laki-laki sejati. Mendengar Ruki mengatakannya cantik refleks membuat Uruha menoleh, memberi tatapan tidak suka pada Ruki.

"Bu-bukan begitu maksudku teman," ujar Ruku gugup karena tatapan tajam Uruha. "Maksudku, kau..kau terlihat lebih keren. Ya..itu karena kau memang tampan hehehehe...," Ruki mengusap tengkuknya yang merinding. "Ehm..tindikanmu juga semakin membuat keren. You look so cool, man..," sambung Ruki lagi dengan bahasa Inggris yang terdengar belepotan saat mengucapkannya.

"Sou desu ka..," ucap Uruha datar.

"Ah, ya..memang begitu kenyataannya. Kau memang keren. Aku juga ingin menindik telingaku seperti dirimu, tapi nanti ayahku pasti akan marah besar. Ayahku itu sangat galak apalagi kalau sudah marah," ujar Ruki sambil tertawa garing.

Memang sejak memasuki bangku SMA sedikit demi sedikit Uruha mulai mengubah penampilannya. Memanjangkan rambut hingga menyentuh bahu, merubah-rubah warna rambut, juga menindik telinganya. Mungkin terkesan berandalan, namun karena Hyde ayah Uruha adalah salah satu penyandang dana terbesar di sekolah dan karena Uruha termasuk siswa berprestasi di sekolah, maka kepala sekolah dan para guru membiarkannya. Lagipula selama ini Uruha tidak pernah bersikap urakan atau membuat onar di sekolah.

" Uruha-kun," Ruki merangkul bahu Uruha. "Kau tahu...sudah dua minggu ini aku belajar bermain drum. Suatu saat aku ingin menunjukkan kemampuanku padamu. Aku iri padamu karena kau pintar bermain gitar, hampir semua gadis di sekolah kita menyukaimu. Kalau aku juga pintar bermain musik, akan kubuat mereka semua berpaling padaku," ujar Ruki bersemangat.

Perkataan Ruki tak urung membuat Uruha merasa geli. Ia membayangkan tubuh mungil Ruki berada di belakang perangkat drum yang begitu banyak. Bukankah akan terlihat lucu karena sebagian besar tubuh mungilnya akan tertutupi drum yang membuatnya malahan tidak terlihat? Uruha sempat berpikiran kejam seperti itu. Tapi tentu saja ia tak akan mengatakan terus terang pada Ruki.

"Kau tidak perlu berusaha keras belajar bermain drum. Itu membuang waktu. Lebih baik gunakan suaramu untuk menarik perhatian gadis-gadis itu," sahut Uruha datar tanpa menatap wajah temannya. Perkataan Uruha memang ada benarnya. Ia pernah mendengar Ruki bersenandung dan ternyata Ruki mempunyai suara yang bagus. Hanya saja pemuda itu tidak menyadarinya kelebihannya.

"Hontou ka? Apakah suaraku sebagus itu?," tanya Ruki tidak percaya.

Uruha tidak menjawab pertanyaan Ruki. Ia mempercepat langkahnya menuju kelas karena sebentar lagi bel masuk berbunyi.

"Hei, jangan cepat-cepat Uru-chan!," Ruki mempercepat langkahnya mengejar Uruha namun masih saja kesulitan karena tubuh Uruha yang lebih tinggi otomatis langkahnya akan lebih panjang daripada dirinya.

Wajah manis Ruki hampir saja menabrak punggung Uruha karena temannya itu mendadak menghentikan langkahnya.

"Hampir saja wajah tampanku rata. Jangan berhenti tiba-tiba dong!," omel Ruki sambil mengelus hidung mancungnya.

Uruha tak merespon protes dari Ruki. Ia terpaku di tempatnya. Ruki kemudian memperhatikan wajah Uruha yang kini dihiasi semburat kemerahan. Ia belum pernah melihat Uruha seperti ini sejak pertama mengenalnya. Biasanya ekspresi Uruha hanya terlihat datar dan dingin, tidak terlalu menunjukkan emosi.

Ruki pun mengikuti kemana arah mata Uruha memandang. Seringaian muncul dari sudut bibir mungil Ruki. Ternyata yang diperhatikan Uruha adalah gadis bernama Chisato Hatakeyama dari kelas XI-2. Gadis yang merupakan putri dari pemilik sebuah Rumah Sakit swasta terkenal itu termasuk idola di sekolah. Cantik, bermata besar dengan bibir merah merekah, tubuh tinggi semampai proporsional, rambut panjang berombak hampir menyentuh pinggang, berkulit indah. Semua kesempurnaan gadis itu membuatnya menjadi ketua club cheerleaders di sekolah. Hanya memandang dari kejauhan sosok gadis itu saja mampu membuat jantung Uruha berdebar dengan kencang melebihi normal. Apalagi ketika tanpa sengaja pandangan mata keduanya bertemu. Bibir merah Chisato mengulas senyum malu-malu kepadanya. Dunia serasa berhenti berputar saat itu juga. Untuk pertama kalinya, Uruha jatuh cinta.

"Dia memang sangat cantik teman. Kalau mau berkenalan dengannya, aku akan membantumu," bisik Ruki pada Uruha.

Mendengar perkataan Ruki membuat Uruha tersadar dari kegiatannya menatap gadis yang memang diam-diam disukainya sejak lama. Uruha tahu setelah ini Ruki pasti akan menggodanya habis-habisan.

"Ehem.. Sebentar lagi kelas dimulai. Nanti kita terlambat," ujar Uruha berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia lalu melangkah mendahului Ruki lagi menuju kelas.

"Uruha! Chotto matte..."

=o=

"Tadaima..," ucap Uruha pelan ketika memasuki rumahnya. Hari ini Uruha mengikuti ekstrakurikuler sepak bola sehingga pulang terlambat karena latihan baru saja selesai pukul 7 malam yang berarti satu jam yang lalu. Beruntung esok adalah hari Minggu sehingga dirinya tak perlu belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah.

"Okaeri. Kau sudah pulang sayang?,"sapa seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan yang masih terlihat cantik tersebut. "Apa kau sudah makan? Jika belum akan kaa-san siapkan," Uruha tak menghiraukannya bahkan melangkah begitu saja menuju kamarnya seolah tak ada yang mengajaknya berbicara.

Megumi hanya bisa menatap sedih sang putra yang bahkan sama sekali tak mau melihatnya. Megumi menjalankan kursi rodanya menuju kamar pribadinya. Disana ia menatap foto dirinya dan Uruha ketika masih kecil. Senyum pahit tersemat dari bibirnya mengenang masa-masa bahagianya bersama sang putra. Dulu putra bungsunya itu sangat manja dan tak mau berpisah dengannya selama satu detik pun, tapi kini berkebalikan. Putranya yang telah tumbuh remaja tak mau lagi menatapnya walau satu kali pun.

Sementara itu sesampainya di kamar, tanpa mengganti seragamnya atau mandi terlebih dahulu, Uruha langsung merebahkan diri di atas ranjang ukuran besarnya.

"Shima-chan...," suara manja seorang gadis memanggilnya.

Tanpa meminta izin lebih dulu, gadis bertubuh mungil dengan warna rambut cokelat sebahu itu masuk ke dalam kamar Uruha kemudian duduk di tepi ranjang.

"Huft..kau bau sekali. Cepat mandi dan ganti baju sana!," perinah gadis berusia 19 tahun itu setelah mengendusi baju Uruha.

"Kau berisik sekali Ezuki-chan!," sahut Uruha dingin, lalu mengubah posisi tidurnya membelakangi Ezuki.

"Hei.. Aku ini kakakmu. Bersikaplah sopan, baka!," Ezuki menggeplak kepala Uruha cukup keras, membuatnya meringis kesakitan.

"Aku lelah nee-chan. Biarkan aku beristirahat sekarang," Uruha masih mengelus kepalanya yang masih lumayan terasa sakit.

"Aku tidak sudi menganggapmu adik kalau kau sejorok ini. Hanya mandi dan berganti pakaian lalu kau boleh tidur. Hayaku!," perintah Ezuki tanpa memberi kesempatan Uruha untuk menolak.

Uruha tahu jika menolak perintah sang kakak, maka hanya omelan berjam-jam yang akan di dapatnya. Bagaimanapun ia sangat lelah dan mengantuk saat ini. Lebih baik ia segera mandi daripada harus mendapat ceramah gratis dari sang kakak Ezuki. Dengan malas, Uruha pun mengambil handuk dan melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya tersebut.

"Shima-chan... Kenapa kau menjadi seperti ini?," gumam Ezuki pelan setelah adiknya berada di dalam kamar mandi. Sepasang matanya menatap nanar pintu kamar mandi yang kini.

Lima belas menit kemudian Uruha telah selesai mandi dan berganti pakaian. Ezuki melihat bahwa wajah adiknya itu memang terlihat begitu lelah saat berjalan ke arahnya yang masih duduk di tepi ranjang.

"Kau tidak mau makan malam?," tanya Ezuki.

"Ie. Aku mau langsung tidur saja," jawab Uruha sambil memejamkan mata.

"Kaa-san tadi memasak mentai korokke bento kesukaanmu. Rasanya..hhmm..sangaaat lezat. Masakan kaa-san memang selalu no.1," ujar Ezuki dengan bersemangat.

Berkebalikan dengan ekspresi Ezuki, reaksi Uruha malahan terlihat tak peduli. Sepasang mata Uruha yang tadi terpejam kini terbuka, menatap Ezuki dengan tajam.

"Aku sudah makan di luar tadi. Lagipula makanan seperti itu juga bisa dibeli di restoran mana pun," sahut Uruha dingin.

"Shima-chan.. Doshite? Kaa-san sengaja memasak untukmu. Meskipun kau sudah kenyang, hargailah kerja keras kaa-san. Makan lah sedikit saja agar kaa-san merasa senang," nasihat Ezuki pada adiknya.

"Jangan panggil aku dengan nama itu lagi! Itu panggilan yang konyol dan kekanak-kanakan," nada suara Uruha meninggi. Ia tak suka dipanggil Shima lagi karena nama panggilan itu pemberian ibunya dulu ketika ia masih kecil. Apapun yang berhubungan dengan Megumi, Uruha tak menyukainya.

"Kouyou...," Ezuki menatap tak percaya pada Uruha.

"Keluarlah! Aku mau tidur," usir Uruha.

"Kouyou Takashima yang bodoh... Kau harus tahu bahwa kaa-san sangat menyayangi kita. Kau juga diriku," ujar Ezuki sambil menatap nanar kearah adiknya. "Oyasumi," Ezuki melangkah keluar lalu menutup pintu kamar Uruha.

=o=

Hari ini Uruha sengaja datang lebih pagi dari biasanya. Termangu di atas bangku duduknya memandang keluar jendela kelas. Berada di dalam rumah terlalu lama membuatnya tak betah. Melihat Megumi yang berada di atas kursi roda membuatnya risih karena sang ibu selalu menatapnya dengan penuh harap agar ia mau berpaling sebentar saja. Hyde sang ayah lebih sering memarahinya karena sikap dinginnya pada ibunya. Ezuki kakak perempuannya yang tak henti-hentinya berceramah agar ia merubah sikapnya itu. Semuanya membuat Uruha lelah. Kenapa mereka tak mengerti sedikit saja perasaannya?

"Uruha, kucari-cari di gerbang sekolah ternyata kau sudah ada disini. Tumben kau datang lebih awal dari biasanya?," tanya Ruki sambil mengambil duduk di samping Uruha.

"Betsuni. Hanya ingin datang lebih pagi saja," Uruha tetap menatap keluar jendela.

"Ehem.. Aku tahu kau menyukai Hatakeyama-san teman. Sebagai sahabat yang baik, aku memenuhi janjiku untuk menolongmu. Kebetulan sepupuku adalah tetangga dari Hatakeyama-san. Dia memberiku nomor ponsel Hatakeyama-san kemarin," suara Ruki pelan namun masih dapat terdengar oleh Uruha yang duduk di sampingnya. Sementara tangannya melambaikan kertas berukuran kecil dengan tulisan deretan angka yang tertera disana.

Uruha terdiam mendengar perkataan Ruki. Sudut matanya melirik sejenak kertas kecil di tangan Ruki. Dalam hatinya sangat senang dan segera ingin mendapatkan nomor ponsel Chisato dari Ruki, namun Uruha tak mau menunjukkan perasaannya begitu saja.

"Ayolah Uru-chan.. jangan bersikap sok gengsi seperti itu. Kalau kau tidak mau buatku saja ya..," goda Ruki yang sukses membuat Uruha menoleh padanya.

"Jangan panggil aku Uru-chan. Itu terdengar mengerikan," sahut Uruha sambil menyambar kertas kecil di tangan Ruki yang bertuliskan nomor ponsel gadis idamannya tersebut. Semburat kemerahan terlihat di pipinya meskipun pemuda itu memasang wajah dingin.

Ruki hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku teman sebangkunya itu. Ia sudah terbiasa dengan sikap dingin Uruha, jadi tak perlu menunggu ucapan terimakasih meluncur dari bibir indah sahabatnya.

Tak lama berselang bel masuk berbunyi. Semua murid telah duduk di tempatnya masing-masing dengan tertib. Beberapa menit kemudian sensei masuk ke dalam kelas dan memulai pelajaran matematika. Uruha memang termasuk murid yang pintar, namun untuk pelajaran yang satu ini ia benar-benar menyerah. Walaupun ia terlihat memeperhatikan pelajaran,namun tidak dengan pikirannya. Sesekali ia melirik kertas kecil di tangannya. Tanpa sadar bibir indahnya mengulas senyuman tipis. Mengambil ponsel yang ada di kantong celananya. Semula ia nampak ragu namun akhirnya memberanikan diri untuk mengirim pesan ke nomor tersebut. Tak berapa lama kemudian pesanya mendapat jawaban dari si penerima yang bernama Chisato Hatakeyama itu. Kembali bibirnya mengulas senyuman yang kali ini lebih kentara setelah membaca pesan dari sang gadis.

=o=

Senyuman manis yang jarang diperlihatkan oleh Uruha kini tak pernah lepas dari bibir indah miliknya sejak pulang sekolah hingga sampai di rumah. Apa gerangan yang telah membuat remaja ini bersuka cita? Oh, ternyata jawabannya karena seorang gadis cantik sang pujaan hati. Tadi Uruha telah memberanikan diri untuk mengajak berkencan Chisato sepulang sekolah dan ternyata gadis itu menyetujuinya.

Sebelum mengajaknya berkencan, terlebih dahulu Uruha menyampaikan perasaannya terhadap Chisato. Ternyata Uruha tidak bertepuk sebelah tangan. Betapa bahagianya Uruha. Gadis itu menyambut perasaannya. Sebagai kencan pertama mereka, Uruha mengajaknya jalan-jalan ke Shibuya lalu dilanjutkan dengan menonton bioskop.

"Kau baru pulang nak? Darimana saja?," tanya sang ibu ketika melihat Uruha memasuki rumah.

Ada alasannya Megumi cemas. Memang Uruha adalah anak laki-laki dan ia sudah berusia 16 tahun. Namun putranya tadi tidak meminta izin untuk pulang terlambat dan hingga malam Uruha baru pulang. Mendengar pertanyaan Megumi, Uruha hanya menghentikan langkahnya saja. Ia tidak menoleh sama sekali pada ibunya. Sesaat kemudian Uruha melangkahkan kembali sepasang kakinya menuju kamar.

"Shima!," suara rendah sang ayah menghentikan langkahnya kembali. "Ibumu tadi bertanya. Kenapa kau tidak menjawab hmm?," tanya Hyde yang kini berada di hadapan Uruha.

"Aku tadi pergi dengan teman, tou-san. Gomen, aku lupa memberitahu," jawab Uruha.

Plaak..

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Uruha, meninggalkan bekas kemerahan disana. Mata Megumi melebar melihat pemandangan tersebut. Ia menatap miris kearah putranya.

"Tou-san tidak pernah mengajarimu untuk bersikap seenaknya. Cepat minta maaf pada ibumu karena kau telah membuatnya khawatir!," perintah Hyde dengan tegas.

Uruha mengusap pipinya yang terasa panas. Tak hanya pipinya yang memerah. Wajahnya pun kini juga ikut memerah hingga merambat ke telinga karena menahan marah. Tak menghiraukan perkataan sang ayah, Uruha pun berlalu meninggalkannya menuju kamar.

"Shima!," panggil Hyde ketika melihat Uruha tak mengindahkan perintahnya.

"Suamiku.. Sudahlah!," Megumi menahan tangan Hyde. Butiran airmata mengalir dari sudut matanya.

"Seharusnya kau tak melarangku untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada anak itu. Kau ini ibunya. Bagaimanapun keadaanmu, tidak seharusnya dia bersikap seperti itu," Hyde berjongkok di depan kursi roda Megumi.

"Ie," Megumi menggeleng pelan. "Dia hanya belum dewasa saja. Suatu saat dia akan mengerti. Aku tahu dia anak yang baik karena akulah yang melahirkannya. Hanya saja, perasaannya yang terlalu lembut," Megumi tersenyum tulus. "Aku mohon..jangan menyakiti anak kita lagi Haido-kun."

"Megumi-chan...," Hyde meremas pelan jemari lentik istrinya, memberikan kekuatan.

Sementara itu Ezuki yang melihat peristiwa tadi dari balik pintu hanya bisa menatap sedih. Ia kemudian menuju ke dapur mengambil sebaskom kecil air yang diberi es batu kemudian menghampiri kamar adiknya.

"Shima-chan...," Ezuki mendekati Uruha yang duduk d tepi ranjang dengan wajah gusar. "Sakit?," Ezuki menyentuh pelan pipi Uruha.

"Tinggalkan aku," lirih Uruha.

"Ck..baka!," cibir Ezuki sambil menempelkan kompres air dingin ke pipi adiknya. Membuat Uruha meringis menahan sakit. "Tadi, aku mengantar kaa-san ke rumah sakit," Ezuki mulai bercerita. "Dokter bilang, ginjal kaa-san sudah tidak berfungsi lagi. Kaa-san harus melakukan transplantasi ginjal. Kalau tidak, kaa-san harus melakukan cuci darah seumur hidupnya."

Uruha hanya terdiam mendengar cerita kakaknya meskipun dalam hati ia sangat terkejut. Ada perasaan takut tiba-tiba merasuki hatinya. Bayangan kepergian sang ibu terbersit di benaknya kini. Namun buru-buru Uruha menepisnya.

"Kau tidak tahu kan kalau kaa-san sudah melakukan cuci darah itu selama enam bulan ini. Hmm..tentu saja tidak tahu karena kau tidak mau peduli dengan ibu yang telah melahirkanmu,"sindir Ezuki. "Berbaikanlah dengan kaa-san sebelum kau menyesal!."

Biasanya Uruha akan marah ketika sang kakak menasihatinya. Namun kini mulut Uruha hanya bisa terkunci rapat. Ada kebenaran dalam perkataan Ezuki, hanya saja Uruha berusaha mengingkarinya.

TBC