Hope you like it, enjoy!
Warning : Typo, death chara, bloody, don't like don't read
Disclaimer : Pandora Hearts - Jun Mochizuki
~Double Character~
~Prologue~
Malam itu adalah sang saksi buta. Air hujan yang turun, membahasi jubah seorang gadis yang berdiri berlumuran darah. Pedangnya—berwarna biru es—telah ternodai oleh darah. Wajahnya tertutupi gelapnya malam dan tudung merah. Jubah merah berkibar berat terkena angin, dihambat oleh air hujan. Terlihat sedikit bercak darah pada rambut biru kesilverannya yang diikat ke samping. Ia menegadah menatap langit kelabu di atasnya. Akhirnya, ia mengambil langkah, meninggalkan tempatnya. Bersamaan dengan kepergiannya, bau amis darah mengalun terbawa angin dingin malam itu.
Pintu coklat besar itu terbuka. Sang gadis melaju menuju kamarnya. Ia menyalakan lampu kamar dan mendorong lepas tudung itu, melihat pantulan dirinya sendiri di kaca. Ia menyeringai puas, tetapi tidak bayangannya. "Hahahahahahahaha! Kau lihat itu? Kau lihat itu? Inilah permulaan dan akan menjadi sebuah ingatan. Memori yang tidak akan terlupakan! Ahahahahahaha!" Tawa sang gadis memecah kericuhan malam.
Bayangannya tak tersenyum. Ekspresinya datar tetapi tersirat kesedihan di matanya. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan berkata, "Saatnya kita bertukar, kembaranku..."
Masih dengan senyum yang sama, sang gadis mengangguk setuju. "Baiklah, kembaranku." Sang gadis menutup matanya sejenak, lalu kembali membuka matanya, memperlihatkan iris keabuannya. Ia melepas ikatan rambutnya, serta jubah merahnya itu. Disembunyikannya jubah itu dan ditaruhnya ikantan rambut di laci meja riasnya. Ia mengambil handuk, bergerak menuju kamar mandi, dan keluar beberapa menit kemudian. Ia terduduk di atas kasurnya, mengecek noda darah yang ada di tubuhnya. Bau amis darah masih tercium dari telapak tangannya. Menghela nafas, sang gadis mematikan lampu, dan langsung menarik selimut membiarkan dirinya menuju alam bawah sadarnya.
"Kau benar-benar sudah tidur ?"
Dalam mimpinya, ia bertemu dengan kembarannya. Saling berhadapan, saling berpandangan. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Bagaimana aku bisa tidur kalau kau memanggilku? Sudahlah.. Aku sudah mengantuk, begitupula denganmu. Kau terlalu banyak membunuh hari ini. Aku merasakan kelelahanmu juga."
Tertawa sejenak, kembarannya memainkan rambutnya yang terikat itu. "Iya iya aku tau.. Kita sama namun berbeda. Kau ya kau. Aku ya aku. Hihi~"
"Karena itu, jangan ganggu aku. Ini tubuhku dan akulah yang akan mengendalikannya."
"Hihihi~ Tapi ingat, ini juga adalah tubuhku~"
Menghela nafas, sang gadis membalikkan badannya. Kembarannya masih tertawa kecil, menatap kepergian sang gadis.
Pagi menjelang. Sang gadis bangun dan membuka kelopak matanya perlahan. Sinar matahari mencoba menerobos masuk melalui celah-celah di gorden, menerpa wajahnya. Ia bangkit berdiri dengan lunglai, membuka harinya. "Saatnya menjadi diriku sendiri..." ia berbisik—dengan nada datar—pada pantulan bayangan yang tersenyum di depannya.
"Semoga harimu menyenangkan~"
Sang gadis langsung berjalan, membuka pintu kamarnya, dan berkata dengan nada datar, "ya.. Thanks, Zwei.."
"Ah! Pagi, Gil!"
Seorang pria dengan rambut hitam menegadah, menatap orang yang telah memanggil namanya. "Oi.. Pagi, Oz." Tampak senyuman tipis menghiasi wajahnya.
Lawan bicaranya adalah seorang pria dengan rambut pirang yang setinggi bahunya. Pria itu menegadah memperlihatkan iris emerald dan senyumannya yang khas. "Kau dengar sesuatu dari Reim-sensei*?"
"Hm?" Iris emas Gil memancarkan ketidak peduliannya. "Ada apa?"
"Hehe~ Katanya akan ada murid baru yang akan masuk ke kelas kita!"
"Oi, Oz! Wakame atama*! Pagi~"
Seorang gadis berambut hitam dengan tinggi hampir sama dengan Oz, menyapa mereka berdua. Oz dan Gil langsung berbalik menatap gadis itu. Iris violetnya memancarkan kesenangan yang amat sangat. Di sebelahnya, gadis berambut seputih salju dengan iris violet tersenyum kepada Oz dan Gil. "Pagi, Oz, Gilbert."
"Pagi, Alyss, Alice!" sapa Oz riang.
"Pagi Alyss, Baka usagi*..." sapa Gil tenang. "Dan namaku adalah Gilbert, baka usagi!"
"Heee," Alice menyilangkan tangan, "seharusnya aku yang bicara seperti itu, wakame atama. Namaku Alice, bukan baka usagi!"
"Sudahlah, Alice.." Alyss berusaha menenangkan kembarannya itu.
Dilain tempat, seorang gadis terus menerus berbicara dengan dirinya sendiri. Suaranya lebih pelan dari pada bisikan. Sibuk jalanan disekelilingnya mengalahkan suara pelannya itu. Hal itu membuat sang gadis yakin bahwa tidak akan ada yang mendengar atau menyadarinya berbicara sendiri.
"Sudah kubilang. Jangan ganggu aku hari ini, Zwei.."
"Hihihi.." Terdengar suara tawa di dalam kepala gadis itu. Ia sudah terbiasa dengan suara tawa kembaran yang satu tubuh dengannya itu. "Tenang saja. Aku tidak akan menganggumu selama matahari masih bersinar. 'Peran'ku adalah saat matahari beranjak, berganti malam."
"Kukira kau akan berhenti melakukan teror itu, setelah kita pindah ke kota ini.." Nada datar sang gadis mengalun pelan bersama langkah sigapnya, menaiki bukit.
"Tidak mungkin! Teror itu sangat menyenangkan. Semua itu hanya permainan. Kau harusnya menikmatinya."
"Kita ini berbeda, Zwei.. Tidak mungkin aku bisa menikmati 'permainan' itu.."
"Ayolah.. Kau tau aku melebihi siapapun bukan?"
Sekali lagi, sang gadis menghela nafas berat dan menutup matanya, "Ya... Kau adalah aku dan aku adalah kau. Kita kembar dengan jiwa yang berbeda tetapi satu tubuh," kemudian mengambil langkah selanjutnya.
"Hihihi... Kau memang paling bisa membuatku puas~"
"Ah.. Sudah terlihat..."
"Latowidge Academy, ya? Hee.. Tidak buruk juga.. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan teman sekelasmu!"
Sang gadis pun segera mempercepat langkahnya, "jangan ganggu mereka, Zwei.. Untuk saat ini.."
"Hihi.. Tenang saja~ Mereka akan baik-baik saja untuk saat ini~" Zwei tersenyum licik, "mungkin.. Hihihi.." Gadis itu hanya bisa menghela nafas. Langkahnya terhenti beberapa saat kemudian. Sebuah pertengkaran kecil ada beberapa meter, tidak jauh dari tempatnya. Merasa tidak peduli, gadis itu kembali melangkahkan kakinya menjauhi pertengkaran itu. Ia sadar bahwa salah satu dari mereka melihat kearahnya. Tetapi ia terus melangkah memasuki sekolah, menuju ruang guru.
Oz menguap sekali. Ia menegadah kearah kiri, menghadap jendela. Seseorang menepuk pundaknya pelan. Oz menegadah mendapati Alyss, Gil, dan Alice menatapnya dengan kerut bertanya. Oz hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya sejenak. Menggedikkan bahu, Gil kembali ke posisi semulanya yang membelakangi Oz. Alyss kembali ke tempat duduknya, di sebelah kanan Oz. Alice memiringkan sedikit kepalanya, kemudian beranjak menuju tempat duduknya di sebelah Gil. Hiruk-pikuk kelas masih terdengar. Vincent yang tertawa setelah menggoda Gil, Lotti yang asik berbincang dengan Fang dan Doug, Elliot dan Reo yang larut dalam debat kecil mereka, Jack yang mulai menarik perhatian Alyss, Sharon dan Break yang sedang membahas PR mereka. Oz tampak tidak tertarik bergabung dalam hiruk-pikuk kelasnya. Tak lama, bel pun berbunyi.
Reim-sensei memasuki kelas dengan senyumannya yang biasa—bahkan terlalu ceria. "Hm," ia meletakkan buku-bukunya di meja, "hari ini, kita semua akan kedatangan murid baru. Sensei yakin kalian sudah mendengarnya—"
"Langsung saja, sensei..." sahut Vincent dengan senyuman liciknya.
"Hm... Kalau begitu," Reim menegadah menuju pintu kelas yang sedikit terbuka, "silahkan masuk."
Perlahan, pintu kelas pun terbuka dan memperlihatkan seorang gadis berekspresi datar. Ia melangkah masuk, berdiri di sebelah Reim. "Perkenalkan," suara datar gadis itu memenuhi kelas yang sunyi itu, "namaku Echo. Kalian cukup memanggilku dengan nama itu."
Hening...
Reim mulai terlihat sedikit gelisah, "ya—ya... Perkenalan yang sangat singkat, Echo... Hm... Tempat dudukmu," ia mengedarkan pandangan, "ah..! Itu! Di belakang pria berambut pirang itu." Reim menunjuk Oz, sedang yang ditunjuk hanya memamerkan senyuman khasnya, dan melambai pelan.
Echo mengangguk pelan dan mengambil langkah mendekati Oz. Ia duduk di kursinya, tetap tanpa senyuman. Oz berbalik dan—masih dengan senyum yang sama—ia mengulurkan tangannya, "Oz Vessalius. Kenalkan, Echo-chan~"
"Echo saja," jawab Echo sigap sambil menyambut uluran tangan Oz dan menjabatnya sejenak. Oz terlihat sedikit kaku dengan nada dan sikap datar yang diperlihatkan Echo. Akhirnya, ia membalikan badan ke posisi semula dan mengikuti pelajaran.
"Hihihi~ Anak Vessalius kah? Kudengar Vessalius adalah salah satu dari keluarga yang terpandang. Benarkan, Echo?" tanya Zwei didalam kepala Echo.
"Iya," jawab Echo dalam hatinya, "apa yang akan kau lakukan, Zwei?"
"Fufufu~ Kita lihat saja nanti~ The game has just begun~!"
Well... Inilah prolog-nya. Maaf bila tidak terlalu bagus, mengingat ini fanfic pertama yang pernah saya bikin..
Dan.. Kayaknya ada unsur OOC juga, khususnya pada Alyss. Ia akan akrab dengan Alice.
Saya akan berusaha agar tidak ada yang OOC selain itu *bowing
*Sensei : guru
*Wakame atama : kepala rumput laut
*Baka usagi : kelinci bodoh
Review ? ?
