Genre: Romance, Humor (ga yakin yg ini .a)
Rating: 15+
Status: In-Progress
Words: 1500 (kayak harga sebutir takoyaki) #dipotongkecilkecil
"Kau sudah bertanya pada Hokage-sama, Sasuke-kun?"
"Hn."
"Dia bilang apa?"
"Seminggu cuti untukku."
"Yeiy! Seminggu camping dengan Sasuke-kun!"
Disclaimer: Masashi Kishiomoto (Thanks for making goddamn story)
The SOS—'Story of Sasusaku'
By: Arale Takanori Vortex©2011
Warning: It's pure mine! Dont copy!
.
.
Sometimes the promise was not kept..
But one day the promise will be kept beyond the promise itself..
.
.
Chapter One: Sasuke's sick! (0.o)?
"Aaachooo…"
"Hmm, Sasuke! Flumu makin parah." Sakura membantu Sasuke dalam aktifitas bangun dan bersandar pada dipan ranjangnya, lalu memegang dahi kekasihnya itu untuk kesekian kalinya sejak dua hari yang lalu dan terakhir melenguh pasrah penuh penyesalan—tapi ketika Sasuke menyadari ekspresi itu, buru-buru gadis pinky ini menampakkan senyum termanisnya. Disodorkannya semangkuk penuh bubur ayam yang sudah dibubuhi doa agar lekas sembuh di depan hidung laki-laki itu. "Makanlah."
Sasuke mengernyit dan menatap jendela tepat disampingnya. Ia terdiam hingga sepuluh detik selanjutnya, membuat Sakura ikut mengernyit juga. Lalu laki-laki dingin itu menatap manja Sakura. "Ak?" ia membuka mulutnya sedikit lebar. Dan Sakura pun semakin mengernyitkan dahi lebarnya sambil memundurkan tubuhnya sekian mili—shock sepertinya.
.
.
.
"Aku tidak mau. Titik."
"Ahhh~ kau ingin sembuh, bukan? Ayo telanlah!"
"Aku tidak bisa!" Sasuke membuang mukanya menatap bunga petunia dalam pot di sisi jendelanya. Samar-samar terlihat kemerah-merahan di pipi tirusnya.
"Ayolah, Sasuke-kun. Ini obat herbal dan dijamin manjur," Sakura melingkarkan kedua lengannya di leher Sasuke, "kau ingin sembuh?", "ingin camping?", "kalo begitu minum!". Sakura melepaskan pelukannya dan menghentikan pembicaraan monotonnya—habis Sasuke menjawab 'hn' terus dalam tiap pertanyaannya, kuku lentiknya membuka sachet antibiotic dan obat-obat lain. "Ak?"
"Aku. Tidak. Bisa. Sakura!"
"Tch. Sasuke-kun, ayolah. Kenapa kau tak bisa?" dahi Sakura berkedut-kedut nampaknya satu petasan sudah nyala dalam otaknya. Kedua lengannya lunglai di sisi tubuhnya. Entah harus berapa lama lagi sejak dua hari yang lalu usahanya membujuk Sasuke untuk meng-iyakan ritual minum obat ketika sakitnya. Kalau begini mana bisa sembuh?
"Aku tak bisa meminum obat dengan cara biasa," sadar akan keputus asaan calon istrinya membuat Sasuke sedikiiit mengalah dan membocorkan rahasia—
"Minum dengan cara tidak biasa itu bagaimana, Sasuke?" Sakura mengehembuskan nafas frustasinya dan membanting keras tiga butir obat, satu kapsul dan segelas air bening di atas laci di sisi ranjang Sasuke.
"Digerus," –konyolnya, ah rahasia konyolnya terungkap. Sudahlah. Semoga Sasuke tak pernah sakit lagi.
.
.
.
"Kapan nih minum obatnya?" Sasuke menggertakkan giginya kesal untuk terakhir kalinya sejak setengah jam yang lalu. Sakura tak henti-hentinya bergulung-gulung tertawa di atas ranjang empuknya. Apa ada yang lucu? Ingat Uchiha Sasuke tidak pernah—dan takkan pernah, punya bakat berhumor. Ingat!
"Kapan nih kita minum obatnya?" Sasuke menggertakkan giginya lagi, ia janji ini yang terkahir kalinya. Oh, Kami-sama apa obat manjur untuk mengehentikan orang tertawa? Sasuke pun melangkahkan kakinya, keluar kamar, membanting pintunya keras-keras meninggalkan Sakura yang syok berat dan vakum dari kegiatan sebelumnya, tertawa terpingkal-pingkal.
.
.
.
"Maafkan aku!" Sakura menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada besarnya sambil menampilkan emerald eyes-nya yang berbinar minta dikasihani—ralat, dalam kasus ini minta dimaafi. Tubuh biolanya masih terselip diantara kedua kaki Sasuke yang masih saja cuek dan asyik bermain game zombie-nya.
Sakura menyandarkan bahunya keras di sisi Sasuke. Enam puluh menit lamanya Sasuke sudah terlambat minum obat pagi ini, eh tapi, kalo dikalkulasikan dengan dua hari yang lalu… sudah empat puluh sembilan jam. Wow, jika sakitnya kronis niscaya elektro kardio grafi pun akan menampilkan garis lurus. Tapi, hei… kau menyumpahi calon suamimu?
"Ayo, Sasuke-kun! Kita minum obat sekarang," Sakura melangkahi meja eboni di depannya dan segera mencabut saklar TV dan video game, menghiraukan dan mencoba memberanikan diri melawan pelototan Sasuke selama beberapa detik dan kemudian memilih kabur melesat ke dapur mengambil plastic dan sendok untuk melumatkan obat Sasuke. Tapi gerakannya terhenti ketika lengan Sasuke mencengkram kuat pergelangan tangan kirinya. "Apa?"
"Pasti obatnya pahit dan banyak," Sakura melirik butiran obat sebesar biji kacang polong di atas meja, yah inilah efek samping jika obat digerus, akan tampak lebih banyak dan pahit. Tapi tak ada cara lain, bukan? Menelan? Hei, Sasuke tak bisa menelan obat. "Hanya sesendok penuh." Sakura menjawab diiringi ludah Sasuke yang ditelan dengan sangat keras—hingga menggetarkan organ korti pada indra pendengaran Sakura.
"Aaaahh… bisakah aku minum obat dengan cara lain?" Wajah Sasuke sudah pucat pasi. Rasanya menyesal memilih obat digerus.
Sakura berpikir sepersekian sekon dan kemudian menyeringai ke arah pangeran-takut-obat di depannya. Ia menegak air dari dalam gelas diikuti satu butir obat kemudian jari telunjuk dan jempolnya menekan pipi Sasuke hingga membuat bibirnya terbuka dan segeralah Sakura menyusup ke dalam bibir Sasuke untuk memuntahkan air lengkap dengan obatnya. Sentuhan terakhir lidah Sakura ikut serta membantu obat Sasuke melewati tonsil dan… obat masuk dalam tubuhnya! Begitulah seterusnya hingga satu per satu obat habis.
Nampaknya doa Sasuke kini berubah. Semoga Sasuke sakit lagi!
.
.
.
Sasuke menatap tak percaya kalender di pangkuannya. Sungguh tujuh hari adalah waktu yang cepat sekali. Hari ini adalah hari terakhirnya dari cuti sedangkan saat ini ia masih meringkuk beristirahat di atas ranjangnya. Memorinya berputar mengingat janjinya dengan Sakura beberapa bulan yang lalu untuk pergi camping seminggu di gunung.
Kaki panjangnya kini sudah berada di depan lemari yang berisikan tas ranselnya yang sudah lengkap dengan perlengkapan camping, seperti: pasak, tampar, tenda, sweater, syal, matras dan sebagaiannya yang sudah disiapkan Sakura beberapa bulan yang lalu. Ia kini sadar dibalik keceriaan Sakura merawat sakit demamnya gadis itu pasti menyimpan sesal dan kecewa. Ah… andai saja dia tidak sakit. Pasti tiap pagi ia akan bahagia menatap sinar mentari yang memancar di kaki langit, mendengar kicuan burung yang meminum embun dari dedaunan yang cekung dan berpelukan mesra melawan aerosol kabut dingin.
Lalu? Apa yang harus dilakukannya dicuti terakhirnya kini? Berlibur? Kemana? Camping? Apalagi! Sudah terlambat, sangat terlambat.
Tiba-tiba setan dihatinya membisikkan kata-kata magis yang seolah menyalahkan Haruno Sakura-lah yang berkoar-koar padanya untuk istirahat total seminggu ini. Padahal ia sudah sembuh sejak dua hari yang lalu. Jika saja gadis menyebalkan itu tidak memaksaan beristirahat, setidaknya dia bisa ber-camping selama tiga hari dua malam kan? Tentu saja dengan gadis itu. Mana mau Sasuke berlibur dengan si berisik dobe duren jelek, sok keren yang suka cari perhatian dari Sakura, cih!
.
.
.
"Sasuke-kun, buka pintunya!" Sakura memohon tak henti-hentinya pada pangeran pantat ayamnya—yang tidak tahu kenapa tiba-tiba mogok bicara dan mogok ketemuan hari ini, padahal biasanya…
"Kau ini kenapa, Sasuke-kun?" Sakura memekik dan memutar-mutar kenop pintu kamar Sasuke. Ia tak habis pikir dengan tingkah Sasuke yang begitu kekanak-kanakan masa' tidak jadi liburan ngambek? Masih ada hari lain, bukan? Lagipula kenapa harus camping? Datang ke festival bisa, bukan? Terlalu ramai? Hashh… bukan festival kalau sepi!
"Aku mau camping titik!" Hahh… mulai deh sikap keras kepala Sasuke muncul. Dasar ayam!
"Baiklah, kita pergi camping hari ini. Sesuai dengan jadwal yang kita susun beberapa bulan yang lalu. Tapi… kau harus makan dan minum antibiotikmu pagi ini. Oke?" Putus Sakura setelah beberapa menit yang lalu berpikir keras memcahkan kasus-keras-kepalanya-Sasuke-yang-kumat, sambil berlalu pergi, entahlah idenya ini akan disambut baik atu sebaliknya. Yang penting usaha bukan?
.
.
.
"Camping itu ini?" Sasuke mencibir dan menatap Sakura yang sedang membakar sirip ikan paus dengan tatapan sebal. Memang tenda, api unggun dan pesta barbeku sudah mirip dengan acara camping. Tapi...
"Sudahlah, Sasuke-kun. Ini juga bisa disebut camping 'kan?"
"Tidak ada camping di halaman rumah."
"Ada kok. Kita ini buktinya, nanti malam kita akan tidur di dalam tenda bukan di dalam kamar. Lagipula cukup menyenangkan kok."
"Ya, sangat menyenangkan hingga seluruh kompleks Uchiha berkumpul disini beberapa saat yang lalu."
"Mereka sih keterlaluan. Aku hanya menyalakan api unggun dipikir ada kebakaran."
"Semua orang akan berpikir ada kebakaran jika ada asap membumbung tinggi di udara dari suatu rumah. Bodoh!"
"Arrrghhh... sudahlah kita nikmati saja," Sakura bangkit berdiri dan menyodorkan setusuk sirip ikan paus yang sudah dilumurinya dengan saus barbeku, "Tidak seburuk itu kok. Lihat dari sini kita bisa melihat bintang-bintang di angkasa—"
"Di kamarku bisa."
"—kita juga bisa merasakan semilir angin dari bawah pohon sakura."
"Tumbuhan menyerap oksigen dimalam hari."
"—Dan merasakan angin yang dingin."
"Angin duduk bertiup malam hari dan berbahaya."
"Tch, hentikan itu." Sakura menarik lengan Sasuke dan menuntunnya untuk duduk di ujung matras dalam tendanya. Ia sengaja duduk berpangku pada kedua paha Sasuke yang bersila dan meraih lengan Sasuke untuk dilingkarkan pada pinggang rampingnya. Kepala pinknya ia sandarkan pada bahu Sasuke dan tangannya tengah sibuk meremas tangan Sasuke dibawahnya. Ia pejamkan kedua kelopak matanya menikmati kehangatan tubuh Sasuke. Dan tanpa sadar setusuk besar—dan tusukan terakhir, sirip ikan paus sudah menghitam dibakar api unggun.
.
.
.
Mentari mulai mengintip dari gumpalan awan, bulatannya kini sudah sepenggalah. Teriknya membakar kulit dipagi yang masih dingin ini. Burung-burung pun sudah berjajar rapi sambil berkicau di dahan pohon. Begitupun dengan orang-orang desa Konoha yang sudah berjalan cepat-cepat hendak bekerja, berangkat ke akademi ninja, menyapu halaman atau bergosip. Senin merupakan awal minggu yang paling dibenci orang. Tak salah jika pilihan pemuda berambut hitam ini untuk tetap tidur dibawah selimut birunya.
Ia mengelus lengannya yang meremang digigit angin dingin dan menutup kedua matanya yang dihujani partikel kasat mata matahari. Burung-burung, suara derap kaki dan ocehan orang-orang dimana-mana membuatnya terbangun marah. "Arrgghh!" Teriaknya. "Berisik!" Teriaknya lebih keras. "HAH?" dan ini yang teriakannya yang paling keras.
Jantung Sasuke berdegup kencang melihat dirinya sendiri. Tentu saja siapa yang bisa tenang melihat dirinya telanjang dipagi hari?
