Disclaimer:

Naruto [Masashi Kishimoto] and High School DxD [Ichie Ishibumi]

Saya tidak mengambil keuntungan materi apapun dari fanfiksi yang saya publish.

.

Lime or Lemon

Drama, Suspense, Romance, Friendship, Family, Fantasy, Spiritual, and etc.

Rate : M

Type : Crossover

.

Warning! : OOC, OC, Typo(s), AU, AR, AT, Lime, Lemon, NTR and many more!

.

.

.

Prolog!

Akeno adalah seorang model majalah dewasa yang bekerja di rumah produksi milik ayah Issei.

Hampir dua tahun mereka berpacaran, tetapi akhirnya hubungan itu kandas setelah Issei ketahuan selingkuh bersama Rias, teman Akeno sendiri.

Akeno lalu pindah ke sekolah yang baru dan ia menemukan Naruto seorang pemuda yang jago ilmu bela diri. Akeno kemudian menjalin hubungan bersama Naruto, tapi sayang hubungan mereka harus kandas juga, karena Akeno difitnah secara sadis oleh Rias yang menyebabkan Naruto berpindah hati ke Rias.

Issei pun masih mengejar Akeno, tapi sayang Akeno sudah menutup pintu hatinya untuk Issei.

Sekarang, Akeno menjalani kehidupannya sebagai seorang mahasiswi di sebuah kampus seni yang berada di Jepang. Saat ini ia telah menginjak semester tiga, yang mana sudah satu tahun lamanya ia tidak bertemu dengan Naruto. Semenjak Naruto memutuskan hubungan dengan dirinya dan kemudian menjalin hubungan bersama Rias. Padahal mereka berdua saling mencintai dan berniat naik ke jenjang yang lebih serius.

Mampukah Cinta menyatukan hati mereka yang sudah terpisah satu tahun lamanya? Sedang Rias selalu berusaha merebut semua yang Akeno punya.

.

.

.

Author Present

LIME OR LEMON

.

.

Chapter 1 Lekuk Indah

.

.

Musim panas telah mendatangi negeri Sakura. Di sebuah kampus seni, terlihat sosok gadis mengenakan kemeja putih dibalut blezer hitam dengan rok mini setinggi lima senti di atas lutut serta sepatu kets yang berwarna hitam.

Rambutnya hitam panjang terkuncir satu ke belakang dengan pita yang berwarna orange, mendekap beberapa buku di dada sambil membawa tas kuliahnya.

Dialah Akeno, seorang mahasiswi tingkat tiga yang hendak keluar dari gerbang kampusnya.

"Akeno!"

Seorang gadis berlari mengejarnya sambil terengah-engah. Memakai seragam yang sama dengan Akeno. Rambutnya kuning tergerai panjang.

"Asia?""

Sesaat Akeno menoleh melihat siapa gerangan yang memanggilnya.

"Hosh ... hosh ..."

Napasnya terengah-engah saat mengejar gadis beroppai besar itu. Sesampainya di hadapan Akeno ia memegangi kedua lututnya.

"Kau ... kau ..." Asia masih mencoba mengatur ulang napasnya.

"Pelan-pelan saja, Asia. Aku masih menunggu. Ada apa?" Akeno bertanya kepada teman satu kampusnya itu.

Asia masih berusaha mengatur ulang napasnya, barulah ia kemudian menyampaikan sesuatu hal kepada Akeno.

"Yamato-sensei ... Yamato-sensei memanggilmu ke ruangannya, Akeno," ucap Asia kemudian, sambil menunjuk ke arah ruangan dosen.

"Hmm, ada apa ya ...?" Akeno bergumam sendiri. Ia merasa curiga dengan panggilan Yamato kali ini.

"Aku tidak tahu, Akeno. Coba kau datangi dia saja, ya. Aku mau pulang sekarang. Sampai jumpa, Akeno!"

Asia berpamitan kepada Akeno sambil melambaikan tangannya, terlihat di depan gerbang kampus Saji tengah menunggu Asia pulang.

"Hem, baiklah, hati-hati!"

Akeno menebarkan senyumannya kepada Asia, membiarkan temannya pergi dari hadapannya. Akeno kemudian berbalik, ia berjalan menuju ruang dosen untuk menemui Yamato, guru kesenian di kampusnya..

.

.

.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu terketuk dari luar.

"Masuk!" ucap seorang pria berpenampilan elegan dan maskulin. Pintu pun dibuka lalu di dorong dari luar.

"Anda memanggilku, Yamato-sensei?" tanya seorang gadis yang tak lain adalah Akeno sendiri.

"Duduklah, aku ingin berbincang sebentar kepadamu," jawab Yamato sambil mempersilakan mahasiswinya duduk.

Saat itu Yamato mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru yang terbuka dua kancing di bagian atasnya. Membuat rambut-rambut kecil di dadanya terlihat sedikit di hadapan kedua mata Akeno. Yamato duduk di depan Akeno, mereka hanya dipisahkan meja kerja berukuran 1,5 x 1 meter yang terbuat dari kayu yang sudah terpahat sangat halus.

Di meja itu tidak ada satupun benda kecuali secangkir kopi milik Yamato. Sedang di ruangan itu ada empat meja dosen,. Tapi, ketiga meja tampak kosong karena kebetulan ketiga dosen yang lain sedang tidak berada di tempat.

Akeno lalu duduk di kursi yang telah disediakan.

"Akeno ..." Yamato mulai menatap Akeno.

"Akeno, aku ingin mengucapkan terima kasih atas nama kampus kepadamu. Karena berkat skenario yang kau tulis, kampus ini mendapatkan penghargaan untuk drama teater terbaik tahun ini." Yamato memulai pembicaraannya.

Akeno masih diam sambil menaruh kedua tangannya di atas paha. Tasnya pun masih menggantung dipundak kanannya, sedang buku-buku yang ia bawa sudah ia masukkan ke dalam tas.

Menanggapi ucapan Yamato, Akeno hanya memberikan senyumannya sebagai balasan atas ucapan terima kasih itu.

"Dan ..."

Yamato beranjak berdiri dari duduknya. Ia menuju pintu ruangan lalu menguncinya dari dalam. Ia membiarkan kunci itu tergantung di pintu, setelah itu ia berdiri di belakang Akeno.

"Sampai kapan kau akan menutup hatimu, Akeno?" tanya Yamato yang mana kedua tangannya mulai memegang kedua pundak Akeno dari belakang.

Akeno tampak risih, ia berusaha melepaskan kedua tangan Yamato dari kedua pundaknya.

"Yamato-sensei, maaf. Jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan, sebaiknya aku pergi." Akeno beranjak berdiri lalu cepat menuju pintu.

"Akeno!"

HAP!

Yamato memeluk Akeno dari belakang, sebelum sempat Akeno membuka pintu.

"Akeno, aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Tolong, tolong beri aku kesempatan, Akeno."

Yamato semakin erat memeluk Akeno yang membuat Akeno merasa ketakutan, ia berusaha lari dari dekapan Yamato, dosennya sendiri.

STABB!

Akeno lalu menginjak kaki Yamato, dekapan itupun akhirnya terlepas. Segera saja ia melarikan diri dengan membuka kunci pintu.

"Akeno!"

Yamato merasa kesakitan terkena injakkan kaki Akeno yang kuat, ia hanya dapat melihat kepergian Akeno dari dekapannya.

Sementara Akeno terus berlari tanpa melihat ke arah kanan dan kiri, ia terus berlari keluar gerbang kampus sambil memegangi tasnya.

.

.

.

Setengah jam kemudian...

Akeno baru saja sampai di rumahnya, keringatnya mengalir deras akan ketakutan yang baru saja ia alami.

"Tidak seharusnya ia berbuat seperti itu kepada mahasiswinya sendiri."

Akeno berbicara sambil mengelap keringat yang ada di dahinya kemudian mencoba mengambil segelas air putih.

Segelas air putih itu ia habiskan, lalu ia berbaring di kasurnya yang di hamparkan di atas lantai. Sebuah rumah mini ia tempati tak jauh dari kampusnya. Rumah itu hanya berukuran 4x5 meter. Yang mana 1x1 meternya diambil untuk kamar mandi.

Di sana hanya terlihat sebuah kasur lipat sebagai tempat tidur berukuran 1,5 × 2 meter, di sampingnya terdapat meja belajar dan lemari buku dan lemari pakaian yang diletakkan di samping kamar mandi.

Tak ada dapur, hanya ada sebuah meja berbentuk persegi sebagai tempat untuk meletakkan penanak nasi dan mini dispensernya.

"Hah, apa aku harus pindah kampus ya?" tanyanya sendiri yang mulai risih dengan hal yang menimpahnya.

"Sudah kubilang aku ingin sendiri, tapi Yamato-sensei masih saja mengejarku!" gerutu Akeno sambil membiarkan tubuhnya nyaman di atas kasur.

Perlahan-lahan gadis itupun tertidur, akibat lelah seharian menghabiskan waktu di kampusnya.

.

.

.

Di lain tempat...

Seorang pemuda berpakaian jaket orange dengan celana jeans biru dan sepatu sport putih terlihat sedang menyeberangi salah satu jalan yang ada di sudut kota Tokyo bersama khalayak ramai. Sepertinya ia baru saja menyelesaikan hari-harinya sebagai seorang mahasiswa di salah satu kampus yang ada di kota Tokyo.

Pemuda itu bernama Naruto, seorang pemuda yang memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh pemuda lainnya.

Terlihat ia membawa tas punggung dengan satu pundak kanannya sambil memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana.

PING!

Sebuah nada pesan berbunyi, terdengar bersamaan getar yang ia rasakan di celananya. Ia kemudian mengambil handphone lalu melihat isi pesan tersebut.

.

Friday, 7 pm.

/Sayang, aku lapar. Bawakan aku sushi tuna, ya./

Rias

.

Ternyata pesan tersebut datang dari kekasihnya, Rias.

Segera saja Naruto mencari toko sushi isi tuna untuk sang kekasih, ia berjalan menyusuri pertokoan yang ada di pinggir jalan.

PING!

Sebuah nada pesan kembali berbunyi, Naruto segera mengecek kembali handphonenya.

.

Friday, 7.10 pm

/Sayang, sekalian ice cappucino kesukaanku, ya./

.

"Hmmm."

Baru saja Naruto sampai di toko sushi, ia membaca pesan yang terima di handphonenya.

"Baiklah."

Hanya kata-kata itu yang dapat terucap dari bibir Naruto saat membaca pesan dari kekasihnya, Rias. Ia kemudian mencari kedai es untuk membeli pesanan Rias sambil berjalan kaki. Tentunya setelah sushi isi ikan tuna ia dapatkan.

Sesampai di kedai es, Naruto menunggu cukup lama karena kebetulan di kedai sangat ramai para pembeli.

PING!

Lagi-lagi handphonenya berbunyi, Naruto segera mengecek pesan yang ia terima.

.

Friday, 7.25 pm

/Sayang, sekalian bawakan aku makanan kaleng untuk besok pagi, ya. Jangan lupa, Sayang./

.

Rias lagi-lagi mengirim pesan kepada Naruto, kali ini Naruto benar-benar kesal dibuatnya.

"Sebenarnya aku ini siapanya, sih? Kenapa ia selalu saja meminta ini dan itu?" tanya Naruto kepada dirinya sendiri.

Akhirnya, mau tidak mau Naruto mencari sebuah mini market untuk membeli makanan kaleng pesanan Rias dengan terus berjalan kaki.

.

.

.

Tokyo, 8.00 pm.

Bunyi suara ketukan pintu di sebuah kamar kost-kostan yang ada di pinggir kota. Terlihat seseorang sedang menunggu dibukakannya pintu.

Tok! Tok!

Pemuda itu mengetuk pintu lagi dan tak lama seorang gadis datang membukakan pintu.

"Na-"

Gadis itu terkejut di saat melihat kedatangan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

"Permisi, saya disuruh Tuan Naruto mengantarkan ini untuk nona Rias. Apakah nona Rias sedang berada di rumah?" tanya seorang pemuda berpakaian kurir cepat saji.

'Naruto tidak datang mengantarkannya sendiri, ada apa ya?' gumam gadis berambut merah panjang yang tak lain adalah Rias.

"Saya Rias," jawab Rias setengah hati. Terlihat ia mengenakan kimono pendek di atas lutut yang berwarna putih.

"Baiklah, Nona. Ini ..."

Tanpa basa basi, sang kurir berseragam hijau itu memberikan pesanan Rias berupa beberapa plastik berisi makanan lalu segera berpamitan.

"Permisi, Nona."

Sang kurir membungkukkan sedikit kepalanya kemudian beranjak pergi, sementara Rias masih terheran-heran sendiri karena bukan Naruto yang mengantarkan langsung apa yang dia minta.

Rias menutup pintu, lalu menaruh beberapa plastik berisi makanan ke atas meja di samping kasur lipatnya. Ia kemudian termenung lalu berusaha menelepon sang Uzumaki. Tapi sayang, nomor telepon Naruto tidak aktif seketika.

"Arrgh!"

BUGH!

Rias melemparkan handphonenya ke atas kasur saat teleponnya lama tidak tersambung.

"Ke mana sih, dia?! Buat aku kesal saja!" gerutunya sambil memegang kepala.

Rias takut kalau Naruto akan berpindah hati apalagi sampai kembali ke pelukan Akeno. Karena Rias merasa Naruto benar-benar merupakan seorang kekasih yang penurut baginya dan dapat dimanfaatkan.

.

.

.

Sementara itu, di sebuah kamar terlihat sang Uzumaki memakai singlet hitam dan celana boxer putih bermotif angka-angka hitam. Ia tampak sedang menyandarkan tubuh di atas sebuah bantal foam yang lembut dan empuk. Pikirannya melayang, merasakan sesuatu yang janggal telah terjadi pada dirinya.

"Setahun belakangan ini aku merasa sangat aneh. Hatiku selalu tidak tenang." Naruto berbicara dengan dirinya sendiri.

"Hah ..."

Ia membalikkan tubuhnya ke samping kiri lalu memeluk guling sambil berusaha memejamkan mata. Tanpa sengaja ia melihat sebuah gelang tangan berwarna hitam yang terkait di sebuah paku di dinding kamarnya.

Naruto lalu beranjak dari tidurnya, mengambil gelang itu lalu kembali merebahkan diri di atas kasur.

"Akeno ..."

Ia teringat sebuah nama seorang gadis yang pernah menemaninya dalam suka dan duka.

"Sudah setahun kita tidak pernah bertemu, apa kabarmu di sana, ya ...?"

Dirinya bertanya sesaat setelah teringat dengan seorang gadis berambut hitam panjang yang selalu terkuncir satu itu.

"Aku ingin mengetahui kabarnya, tapi ke mana aku harus mencari?" gumamnya sendiri sambil memegang bantal dengan kedua tangan di belakang kepalanya.

"Akeno ..."

Rasa rindu itu mulai muncul setelah lama tidak bertemu, Naruto menyadari bahwa hubungannya bersama Rias hanya sebatas melampiaskan hasrat saja. Tak ada cinta yang membatin, hanya perasaan akan kebutuhan yang sudah menjadi sebuah rutinitas.

Lambat laun, kedua mata Naruto terpejam. Ia pun tertidur sambil memegangi sebuah gelang pemberian Akeno.

.

.

.

Beberapa jam kemudian...

"Selamat ulang tahun, Sayang."

Seorang gadis memeluk tubuh Naruto dari belakang.

"Akeno ..."

Naruto kemudian menggapai tangan gadisnya yang terlihat membawa sebuah kue tar berukuran kecil.

"Akeno, kau tidak perlu repot-repot seperti ini."

Naruto terharu dengan kejutan yang Akeno berikan. Saat itu Naruto tengah menunggu Akeno di sebuah cafe pada siang hari. Akeno datang mengenakan tengtop putih yang terbalut sweeter hitam dengan rok mini setinggi sepuluh senti di atas lutut. High heels silvernya menambah kecantikkan sang gadis kepunyaan Naruto ini.

"Siapa yang merasa kerepotan, Sayang? Sekarang tiup lilin ini, aku akan memfotonya," ucap Akeno dengan sumringah, sesaat setelah ia menyalakan lilin dengan sebuah cricket yang ia bawa. Ia masih berdiri di hadapan Naruto.

Naruto sendiri mengenakan t-shirt putih terbalut jaket yang berwarna biru. Dan celana jeans hitam serta sepatu casual-nya yang berwarna putih.

"Baiklah, aku tiup, ya?" sahut Naruto yang sudah siap meniup lilin kue ulang tahunnya.

"Tunggu!" Tiba-tiba Akeno berteriak.

"Akeno, ada apa?" tanya Naruto yang terbingung-bingung.

"Sayang, berdo'a dulu baru kemudian tiup lilinnya," jawab Akeno yang kemudian duduk di depan Naruto.

Naruto pun mengangguk, ia kemudian berdoa bersama Akeno. Lalu meniup lilin kue ulang tahunnya.

"Huuuuuhhh ..."

Lilin ulang tahun itu ditiup oleh Naruto, tapi tiba-tiba sesuatu terjadi. Ia tak lagi berada di cafe melainkan di sebuah rumah sakit, yang mana ia melihat dengan samar seperti Akeno yang tengah tergeletak di atas pembaringan lalu ditutupi kain putih.

Naruto segera berlari dan melihat sosok yang berada di balik tutupan kain itu untuk mendapatkan sebuah kepastian.

"Akeno?!"

Dirinya tak menyangka jika ia melihat jasad Akeno yang terbujur kaku di hadapannya.

"Akeno!"

Naruto berteriak dengan histeris, tetapi teriakkannya diabaikan oleh para suster berseragam putih yang hendak membawa jasad itu pergi dari hadapan Naruto.

"Akeno!"

"Akeno ...!"

Naruto berusaha mengejar tapi tiba-tiba ada seseorang yang memegang tangan kanannya lalu menahan dirinya untuk mengejar jasad itu.

"Naruto, biarkan dia pergi dengan tenang," ucap sosok wanita yang berambut merah panjang.

"Ri-rias?"

Naruto terkejut di saat ia mendapati Rias di belakang dirinya. Ia berusaha mengelak tapi entah mengapa ia merasa tidak berdaya saat melepaskan diri dari pegangan tangan Rias.

"Rias, lepaskan aku!"

Naruto masih berusaha melepaskan pegangan tangan Rias, tapi sayang kekuatan Rias tidak dapat ia lawan. Sementara jasad Akeno terus berlalu dari hadapannya.

"Akenoooo ...!" teriak Naruto lagi sambil menitikkan air mata.

Rias kemudian memeluk Naruto yang perlahan bersimpuh di atas lantai rumah sakit.

"Naruto ... aku yang akan menggantikan Akeno," ucap Rias lalu memeluk Naruto.

Ia terlihat tersenyum licik saat memeluk tubuh sang Uzumaki berambut kuning yang tengah meneteskan air mata...

.

.

.

TBC