Title: Jogja in Love

Author: Ceprutth DeiDei

Main Character: Sakura Haruno

Rate: T

Genre: Friendship/Romance/Family (tapi yang family-nya nggak begitu penting. :p *halah*)

A/N Iseng-iseng publish fic Naruto yang baru (padahal yang lama belom pada kelar). Setting di kotaku tercinta Jogjakarta Hadiningrat yang diobrak-abrik dan dicampur-campur antara jaman dulu dan sekarang. Yang ini hasil editan karena banyak kesalahan ketik dan judul juga diganti karena menurut temen saya judulnya agak aneh. :p YOSH, enjoy this fic! :D


Jogja in Love

by Ceprutth DeiDei


Cebongan, Sleman

Kediaman Mak Unep

06.28 WIB

"Baiklah, sekarang kita bakalan puterin lagu Yogyakarta khusus buat Raden Sasuke yang baru bangun pagi dari mbak Karin di Godean. Enjoy this song, kanca muda! Tetap stay tune di radio anak muda, 106.1 Geronimo FM!"

Suara seorang penyiar radio melantun dari kedua belah speaker radio tape hitam tua itu—yang kemudian berganti menjadi intro sebuah lagu. Lagu lawas yang dinyanyikan KLA Project; Yogyakarta.

Pulang ke kotamu

Ada setangkup haru dalam rindu

Masih seperti dulu

Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna

Terhanyut aku akan nostalgia

Saat kita sering luangkan waktu

Nikmati bersama

Suasana Jogja..

Radio tua itu masih menyanyikan lagu Jogja dari ujung ruangan kamar sempit itu sementara sang pendengarnya masih tertidur lelap di atas kasur kapuknya.

Gadis muda itu masih tenggelam dalam mimpinya, tampak tak menghiraukan teriakan-teriakan dari luar kamar berukuran kecil miliknya.

"NOK! SAKURA!," panggil Mak Sijunep (Shizune)—yang tak lain tak bukan adalah ibu angkat dari gadis yang masih molor itu. "SAKURA, WIS TANGI DURUNG?"

Tidak ada jawaban.

Mak Unep—panggilan akrab Sijunep—melirik ke arah jam dinding sekali lagi. Pukul 06.30 WIB. Ya ampuun, sudah jam segini, Saku-nya itu masih molor juga?

Kali ini, tanpa meminta ijin terlebih dahulu, Mak Unep langsung membuka pintu kamar anaknya itu dan benar saja—Sakura memang masih tidur sejak tadi. Dengan buru-buru, Mak Unep menghampiri gadis itu dan menggoyang pelan bahunya agar terbangun.

"Nduk, tangi..," serunya pada si gadis. Tangannya semakin keras menggoyang-goyangkan bahu anaknya itu.

"Nggh.." Gadis itu menggeliat. "Mangkih, Bu. Sekedap melih."

Kedua mata kecokelatan milik Mak Unep membeliak. "He, tangi nduk! Wis jam pira iki?" serunya sambil memelototi anaknya yang tukang molor itu.

"Mangkih, Bu. Dilit ntas."

"Ora ana dilit! Saiki wis jam setengah pitu! Apa ra telat sekolah kowe?"

Kedua mata emerald gadis itu membelalak. Sontak ia bangkit dari posisi tidurnya. Dan kemudian terdengarlah pekikan nyaring dari seorang Sakurawati.

"HAH? SETENGAH PITU?"

Walau kini kau t'lah tiada tak kembali

Namun kotamu hadirkan senyummu abadi

Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi

Bila hati mulai sepi tanpa terobati

Radio tua itu masih menyanyi-nyanyi seakan mengiringi Sakura yang kini dengan tergesa-gesa bersiap-siap berangkat ke sekolah.

Sakurawati, 16 tahun, siswi semester akhir di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Yogyakarta. Gadis ceria yang ceroboh. Bermata jade indah dan berambut merah muda lembut. Bukan khas orang jawa memang, tapi dia asli orang jogja. Fasih berbahasa jawa tapi lebih sering menggunakan bahasa Indonesia bila diluar rumah. Satu hal lagi, dia paling sensi kalau mendengar ada orag yang menyebutnya 'PINK', 'PINKY', 'MERAH JAMBU', 'MERAH MUDA', dan lain-lain sejenisnya.

Dengan sepeda jengki tua berwarna hijau gelap, Sakura berpacu melawan waktu menuju sekolahnya. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum bel sekolah yang menurutnya norak itu berbunyi keras.

"AKU TELAAAAAAT…!"

Gadis itu buru-buru mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa. Tidak peduli pada tas selempangnya yang terjungkal-jungkal tidak karuan.

"Bocah kuwi… mesthi wae telat! Salahe dewe ora tau tangi esuk..," gumam Mak Unep yang tampak menggeleng-gelengkan kepalanya heran melihat kepergian Sakura barusan.

Dengan kecepatan super ngebut—menurut Sakura—ia dan sepeda jengki kesayangannya pun melesat dengan cepat diantara sepeda-sepeda dan delman lain yang mengisi keramaian di jalanan aspal sederhana itu. Dari perempatan Cebongan, lapangan Tlogoadi, serta jembatan sungai Code—singkatnya, menyusuri Jalan Kebon Agung—terus ia lewati dengan gesit. Tapi waktu juga berjalan cepat.

Saat Sakura menyusuri Jalan Magelang yang begitu panjang—tepatnya saat melewati sebuah toko bertingkat dua, Sakura mendongak dan mata jadenya tertuju pada jam besar yang terpasang disana. Masih kurang satu menit lagi sebelum jam tujuh.

ARGH! SIALAN!

Sakura mengayuh sepedanya semakin kencang. Beruntung ia sempat menerobos pertigaan di Bangirejo sebelum lampu lalu lintas berganti merah. Sewaktu sepedanya melewati SD Bangirejo, pintu gerbang sekolah dasar itu sudah tertutup. Itu artinya—

Sudah jam tujuh lewat! Gawaaaaaaat!

Ia terus melesat disepanjang Jalan Wolter Monginsidi. Di kanan-kirinya nampak rumah-rumah kecil dengan gaya barat dipadukan gaya jawa yang terlihat unik dan indah. Tapi Sakura mengacuhkannya. Tentu saja. Buat apa dia asyik mengagumi rumah-rumah itu? Bisa-bisa ia disepak keluar dari lingkungan sekolah karena terlambat!

Sampai di kelokan terakhir, wajah Sakura memerah dan terasa panas karena marah saat telinganya dengan jelas menangkap suara dari gerombolan anak-anak STM sebelah yang menggodanya dengan menyebutnya 'pinky'. Sakura paling benci dengan pangilan itu. Dan ia lebih benci lagi pada warna rambutnya yang sangat mencolok mata itu—karena berkat warna rambut merah muda itu, ia selalu diejek-ejek oleh teman-teman di sekolahnya.

'Awas saja kalian! Akan kubalas!' runtuk Sakura dalam hati sambil matanya tertuju pada gerombolan siswa berseragam putih abu-abu itu.

Akhirnya sampailah Sakura di depan gerbang utama SMP Negeri 6 Yogyakarta tercintanya. Namun sayang, ia sudah sangat terlambat. Pintu gerbang itu sudah tertutup rapat. Dan di sisi lain gerbang, tampaklah seorang satpam berdiri tegap. Matanya memelototi Sakura. Sejenak tubuh Sakura bergidik ngeri.

Orang itu adalah Pak Tejo. Satpam galak seantero SMPN 6 Yogyakarta. Berkulit hitam, sayangnya berbadan tinggi besar. Rambut juga berwarna hitam. Tipikal orang killer. Bukan hanya Sakura yang takut padanya tetapi semua murid SMPN 6 Yogyakarta (selanjutnya disingkat Spenyk) pun juga takut padanya.

"Err.. Pak, tolong buka pintunya dong," pinta Sakura takut-takut. Tetapi orang di hadapannya ini tak bergeming. Membuat Sakura menghela napas pasrah.

Lama mereka berdua terdiam. Hingga tiba-tiba seseorang muncul dari balik tubuh tegap Pak Tejo—barusan keluar dari pos satpam di depan gerbang.

"Wati," panggil seseorang itu.

"HAH?" Sakura cengo.

Orang itu berdehem. "Sakurawati!" panggilnya sekali lagi, membuat Sakura mengerjap kaget. Awalnya dia tak sadar siapa yang dipanggil orang itu, tapi pada akhirnya ternyata dia sendiri yang dipanggil.

"Y-ya..?"

Sekali lagi Sakura mengerjap kaget begitu melihat dengan jelas siapa seseorang yang barusan memanggilnya itu. "P-pak Kepala..?" gumamnya lirih. Matilah aku! Kenapa harus kepsek sih yang nongol?, runtuk Sakura dalam hati.

"Ikut saya!" titah sang Kepala Sekolah pada Sakura. Gadis itu hanya bisa mengangguk pasrah kemudian menggiring sepedanya ke tempat parkir sepeda, memarkirkannya, dan mengikuti Pak Kepala Sekolah ke ruang kepsek.


Ruang Kepala Sekolah

Dan disinilah Sakura sekarang. Dengan terpaksa, harus terjebak di dalam sebuah ruangan kepala sekolah yang menurutnya sumpek ini dengan diawasi oleh dua orang dewasa yang paling ditakutinya. Pak Kepala Sekolah dan sang satpam, Pak Tejo.

Sakura menundukkan kepala dalam diam. Dihadapannya seorang lelaki tua duduk penuh wibawa dengan raut wajah menatap Sakura kesal.

Dialah Sarutobi, Kepala Sekolah di tempat Sakura menuntut ilmu ini. Orang yang penuh wibawa dan disegani banyak orang. Ia biasa dipanggil Pak Saru (?) atau Pak Sar saja. Bahkan menurut desas-desus, ia dipanggil Pasar (?) oleh istrinya. Oke, penjelasannya sudah mulai melenceng. Dan ada satu lagi, Bapak Kepala Sekolah ini mempunyai sebuah rahasia besar, yaitu: Kepalanya botak. Cukup segitu deh profilnya. Nggak usah panjang-panjang, toh dia juga bukan pemeran utamanya. Kalo cuma tokoh sekali-dua-kali muncul? Iya banget!

"Kenapa kau baru tiba di sekolah jam segini?" tanya Pak Saru dengan nada mengintimidasi. Mata tuanya menatap Sakura tajam.

Sakura mengangkat wajahnya takut-takut. Mulutnya sedikit terbuka, kemudian dengan gugup berusaha menjawab pertanyaan dari Pak Saru, "Aa.. i-itu, Pak.. saya tadi.."

"Tadi apa?," potong sang Kepala Sekolah yang penuh wibawa itu. Ia tampaknya merasa jengah melihat Sakura yang hanya menjawab pertanyaannya dengan gumaman tidak jelas. Tentu saja ia jengah. Ini sudah yang ketiga kalinya ia mendapati bocah merah muda itu terlambat masuk sekolah.

Sakura tersenyum masam. "Bangun kesiangan. Hehehe..," jawabnya sambil tertawa aneh.

"KAU INI!" bentak Pak Saru. Membuat Sakura memejamkan kedua matanya takut. "Apa kau tidak sadar kalau sebentar lagi kau akan menempuh ujian akhir?" tanyanya mengingatkan Sakura. Hal itu membuat Sakura membuka kembali kedua matanya dan dengan santai menjawab pertanyaan Kepala Sekolahnya lagi,

"Sadar, Pak. Tapi mata saya tidak bisa diajak kompromi."

Orang tua berambut putih itu menghela napas pasrah. Susah sekali memberitahu anak ini, batinnya. Ia pun berjalan kembali ke kursi singgasananya (lebe). "Baiklah. Kali ini saja, ini terakhir kali aku berbaik hati padamu. Sekarang cepat kembali ke kelasmu."

"Matur nuwun sanged, Pak."

Dengan cepat, Sakura melesat keluar dari ruang sumpek itu, berniat membebaskan dirinya dari rasa tertekan yang ditimbulkan oleh dua manusia menakutkan tadi.

Untung hari ini selamat! Hahaha, batin Sakura lega. Namun sejenak kemudian wajahnya kembali murung. "Tapi, awas saja anak-anak STM sebelah itu! Akan kubalas mereka sepulang sekolah nanti!"

Sementara Sakura berjalan pergi, Pak Saru dan Pak Tejo masih mengawasinya dari depan pintu ruangan kepala sekolah. Pak Saru menggelengkan kepalanya pasrah. "Anak itu benar-benar.."


Kelas 9-A

Saat pelajaran Pak Asuma..

Kelas 9-A. Dilihat dari A-nya, kelas 9-A adalah sebuah kelas unggulan yang setiap harinya dihuni oleh 36 murid. Karena kelasnya adalah kelas unggulan, maka murid-muridnya juga harus unggulan. Dalam artian, unggul dibidang menciptakan ataupun menambah parah keributan. Anak-anak kelas A kok tukang ribut? Sungguh mencengokkan (?).

Dan saat ini, kelas itu tengah dipimpin oleh seorang guru bertampang killer bernama Asuma. Dan orangnya juga memang agak galak dan kurang pandai berbahasa jawa—atau bahkan kau bisa menyebutnya hampir tidak bisa sama sekali. Maklum lah, ia orang batak tulen. Marganya Karo-Karo. Jadi, lengkapnya Asuma Karo-Karo (?).

Sakura yang telah sampai di depan pintu kelas, masih mematung di dekat pintu, agak takut menghadapi guru satu itu. Karena selain galak, beliau juga terkenal sangat mengutamakan kedisiplinan. Jadi kalau ia berani masuk kelas jam segini, benar-benar cari mati!

Guru itu masih sibuk menerangkan pelajaran sejarah tentang seputar perang dunia kedua. Matanya terpaku pada buku paket di tangannya sementara mulutnya tak berhenti berbicara.

"Jadi pemimpin Jerman dalam Perang Dunia ke II adalah Hitler. Dong opo ora iki mau?" tanya Pak Asuma sambil menatap ketigapuluhempat muridnya yang tengah memperhatikannya dari bangku masing-masing.

"Dooooong," murid satu kelas menyahut.

Sakura cengok untuk beberapa saat. Otaknya berpikir betapa ia sudah mengenal pertanyaan yang dilontarkan Pak Asuma tadi. Satu-satunya kalimat berbahasa jawa yang dimengerti oleh guru batak tulen itu. Agak miris memang, padahal guru itu sudah tinggal di Yogyakarta Hadiningrat tercinta ini selama hampir dua tahun.

Kemudian, Pak Asuma berjalan mendekati kursi guru dan duduk disana. Sudah waktunya!, pikir Sakura.

Berjuanglah, Sakura! Kau tidak akan mati hanya karena semprotan dari guru killer itu!, batin Sakura menyemangati dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal didepan dada sedangkan kedua matanya ia pejamkan dengan paksa.

Dengan satu tarikan napas—sebelum akhirnya dihembuskan lagi, tentu saja—Sakura mengetuk pintu kelas. Jantungnya berdebar-debar.

Tok tok tok.

Kepala Pak Asuma langsung menoleh ke pintu kelas. Dan matanya langsung mendapati seorang siswi berambut merah muda tengah berdiri dengan sebelah tangan menyentuh pintu. "Masuk," katanya kemudian, mempersilakan Sakura untuk masuk. Dan Sakura langsung melaksanakan perintah gurunya itu.

Sekejap saja semua mata yang ada di kelas tertuju kearah meja guru—penasaran melihat siapa yang datang terlambat. Dan ketika mereka melihat Sakura yang berdiri disana, langsung saja semuanya bergumam kurang puas, seperti:

"Oh, si Sakura.."

"Yah, kok Sakura?"

"Haaaah.."

"Groook.. fiuuuh…" (?)

"Si Sakura ya? Haah, memang nggak mungkin kalo dia yang masuk. Dia kan selalu bolos waktu pelajarannya Pak Asuma."

Sakura meraih tangan besar Pak Asuma lalu mencium tangannya (?). Kemudian ia berkata, "Maaf saya terlambat. Saya menghadap Pak Sarutobi di ruang kepala dulu tadi."

Pak Asuma hanya terdiam. Beberapa detik kemudian, barulah ia membuka mulut. "Ya sudah. Sana ke bangkumu."

Sakura mendesah lega. Buru-buru ia berjalan ke pojok kelas, tempat bangkunya berada. Ia sudah sangat terbiasa duduk dibelakang. Selain itu lokasi bangkunya juga dekat dengan bangku sahabatnya—Yamanaka Ino.

"Hei, Sakura! Kukira kau bakal dihukum oleh Si Tua Saru itu," bisik Ino padanya saat ia melewati Ino untuk menuju bangkunya. Membuat ia terkikik pelan mendengarnya.

"Yah, Ino, seperti kau tidak tahu aku saja. Keberuntungan selalu ada dipihakku," balasnya berbisik pada Ino setelah ia duduk di bangkunya.

"Dasar tukang telat yang mujur!" cibir Ino. "Coba kalau Pak Asuma yang memergokimu tadi, pasti kau tidak bisa masuk ke kelas dengan tenang seperti ini."

"Hahaha, iya juga, ya.." Keduanya lalu tertawa pelan—cukup keras sebenarnya, kalau berhadapan dengan telinga jeli Pak Asuma. Guru itu jelas mendengar keduanya asyik berbincang ditengah pelajarannya.

"Yamanaka, Sakura," panggilnya pada kedua pelaku, membuat Ino dan Sakura langsung diam membeku di bangku masing-masing. "Bisakah kalian memperhatikan pelajaran yang saya terangkan?" lanjutnya. Mata tajamnya masih menatap dua anak muda itu dengan tatapan mematikan miliknya.

"Ng—Inggih, Pak," sahut Ino dan Sakura bebarengan—dengan nada yang sama-sama gugup.


Saat istirahat..

09.40 WIB

"Sakura, mau ikut ke kantin?" ajak Ino saat Sakura masih sibuk membereskan buku-buku pelajaran yang berserakan diatas meja.

"Oke," jawab Sakura beberapa menit kemudian—saat ia selesai membereskan buku. "Ayo!" ajaknya sambil berjalan mendahului Ino.

Ino nyengir. Gadis berambut pirang itu lalu menyusul Sakura yang sudah berjarak beberapa meter darinya dengan langkah cepat.


Kantin Timur Spenyk

Sakura dan Ino sekarang sudah duduk di sebuah bangku panjang di kantin bersama beberapa murid lain yang tak mereka kenal. Mereka memang mau tidak mau harus berbagi bangku dengan murid yang lain. Kantin di Spenyk memang sederhana saja. Hanya menyediakan tiga meja panjang dan enam kursi panjang yang diposisikan disisi kanan-kiri meja panjang itu—tapi itu sudah cukup untuk menampung jumlah anak-anak yang kira-kira akan singgah lama di kantin timur.

"Ino, sebenarnya aku ingin curhat sesuatu padamu," kata Sakura tiba-tiba.

"Hm? Soal apa?" tanya Ino yang masih asyik menyeruput es jeruk segar buatan ibu kantin yang dipesannya tadi.

Sakura menunduk. "Soal rambut," katanya dengan nada pelan.

"Lagi?" Ino mengernyitkan alis.

Sakura mendengus. "Sebenarnya aku juga sudah bosan membahas soal ini, tapi kali ini benar-benar menyebalkan!" ucapnya dengan sedikit rasa kesal yang tersirat di wajahnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Ino antusias. Rasa penasaran dan insting gosipnya sudah mulai muncul rupanya.

"Anak-anak STM sebelah. Lagi-lagi mereka mengejekku 'PINKY'," jelas Sakura dengan penekanan pada kata pinky.

Ino langsung tertawa mendengarnya. Membuat Sakura cemberut.

"Hahaha.. maaf," kata Ino begitu ia menyudahi tawanya. Tapi tetap saja Sakura cemberut.

"Kau ini beruntung, Ino. Rasmu yang memang bule itu bisa menyelamatkanmu dari cibiran orang satu sekolah. Sedangkan aku?" Sakura mulai mengeluarkan unek-uneknya pada sahabatnya yang seratus persen bule itu. "Jawa nggak mirip, dibilang bule juga bukan. Mirip orang mana coba kalau rambut pink begini?"

"Kau berlebihan, Sakura," kata gadis keturunan Spanyol itu pada Sakura. Tangan kanannya ia kebas-kebaskan didepan wajah Sakura. "Sebenarnya mereka begitu karena iri padamu. Warna rambutmu kan keren. Iris matamu juga. Jernih dan cantik," katanya mencoba memuji.

"Jangan coba-coba menghiburku dengan kata-kata itu lagi. Sudah tidak mempan," cibir Sakura dengan nada malas. Membuat tawa Ino kembali meledak.

"Begitukah?" tanyanya tak percaya. "Tapi aku jujur lho soal itu."

Sakura menyerucutkan bibirnya. "Tapi tetap saja terlihat aneh."

Ino terdiam melihat sosok pemuda yang tiba-tiba saja sudah berdiri dibelakang Sakura. Namun kemudian senyum manis itu terkembang di bibirnya.

Sosok itu menyenggol punggung Sakura pelan dengan tangannya yang membawa sepiring makanan. Membuat Sakura langsung menoleh dengan bibir masih dikerucutkan.

"Apa yang dilakukan nona pink ini disini?" ujar sosok pemuda berambut hitam itu sambil tersenyum pada Sakura.

Sakura membelalakkan matanya. Ia merasa tersinggung dengan sebutan yang dilontarkan Sai padanya barusan. "Aku pergi," katanya singkat, sebelum kemudian berlalu pergi meninggalkan kantin.

Sai hanya melongo melihat kepergian Sakuraa yang tiba-tiba. Ia lalu menoleh untuk menatap pada kekasihnya dengan pandangan bertanya dan heran.

"Sai! Harusnya kau jangan mengejek Sakura begitu!" bentak Ino begitu Sai mendudukkan diri di bangku kosong yang dipakai Sakura tadi. "Kau harus minta maaf padanya."

Sai menelan sesendok nasi dan lauk yang tadi dilahapnya sebelum membalas bentakan Ino, "Dia terlanjur pergi. Dan.."

"Dan?" tanya Ino penasaran pada kata-kata Sai yang sengaja digantung itu.

"Aku malas kalau harus mengejarnya," lanjutnya sambil menatap sang pacar dengan tatapan bercanda.

Ino memandang Sai masam, mata birunya menatap Sai kesal. Membuat yang ditatap merasa tidak enak hati. "Iya. Aku bercanda. Aku akan minta maaf nanti. Lagipula aku tidak mau merusak hubungan baikku dengan sahabat kecilmu itu."

Ino menghela napas lega. "Baguslah," ucapnya sambil tersenyum. Sepasang kekasih itu pun asyik bercengkerama diantara kumpulan beberapa murid yang masih betah berada di kantin, melupakan begitu saja seorang Sakurawati yang masih merasa sebal pada keduanya.

Sementara itu, mari kita beralih kembali pada tokoh utama.

Sakura berjalan gontai menyusuri taman samping sekolahnya. Mata jadenya terpaku pada jalanan berbatako yang dilaluinya.

"Sakura!"

Tiba-tiba suara seseorang terdengar memanggil Sakura. Nada suaranya sangat dikenali oleh Sakura. Suara gadis lain yang senasib sepenanggungan dengannya. Suara Tayuya.

Sakura menatap balik Tayuya dari kejauhan dengan antusias. Ia berlari kecil menghampiri sahabat yang berbeda kelas dengannya itu. "Hei!" sapanya ketika ia sampai di salah satu bangku taman tempat Tayuya berada. Dan disana juga ada seorang gadis berambut merah panjang yang duduk disisi kanan Tayuya—Karin.

"Hei, bocah pink!" balas Tayuya bercanda. Membuat aura disekitar Sakura kembali bermuram durja.

Sakura membanting tubuhnya ke bangku, mendudukkan dirinya di sisi kiri Tayuya yang masih kosong.

"Oh, Tayuya, berhenti menyebutku pink! Aku sudah bosan mendengar julukan itu," ujar Sakura lesu. "Dan kau sendiri kan juga pink!"

"Aku tahu." Tayuya mengiyakan perkataan Sakura tadi sambil tertawa ringan. "Kau tidak mengira aku sedang menjelek-jelekkan rambut pink indahmu ini kan?" canda Tayuya lagi.

Sakura menggeleng sambil tersenyum.

Kedua gadis berambut pink itu pun asyik mengobrol sementara Karin—teman mereka yang sebenarnya kakak kelas mereka, tapi menunggak karena tidak naik waktu kelas delapan dulu—sibuk mengutak-atik ponselnya. Entah apa yang dikerjakan gadis yang hobi berdandan dan maniak kosmetik itu dengan benda kotak ditangannya itu.

Ketiganya sudah saling akrab sejak Sakura masih menjadi murid baru. Itu pun masih ditambah dengan dua pemuda lain yang belum bergabung dengan mereka saat ini.

Saat itu, Sakura yang bersedih karena diejek pinky oleh teman-teman seangkatan yang baru dikenalnya itu tiba-tiba didatangi sekelompok murid tak dikenal yang menurut Sakura senasib dengannya. Kenapa? Karena sekelompok murid itu—yang berjumlah empat orang—sama-sama memiliki warna rambut yang aneh. Dua siswa berambut merah cepak, seorang siswi berambut merah panjang, dan yang terakhir—yang membuat Sakura begitu menyenangi siswi yang satu ini—berambut pink panjang. Warna pink yang bisa dikatakan mirip dengan rambut sebahunya yang juga berwarna pink.

"Kau mau berteman dengan kami?" salah satu pemuda berambut merah yang memiliki tato 'tresna' di jidatnya mengajak Sakura untuk berbicara. Memang menurut Sakura tato aneh itu membuat lelaki merah di depannya terlihat agak norak, tapi toh wajahnya tampan. Hahaha.. tidak penting. "Kami tidak akan menjelek-jelekkan rambut merah mudamu. Karena kami juga sama sepertimu," lanjutnya lagi, membuat Sakura membeku.

Kereeeeen..! Kata-katanya keren!, batin Sakura.

"Tentu."

Tak lama kemudian, dua sosok lelaki yang dalam hati dinanti-nanti Sakura akhirnya muncul dan menghampiri mereka. Gaara dan Sasori.

"Kau bolos pelajaran Pak Asuma lagi," ujar Sakura ketika kedua sahabat berambut merahnya tiba dihadapan mereka.

"Kau juga sama saja," balas Gaara dingin. Ia pun memilih mendudukkan dirinya disamping Sakura yang tampaknya masih kosong. Disusul Sasori yang ikut duduk disebelahnya.

Sakura kaget. "Kau mengawasiku?" tanya Sakura curiga.

Gaara berdecih. "Jangan ge-er. Aku cuma kebetuan melihatmu masuk ke kelas waktu aku ada di kantin."

"Kantin barat? Jadi kau disana, ya?" tanya Sakura—lagi. Ia penasaran kemana sahabatnya ini pergi kalau sedang kabur dari pelajaran Pak Asuma.

Gaara mengangguk singkat. "Dia juga ikut bersamaku," lanjutnya sembari ibu jarinya menunjuk kearah pemuda berambut merah yang lain—Sasori. Dan pemuda bernama Sasori itu juga mengangguk begitu ditunjuk oleh Gaara. Sakura menatap Sasori dengan raut muka biasa saja. Ia sudah terbiasa. Sasori memang jagonya bolos. Mungkin itu alasan mengapa ia tidak naik kelas dulu.

"Haaaah.. kalian berdua sama saja."


To be continued..


Naruto © Kishimoto Masashi

Yogyakarta © KLA Project

Word count: 3,136 words.

[1] SAKURA, WIS TANGI DURUNG?: Sakura, sudah bangun belum?

[2] Mangkih, bu. Sekedap melih: Nanti, bu. Sebentar lagi.

[3] He, tangi nduk! Wis jam pira iki?: He, bangun nak! Sudah jam berapa ini?

[4] Mangkih, Bu. Dilit ntas: Nanti, Bu. Bentar lagi.

[5] Ora ana dilit! Saiki wis jam setengah pitu! Apa ra telat sekolah kowe?: Tidak ada sebentar! Sekarang sudah jam setengah tujuh! Apa kamu tidak terlambat sekolah?

[6] Bocah kuwi… mesthi wae telat! Salahe dewe ora tau tangi esuk: Anak itu... pasti selalu terlambat! Salah sendiri tidak pernah bangun pagi.

[7] Matur nuwun sanged, Pak: Terimakasih banyak, Pak.

[8] Dong opo ora iki mau?: masa gatau artinya yang ini? Hahaha.. *digetok gara-gara bukanya mentranslate malah ngomong geje* Itu artinya: ngerti nggak nih ama yang tadi? *translate aneh*

Sudah ditambah translatenya dibawah sesuai permintaan teman saya, Hana Hirogaru. Fiuuuh.. ternyata banyak ya bahasa jawanya. Hahaha.. yasudahlah. :)

Terimakasih sudah mau mampir dan terimakasih sudah membaca. :D