Warning: AU, OOC, Bloody scene
Disclaimer: Level-5. The song Cry Cry belongs to T-Ara
Seorang pemuda berumur 14 tahun tampak mengendap-endap, siaga dengan pistol di tangan, menyelidiki bangunan mewah itu. Penerangan menjadi remang-remang karena lampu yang tertembak saat pergulatan terjadi. Darah menodai karpet berwarna coklat muda. Mayat berjas hitam bergelimangan di kaki si pemuda.
"Desarm masuk, over." Alat komunikasi yang menempel di telinganya memunculkan sebuah suara. Suara rekannya. Pemuda itu mendekatkan mulutnya ke kerah putihnya yang sudah tidak putih lagi.
"Gran masuk, over," katanya.
"Bagaimana keadaan di sana? Over."
"Beres, over," kata Gran sambil memandang mayat-mayat yang tergeletak. Senyum licik mengembang di bibirnya.
"Bagus. Bagaimana keadaan batalyonmu? Over," tanya Desarm. Gran melihat ke arah orang-oarang yang bersembunyi, bersiaga dengan pistol di tangan mereka. Salah satu di antara mereka membuat lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjuk mereka. Gram mengangguk.
"Baik. 5 cedera, satu tewas. Satu tembok lagi menuju markas 'Tikus Besar', over."
"Bagus, lanjutkan. Desarm masuk, over and out." Gran tersenyum.
"Gran masuk, over and out." Setelah laporannya seesai, dia mengisyaratkan agar batalyonnya mengikutinya. Mereka melanjutkan penyelidikan mereka di bangunan mewah itu.
"Keterlaluan, mengirim segerombolan bocah untuk menerobos markas kami," terdengar suara entah dari mana. Gran tetap tenanng sambil menyiagakan pistolnya.
"Kalian meremehkan kami, segerombolan bocah ini?" kata Gran tenang. Akhirnya si pemilik suara misterius itu menampakkan diri. Hanya seorang. Pria itu mengenakan jas hitam dan topi yang menutupi wajahnya. Terdapat erutu di mulutnya yang tersenyum meremehkan. Gran tidak peduli, ia menyeringai.
"Kau sendirian? Bukankah itu lebih meremehkan?" Tanya Gran sinis, masih dengan seringai di wajahnya.
"Kalian ini hanya bo–"
DOR
"'Bo' apa? Coba katakan," kata Gran dingin. Pistolnya terulur.
"A-a… a…" pria itu gemetar. Matanya terbelalak menatap Gran. Cerutunya terjatuh.
"Ah, tidak bisa, ya," kata Gran sinis. Ia menatap pria yang kini meraba mulutnya yang mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, pria itu tumbang. Tangan pria itu masih berusaha menggapai-gapai, apapun yang bisa menolongnya.
"Kau tidak bisa mengatakan apa-apa dengan mulut tertembak?" ujar Gran, tetap mangacungkan pistolnya, lalu mengarahkannya ke jantung pria itu.
"Sayang sekali, kau jadi tidak bisa mengucapkan kata-kata terakhir."
DOR
"Huh," hela Gran. "Gran masuk. Semua tembok sudah diruntuhkan. Hancurkan markas 'Tikus Besar' sekarang. Over and out," lapor Gran.
"Desarm masuk. Diterima. Ayo bawa kepala keparat itu ke Ayah. Over and out."
Pria dengan jas rapi itu duduk tenang di kursi kerjanya. Matanya menatap 2 remaja di hadapannya bergantian. Pandangannya menyapu ruangan. Dilihatnya sang istri telah tumbang. Ekspresinya datar, tapi dalam hati dia bersyukur bahwa 2 remaja itu tidak menyadari sepasang mata yang menyaksikan semua itu dari balik jam besar bermodel Victorian di ruangan itu.
"Siapa yang akan menembak duluan?" kata pria itu sambil mengangkat tangannya.
"Atau jangan-jangan, kalian akan menembakku bersamaan?"
"Ide yang bagus," komentar Desarm tanpa menurunkan kewaspadaannya.
"Huh," pria itu tersenyum sinis. Lalu, dalam satu helaan napas, pria itu berlari dan tiba-tiba berada di belakang Desarm. "Sayang sekali kau harus bergerak lebih cepat," kata pria itu sambil mengeluarkan pisau dari sakunya, mengarahkannya ke leher Desarm, tapi-
DOR
"Saranmu itu sebaiknya kau ingat-ingat sendiri, tuan," kata Gran dingin. Desarm menatap Gran dan pisotlnya yang masih mengeluarkan asap. Kemudian, pria di belakangnya tumbang.
"Uuuugh… lari… lah, nak…" erang pria itu.
"Belum kena jantung, ya?"
"Haaaah… haaaah…" pria itu menarik napas, lalu, " LARI, NAK!"
Dor
"Siapa yang lari, hah?" sahut Gran tnpa ekspresi meskipun ia tahu ia telah membunuh orang.
"Misi se–"
"Ayaaaaah!" tiba-tiba, seorang anak laki-laki berlari keluar dari persembunyiannya, jam besar bermodel Victorian. Ia menghampiri tubuh ayahnya yang kini tak bernyawa. Tubuhnya gemetar.
"Ayah?" gumam Gran. Pandangannya tak lepas dari anak berambut biru yang sedang memeluk ayahnya. Perlahan-lahan, pandangan anak itu teralih. Ia menatap Gran tajam. Ia tahu persis Gran yang sudah membunuh ayahnya.
"A-aku," Gran tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa bersalah meskipun wajahnya bisa menyembunyikannya. Ia tahu rasanya kehilangan ayah di depan mata.
BUGH!
Anak itu tumbang setelah Desarm menghantam kepalanya. Tidak menimbulkan darah, tapi cukup untuk membuatnya tak sadarkan diri.
"Misi selesai. Ayo kita pergi," kata Desarm lalu meninggalkan Gran yang tak bergeming.
"Hhh…hhh…" Gran melewati jalan tanjakan itu dengan nafas terengah-engah.
Aku tahu bagaimana perasaanmu.
"Hhh…hhh…" kakinya mulai gemetar. Ia tetap berjalan, membawa anak yang masih pingsan itu di punggungnya. Ia terus berjalan di jalan tanjakan itu sampai rumahnya terlihat.
Aku tahu rasanya sendirian, maka dari itu, tidak akan kubiarkan kau merasakannya.
"Sampai," kata Gran setelah tiba di apartemen kecilnya. "Ini akan jadi rumahmu juga."
Karena itu, ayo…
Gran memasuki rumahnya dan menidurkan anak itu di tempat tidurnya. Dia merebahkan diri di sofa dan langsung terlelap.
Ayo… hidup bersamaku…
Cry Cry
By
Kuroi-Neko-cii
To Be Continued
A/N: Haaaaaaaaaaa~~~~ review, myaw?
