WHAT'S YOUR DREAM?

.

.

.

Na Jaemin ― Mark Lee ― NCT

[Backsong : All With You – Taeyeon]

.

.

.

[1]

"I want to be the person who leave an impression on a lot people."

.

Pertama kali Mark bertegur sapa dengan seorang adik kelas bernama Na Jaemin adalah ketika ia sedang berjalan sendirian di rumah sakit. Mark bukan tidak tahu siapa Na Jaemin, Mark juga bukan tidak kenal dengan Na Jaemin―tentu saja seluruh siswa di sekolah juga tahu siapa dia.

Na Jaemin, anak dari pemilik sekolah yang terkenal dengan senyuman cerahnya. Pemuda yang ramah, baik, santun, sopan, semua yang baik-baik ada padanya.

Hanya saja, baru kali ini Mark berkesempatan untuk menyapanya―dalam sebuah ketidaksengajaan.

.

Mark berjalan sedikit tergesa di lorong sebuah rumah sakit. Ditangannya ada selembar kertas, yang berisikan rincian obat yang harus ia tebus di apotik nanti. Rambutnya terlihat berantakan, namun penampilannya sangat tampan dengan seragam dan tas sekolah yang tersampir di bahu kanannya.

Lorong itu cukup sepi, mungkin hanya ada beberapa perawat dan para petugas yang lewat berpapasan dengan Mark. Sambil sesekali membenarkan letak tas sekolahnya, Mark iseng menengok ke kiri dan ke kanan.

Seketika, langkahnya terhenti di depan sebuah kursi tunggu yang tersedia di lorong panjang tersebut. Dengan kedua matanya, Mark melihat seseorang terduduk sambil memainkan ponsel di salah satu kursi tunggu tersebut.

Mark yakin itu adalah Na Jaemin. Walaupun tidak pernah bertegur sapa sebelumnya, tapi Mark tahu betul bagaimana perawakan seorang Na Jaemin. Tubuhnya kecil dengan rambut karamelnya yang terlihat manis―kontras sekali dengan kulit tubuhnya yang putih.

Dan walaupun sedang tidak dalam balutan seragam, Mark yakin sekali lagi kalau itu Jaemin. Jadi, Mark mengikuti kemana kakinya melangkah.

Semakin mendekat kearah Jaemin, lalu menyapanya.

"Hai―"

Jaemin mendongak kala mendengar suara canggung menyapanya. Sejenak, mata mereka hanya beradu pandang―terdiam, dan hening. Permainan di ponsel Jaemin sampai menampilkan tulisan GAME OVER pada layarnya.

"―ngg, Jaemin, kan? Anak kelas satu yang ikut klub pengetahuan alam?"

Jaemin mengerjap―matanya berkedip lambat. Masih fokus pada kedua bola mata di depannya, ia benar-benar tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan seseorang disini. "A―oh, ya, aku Jaemin. Na Jaemin." Jawabnya dengan gugup.

Mark tersenyum, terlihat sangat tampan di mata Jaemin. "Ah, syukurlah. Aku kira aku salah orang." Ucapnya santai. "Aku―"

"Mark hyung. Kelas dua yang ikut klub basket dan sepakbola bersamaan. Juara umum tahun lalu dan―oops, mian!" Jaemin refleks menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Matanya membesar menatap pemuda yang masih berdiri di depannya.

Dahi Mark berkerut, bingung dengan tingkah Jaemin. "Kau… tahu aku?" Tunjuknya pada diri sendiri.

Jaemin refleks berdiri, tapi detik itu juga, ia hampir saja terhuyung ke belakang akibat gerakannya yang tiba-tiba. Kaki kirinya ia gerakkan mundur, menahan tubuhnya sendiri agar tidak jatuh. "Maafkan, aku, hyung. Aku lancang. Aduh, sekali lagi maaf." Jaemin langsung membungkuk berkali-kali―yang mana itu malah membuat Mark semakin bingung.

"Eh?"

Kepala Jaemin bergerak-gerak tidak karuan. Tangannya mencengkram ponselnya dengan kuat, dan ia bisa merasakan basah pada telapak tangannya itu. Ia gugup. "Ng, itu… aku sering melihat hyung latihan sepakbola di lapangan sekolah. Atau saat hyung latihan basket. Dan soal hyung yang juara umum tahun lalu, itu aku tahu dari appa."

Keduanya terdiam selama beberapa detik. Mark yang memperhatikan Jaemin, dan Jaemin yang menunduk karena malu.

Tiba-tiba saja, Mark terkekeh halus. Membuat Jaemin mendongak dan menyaksikan betapa tampannya seorang Mark dalam jarak sedekat ini―ditambah tawa halus yang terlihat tulus.

Pipi Jaemin merona seketika.

"Aigoo~ aku kira kenapa." Ucapnya. "Lalu, kenapa minta maaf? Apa melihatku latihan sepakbola dan basket itu dilarang, sampai-sampai kau bersikap seperti itu padaku?"

"Annio…" Jaemin menggelengkan kepalanya pelan. "Aku―aku hanya takut dikira penguntit." Lanjut Jaemin, memelankan suara di akhir kalimat.

Mark tidak mengerti apa yang terjadi selanjutnya. Karena tanpa diperintah, tangannya terulur. Lalu mengusap puncak kepala Jaemin dengan halus. Tetapi, walaupun Mark tidak mengerti dengan dirinya sendiri, ia tidak menyangkal bahwa dirinya menyukai hal ini.

"Hyung…"

"Kau ada-ada saja." Kekehnya. "Mana mungkin dikira penguntit saat kita berada di sekolah yang sama?"

Jaemin melebarkan senyum. Senyuman yang mampu membuat Mark seketika jatuh hati padanya. Kemarin-kemarin, Mark melihat senyuman itu dari jauh dan untuk orang lain. Dan hari ini, ia melihat senyuman Jaemin dari dekat dan untuk dirinya.

Senyuma cerah itu adalah satu dari sekian alasan kenapa orang-orang sangat menyukai seorang Na Jaemin. Termasuk juga―Mark.

"Oh, ya. Kau sedang apa disini? Dan… kau dirawat?" Mark menunjuk pada pakaian Jaemin. Seragam pasien di rumah sakit ini yang berwarna biru muda dengan corak-corak abstrak. "Kau sakit?"

Jaemin terdiam sebentar sambil memandangi bajunya. Dua detik kemudian, ia kembali menengadah, dan memberikan senyuman paling manis untuk Mark. "He-um. Aku sering insomnia akhir-akhir ini, dan itu membuat darah rendahku kambuh semalam. Jadi, yah―aku tidak masuk sekolah tadi karena dokter menyuruhku untuk istirahat disini."

Telinga Mark menangkap nada sedih yang terucap dari bibir tipis Jaemin. Ia memperhatikan wajah Jaemin. Pucat dengan kantung mata hitam dan matanya yang memerah.

Mark meringis mendapati Jaemin yang tampak sedih. "Ahh, maafkan aku karena bertanya seperti itu padamu." Tangannya mengusap tengkuknya, canggung. "Hmm―tapi, kau jangan bersedih. Aku mendoakanmu agar kau cepat sembuh."

Satu kalimat itu sudah Jaemin anggap sebagai doa, kekuatannya. Membuat bibirnya mengulas senyum manis lagi untuk yang kesekian kalinya pada Mark. "Gomawo, hyung." Ucapnya tulus. Ia bersyukur, ada satu lagi orang yang mendoakan kesembuhannya.

Jaemin lalu menatap Mark dalam, melirik pada selembar kertas di tangan pemuda yang menjadi kakak kelasnya tersebut. "Hyumg sendiri sedang apa disini? Itu apa?"

"Aa―aku memeriksakan mataku. Akhir-akhir ini sering terasa sakit. Ini obat yang harus ditebus." Jawabnya menjelaskan.

Sejak saat itu, entah kenapa mereka jadi terlihat lebih dekat. Mereka bahkan menyempatkan diri untuk bertukar nomor ponsel.

Setiap hari mereka akan berangkat bersama saat berangkat sekolah―ini adalah salah satu fakta yang baru saja Mark ketahui, jika Jaemin sangat menyukai berangkat sekolah menggunakan bis. Mereka akan menghabiskan jam istirahat pertama di kantin, dan jam istirahat kedua di perpustakaan. Lalu, mereka akan pulang bersama juga ketika jam sekolah berakhir.

Kesan pertama Mark ketika berbicara langsung dengan seorang Na Jaemin adalah―dia seseorang yang sangat ceria, periang, dan tidak dapat aku lupakan.

.

.

.

Ini sudah dua bulan sejak Mark pertama kali bertegur sapa dengan Jaemin di rumah sakit.

Semakin sering ia bersama dengan Jaemin, maka semakin ia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Kadang, Mark selalu bingung, mengapa tubuhnya merespon secara lancang setiap berada dekat dengan pemuda manis itu.

Entah tangannya yang mengusak kepala Jaemin, atau malah menggenggam tangannya. Yang Mark tahu, dirinya memiliki keinginan yang besar untuk melindungi Jaemin, dari apapun, dan dari segalanya yang bisa membuat Jaemin terluka.

"Mark hyung, nanti antar aku membeli sesuatu, ya?"

Mark menoleh dan menatap Jaemin begitu suaranya yang selalu terdengar ceria memenuhi gendang telinganya. Apa Jaemin tidak pernah memiliki masalah hingga dia selalu terlihat seceria ini? Kira-kira, begitulah yang Mark pikirkan.

"Beli apa?" Tanya Mark, menutup buku yang sedang dibacanya untuk fokus pada Jaemin. Ini jam istirahat kedua, dan seperti biasa, mereka akan menghabiskan waktu di perpustakaan.

Senyum Jaemin mengembang. "Temanku ulang tahun, dan aku ingin membelikan sesuatu untuknya." Ia menjawab antusias. Dilihat dari air mukanya, teman Jaemin itu pasti sangat istimewa untuk Jaemin.

Mark tidak banyak bertanya mengenai hal itu. Ia hanya mengangguk, menyanggupi keinginan Jaemin. Lagipula, untuk apa bertanya lebih jauh? Ia tidak punya hak untuk itu.

Dan pada akhirnya, Mark tahu untuk siapa Jaemin membeli hadiah tersebut.

Menjelang sore, setelah Mark mengantar Jaemin membeli hadiah, ia diajak ke suatu tempat oleh Jaemin. Sebuah panti asuhan yang terletak di tengah kota. Awalnya Mark bingung, tapi kebingungannya terjawab saat seseorang lelaki manis menghampiri mereka dan memanggil nama Jaemin.

"Jaemin hyung~…"

"Eiyo~ uri Jisungie…" Jaemin tertawa halus saat lelaki bernama Jisung itu mendekat padanya. "Bagaimana kabarmu? Baik?"

Yang lebih pendek mengangguk semangat. "Hm! Aku baik, hyung. Kakiku juga sudah tidak sakit lagi." Jawabnya ceria. Menunjukkan kakinya yang terbalut sandal rumah, kemudian melompat senang.

Tangan Jaemin terulur, mengusap kepala Jisung sayang. Senyumnya terkembang lagi. "Syukurlah kalau kau baik. Coba tebak, hyung punya apa untukmu?"

Jisung memiringkan kepalanya. Berpikir sejenak. Tapi kemudian ia menggeleng tanda tidak tahu.

"Tadaa~ hyung beli bola." Jaemin menunjukkan bola yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik punggungnya. "Hari ini Jisung ulang tahun, kan? Karena hyung tahu kalau Jisung suka bermain sepak bola, makanya hyung beli ini untuk Jisung. Suka?"

Mata Jisung berbinar, kemudian mengangguk kuat. Kedua tangan kecilnya terulur untuk mengambil bola sepak yang berada ditangan Jaemin. "Hyuuung, terimakasih~ Aku suka sekali…" Jisung menghambur untuk memeluk Jaemin. Tubuhnya yang lebih pendek dari Jaemin membuat wajahnya membentur perut hyung manisnya itu.

Jaemin mengangguk. Ia akan merasa senang jika seseorang yang ia sayangi juga senang, itulah moto hidup Na Jaemin.

Jisung pada akhirnya pergi ke dalam untuk memanggil ibu panti dan memberitahukan kedatangan Jaemin. Sementara Mark hanya memperhatikan dengan takjub apa yang baru saja dilihatnya.

"Ini adalah panti asuhan yang dibangun oleh eomma." Suara Jaemin terdengar, membuat Mark menatap padanya dan menjatuhkan seluruh atensinya pada pemuda di sampingnya. "Aku sering kemari, kadang sendirian, kadang bersama eomma, kadang juga bersama Pak Lee. Tapi aku senang, karena hari ini aku kemari bersama Mark hyung."

Demi apapun, Mark bersumpah… Sesuatu terasa menggelitik hatinya saat Jaemin berkata seperti itu. Jantungnya berdebar kala Jaemin tersenyum padanya. Bagaimana kedua mata itu menyipit dengan bibir yang tertarik manis untuk sebuah senyuman tulus.

"Yang tadi itu namanya Park Jisung, salah satu anak yang dibesarkan di panti asuhan ini. Aku dekat sekali dengannya." Jaemin terkekeh pelan. "Jisung baru kelas empat sekolah dasar. Mimpinya menjadi seorang pemain sepak bola."

Sekarang Mark tahu apa jawaban dari pertanyaannya saat di toko peralatan olahraga tadi siang.

"Eomma bilang, Jisung ditemukan di sebuah stasiun kereta api. Ada sebuah kertas kecil di balik saku jaketnya. Berisikan nama, tanggal lahir, dan usianya. Sepertinya orangtua Jisung tidak menginginkannya." Jaemin meringis mengingat cerita ibunya.

"Dua hari yang lalu, kaki Jisung terkilir dan dia menangis seharian karena tidak bisa berlari. Tapi untunglah, dihari ulang tahunnya, kakinya sembuh. Sehingga dia bisa berlari mengejar bola hadiah dariku untuk mewujudkan impiannya suatu saat nanti."

Ada banyak alasan mengapa orang-orang sangat menyukai seorang Na Jaemin. Kepeduliannya dan kasih sayangnya seolah tidak terbatas. Sehingga lelaki itu dikelilingi oleh orang yang menyayanginya.

Saat Jaemin pamit sebentar untuk bicara dengan ibu panti, Mark dihampiri oleh Jisung. Anak itu bicara banyak hal. Tentang dirinya, tentang ayah dan ibu Jaemin, juga tentang Jaemin.

Jisung bilang, "Jaemin hyung baik. Setiap hari, Jaemin hyung akan menelpon ibu (panti) dan mendoakan kesehatan kami. Lami kemarin dibelikan boneka minni mouse, dan hari ini aku dibelikan bola."

Mark tersenyun mendengarnya. Benar dugaannya, Jaemin itu si manis yang baik hati. Dimana-mana, semua orang menyayanginya.

Sekarang Mark yakin dan tahu jawaban mengapa jantungnya berdebar setiap kali Jaemin tersenyum. Juga alasan mengapa dirinya merasa sangat ingin melindungi Jaemin.

Ya―Mark jatuh cinta pada Jaemin.

"Ibu bilang, karena Jaemin hyung selalu mendoakan kesehatan kami, maka kami juga harus mendoakan kesehatan Jaemin hyung. Semoga Jaemin hyung selalu sehat, dijauhkan dari segala macam penyakit, dan semoga Jaemin hyung bisa berkunjung lagi kesini besok."

Dari sini, Mark tahu bahwa ada suatu hal yang tidak dia ketahui.

Mengenai Jaemin―

.

.

.

"Jaemin-ah, apa mimpimu?"

Halte sedang sepi, hanya ada mereka berdua disana. Pulang dari panti asuhan, Jaemin mengajak Mark untuk pulang. Dan Mark berjanji akan mengantar Jaemin hingga depan gerbang rumahnya.

Jaemin mendongak, lalu menatap lurus ke seberang jalan. "Mimpiku…" Pemuda berambut semanis madu itu tersenyum kecil. "…ingin menjadi seseorang yang selalu diingat dalam memori setiap orang."

Sangat sederhana, namun memiliki makna yang dalam dibaliknya.

Mark tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap kepala belakang Jaemin. "Mimpimu sudah terkabul, Jaem. Kau lihat? Semua orang yang kau temui, semua orang yang mengenalmu, mereka menyayangimu. Kau baik pada mereka, dan mereka baik padamu. Kau pasti bahagia."

Jaemin tersenyum mendengarnya. "Benarkah? Apa aku terlihat bahagia?"

"Tentu saja. Dari senyummu sudah terlihat kalau kau bahagia." Ungkap Mark, mengusak gemas helai surai lembut Jaemin.

―Mark tidak tahu saja, ada beberapa helai rambut Jaemin yang terjatuh karena usapan tangannya di kepala Jaemin.

"Iya, sih. Aku juga berharap hyung bisa bahagia seperti apa yang hyung bilang padaku." Jaemin melepaskan tangan Mark dari kepalanya kemudian menatapnya serius. "Jadi, apa mimpimu, hyung?"

"Hmmm―" Mark berpikir sebentar. "―aku ingin, setiap orang yang bertemu denganku akan bahagia dan tidak meninggalkanku."

"Aku! Aku orangnya." Jaemin berkata antusias.

"Apa?"

"Aku adalah orang itu. Orang yang bahagia setelah bertemu denganmu. Sungguh, aku tidak bohong."

Mark tertawa. Kedua tangannya refleks menarik tubuh Jaemin masuk dalam dekapannya. "Kalau begitu, jangan meninggalkanku, oke?" Mark memeluk Jaemin erat, yang mana itu membuat si pemuda yang lebih muda terkejut setengah mati. "Kalau kau bahagia setelah bertemu denganku, maka berjanjilah jangan tinggalkan aku. Baru mimpiku bisa terwujud dengan sempurna." Bisiknya.

Jaemin tidak tahu harus membalas apa sekarang. Berjanji―ia tidak bisa.

"Jaemin-ah, aku suka padamu."

Satu bisikan halus itu berhasil membuat Jaemin meremang. Perasaannya menghangat dan ia senang sekali karena Mark mengatakan hal itu.

"Hyung…"

"Aku sangat menyukaimu, Na Jaemin." Dipeluknya semakin erat tubuh Jaemin. Semakin membisikkan bahwa ia menyukai pemuda itu. "Ada satu perasaan asing yang menyenangkan saat aku berada di dekatmu. Aku memiliki keinginan untuk melindungimu."

Jaemin terdiam. Ia tidak bisa bekata apa-apa.

Tubuhnya melemas secara tiba-tiba. Kepalanya pening, dan Jaemin bisa merasakan sesuatu keluar dari kedua lubang hidungnya. Jaemin yakin, cairan merah pekat itu pasti menetes pada seragam sekolah Mark. Tapi sungguh, ia tidak ada tenaga untuk sekedar mengangkat wajahnya.

Sial―kenapa harus sekarang?

"Cinta tidak perlu alasan, kan? Sejak pertama melihatmu di sekolah, aku selalu heran mengapa semua orang suka padamu. Dan hari ini aku mendapatkan jawabannya. Juga, aku adalah salah satu orang yang menyukaimu itu. Bahkan, aku jatuh cinta padamu…"

Jaemin sudah tidak tahu lagi tentang apa-apa. Kedua tangannya terkulai jatuh di sisi tubuhnya. Matanya terpejam. dan kesadarannya tidak bisa ia pertahankan.

"Jaemin?"

Mark mulai merasa aneh.

"Jaem?"

Tubuh Jaemin melemah, tanpa respon.

"Na Jaemin?!"

Dan bajunya yang mulai terasa basah.

Maka hari itu juga, ia panik setengah mati.

Apa yang tidak ia ketahui, jawabannya adalah hari ini.

Sesuatu yang Jaemin sembunyikan rapat sekali―dan ditutupi oleh senyum cerianya yang menunjukkan jika dia bahagia sepanjang waktunya.

Bohong!

.

.

.

To Be Continued~

Mamah Kei, aku bikin MarkMin angst huhuhuhuu~ maafkan akuuuuu :{