Halo!

padahal masih ada ff ongoing tapi malah buat ff baru. ha. nekat kan -_-

sebenarnya ini soal Aomine & Kise, tapi Kise belum muncul di chapter 1 ini :v

Enjoy! ^^


Disclaimer.

© Tadatoshi Fujimaki


'-The Past, the Future and Us-'


-The Past of the Future- [01]


[Masa Depan : +15]

"Jadi, Aomine… Kau sudah mengerti apa misimu?"

Pemuda bernama Aomine yang ditunjuk menganggukkan kepalanya.
"Setelah melewati portal ini, aku akan kembali ke masa lalu. Dan disana, aku hanya perlu membunuh pemuda bernama Kise Ryouta. Hanya itu kan, Midorima?"

Midorima mengangguk-angguk pelan.
"Hmm."
"Baguslah kalau kau mengerti. Jangan sampai gagal, Aomine. Jika masa lalu diubah, maka masa depan juga akan berubah. Kau harus membunuh dirinya di masa lalu untuk mencegah kehancuran masa depan ini."

Midorima yang mengenakan jubah lab itu mengutak-atik 'portal' di hadapannya.

'Portal' yang dimaksud di sini merupakan sebuah pintu yang sudah dimanipulasi dengan berbagai teknologi canggih, sehingga orang yang melewatinya akan di 'transfer' kembali ke masa lalu sesuai keinginan.

"Kau sudah siap? Apa kau sudah membawa segala peralatan yang kau butuhkan?"

Aomine tertawa ringan.
"Heh. Aku tidak membutuhkan banyak senjata hanya untuk membunuh seekor lalat."

Midorima menghela napas..
"Jangan meremehkannya, Aomine. Meskipun mungkin 15 tahun yang lalu dia hanyalah seorang pemuda biasa, tapi dia tetaplah orang yang hampir berhasil menghancurkan negara ini dan merenggut banyak nyawa, termasuk rekanmu, Kuroko Tetsuya."

"Tch."
"Baiklah, aku mengerti."

Aomine menambahkan beberapa buah senjata lainnya ke dalam tasnya yang memang hanya berisi berbagai jenis senjata untuk membunuh.

"Aku akan mengaktifkan portalnya. Bersiaplah."

Midorima menekan beberapa tombol pada mesin yang terhubung dengan portal itu lalu membuka pintunya, menampakkan sebuah lubang hitam seukuran manusia didalamnya.

Aomine menarik napas panjang, lalu perlahan berjalan memasuki portal itu.

"Semoga beruntung, Aomine."


0-0-0-0-0


[Masa Lalu : -15]

Saat Aomine membuka matanya, ia berada di sebuah taman, terbaring di rumput hijau di antara pepohonan rindang.
Aomine mengerjapkan matanya beberapa kali, menyesuaikannya dengan cahaya matahari yang menyilaukan di siang hari itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen yang sudah lama tidak dirasakannya di masa depan.

Sebuah senyuman terbentuk di bibirnya saat melihat suasana familiar di sekitarnya 15 tahun yang lalu.

"Aku kembali…"
"Tunggu aku, Tetsu."

0-0-0-0-0

Dengan pakaian sederhana — kaus hitam polos, jeans biru gelap dan sneakers hitam kesayangannya — serta backpack hitam berisi senjata — Aomine dengan mudah dapat berjalan melewati kerumunan orang di pusat kota tanpa menarik perhatian sedikitpun.

Bukannya langsung menuju ke tempat tinggal Kise Ryouta, Aomine mengambil jalan memutar menuju rumah rekannya, Kuroko Tetsuya.

Midorima sudah memberitahunya, bahwa selama Aomine berada di masa lalu ini, dirinya yang asli di masa ini akan 'menghilang sementara' hingga Aomine menuntaskan pekerjaannya dan kembali ke masa depan.

Karena itulah ia tidak perlu takut akan mengejutkan Kuroko saat ia tiba-tiba datang ke rumahnya.


Di masa depan, Kuroko Tetsuya terbunuh dalam tragedi yang disebabkan oleh Kise Ryouta.

Sebagai partner yang sudah bekerja bersama selama bertahun-tahun, bukankah wajar kalau Aomine ingin bertemu lagi dengan Kuroko saat ia masih hidup?

...


0-0-0-0-0

Aomine sampai di depan sebuah rumah sederhana bertingkat dua yang dulu selalu dikunjunginya.
Plat bertuliskan kanji [Kuroko] yang terdapat pada gerbang depan meyakinkannya bahwa itu adalah rumah Kuroko Tetsuya, tidak salah lagi.

Aomine menarik napas panjang, dan dengan gugup, menekan bel rumah.

'Ting. Tong.'

Waktu serasa berjalan sangat lambat, saat perlahan pintu rumah terbuka, dan yang keluar dari situ tidak lain adalah Kuroko Tetsuya sendiri.

"Aomine-kun?"

Mata Aomine berbinar-binar, dan senyuman lebar langsung terbentuk di bibirnya saat melihat partnernya itu hidup.

"TETSU!"

Kuroko berjalan menuju gerbang dan langsung membukakannya.

"Aomine-kun, ada a—"

Tapi ucapannya terhenti saat Aomine tiba-tiba langsung memeluk tubuhnya.

"Tetsu… Tetsu… Tetsu! Kau… Hidup… Kau benar-benar hidup… Tetsu…"

Aomine mempererat pelukannya. Matanya sudah dibasahi oleh air mata kebahagiaan yang tak terbendung lagi. Perasaan bahagia yang meluap-luap dari dirinya saat ini tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Mungkin memang terlihat aneh.
Tapi bukankah itu reaksi yang wajar jika kau bertemu lagi dengan partnermu yang 'seharusnya' sudah mati?

Walaupun Kuroko sama sekali tidak mengerti perkataan Aomine, ia membalas pelukannya, mengelus-elus punggung Aomine dengan lembut.

"Aomine-kun… Berhentilah menangis… Tentu saja aku masih hidup. Bukankah kita baru saja bertemu semalam?"

Perlahan, Aomine melepaskan pelukannya.
Setelah menghapus air matanya, ia tersenyum lebar dan menepuk-nepuk kepala Kuroko pelan.
"Maaf."
"Aku mendapat mimpi buruk kalau kau terbunuh dalam suatu ledakan besar yang hampir menghancurkan negara ini… Aku hanya terlalu bahagia saat melihatmu masih hidup seperti ini, Tetsu…"

Kuroko menghela napas.
"Aomine-kun… Kau sudah terlalu tua untuk bermimpi tentang hal-hal mustahil seperti itu…"

Aomine hanya mengedikkan bahu dan memasang cengiran polos khas dirinya yang dulu sebagai balasan.

"Ayo masuk." ajak Kuroko.

0-0-0-0-0

Sesampainya di dalam, Aomine terkagum-kagum melihat perabotan sederhana khas masa lalu. Dia sudah terlalu terbiasa dengan peralatan serba canggih di masa depan 15 tahun mendatang hingga ia sudah melupakan kesederhanaan ini.
Tak terasa hanya dalam waktu 15 tahun semuanya bisa berubah drastis.

Bagaikan anak kecil yang melihat hal baru, Aomine berlarian kesana-kemari, mengamati setiap detail kesederhanaan masa lalu itu.

"Aomine-kun? Berhentilah berlarian seperti anak kecil. Kemarin kau baru saja mampir ke sini, kan? Kau tidak perlu mengamati semuanya seolah ini adalah hal baru."

Aomine akhirnya tersadar dan berjalan menghampiri Kuroko yang sedang menyiapkan teh di dapur.
Masih dengan cengiran khas anak-anak polos di bibirnya, ia merangkul Kuroko dan tertawa kecil.
"Maaf, maaf. Bagiku rasanya seolah 15 tahun sudah berlalu."

Kuroko hanya bisa menghela napas mendengar jawaban tidak masuk akal dari rekannya itu.

0-0-0-0-0

"Jadi, Aomine-kun… Ada urusan apa kau datang kemari di siang terik seperti ini? Biasanya di cuaca seperti ini Aomine-kun seharusnya sedang bermalas-malasan di rumah sambil menikmati koleksi 'majalah' kesayanganmu itu."

Aomine yang sedang menyeduh tehnya sontak terbatuk-batuk, tersedak karena perkataan Kuroko barusan.

"O-Oi, kau mencurigaiku, Tetsu? Memangnya aku perlu alasan untuk mengunjungi rekan kesayanganku ini? Sudah kubilang, aku hanya ingin bertemu denganmu. Kau tidak tau seberapa bahagianya diriku saat bisa bertemu denganmu dan mengobrol seperti ini denganmu…"

Aomine tersenyum lembut, mengamati sosok Kuroko yang duduk berseberangan dengannya.

Kuroko menundukkan kepalanya dan menyeduh tehnya.
"Apa kau berusaha merayuku, Aomine-kun?"

Aomine kembali memamerkan cengiran lebarnya itu sebagai balasan untuk pertanyaan Kuroko barusan.

Mereka melanjutkan perbincangan itu, dan Aomine menghabiskan sisa hari itu bermain di rumah Kuroko.

Dan saat malam menjelang, Aomine pun memutuskan untuk menginap di rumah itu.


Sudah lama sekali ia tidak merasakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana seperti ini.
Sudah lama ia tidak merasakan kehangatan sebuah keluarga, seperti yang dirasakannya dari keluarga Kuroko saat ini.

Sudah lama…
Aomine tidak melihat senyuman dan tawa Kuroko saat ia melakukan hal-hal konyol untuk membuatnya tertawa…


"Besok… Aku akan mulai melaksanakan tugasku…"


0-0-0-0-0

Aomine dibangunkan oleh seberkas cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar.

Jam masih menunjukkan pukul enam pagi.

Kuroko yang sudah bangun dari tadi nampak terkejut saat melihat Aomine yang bangun pada jam 6 pagi.

"A-Aomine-kun…? I-Ini pertama kalinya aku melihatmu bangun secepat ini…"

Di masa lalu, kalau tidak ada yang membangunkannya, Aomine bisa tidur seharian. Karena itulah, saat mereka masih SMP, Kuroko harus bangun cepat agar dia bisa pergi ke rumah Aomine hanya untuk membangunkannya.

Tapi, di masa depan, setelah tragedi itu terjadi, Aomine bahkan tidak pernah bisa tidur di malam hari.


Karena, setiap kali ia memejamkan matanya, gambaran kejadian itu akan terulang lagi…
Gambaran dari ledakan besar, mayat-mayat yang tertimpa reruntuhan, tubuh-tubuh yang hangus terbakar…
Serta tubuh Kuroko yang dipenuhi luka, tertimbun di antara reruntuhan…

Hanya saja, khusus malam ini, gambaran-gambaran itu tidak muncul dalam mimpinya…


Aomine tertawa kecil mendengar pernyataan Kuroko.
"Oh? Mungkin karena kau tidur di sebelahku, aku jadi bersemangat untuk bangun pagi ini, Tetsu~"

Kuroko tetap memasang wajah datarnya, sudah terbiasa dengan sifat jahil Aomine.
"Jangan bercanda, Aomine-kun. Cepatlah bangun dan bersiap-siap ke sekolah."

Aomine melirik kalender yang tergantung di dinding.
Ah, akhir musim gugur.
Sekarang masih masa-masa sekolah…

Dengan berat hati, Aomine menghela napas dan bangkit berdiri.
"Ah… Maaf, Tetsu. Tapi sepertinya aku tidak akan ke sekolah selama beberapa hari ini."

"Kenapa? Apa ada masalah?"

"Ah, aku ada sedikit urusan kecil. Tapi jika aku bisa menyelesaikannya hari ini, pasti besok aku akan bersekolah lagi…"

Kuroko mengamati Aomine selama beberapa saat, tampak sedikit curiga — hingga akhirnya ia mendesah dan tersenyum kecil.

"Baiklah. Aku akan menyampaikannya pada sensei…"
"Kalau itu Aomine-kun, aku yakin urusan itu dapat terselesaikan dengan mudah…"

Aomine membalas senyuman Kuroko dan mengacak-acak bedhair Kuroko yang sangat berantakan itu.
"Terima kasih, Tetsu."

Melihat wajah Kuroko, sesuatu yang menyakitkan terlintas di benak Aomine. Ia menghentikan tangannya dan menatap Kuroko dengan tatapan miris.

Ia tidak ingin berpisah dengan Kuroko — itu adalah fakta.

Saat ia meninggalkan rumah ini dan menyelesaikan tugasnya untuk membereskan Kise Ryouta, ia harus segera kembali ke masa depan.
Tentu saja, karena masa lalu sudah diubah, mungkin saja Kuroko akan hidup di masa depan, tapi… Tidak ada jaminan hal itu akan benar-benar terjadi, kan?

"Aomine-kun? Ada apa?"
Kuroko menatap Aomine dengan tatapan penuh tanya, mulai khawatir dengan rekannya yang bersikap aneh sejak semalam.

"Tetsu…"
"Aku… Masih bisa bertemu denganmu, kan?"

Kuroko menurunkan tangan Aomine dari rambutnya dan menggenggam tangan itu dengan kedua tangannya.
"Aomine-kun, kau bersikap aneh sejak semalam. Ada masalah apa?"

Aomine memalingkan wajahnya, takut kalau sosok di hadapannya itu hanyalah halusinasi belaka.
"Tetsu, aku…"
"Aku takut… Kalau aku tidak bisa bertemu lagi denganmu…"

Kuroko menggenggam erat tangan kanan Aomine dan dengan lembut mencium punggung tangannya. Ia menengadahkan kepala menatap Aomine dan tersenyum lembut.
"Aku tidak tau masalah apa yang sedang kau hadapi, Aomine-kun… Tapi ingatlah, aku akan selalu bersamamu. Kau bisa menemuiku kapan saja, karena aku tidak akan meninggalkanmu…"

"Tetsu…"
Tangan Aomine mulai gemetaran. Bayang-bayangan tragedi itu kembali menghantui pikirannya.
"Tetsu…"
Aomine merangkul Kuroko dan mendekap erat tubuh itu dalam pelukannya. Ia memejamkan matanya, berusaha mengganti ingatan mengerikan itu dengan kehadiran Kuroko dalam pelukannya saat ini.

Kuroko tidak melawan.
Meski ia tidak tau masalah yang dihadapi Aomine, ia membalas pelukan itu dan mengelus-elus punggung Aomine — seperti saat mereka bertemu semalam.

Cukup lama mereka berada dalam posisi itu, hingga akhirnya sebuah ketukan di pintu dari orangtua Kuroko yang menyuruh mereka sarapan menghentikan mereka.

0-0-0-0-0

Seusai sarapan dan setelah Aomine memeriksa semua peralatannya, Ia dan Kuroko berpamitan pergi bersamaan, dan berpisah di persimpangan jalan.

0-0-0-0-0

"Ah, erm… etto… Di pertigaan ini… Belok kanan lalu... Di ujung jalan… Naik bus hingga…"
"Argh!"

Aomine menggaruk-garuk kepalanya yang sedari tadi pusing membaca 'memo' di tangannya berupa coret-coretan gambar yang 'bisa disebut sebagai peta' menuju kediaman Kise Ryouta.

Frustasi membaca peta hasil coretan dirinya sendiri di masa depan, ia pun memutuskan untuk mengistirahatkan kakinya yang sedari tadi sudah berjalan kira-kira hampir dua jam.
Setelah membeli sebotol minuman isotonik, Aomine berbelok menuju sebuah taman kota kecil di pinggir jalan dan mendudukkan dirinya di salah satu bangku taman di bawah pohon.
Ia menyandarkan tubuhnya, memejamkan matanya, menengadahkan kepalanya, dan menghirup dalam-dalam oksigen yang tersebar di udara. Dalam waktu kurang dari satu menit minuman isotonik yang baru dibelinya itu hanyalah sebuah botol kosong.

Selama beberapa menit ia berada di posisi itu, membiarkan angin sepoi-sepoi yang berhembus menyejukkan tubuhnya.

Ia benar-benar merindukan suasana yang 'hidup' seperti ini. Benar-benar bertolak belakang dengan situasi dunia yang sudah 'mati' di masa depan — karena ulah seorang bocah bernama Kise Ryouta.

Karena situasi yang begitu menenangkan, Aomine hampir saja tertidur, hingga…
Percakapan dua orang anak sekolah menangkap perhatiannya.

"Ahh… Sayang sekali hari ini Kise-kun tidak masuk sekolah lagi…"
"Ryouta-san sudah absen selama empat hari, kan? Apa mungkin dia sakit?"
"Entahlah, tidak ada kabar. Apa kita harus mengunjunginya? Kau tau alamatnya, kan, Momoi?"
"Yap! Aku sengaja mengintip alamatnya waktu sensei memintaku mengumpulkan data siswa~"
"Uwa! Aku mau! Dimana alamatnya?"

Aomine mulai memproses kalimat-kalimat itu dalam otaknya.

'Kise-kun… Ryouta-san…'
'Kise… Ryouta…'

Dan saat dia sadar siapa bahan pembicaraan kedua siswi itu, secara refleks Aomine langsung bangkit menghampiri mereka.

'Kise Ryouta!'

"A-Ano! Permisi, bisakah kalian memberitahu alamat Kise Ryouta padaku?"

Tentu saja, siapapun yang tiba-tiba didatangi oleh pria tak dikenal dan mencurigakan seperti Aomine pasti langsung terkejut.

"KYAAA!"
"K-Kau siapa?!"

Menyadari kesalahannya, Aomine buru-buru membungkukkan badan dan meminta maaf pada para siswi yang telah menjadi 'korbannya'.
"Ah, maaf! Aku tidak bermaksud mengagetkan kalian."
"Aku... T-T-Teman… T-Teman dekat Kise Ryouta."

Argh. Mengatakan kata 'teman dekat Kise Ryouta' saja sudah berhasil membangkitkan rasa mual di saluran pencernaan Aomine.

"Teman Ryouta-san?" tanya sang siswi berambut pink panjang.

Aomine menganggukkan kepalanya dengan canggung.
"Ya. Aku datang dari luar kota, dan baru sampai di sini semalam. Tapi… Aku lupa alamat Kise, padahal aku ingin berkunjung…"

Sebentar lagi Aomine benar-benar akan muntah karena kebohongan yang terlampau menjijikkan bagi dirinya ini.

"Hmm…"
Kedua siswi itu tampak sedikit ragu melihat tampang Aomine.

Tapi, walaupun ragu, salah satu dari mereka akhirnya mengambil sebuah kertas kecil dan menuliskan alamat Kise disitu.
Sambil tersenyum kecil, ia memberikannya pada Aomine.
"Ini. Ryouta-san sudah absen selama empat hari. Saat kau mengunjunginya, tolong sampaikan bahwa teman-teman sekelasnya mengkhawatirkannya."

Aomine dengan sopan menerima kertas itu dan menyimpanya dalam sakunya.
Ia tersenyum lebar, mengucapkan terima kasih, dan segera pergi dari situ menuju alamat yang tertera di kertas.

Senyuman lebar yang bermakna 'aku akan segera membunuhmu…'

0-0-0-0-0

Setelah kurang lebih empat puluh lima menit berlalu, Aomine akhirnya sampai di tempat tujuan.

Sebuah rumah berukuran sedang dengan plat bertuliskan kanji [Kise] di dinding pagarnya.

Dengan seringai lebar yang tidak bisa dihilangkannya sedari tadi, Aomine dengan mudah membobol gerbang depan dan berjalan menuju pintu depan.

"Tunggu aku, Kise Ryouta…"
"Akhirmu sudah dekat… Aku akan membunuhmu…"


...

-E-N-D-O-F-C-H-A-P-T-E-R-0-1-

...


-to be continued-

gimana? apa chapter 1 ini udah cukup menarik?

di FF ini ada banyak konflik, jadi kayaknya bakalan panjang _
...semoga bisa selesai tanpa hiatus lagi.. hiks.

sampaikan kritik, saran dan komentar kalian di kotak review ya~ ^^