Title: Be With Me
Author: Zang13
Rating: T
Characters/Pairings: Gin-Rukia
Genre: Romance / Drama
Warnings: AU, mungkin agak OOC. Cerita ini terinspirasi dari dongeng terkenal Beauty and the Beast dan video clip Meatloaf berjudul I'd Do Anything For Love (But I Won't Do That) dengan tambahan imajinasi sana-sini. Sudah saya sebutin lho!
Summary: "Aku Gin Ichimaru. Kau sekarang berada di rumahku." AU, fairytale-like. GinRuki
Disclaimer: Tidak ada yang saya punyai selain imajinasi, fantasy dan semangat.
Cerita ini saya persembahkan buat teman-teman yang sudah mendukung GinRuki: Ararancha, Sava, Yuuaja, the1st, dan kawan-kawan di FB mau pun di Twitter. Ini untuk kalian = )
Chapter 1
.-.-.
I know you can save me
No one else can save me now but you
(I'd Do Anything For Love ~Meatloaf)
.-.-.
Seorang bocah berwajah rubah mengintai dari balik jendela rumah besarnya. Bocah laki-laki itu menjulurkan badan kurusnya supaya bisa melihat lebih jelas. Kedua matanya selalu memicing namun bukan berarti dia tak mampu melihat dengan sempurna.
Di bawah sana, agak jauh dari rumah besarnya yang suram, seorang anak perempuan berbaju compang-camping tengah memungut ranting-ranting kayu yang patah atau luruh ke tanah. Anak perempuan itu bertubuh pendek dan kurus, tapi ditilik dari caranya bergerak, dia termasuk bocah yang lincah. Wajah kecilnya tirus dan kotor. Sesekali dia melirik ke kiri dan kanan dengan khawatir. Ketika tak ada yang datang, dia lega dan terus mencari kayu. Setelah dirasa cukup, dia mengeluarkan tali dan mengikat kayu-kayu yang didapatnya. Karena tubuhnya kurus kerontang, bocah perempuan itu tidak kuat memanggul kayu. Karena itulah dia menyeret talinya.
Si anak laki-laki yang mengintip itu paham bahwa bocah perempuan itu mencari kayu supaya bisa makan dan bertahan hidup. Dia tahu bahwa sebenarnya bocah di bawah sana itu agak takut mencari kayu di dekat rumahnya, namun karena pohon-pohon jauh lebih banyak tumbuh di sekeliling rumahnya, anak perempuan itu tak punya pilihan lain. Yah, walau sebenarnya tak akan ada yang marah dan keluar untuk menghardiknya. Tak ada yang akan peduli seberapa banyak kayu yang diambil gadis cilik itu.
Anak laki-laki itu kadang tersenyum menyaksikan si gadis cilik berusaha mengaitkan tali supaya kayu yang didapatnya tertata rapi dan mudah dibawa. Kendati gadis itu cekatan mengumpulkan kayu, ketika mengikatnya, kadang dia terlihat kesulitan.
Hanya gadis cilik berambut hitam itulah hiburan satu-satunya bagi si anak laki-laki. Dia ingin turun dan menyapa gadis itu, tapi niat itu hanya disimpan dalam hati.
Tiba-tiba si anak perempuan itu mendongak dan melihat ke jendela.
Saat itulah anak laki-laki itu merasa jantungnya berhenti berdetak. Cepat-cepat dia merunduk dalam-dalam. Dia bahkan memastikan rambut keperakannya tersembunyi di balik kursi yang didudukinya.
Setelah beberapa lama, dia memberanikan diri mengangkat kepala dan melongok ke luar jendela. Gadis cilik itu telah pergi.
Si anak laki-laki kecewa.
Tanpa disadarinya seseorang telah memasuki kamarnya.
"Kau kenapa, Gin?"
.-.-.
Rukia tetap datang ke hutan Seireitei. Dia tak akan berhenti mencari kayu atau jamur, apa pun yang terjadi! Pekerjaan itu sudah dilakoninya selama bertahun-tahun. Ketika masih lebih kecil dulu, kadang dia mencuri supaya perutnya tidak melilit lagi. Dia tak punya rumah. Bajunya pun hanya beberapa potong. Rukia hanya punya dirinya sendiri. Dulu dia punya beberapa teman. Sayangnya, mereka sudah tiada, meninggalkannya sendirian. Kehidupan jalanan memang keras dan tidak ramah.
Agak jauh masuk hutan ada sebuah rumah yang luar biasa besar. Sejauh yang bisa diingat Rukia, tak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah itu. Pintu gerbangnya selalu tertutup rapat. Tak ada yang bisa diintip dari luar. Desas-desus mengatakan rumah itu dihuni iblis dari neraka. Lebih jauh lagi, rumor yang beredar menyatakan tak hanya iblis, namun juga berbagai siluman tinggal di sana. Sesungguhnya, batin Rukia, tak ada tahu pasti kebenaran cerita itu. Tak ada penduduk yang berani menggedor gerbang kayu tebal itu dan membuktikan apakah cerita itu benar atau hanya isapan jempol semata.
Rukia tak peduli. Ada siluman atau tidak, yang penting dia tak pernah mengganggu mereka. Dan yang lebih penting lagi, dia masih bisa mencari kayu dan tanaman yang bisa dijual di sekitar rumah itu. Memang sih, tak ada yang mampu mengalahkan urusan perut.
.-.-.
Byakuya Kuchiki sudah lama mengamati gadis itu. Pria ningrat itu sangat yakin bila dipoles sedikit dan memakai pakaian yang layak, gadis yang suka berseliweran sambil memanggul kayu bakar di punggungnya atau jamur dan pakis itu akan terlihat cantik, bahkan tak kalah aduhai dari wanita ningrat kelas satu Seireitei, Yoruichi. Diam-diam Byakuya menaruh hati pada gadis melarat itu.
Kadang Byakuya melihat sekelebatan gadis berambut hitam legam dan bermata ungu itu di kedai-kedai, entah jadi pelayan yang mengantar makanan atau mencuci piring. Jelas sekali bahwa gadis incarannya itu bekerja serabutan supaya bisa hidup.
"Maaf Rukia, kami masih punya banyak kayu bakar," tolak seorang wanita pemilik kedai ketika Rukia datang.
Gadis kurus itu memaksakan senyum tipis. "Tapi Nyonya Unohana, mungkin saja nanti malam Anda kehabisan kayu untuk memasak besok," ujar Rukia gigih. Bila tidak gigih, tidak ada makanan yang akan masuk ke perutnya.
Wanita cantik itu menggeleng pelan. "Bagaimana kalau kau datang besok saja?" tolaknya halus.
Penolakan seperti ini sudah biasa diterima Rukia. Gadis itu tak memaksa lagi. Dia segan pada wanita yang sudah berbaik hati sering membeli kayunya dan memberinya makan.
"Baiklah, Nyonya. Terima kasih," Rukia membungkuk, bersiap pergi.
"Maaf Rukia."
Byakuya tak tahan lagi. Dia yang tadinya pura-pura acuh kini mendekati dua wanita itu. "Aku bayar," ujarnya singkat.
Rukia mendongak. Dia mendapati seorang pria jangkung berdiri menjulang di sampingnya. Gadis itu tahu siapa laki-laki itu. Siapa sih yang tidak tahu Byakuya Kuchiki, bujangan incaran kelas wahid di Seireitei? Kalangan atas sampai sangat bawah tidak mungkin tidak mengenalinya. Wajah yang seolah dipahat dari porselen terbaik dengan sempurna dan tanpa cacat, tubuh yang tegap dan tinggi, rambut yang indah dan aura yang walau pun tak penuh dengan kasih tapi mampu membuat orang segan, semua itu dimiliki Byakuya.
Bujangan itu mengeluarkan segepok uang. Dengan gerakan super halus, dia menyambar tangan kecil Rukia, membuka telapak tangannya dan memberinya uang.
Rukia terbelalak. Dengan uang itu, dia tak akan takut kelaparan untuk waktu yang lumayan lama. Tak percaya dengan keberuntungannya, dia mengalihkan matanya, menatap Byakuya tapi kemudian menunduk lagi. Tak baik bagi rakyat jelata seperti dirinya memandang seorang bangsawan secara langsung. Yang membuat Rukia jengah, dia bisa merasakan mata hitam Byakuya yang setajam mata elang masih memandangnya.
Kayu bakar yang sebenarnya tak dibutuhkan Byakuya itu diberikan pada Unohana secara cuma-cuma. Dia tak mengatakan apa-apa saat Rukia berterima kasih berkali-kali. Tapi pada akhirnya, dia duduk dan minum teh di kedai Unohana sambil ditemani Rukia yang canggung.
.-.-.
Gin Ichimaru berkali-kali menengok jendela. Walau berusaha tak menampakkannya, pria itu gelisah. Berhari-hari dia menanti seorang gadis mungil yang selalu mencari tumbuhan atau kayu. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi Gin tak pernah bosan memandangi Rukia dari balik jendela. Dia ingin melihat gadis itu lebih dekat tapi tak ingin menakutinya.
Sembari menarik napas panjang, Gin bangkit dan menuju ruangan lain. Dia berhenti tepat di depan sebuah cermin. Cermin itu besar, bingkainya dari kayu penuh ukiran rumit dan cantik. Gin tak pernah repot membuka matanya yang selalu tertutup, terlebih bila berada di depan benda yang memantulkan rupanya itu.
Gin benci wajahnya. Adakah manusia yang berwujud seperti dirinya?
Petir menyambar di kejauhan. Cahaya kilat sekilas menerangi ruangan yang mulai gelap itu. Gin tak juga beranjak. Semakin lama kesepian semakin menggerogoti dirinya. Setelah bertahun-tahun, akumulasi kebenciannya pada dirinya sendiri semakin berlipat. Akankah dia menghabiskan sisa hidupnya sendirian?
Suara jeritan di luar mengalihkan perhatiannya.
Menyadari bahwa tak ada orang lain selain gadis itu yang berani dekat-dekat rumah kunonya, Gin melesat ke kamar besarnya.
Di bawah sana, Rukia meringkuk di bawah pohon. Hujan mulai turun dan suara petir makin menggelegar. Enam belas meter di belakangnya, sebuah pohon roboh tersambar petir.
.-.-.
Rukia mengangkat wajahnya ketika gerbang yang tak jauh darinya itu terbuka sendiri, seolah mengundangnya masuk. Buru-buru ditepisnya pemikiran itu. Tubuhnya mulai menggigil. Walau dia terlindung dari guyuran air, angin kencang menusuk tulang-tulang kecilnya. Bajunya yang tipis tak mampu menghalau tarian angin yang sepertinya akan berubah jadi badai. Giginya mulai bergemelutuk. Selain kedinginan, gadis itu sangat ketakutan. Dia takut tersambar petir atau tertimpa pohon. Rukia belum ingin mati!
Gerbang itu masih terbuka lebar.
Gadis itu memikirkan cara supaya bisa kembali ke Seireitei. Dia ragu bisa sampai di sana. Satu jam setengah bukan waktu yang singkat. Bulir-bulir air mata mulai menuruni pipinya. Dia terisak. Gadis itu tak tahu apakah dia menangis karena ketakutan atau sedih. Semua emosi menggelegak di dadanya.
Dia menjerit lagi saat suara pohon tumbang memekakkan telinganya.
Tanpa pikir panjang lagi, Rukia berlari menuju gerbang rumah kuno dan angker itu. Tersadar bahwa dia memasuki wilayah yang asing, Rukia membalikkan badan, hanya untuk mendapati gerbang kokoh itu sudah tertutup rapat. Dengan nafas tersenggal-senggal, dia mengedarkan mata. Sembari menghapus sisa air mata di pipi dan sudut-sudut mata, Rukia mempelajari di mana dia berada. Rupanya dia tengah menginjakkan kaki di halaman luas rumah yang kata penduduk angker itu. Takut-takut Rukia menatap pintu rumah yang juga terbuka lebar. Jika dalam keadaan normal, Rukia akan berpikir bahwa sepertinya seseorang memang mempersiapkan kedatangannya. Tak ada pilihan lain, Rukia melangkahkan kaki untuk masuk. Dia masih ingin hidup, tapi saat itu Rukia tak terlalu memikirkannya. Dia sebatang kara, tak punya sanak saudara atau keluarga. Walau akhir-akhir ini ada seorang bangsawan yang kerap mengajaknya makan, Rukia tak suka dengan pemikiran bahwa mungkin saja Byakuya peduli padanya.
Lagi-lagi pintu kayu itu berdebam menutup saat dia sudah berada di dalam rumah. Entah rumah siapa, Rukia tak tahu. Lampu berbagai ukuran sudah menyala, menerangi tiap dinding dan hiasan-hiasannya. Rukia mengerling pintu mahogany itu, tapi sama seperti gerbang tadi, sang pintu sudah tertutup rapat.
Ketakutan yang luar biasa melandanya. Mendadak saja kakinya terasa seperti agar-agar, tak bertulang dan tanpa tenaga. Rukia terduduk dan termangu. Sungguh keputusan bodoh masuk rumah orang yang tak dikenalnya! Setelah beberapa lama, telinganya mendengar suara dari ruangan yang terletak beberapa pintu darinya. Hanya pintu itu yang terbuka.
Dengan nekat, Rukia berdiri dan beranjak mendekati ruangan itu.
Ruangan itu sepertinya adalah ruang makan. Lampu-lampu kristal tergantung di langit-langit. Walau Rukia tahu rumah itu termasuk kuno, keadaan dalam rumah tidak sekuno yang disangkanya. Catnya tidak kusam, meja makan dan kursi beludru merahnya terlihat bersih. Makanan yang terhidang di meja melimpah ruah dan menerbitkan air liur. Mengesampingkan keadaan perutnya yang memekik minta diisi, ada pemandangan lain yang membuat Rukia terpaku.
Di depan perapian yang menyala, dengan suara kayu terbakar yang seolah bagai musik dan api yang menari-nari, seorang pria duduk di kursi goyang membelakanginya.
"Uhm…" Rukia hendak mengucapkan sepatah kata tapi tak jadi. Dia ingin bertanya siapa pria itu, manusia atau bukan?
Pada saat itu, bahu pria itu terlihat tegang. Matanya tak beranjak dari perapian. Ketika menyadari gadis di belakangnya masih berdiri dengan ragu-ragu, dengan berat hati dia berdiri dan menghadap gadis itu.
Rukia mundur satu langkah ke belakang.
Baru kali ini dia melihat laki-laki setinggi dan sekurus itu. Wajah pria itu tampak sangat pucat, tulang pipinya tinggi dan menonjol. Selaras dengan kulitnya, rambut laki-laki itu juga sangat terang, campuran antara perak dan ungu. Tapi yang paling menonjol darinya adalah wajahnya. Matanya tertutup dan bibirnya membentuk garis lebar. Itu wajah paling menakutkan yang pernah dijumpai Rukia. Mungkin inilah siluman rubah yang kerap jadi pembicaraan orang.
"Aku Gin Ichimaru. Kau sekarang berada di rumahku," ujarnya pelan.
.-.-.
TBC
A / N : Dalam pikiran saya, cerita ini bakal jadi one-shot, pendek dan tamat! Hee, tidak saya sangka, tahu-tahu sudah mencapai 1900an kata. Seperti yang sudah saya tulis di warnings bahwa cerita ini terinspirasi dari dongeng klasik yang terkenal, tapi setelah saya tuangkan dalam kata-kata, kok tidak sama. Terlebih, saya menulisnya sambil mendengarkan lagu yang juga memberi inspirasi cerita ini, I'd Do Anything For Love-nya Meatloaf. Tak puas, saya juga mendengarkan It's All Coming Back To Me (lagu recycle yang dulunya dipopulerkan Celine Dion) yang lagi-lagi dinyanyikan Metaloaf, kali ini bareng ex M2M Marion Raven. Walau FFn lagi eror (hanya untuk fandom mainstream, karena fandom yang tidak terlalu ramai atau pinggiran oke-oke saja) semoga cerita ini sedikit mengobati rasa kesal teman-teman. Selamat membaca!
