Year 1750

Pada saat gelap menelan langit dan mentari berganti bulan purnama, tak henti-hentinya kudengar desas-desus tentang penyihir. Yang mencari keabadian. Yang membuat ramuan untuk awet muda. Yang mengambil organ dalam manusia, dengan kejinya membuat ramuan terlarang, untuk mewujudkan sesuatu yang mustahil. Membunuh, tanpa rasa bersalah, acuh tak acuh dengan segala dosa besar yang telah diperbuat, dengan naïfnya berpikir 'aku akan mendapat keabadian. Yang berarti 'Hari Pengadilan' tak akan pernah datang padaku, karena aku tak akan mati.'

Lalu kenapa para 'penyihir' itu tewas terbakar, terikat pada sebatang kayu, hangus dan menjadi abu?

Kenapa banyak manusia dikorbankan untuk membuat sebuah 'keabadian'? Manusia konyol yang percaya takhayul, memasak bagian tubuh sesamanya di dalam panci tua dan menyebutnya ramuan awet muda?

Aku melihat hal itu sebagai kanibalisme.

Kenapa banyak wanita tak berdosa disalahpahami? Perempuan yang sedikit berbeda dari yang lain, yang tidak bersalah, dibunuh? Dibakar, hangus, karena mereka sedikit berbeda? 'Bakar sang penyihir', apa kalimat itu sajakah yang bisa manusia serukan? Tak adakah terlintas di depan mata kalian, yang telah dibutakan benci, seorang anak yang menangis meraung-raung di barisan depan, meneriakkan 'mama'? Hanya karena perempuan itu seorang yang selamat dari kecelakaan perenggut nyawa, hanya karena ia seorang dari banyak lain yang selamat? Tuhan mengampuni nyawanya, namun kalian menariknya paksa dari meja makan di rumahnya, jauh dari makan malam yang sederhana.

Keabadian. Immortality. Tidakkah mereka mengerti?

"Jelas-jelas kau ini penyihir!"

"Ya! Tidak mungkin kau bisa selamat dari kebakaran itu! Lihatlah, tak ada satupun luka bakar di tubuhmu! Ilmu hitam macam apa yang kau gunakan?!"

"Kalau begitu ikat dia dan nyalakan api dibawah pasak kayu! KITA AKAN LIHAT, APA PEREMPUAN INI AKAN HANGUS MENJADI ABU ATAU TIDAK!"

"Bakar sang penyihir!" "Bunuh! Hanguslah!" "Terkutuklah kau, pembunuh!"

"MAMAAA! SESEORANG PADAMKAN APINYA! Ibuku bukan penyihir! Ia bukan pembunuh! DENGARKAN AKU! TIDAK! MAMA!"

Semangkuk sup yang dingin, tak tersentuh di atas meja makan. Anak yang malang. Ia pasti akan mengingat hari ini dan membencinya. Kenapa manusia-manusia ini begitu bodoh? Sangat brutal dan dipenuhi dengki? Aku tidak paham. Benar-benar tidak paham.

Keabadian. Immortality. Tahukah kalian?

Aku yang bersembunyi di balik bayangan malam, telah menyaksikan semua itu. Menyaksikan bagaimana peradaban berubah, bagaimana anak yang manis itu berubah menjadi pemuda dengan hati penuh dendam. Waktu terus berlalu. Dan aku tetap setia menyaksikan dunia berubah. Aku membenci alat penglihatan ini. Aku hanya bisa menyaksikan, tanpa menolong satupun nyawa. Sepasang manik kuning yang memuakkan. Telah melihat banyak kematian, darah. Selama ratusan tahun. Tanpa menyelamatkan satupun.

Waktu berlalu. Manusia hidup. Berkembang ke peradaban. Jarang ada lagi kudengar cerita tentang manusia serigala, vampir, peri hutan, berbagai makhluk misteri yang umum dijumpa dalam buku dongeng. Di antara anak-anak. Di antara para lelaki paruh baya yang sedang berkumpul dalam bar. Di antara gadis-gadis, seru bertukar cerita. Di antara para ibu, yang bergosip ricuh sembari memilih buah ranum untuk dibeli dan dibawa pulang. Manusia berkembang, dan keberadaan kami perlahan dilupakan.

Kami dianggap legenda, hasil imajinasi dari penulis buku cerita fiksi.

Keabadian. Manusia beranggapan bahwa kehidupan untuk selamanya adalah sebuah berkat, suatu misteri, harta terpendam yang patut cari-cari.

Tapi,

Aku, yang telah hidup selama delapan ratus tahun, merasa bahwa keabadian itu adalah kutukan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Presented to you,

By IceFlowerGirl

.

.

.

Living Nightmare

.

.

.

Disclaimer: Boboiboy milik Animonsta

.

.

.

Warning(s): Vampire!AU, pairing on the next chapter. Yaoi. You have been warned. OOC, probably two shot, etc. DLDR

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Time set around 1900

Pertama kali aku melihat dirinya, aku terlonjak kaget. Penyiram tanaman dalam genggamanku hampir terlepas. Mimpikah aku? Mengusap mataku yang berwarna gelap, -tidak, dia masih disana, ini bukan mimpi-, dengan hati-hati aku meraih sebotol kecil air suci dalam kantong celanaku. Sebagai seorang pendeta, sudah seharusnya kami selalu membawa kalung berbentuk salib dari perak dan air suci.

Ya, sosok yang mengawasiku dari balik pohon tua itu sudah pasti bukan manusia.

Tubuh kecilnya bagaikan anak seusia sepuluh tahun. Wajahnya polos, manis, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dihembus angin. Kau pikir ia anak biasa? Tidak, perhatikan lebih dekat. Cakar yang ramping dan panjang tumbuh dari jemarinya. Kulitnya pucat, seakan tak pernah dicium oleh sinar matahari. Seakan mencibir fisiknya yang nampak yang tak sehat, pakaian serba hitam dalam bentuk tailcoat dan jubah tua, ia kenakan.

Matanya berwarna emas, memperhatikan segala benda yang bergerak. Bayangan pohon besar yang menaungi tubuhnya tak mencegah sepasang manik berwarna tak lazim itu untuk berkilau. Ya, bersinar dalam bayangan, bagai seekor predator yang tengah mengamati mangsanya.

Aku memperhatikan bagaimana matanya berkilat ke bawah, mendapati tanganku yang menggenggam sebotol air suci. Bahunya menegang, cakar berwarna gelap mencengkeram batang pohon, keraguan tertulis dengan sangat jelas dalam matanya.

Tapi sang vampir kecil tidak melarikan diri.

Aku memaksakan sebuah senyuman -aku memang tidak biasa tersenyum seperti Taufan-, "Hei, selamat siang," kuletakkan penyiram tanaman diatas meja kayu, "Kalau lingkungan sekitar gereja tidak menyakiti tubuhmu, maukah kau masuk dan minum teh?"

Ia menggigit bibir bawah, sepasang taring kecil menyembul keluar dengan hati-hati, agar tidak melukai dirinya sendiri. Mata emasnya kembali bertemu dengan milikku, ragu dan tak yakin.

"Tuan pendeta," Mengejutkan, suaranya ternyata lembut dan terdengar sopan. "Air suci... kalau aku meminumnya, bagian dalam tubuhku akan terbakar dan tidak akan bisa menyembuhkan dirinya sendiri lagi."

Sambil mengucapkan itu, sang vampir menampakkan dirinya, tak lagi bersembunyi di balik batang pohon. "Bolehkah aku membuat sebuah perjanjian denganmu, tuan?"

Aku berkedip. Dua kali. Bingung. "Maaf? Apa yang-"

"Apa yang sedang kau rencanakan, penghisap darah?"

Aku membalikkan tubuhku, terkejut dengan pengunaan kata-kata yang jauh dari halus. Sepasang manik rubi mendelik, seolah tidak senang -tunggu, ia memang selalu tidak senang-, "Sepayah itukah dirimu dalam berburu makanan? Sampai-sampai kau mencari pendeta untuk dimangsa?"

Aku mendapati perasaan kuat untuk menjahit mulut tajam rekanku ini. Halilintar memang senang berbicara kasar, dan itulah yang mengakibatkan masalah yang tak perlu dari orang-orang sekitar. Untunglah gereja ini terletak dekat hutan, dimana jarang ada orang yang datang kecuali untuk berkunjung dan berdoa.

"Halilintar, kau seharusnya tidak-", tegurku, namun omelan itu mengering dan mati dalam tenggorokanku seiring sang vampir kecil bicara.

"Aku datang kemari,

-untuk mati,"

Living Nightmare

Fang membuatku terkejut siang ini. Di dalam rangkulannya adalah seorang anak kecil, dengan fisik yang tidak terlihat cukup 'manusia'. Kulitnya pucat. Sepasang segitiga kecil, sangat kecil, mengintip dari antara bibirnya. Taring. Sepasang ujung taring yang tajam.

Tak perlu dua kali lihat untuk mengidentifikasi bocah ini sebagai vampir.

Seniorku yang berkacamata itu menjelaskan segalanya. Tentang tujuan vampir itu datang kemari. Dan tentu saja, aku merasa terkejut, cengiran lebar yang biasanya tak pernah absen mendadak menolak muncul di wajahku.

Ia memanggil dirinya Gempa. Vampir murni, berasal dari desa kecil di pegunungan barat. Ia sampai di desa selatan ini seminggu lalu.

"Namaku Taufan. Ini Halilintar," ucapku sambil tersenyum lebar, ciri khasku sebagai pendeta yang riang, "Dan yang bicara denganmu tadi namanya Fang, senior kami yang lebih tua setahun. Bisa kau jelaskan lagi kenapa kau ada disini?"

Pertanyaan bodoh, Taufan. Kau sudah tahu bahwa ia menginginkan kematian. Seharusnya pengalihan topik yang dilakukan, kenapa kau malah mengungkit hal sensitif ini?

Gempa mengangkat kepala, menurunkan cangkir teh yang menutupi bibirnya. Mata emasnya meredup, telinga lancip yang menghiasi sisi kepalanya menurun sedikit, "Seperti yang aku katakan, tuan, aku datang kemari untuk-"

Halilintar mendengus. Posturnya yang santai namun terkesan mengintimidasi masih bersandar di daun pintu. "Mana mungkin kami akan mempercayai makhluk kegelapan sepertimu-" agar kalimat menusuk itu tidak dilanjutkan, Fang menginjak kakinya, keras. Halilintar nyaris mengumpat kesakitan kalau saja ia tak ingat dirinya sedang berada dalam Rumah Bapa. Kedua pendeta itu berakhir dengan arus listrik imajiner yang menghubungkan mata mereka.

Aku yang duduk disebelah sang vampir menghela napas. Kenapa Halilintar tak pernah bisa membaca keadaan? "Oi, Hali. Sebaiknya kau diam saja," ketusku, tidak menyadari cengkraman tangan Gempa pada cangkir teh yang mengerat.

"Tuan, memang benar aku adalah makhluk yang gelap," ucapnya dengan suara pelan, meletakkan cangkir teh kembali ke atas meja. Gambaran sang vampir sebagai seorang anak kecil yang tersesat dihutan, ketakutan dan tak berdaya, berkilat di balik kelopak mataku, yang mana segera aku hilangkan. "Maka dari itu, salahkah kiranya diriku yang tak diinginkan dunia ini meminta kematian?

"Aku lelah, tuan, menghabiskan hidup tanpa akhir ini dalam persembunyian. Lelah, menyaksikan mereka yang ada disekitarku kehilangan nyawa seiring waktu berlalu. Aku takut, dunia ini telah banyak berubah. Manusia sudah berubah. Tak lagi percaya pada adanya kaum vampir, karena jumlah kami telah menipis.

"Aku pikir, aku telah hidup untuk waktu yang lama, terlalu lama.

"Tuan... kalian pasti mengerti penderitaan ini. Semua makhluk hidup akan mati pada akhirnya. Bagi mereka yang tak akan mati, hidup ini terasa memuakkan,"

Aku terdiam. Begitu pula Halilintar dan Fang, sebelum pendeta berkacamata itu membuka mulut beberapa detik kemudian. "Jadi, perjanjian apa yang ingin kau bicarakan tadi?"

Gempa menatap cakar gelapnya yang panjang dan tajam. Mereka menyusut, menyerupai panjang kuku biasa. Warnanya masih gelap, dengan ujung tajam yang tak berubah. "Aku akan membersihkan gereja dan mengurus segala pekerjaan rumah kalian. Selama sebulan. Sebagai gantinya, kalian akan membiarkan aku menenggak air suci,"

Sungguh tawaran yang menggoda, itulah yang terlintas dipikiran ketiga manusia ini. Membersihkan sebuah gereja bukanlah hal yang mudah. Termasuk pekerjaan rumah. Dan lagi, sesosok vampir akan musnah dari muka bumi ini.

Mereka menerima tawaran Gempa.

Namun mata emas yang redup dan air wajah sendu itu tidak dilewatkan siapapun.

Living Nightmare

Dua hari berlalu. Dan si vampir masih berkeliaran, membersihkan disini dan disana, mengerjakan ini dan itu. Ia tak lagi murung. Seolah topeng dengan wajah tertawa bahagia telah ia rekatkan melapisi ekspresinya yang muram.

Ia anak yang aneh.

Kadang matanya dipenuhi keingintahuan, seperti anak-anak. Berbinar-binar, membawa warna dalam hidup kami yang bisa kau katakan biasa-biasa saja. Pada saat yang lain, ia nampak begitu dewasa. Dewasa, dalam artian telah mengerti pahit dan sakitnya hidup.

Masa laluku tak semata-mata pelangi dan bunga-bunga, tidak, tidak. Dulu aku dikenal sebagai 'anak iblis', 'si mata merah'. Aku pernah dibenci, dibuang.

Ah, lupakan, terlalu merepotkan untuk membicarakannya.

Kembali ke bocah vampir, ia adalah anak yang bisa kau katakan... tak biasa.

Pernah sekali, setelah sedikit diskusi, kami sepakat untuk memasak sup, dan menambahkan bawang putih di dalamnya. Jangan salahkan kami. Salah satu sifat manusia adalah; selalu ingin tahu. Apa yang akan terjadi bila ia merasakan bawang putih? Sakit? Keracunan? Apa kematian akan menjenguknya? Bila pilihan yang terakhir benar-benar terjadi, seharusnya tak ada masalah. Ia memang menginginkan kematian, demikian kilah kami.

"Hmmm.. Sup ini manisnya sudah pas, mungkin hanya kurang asin. Ah, tapi berhubung aku memang tidak punya indra perasa seperti manusia, jadi, uh, bisa jadi aku yang salah," ia tertawa ringan, membereskan peralatan makan.

Tak ada yang terjadi. Seperti biasa ia mengucapkan terima kasih atas makanannya dan berlalu. Bahkan ada kemungkinan Gempa tidak menyadari adanya bawang putih dalam makan malamnya.

Ia aneh. Tak biasa.

Kau ini terlalu 'manusia'.

Supnya benar-benar terasa kurang asin.

Living Nightmare

Lagi, dua hari berlalu.

Kami mulai menyadari hal-hal yang tak wajar kau temukan pada vampir dalam diri Gempa, sedikit demi sedikit.

Tak peduli hari berawan atau tidak, anak itu bisa menjemur pakaian tanpa masalah. Sinar matahari nampaknya tak berpengaruh besar padanya, kecuali untuk fakta ia sering berteduh dari waktu ke waktu.

Mungkin aku harus mengganti kacamataku. Ini hanya dalam sepersekian detik, tapi saat aku melihat Gempa menggantung seprai putih yang besar saat angin berhembus, ia memiliki sayap putih.

Tak peduli betapa tugas itu membuatnya merasa mual dan sakit, ia tidak pernah absen membersihkan salib utama di altar.

Tak habis pikir, kenapa mereka membenci si kecil ini. Fang, dan bahkan Halilintar, sudah mulai terbiasa dengan keberadaannya.

Ia tidak meminum darah. Satu tetes pun. Tidakkah itu mencurigakan? Aku pernah menanyainya, dan ia menjawab; "Aku hanya minum darah manusia pada malam bulan purnama, saat rasa haus ada di puncaknya. Energi sehari-hari kudapat dari alam. Pepohonan, dedaunan, bahkan angin memiliki kekuatan hidup. Yah, kurasa aku punya kemampuan untuk menyerap mereka, keren, kan?", candanya, kembali memfokuskan diri pada sebuah novel yang ia temukan di loteng.

Tch. Walau tidak ingin mengakuinya, aku rasa tubuh Gempa menolak minum darah pada hari biasa karena ia berbeda. Bukan aneh. Hanya, lebih... unik.

Living Nightmare

Fang menghirup tehnya, sementara Halilintar dan Taufan sibuk menyusun buku-buku tua di sebuah rak. Setelah seminggu tinggal bersama, ada banyak hal yang bisa kau ketahui dari seseorang. Kebiasaannya, hobinya. Misalkan, salah satu kegemaran sosok kecil bernama Gempa ialah membaca. Maka dengan alasan 'aku sedang tidak sibuk, itu saja', Halilintar membantu Taufan mengeluarkan sebuah peti kayu yang berisi buku-buku cerita fiksi dan novel dari gudang.

"Siang," Gempa menguap, mengusap matanya. Kaki kecil yang dibalut sepatu hitam berhenti melangkah di depan tungku dapur, membuat makan siang. Sebenarnya vampir tidak memerlukan makanan manusia untuk bertahan hidup, tapi Fang dan Taufan bersikeras bahwa 'keluarga harus makan bersama'. Bahkan Halilintar menggumam menyetujui. Awalnya ia ragu. Gempa tak ingin pendeta yang sudah bersedia menerima makhluk sepertinya disini menghabiskan makanan untuk hal yang tak perlu. Dan... bagaimana mungkin mereka bisa menerima dirinya sebagai 'keluarga'?

"Sudah bangun, Gempa?" Taufan nyengir, meletakkan sebuah buku tebal di rak atas. Gempa bangun di saat sinar matahari masih lemah, mengerjakan tugas rumah, lalu masuk kembali dalam peti sebelum siang untuk tidur sampai sore hari. Karena mentari siang lebih terasa kuat dari waktu lain. 'Waktunya kebetulan pas buat mengangkat cucian,' celetuk si vampir. Sinar matahari tidak akan membakar atau membunuhnya, tapi akan membuatnya merasa lemah, demikian pengakuan Gempa.

"Mm hmm," jawabnya, "Selama tak terkena sinar matahari langsung, kurasa aku akan baik-baik saja."

Fang memperhatikan gerak-gerik Gempa yang mulai terbiasa menyiapkan makanan manusia. Ia tak bisa menghindari pertanyaan yang kerap berputar di kepalanya; kenapa ia begitu... manusia? Kenapa ia datang ke desa ini? Karena mereka masih percaya adanya vampir, dan ada kemungkinan lebih tinggi memiliki air suci? Apa yang terjadi di tempatnya tinggal, kenapa ia bisa kesini tanpa masalah yang berarti? Bagaimana ia hidup, berapa usianya? Dimana kawanan vampirnya?

Kenapa ia ingin mengakhiri hidupnya?

Pertanyaan terakhir seharusnya sudah terjawab, tapi Fang merasa tidak puas.

"Hei, Gempa," mulai Fang, iseng bertanya, "Selain salib, sinar matahari yang kuat, dan air suci, apa lagi yang kau harus hindari?"

Taufan nyeletuk, "Oh! Maksudnya apa yang kau benci!" Halilintar hanya memutar bola mata, maklum dengan 'logika idiot' rekan satu ini. Sang pendeta hiperaktif mendelik padanya, "Atau lebih tepatnya 'siapa'," ejek Taufan, langsung mendapat jitakan penuh kasih sayang dari Halilintar.

Tangan sang vampir berhenti bergerak, bahunya melonjak. Sunyi yang mengisi ruangan menarik perhatian dan rasa khawatir dari ketiga manusia. Gempa tertawa kikuk, tersenyum hampa,

"Aku... ehm, lebih dari salib atau air suci, ya?" ia kembali membuat makan siang, bayangan yang terbersit di wajahnya menghilang, digantikan pandangan mata yang kosong dan getir,

"Ah, aku membenci diriku sendiri lebih dari apapun,"

Living Nightmare

Taufan, berhentilah menatapku seperti itu, atau akan kulempar cangkir kopi ini ke kepalamu. Dan jangan tertawa.

Aku hanya ingin mengamati si bocah vampir. Itu saja.

... Argh, aku memang peduli, puas? Pergi sana, dasar.

Mengalihkan pandangan kembali ke objek pengamatanku, kubiarkan sebuah helaan napas sunyi melewati rongga pernapasan. Pikiranku masih terantung-antung tanpa tujuan, untuk apa kau mencoba begitu keras? Untuk apa berusaha memenuhi perjanjian? Bisa saja kau mengambil air itu sendiri pada saat kami tertidur, atau sejenisnya.

Kenapa kau ini begitu aneh? Memakai sarung tangan yang terlalu besar untuk jemari kecilmu, mempelajari kitab. Memberi makan burung walau hari nyaris meraih siang. Menguras tenaga dan mengubah wujud menjadi kelelawar demi meraih lonceng dan membersihkannya, bahaya ketinggian tidak kau hiraukan. Malah senandung ria yang kau utarakan bersama kicauan burung kenari. Dasar bodoh, dalam bentuk manusia kau bisa jatuh, terluka dan merasakan sakit, walau mungkin tubuhmu akan segera membaik dalam beberapa jam. Kesan yang kau tinggalkan padaku adalah seorang anak yang berhati tulus dan baik. Untunglah gereja ini tak membakar tubuhmu, kau ini pasti beruntung, dasar bocah.

Serius, hentikan tatapan itu. Pergi sana, atau cakram udara kesayanganmu akan kupatahkan. Aku bukan sedang mensyukuri keberadaannya.

Akhirnya Taufan memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan hal lain, seiring kepergiannya dapat kudengar kikikan mengejek menggema dari koridor berlantai kayu oak. Hhh, yang benar saja. Suara tapak kaki terdengar mendekat dibelakangku, dimana aku sedang memperhatikan Gempa menggantung jemuran lewat jendela yang sebening kristal.

"Hei, Hali."

"Hei juga Fang,"

Tawa ringan, "Kulihat kau penasaran juga dengan 'penghisap darah' itu, kan?"

"Berisik,"

Aku masih memperhatikan si vampir kecil, bagaimana ia tertawa bersama Taufan kala pendeta itu mengejutkannya dari balik jemuran. Apanya yang menyibukkan diri, dasar usil.

Sebuah suara kecil berbisik di belakang pikiranku, sebuah suara yang kusebut suara hati, yang seharusnya sudah rusak dan musnah sejak dulu. Tapi suara itu bertambah besar dalam volume, ketika pandanganku mendarat pada bagaimana mereka bersenda gurau, dengan senyuman yang diselingi tawa geli dan cengiran lebar. "... Kau tahu, Fang? Kurasa aku tak sengaja menghilangkan botol air suci milikku,"

Sunyi memainkan serulingnya, udara yang dipenuhi kecanggungan dan suasana tegang terasa menyesakkan ditengah keheningan.

Jatuhkanlah sebuah jarum kecil, walau mustahil, mungkin suaranya akan menggema di lantai kayu ini.

"Hali," suara Fang terdengar, memecah diam. "Mengambil nyawa adalah hal yang salah. Dipandang hina dan rendah. Walaupun ia adalah yang berasal dari gelap, nyawa pemberian Sang Penguasa sangatlah berharga," sebuah tangan menepuk bahuku.

Sepersekian detik lamanya pandangan kami bertemu dengan manik emas Gempa, hanya dibatasi oleh jendela yang bening, sebelum mereka menutup dikarenakan ia sedang tersenyum kecil, ramah menyapa kami.

Fang meneruskan ucapannya, tangan yang berada di bahuku mengerat. "Tapi kita tak bisa mengubah fakta bahwa ia adalah yang berusia ratusan, mungkin ribuan tahun. Entah apa saja yang telah disaksikannya, melukainya. Kita tak punya hak untuk menasihati permintaannya akan kematian, karena bagai takdir yang kejam dan tak adil, ia adalah makhluk yang telah dikutuk untuk menderita sampai akhir waktu."

Living Nightmare

"Eh? Kawanan vampirku?" Gempa mengangkat sebelah alisnya, nampak mempertimbangkan pertanyaan Taufan.

Begitu selesai menggantung cucian, sang pemuda bermata biru langit mengajak Gempa untuk bersantai di bawah bayangan pohon yang rindang. Entah kebetulan atau tidak, namun pohon yang sedang disandari oleh Taufan merupakan tempat pertemuan pertama Fang dengan Gempa.

Si kecil menyamankan tubuh ringannya di cabang terendah pohon itu. Ia bersandar ke belakang, nostalgia dan memori masa lalu perlahan-lahan berenang ke permukaan ingatan. "Hmmm,"

"Mengenai hal ini, aku selalu dianggap aneh. Aku berbeda dari yang lain. Koloni menganggapku setengah manusia," Gempa mengusap tengkuknya, mata kosong kembali menggantikan emas yang penuh kehidupan . "Pasak kayu menembus jantung orang tuaku empat ratus tahun lalu, karena aku masih hidup setelah dirantai dibawah matahari. Entahlah, mungkin mereka memang ingin membunuhku, hanya saja gagal, dan berakhir dengan orangtuaku sebagai korban... Em, ayah dan ibu adalah vampir... tapi, er, koloni tak ingin mengambil resiko ada manusia menyusup ke kawanan, jadi-"

Taufan mendapati hatinya tersayat mendengar bagaimana Gempa diperlakukan. Sekeji itukah kawanan tempatnya tumbuh? Anak manis ini menghabiskan hidupnya dalam neraka itu dan tidak berubah kejam? Ia benar-benar sesuatu yang berbeda, vampir ini. "Maaf Gempa, kau tak perlu melanjutkannya kalau itu membuatmu tak nyaman."

"A-ah tidak apa," dehemnya, "Semuanya sudah berlalu ratusan tahun lalu, aku pun sudah perlahan melupakannya," -Matamu berbohong, rasa sakit itu pasti masih menghantuimu sampai sekarang- "...lalu setelah itu aku memilih untuk lari dan menyendiri. Aku memutuskan bahwa tidak ada lagi yang perlu kuperjuangkan dari koloni, aku menyerah untuk diakui sebagai bagian darinya. Lagipula aku ini aneh. Vampir murni, tapi 'terlalu manusia'. Maklum saja aku diasingkan. Lagian, sendirian lebih... mudah. Tidak akan ditelusuri pemburu vampir dengan cepat, hanya saja melarikan diri atau melawan mereka sendirian butuh akal yang cerdik," ungkapnya, memperhatikan bagaimana dedaunan hijau berbisik, dibelai dengan anggunnya oleh sang gadis angin.

Taufan meregangkan badannya. Ia berdiri. Perbedaan tinggi badan yang tak seberapa masih memungkinkannya meraih ke atas dan mengusap puncak kepala si vampir, karena ia duduk di cabang yang rendah. Cengiran lebar khas miliknya tercetak disana. "Kau tahu, kurasa kau tidak disukai karena kawananmu cemburu. Kau spesial. Bisa keluar di siang hari, dan mereka tidak."

Gempa membeku, tidak terbiasa dengan gestur kasih sayang seperti ini. Ia terdiam. Mencerna perkataan yang baru saja terlontar dari Taufan. Senyuman perlahan-lahan merekah di wajah Gempa. Ia nampak seperti anak normal, yang tersipu malu karena dipuji oleh seseorang. "Yah. Mungkin saja."

Living Nightmare

"Woah! Lihat, lihat! Tempat ini... berkilau! Keren! Terbaik lah!", gelak Taufan, duduk dengan kepala mendongak kagum di tengah lantai berkarpet gereja.

Pilar-pilar penyangga yang berlapis bercak kehitaman dibersihkan, memamerkan permukaan batu yang indah, kontras dipadu bersama warna gereja yang didominasi putih-krem. Salib utama dipoles sampai berkilau, bahkan rumah burung tua di pohon samping gereja pun diganti dengan yang baru.

Sarang laba-laba di pojok langit-langit tak lagi menampakkan diri. Kaca kristal di balik altar yang bergambar kelahiran Yesus tersenyum, berkilau warna-warni diterpa cahaya mentari. Kayu berderit penutup jendela telah diperbaiki. Lonceng perunggu di puncak gereja sekarang berkilau dengan angkuhnya, memantulkan sinar matahari pagi dengan bangga.

Fang terkesan. Sangat terkesan. Baru dua minggukah Gempa tinggal disini?

"Tidak buruk," gumam Halilintar, mengusap tiang batu di sampingnya. Kedua manik rubi berkilau kagum, berlawanan dengan komentar acuh tak acuh yang terlontar.

Gempa tersenyum lebar di depan altar, jenis senyuman yang memperlihatkan gigi dan menutup mata, pipi diwarnai kemerahan. Taring tajam diantara deretan putih berkilau malah mempermanis senyumnya. Cahaya terang aneka warna menerpa tubuhnya, datang dari kristal kaca yang indah nan lembut. Tawa khas anak-anak menyelinap keluar dari pita suaranya, bunyi yang langka dan menggemaskan.

"Terima kasih!"

Dan lagi, sepintas ilusi, sepasang sayap putih seakan melepaskan diri dari punggungnya, ia yang nampak begitu polos dan suci.

Pada saat itu,

-mereka menyadari,-

-bagaimana mungkin mereka akan sanggup membunuh seorang malaikat?

Living Nightmare

Belakangan aku menyadari, pandanganku lebih sering mendarat pada Gempa daripada salib. Bagaimana ia bergerak. Bagaimana ia bicara. Bagaimana ia tersenyum.

Sebelum aku sadar, aku sudah terperangkap dalam sepasang manik indah miliknya.

Tapi, bagai menolak, Gempa menghindari kontak mata. Takut untuk terlalu dekat. Takut mengalami perpisahan, dikhianati.

Takut disakiti lagi.

Kami pun berkegiatan seperti biasa, seolah tak pernah menemukan lubang galian yang ia buat diam-diam untuk kuburannya suatu saat nanti. Tepat disebelah semak bunga liar yang dengan rajin ia rawat setiap hari, dekat hutan di belakang gereja.

["Entahlah, mungkin kalau aku bisa memilih tempat untuk dikubur, aku ingin berada disebelah bunga-bunga liar. Ah, itu pun kalau aku tidak mati di suatu tempat tak bernama lebih dulu, seperti vampir pada umumnya," tawamu, tapi kami tidak mengganggapnya lucu.]

Seolah ia pernah mengatakannya, kata-kata yang tak pernah terucap berngiang di telingaku.

"Maaf karena kalian harus melakukan ini, tapi saat aku mati nanti, bisakah kalian membawaku ke sini? Aku tidak yakin, tapi air suci pasti akan menghancurkan tubuhku sampai berantakan... aku tidak ingin merepotkan kalian, jadi tinggalkan saja aku disini. Kudengar tubuh vampir yang mati akan menjadi abu."

Karena ia pasti akan mengatakan itu. Karena ia adalah Gempa, vampir yang berhati murni.

Kau anggap dirimu ini apa? Sampah? Mungkinkah kami membuangmu ke lubang ini dan mengganggapnya selesai? Kau pasti bercanda.

Memasuki minggu keempat. Belakangan ini kau bersikap aneh. Kalimat-kalimat gelap yang jarang terucap, keluar dari mulutmu.

["Hei... mungkin pertanyaan ini mendadak, tapi apa kalian tidak takut padaku?"]

[Tatapan dingin yang ditujukan pada kami, "Tidak. Jangan katakan itu lagi. Tidak mungkin aku bisa tinggal disini. Aku ini bukan manusia. Jangan sampai kalian berani membatalkan perjanjian kita. Ha- hanya karena aku tidak meminum darah, tidak berarti aku tak berani menyerang kalian. A- aku bisa merebutnya paksa. Ingat, aku, vampir, adalah makhluk yang tidak diinginkan dunia ini," ancammu bergetar sembari berlalu, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam untuk bergulir jatuh.]

["Kalian berpikir aku ini baik? Tuan pendeta. Pikirkan lagi. Aku bisa saja menghisap darahmu. Aku bisa memilih, antara mengakhiri hidupmu, atau mengubahmu menjadi sejenisku. Aku ini bukan apa-apa selain monster,"]

{"Gempa. Kau juga bisa memilih untuk menghapus memori kami. Kau juga bisa membunuh kami dan merebut air suci dari awal, daripada menawarkan perjanjian. Kau ingin seseorang untuk mengingatmu. Apa mungkin, sebenarnya, kau takut dilupakan oleh dunia ini?"}

Perlahan, kau menangis. Isakan tertahan dan air mata yang bergulir bebas saat itu membuktikan betapa kau memiliki hati seorang manusia. Dengan sesenggukan, kau berusaha menjelaskan betapa kau takut akan kematian manusia, setelah menemukan kami, menemukan 'keluarga'. Betapa takutnya dirimu, untuk hidup sendiri lagi setelah usia terbatas kami sebagai manusia habis.

Tapi kau salah akan satu hal.

Kau bukan monster. Kau bukan vampir, pembunuh.

Kau hanyalah seorang Gempa.

Living Nightmare

Sebulan berlalu.

Saatnya perjanjian dilaksanakan.

Seakan mengintip ke masa depan, Gempa memilih hari ini untuk mati, dimana langit cerah dan burung berkicau riang.

Gereja yang berkilau tidak membuat kami tersenyum, bahkan tidak untuk Taufan yang selalu cerah-ceria.

Tidak semua hal berjalan sesuai rencana.

Tiga hari lalu Gempa mendadak hilang, tepat tengah malam saat lonceng menara tua di kejauhan berbunyi.

Kami tak tahu apa yang terjadi.

Bunga-bunga liar yang dirawat penuh kasih olehnya, perlahan layu dan mati.

TBC?

A/N:

... feel-nya gak dapet ya? Haiya, this is hard

Bukan cerita yang bersambung terlalu panjang, mungkin hanya sekitar dua atau tiga chapter. Pairing in the next chap. Ice udah tentukan, jadi alurnya pun sudah tetap. Lanjut? Lanjut ga nih? (Suara fangirls Gempa manaaa xD #plak)

Ice sedang bereksperimen untuk membuat cerita yang lebih panjang 'v' ini sekalian pelepas stress, berhubung sekolah benar-benar memaksa Ice untuk fokus. Ditambah lagi ada banyak tekanan dari berbagai sisi '-';

Ne, minna-san, Ice bukan beragama Kristen, jadi mohon maaf kalo ada yang salah dalam struktur gereja atau lainnya. Mencegah complaint, ini hanyalah fanfiksi. Made just for fun. Kalau seandainya ada yang beranggapan yaoi itu tidak pantas dengan unsur gereja atau keagamaan, Ice minta maaf sedalam-dalamnya #bungkuk

Setidaknya, Ice udah taro warning di atas. Don't like, don't read.

Hint: wujud asli Gempa bukan anak kecil. Ia berubah tergantung keinginannya sendiri. Di chapter ini, Gempa memilih wujud anak-anak agar tidak menakuti Fang dkk.

Sekian curcol yang super panjang ini.

Mind to RnR?