Apa itu kebahagiaan?
Anak itu bertanya kepada dirinya sendiri. Jemari mungilnya menggenggam benda lunak berwarna merah, mendekapnya erat, seolah tak sanggup melepasnya lagi. Suara hembusan nafasnya yang menderu memecah keheningan di ruangan itu.
Sudah berapa lama ia sendirian di ruangan itu?
Kedua bola matanya terpejam, hatinya merindukan sang ibunda. Sudah berapa lama tak berjumpa?
Ingatannya memutar kenangan mereka berdua bagaikan film tanpa suara. Surai putih ibunya yang indah, suara yang merdu bagaikan lantunan harpa dari surga, dan senyumannya yang hangat. Sang ibu selalu bersinar bagai sang surya di kedua irisnya.
Ia menyandarkan tubuh kecilnya ke dinding. Wajah sang ayah terbayang di kepalanya. Jika ibunya bagaikan cahaya, maka ayahnya adalah bayangan gelap yang meredupkan kehidupannya. Tatapan dingin bagai es itu serasa menohok jantungnya. Ia benci tatapan itu, ia tidak menyayangi pria bertubuh tegap itu. Berkebalikan dari ibunya, ia justru berharap agar tak perlu menemui sang ayah. Biarlah ia sendirian, asal tak bersamanya.
Bocah itu membaringkan tubuh mungilnya di atas ranjang. Ruangan yang dingin itu membuatnya semakin merindukan cahaya hangat milik ibunda. Setitik, kemudian dua titik air mata menetes dari iris hitam memesonanya hingga menganak sungai di kedua belah pipi gembilnya. Batinnya kemudian melantunkan satu permintaan,
"Semoga mama cepat kembali."
—0o0—
Anak itu membelalakkan matanya takjub kala sang burung membawanya terbang melintasi angkasa luas. Ia melihat ke bawah, melambaikan tangannya pada seorang pria bertubuh bulat dan sesosok mutan bertubuh tinggi besar. Mereka tersenyum selagi melambai balik.
Anak itu tertawa riang saat sang mutan menggendongnya di punggungnya. Ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke udara. Sang pria bertubuh bulat tampak cemas, ia tidak mau anak itu terjatuh.
Bocah mungil itu bersorak kegirangan saat sang pria bertubuh bulat menghidangkannya kue. Ia sangat menyukai rasa manis yang ia kecap di lidahnya. Sang mutan menegur mereka agar tidak terlalu banyak memakan makanan yang manis, namun sang pria bertubuh bulat menghiraukannya.
Anak itu memeluk temannya satu persatu. Mereka berjanji untuk bermain dengannya lagi. Ia sangat senang ketika mendengarnya. Sebuah kalimat polos terlontar dari bibirnya.
"Kalau ini mimpi indah, rasanya aku tidak akan pernah berharap untuk bangun..!"
—0o0—
Air mata anak itu menganak sungai, tangan mungilnya gemetaran. Mimpi indahnya telah berakhir, dengan kasar tubuh mungil itu terdepak kembali ke kenyataan yang pahit. Suara jerit tangis pilunya menggema di ruangan kecil yang mengurungnya. Rasa ketakutan yang amat sangat menyelimutinya disaat melihat cakar yang besar nan tajam itu.
Kepada monster yang ia panggil ayah, batinnya bertanya, "Kenapa?"
"Aku bukanlah anak nakal, tolong jangan hukum aku!" Batinnya menjerit pilu.
Ia berjengit kala monster itu mengayunkan tongkat baseballnya. Matanya membelalak lebar, ia takut, namun ia tahu, ia tak akan bisa melawan.
Perlahan, tangisannya mereda. Tubuhnya terasa lemas.
"Aku... takut gelap..." Suara paraunya menggema ke seluruh ruangan sempit itu.
"Tidak akan ada yang gelap lagi mulai sekarang."
Kala pandangannya mulai kabur, kala kesadarannya mulai menipis, hal terakhir yang ia rasakan adalah sepasang tangan—bukan lagi cakar—yang mendekap tubuhnya. Hal terakhir yang ia lihat adalah setitik air mata yang membasahi pipi lelaki itu.
"Maafkan ayah, Hugo sayang. Selamat tidur. Ayah mencintaimu..."
-End-
