Hidup itu bagai sebuah kisah. Kisah yang ditulis tangan atau diceritakan. Arah hidup itu tidak terduga, antara nyata atau maya (estianti?). Kehidupan penuh dengan tanda tanya, tidak akan ada yang tahu dengan pasti ke mana akan dibawa. Aku sendiri tidak tahu-menahu apakah kehidupanku ini nyata atau hanyalah sebuah cerita fiksi belaka. Hanya saja, keberadaanku di sini bukan sekadar ilusi. Kurasa aku... hidup.
.
.
Fiksi
Act 1: Rahasia
characters belong to Masashi Kishimoto
Warnings: Kumpulan OS Inocent a.k.a. Ino-centrics (dengan pair berbeda tapi setting dan alur berhubungan tiap chapter-nya). HSAU life. Typo (yang terlewat tanpa sengaja). 1st POV.
Enjoy :3
.
.
Namaku Yamanaka Ino. Seorang pelajar kelas 10 di KHS (Konoha High School). Sekarang aku dan teman-teman sekelasku tengah bosan mendengar ocehan panjang lebar guru magang baru di ruang kesenian. Yah, guru baru yang menggantikan Sasori-sensei—yang cuti selama setahun untuk melanjutkan pendidikannya di entah-di mana-gakure—ini begitu bersemangat (baca: cerewet).
Secara fisik aku memang terlihat bosan mendengarnya tapi sebenarnya aku tidak mengalihkan pandanganku darinya. Wajar saja, dia masih muda meskipun penampilannya tidak segagah Hidan-sensei dan sekeren Kakashi-sensei. Setidaknya dia termasuk dalam kategori lelaki manis dan sedikit... er, cantik?
"Yamanaka! Dengar tidak penjelasanku, hm?"
Dengan malas aku menjawab, "Aku dengar kok, Dei-chan."
Dia menautkan alisnya, mungkin mencoba untuk terlihat lebih sangar. "Panggil Deidara-sensei, Yamanaka."
Aku tidak menggubrisnya. Aku memang sengaja memanggilnya dengan suffix -chan, siapa suruh dia begitu manis? Sejak pertama kali dia mengajar sekitar dua bulan lalu saja aku sudah memanggilnya seperti itu, dan semuanya jadi ikut-ikutan.
Hobi Dei-chan adalah membuat keramik dari tanah liat, mengomel, dan mengamuk. Ya, mengamuk. Dia mengamuk jika kami kompak memanggilnya dengan sebutan "Dei-chan". Dan jika dia sudah mengamuk maka perang tanah liat tidak dapat terelakkan lagi. Awalnya murid-murid lelaki yang memulainya, kemudian dia pun ikut membalas. Setelah itu dia akan dipanggil ke ruang kepala sekolah untuk ditegur.
Dia adalah orang yang aneh.
"Dei-chan, ini bagaimana?"
Kelas 10-1 sedang praktek membuat keramik. Hanya ditugaskan untuk membentuk benda dari tanah liat saja, nanti sisa teknis lainnya seperti pengeringan dan pembakaran akan dikerjakan oleh Dei-chan. Masing-masing murid berhadapan dengan sebuah alat pemutar dengan plat kecil untuk diinjak—agar bisa berputar—dan sebongkah tanah liat. Aku menatap kedua tanganku yang berlumuran tanah liat, kemudian beralih ke tanah liat milikku yang mulai berbentuk guci kecil. Aku ingin membuat sebuah vas bunga. Di antara semua murid, hanya tanah liat milikkulah yang bentuknya lumayan. Dapat kudengar teriakan bosan dan keluhan-keluhan lainnya, terutama para murid perempuan yang mengeluh tentang jari dan kuku mereka. Aku tertawa keras, meledek Sakura—sahabatku—yang wajah dan rambutnya belepotan, kotor sekali. Sakura tersinggung, dilemparkannya secuil tanah liat miliknya ke wajahku. Tanpa basa-basi aku juga melemparinya, dan kami pun terlibat perang tanah liat untuk yang kesekian kalinya.
Murid-murid lelaki menyoraki kami, murid-murid perempuan tertawa. Penampilan kami sungguh berantakan begitu Dei-chan melerai. Tanah liat di alat pemutar milikku sudah tak berbentuk. Dei-chan memarahi kami berdua. Tapi kami tertawa, menertawakan betapa tidak sedap dipandangnya fisik kami sekarang. Kurasa aku akan tertawa hingga menangis kalau saja Dei-chan tidak mengomel (lagi).
Sementara aku dan Sakura terpaksa merelakan telinga kami panas mendengar omelannya Dei-chan, aku melihat Uchiha Sasuke di sudut ruang sana tengah memandangi jendela. Tanah liatnya sepertinya tidak tersentuh sama sekali. Aku bertanya-tanya, apa yang sedang dipikirkannya?
"Heh, Pig. Kau kok bisa membuatnya?"
Aku dan Sakura telah diperbolehkan kembali ke tempat semula saat Sakura bertanya hal itu padaku. Aku memandanginya sebentar kemudian menyeringai. "Rahasia," jawabku.
Sakura mencubit kedua pipiku dengan sebal. "Curang, kau curang, Pig!"
Aku berusaha melepaskan diri, cubitannya maut sekali hingga menimbulkan bekas memerah di kedua pipiku. Aku terkikik sambil tetap mengatakan, "Rahasia~"
Ini memang rahasia.
###
"Kau sudah pintar, hm."
Aku melirik jendela, matahari belum tenggelam. Aku kembali fokus pada apa yang kukerjakan, membentuk vas bunga dari tanah liat dengan kedua tanganku sementara kaki kananku tidak berhenti menginjak plat di bagian bawah alat pemutar. Aku tengah berusaha agar bagian tengah vas itu lebih bundar serta menjaga agar bentuknya tidak melebar.
"Konsentrasi, Yamanaka."
Kurasakan dua telapak tangan yang lebih besar memegang telapak tanganku, mengarahkan agar tanah liat yang kubentuk ini tidak berantakan. Punggungku beradu dengan bagian depan tubuhnya sementara puncak kepalaku beradu dengan dagunya. Hangat...
"Heh, perhatikan pekerjaanmu ini, Yamanaka," tegurnya padaku yang tengah berimajinasi.
Dan teguran itu sukses membawaku pulang ke dunia nyata. Dasar Dei-chan bodoh, membuyarkan khayalan seorang gadis remaja itu tidak sopan. "Dei-chan."
"Huh?"
"Kalau seperti ini namanya pelecehan seksual, tahu." Aku menggembungkan pipi, wajahku tertunduk, malu.
Dei-chan memiringkan kepala, mencoba melihat wajahku yang tertunduk sebentar kemudian mengecup pipiku. "Sekalian saja jadikan ini hubungan terlarang antara guru dan murid."
Aku terperanjat dan mengibas-ngibaskan tangan kotorku di wajahnya. Dia menghindar ke kanan dan ke kiri dengan lincah, seringai nakalnya tidak absen dia pajang. Kemudian dia terkekeh, aku baru menyadari jika aku sedang dikerjai. Jadi kuinjak saja kakinya, rasakan!
Dei-chan mengaduh kesakitan dan... mengamuk. Yah, lagi-lagi dia mengamuk. Begitu seringnya dia mengamuk sampai-sampai aku jadi terbiasa. Selama sebulan ini aku sudah terbiasa dengan amukan bodohnya.
Sebulan belakangan ini aku memang 'les privat membuat keramik gratis' pada guru bodoh yang hobi mengamuk ini. Awalnya aku hanya tertarik padanya yang manis tapi semuanya jadi begini semenjak aku mengatakan bahwa sepertinya membuat keramik itu menyenangkan. Tak kusangka perkataanku itu membuahkan ekspresi terharu berlebihan dari Dei-chan, sehingga dia 'memaksaku' untuk les padanya setiap sepulang sekolah. Mana mau aku membayarnya, tapi dia ngotot untuk mengajariku walaupun tanpa dibayar. Jadi, di sinilah aku berada. Terjebak di ruang kesenian bersama seorang guru muda yang aneh sehabis jam pulang sekolah.
Sebulan ini dia menceritakan banyak hal padaku. Dei-chan yang menyukai bunyi keramik pecah—alasan mengapa dia membuat keramik sendiri, Dei-chan yang suka makan telur rebus, Dei-chan yang tinggal di apartemen kecil sendirian, ibunya yang sudah meninggal—wajahnya selalu muram tiap membicarakan hal itu, juga saudara perempuannya yang tinggal bersama ayahnya—wajahnya melembut begitu menyinggung saudaranya.
Kukira dia hanya seorang lelaki bodoh yang mempunyai hobi aneh, ternyata dia juga manusia.
"Jangan melamun, Bodoh."
Tapi sifatnya yang blak-blakan ini tetaplah menyebalkan.
"Kau yang bodoh, Bodoh," balasku.
Bisa ditebak, dia kembali mengamuk. Jadi kujejalkan saja segenggam tanah liat ke dalam mulutnya. Haha.
Jangan ceritakan pada siapa-siapa, ya. Ini rahasia pertamaku.
###
Baru saja rahasia pertamaku berlalu, besoknya sudah menyebar ke seluruh sekolah. Sepertinya ada murid yang mengetahui kejadian kemarin dan menggosipkannya dengan tambahan di sana-sini tentunya.
"Itu, itu murid kelas 10-1 yang menjalin hubungan gelap dengan guru kesenian baru!"
"Cih, tidak kuduga dia perempuan seperti itu. Jangan-jangan peringkat pertamanya juga hasil dari merayu guru-guru."
"Serius? Mereka sudah melakukan 'itu'?"
Itu hanyalah segelintir gosip yang masuk ke telinga kanan kemudian keluar dari telinga kiriku seharian ini. Gunjingan-gunjingan tentang diriku yang tampak murahan, cemoohan dari para senior, serta sindiran-sindiran kasar yang tampaknya dipelajari dari film-film aksi. Mereka bahkan mengomentari rambut pirangku, dan berasumsi bahwa warna rambut asliku ini adalah hasil pengecatan belaka. Mengada-ada sekali.
Tapi tidak begitu halnya yang kudapati di kelasku, kelas 10-1. Mereka tidak percaya pada gosip-gosip tidak berdasar itu. Ada yang biasa-biasa saja menanggapinya, ada juga yang malah marah-marah dan hendak membungkam mulut para penggosip itu, termasuk Sakura. Oleh karena itu, aku menyumpal mulutnya dengan kue bola pasta kacang kesukaannya sebelum dia meluluh-lantakkan seluruh sekolah ini. Sakura itu kan tenaganya berlebihan, bukannya menyelesaikan masalah bisa-bisa dia malah dikeluarkan. Naruto dan Kiba yang semula ingin mengikuti jejak Sakura telah kulumpuhkan dengan ancaman tidak akan meminjamkan PR pada mereka lagi.
Dan Sasuke... dia tetap menyendiri di pojokan kelas. Sendirian.
Tiba-tiba Rock Lee menjeblak pintu dengan kasar, mengagetkan semua orang di dalam kelas—tidak terkecuali Sasuke. Beberapa murid memarahinya akibat aksi kaget berjamaah tadi.
"Gomen, gomen. Tapi ada berita penting, nih! Dei-chan diskors! Dia me—"
Aku sudah terlanjur berlari keluar kelas sebelum Lee menyelesaikan perkataannya. Sakura dan beberapa murid lainnya berlari mengikutiku menuju ruang kepala sekolah, meninggalkan Lee terbengong di tengah kelas.
"—mecahkan guci keramik pajangan milik Sarutobi-sensei..."
###
Harusnya tadi kudengar dulu perkataan Lee sampai selesai, bodohnya aku. Baru saja aku dimarahi oleh Sarutobi-sensei akibat salah paham dan berteriak di depan wajahnya. Astaga, aku telah membuka rahasia keduaku serta mendapat teguran yang seharusnya tidak kuterima jika aku tidak terburu-buru menyimpulkan apa yang terjadi. Oke. Jadi, aku menggebrak pintu kantor Sarutobi-sensei dengan amarah meluap-meluap dengan pikiran bahwa Dei-chan diskors akibat memukul seseorang karena mengamuk gara-gara gosip tidak berguna tentang kami seharian ini. Dan dengan lantangnya aku berteriak-teriak di depan wajah keriputan milik kepala sekolah KHS ini dan mengumandangkan bahwa Dei-chan adalah kakakku.
Ya, aku meneriakkan hal itu dan memberondong Sarutobi-sensei bahwa beliau keliru dengan apa yang terjadi. Kenyataannya aku yang keliru.
Mau tak mau, aku terpaksa membersihkan toilet sebagai hukuman atas ketidaksopananku ini sementara Sakura dan yang lainnya kaget setengah mati mendengar rahasia keduaku ini. Demi Jashin, bukannya aku sengaja merahasiakan hal ini pada siapa pun. Terlebih lagi pada sahabat dan teman-temanku. Hanya saja ini adalah permintaan dari ayahku sendiri.
Rahasia keduaku ini menyangkut Dei-chan, dan juga ibu kami berdua. Ibu kami yang telah tiada.
###
Seminggu telah berlalu semenjak gosip-gosip palsu—yang tak terdengar lagi—dan insiden kemarahan gandanya Sarutobi-sensei juga keterkejutan masal seluruh murid dan juga pengajar di sekolah ini. Semua kegemparan ini berputar di antara aku dan Dei-chan, kami berdualah korban serta penyebab kekacauan ini. Tapi sejujurnya aku tidak begitu memedulikan itu semua, yang kupikirkan hanya Dei-chan. Ayah juga khawatir padanya. Seminggu diskors dan seminggu tanpa kabar. Si bodoh itu.
Panjang umur, si bodoh Dei-chan telah kembali mengajar hari ini. Ekspresi wajahnya tetap seperti dia yang biasanya. Sikapnya juga, terlalu bersemangat.
Hari ini aku mengumpulkan tugas kesenianku, tanah liat berbentuk vas bunga yang selama seminggu ini kubuat sendiri. Aku menyerahkannya pada Dei-chan sementara teman-teman masih mengeluh padahal tenggat waktu pengumpulan masih dua minggu lagi. Jujur aku tidak begitu yakin dengan vas bungaku yang lebih mirip dengan pispot itu, tapi lebih cepat lebih baik. Vas bunga itu ingin kuhadiahkan pada ayah jika sudah selesai nanti. Ngomong-ngomong, slogan siapa tadi yang kupakai?
###
Dei-chan semakin menyebalkan. Masa dia menolak ajakanku untuk pulang ke rumah? Mau sampai kapan dia di apartemen bobroknya? Dasar bodoh. Padahal ayah sudah lama tidak bertemu dengannya. Sepertinya Dei-chan masih membenci ayah.
Kami baru saja selesai membakar sejumlah gerabah (tanah liat yang telah siap dibentuk) di tungku pembakaran, termasuk vas bungaku. Selain milikku, ada pula beberapa milik teman-teman yang sudah selesai. Milik Shikamaru—dia membuat guci raksasa, memang dia pikir mau dipakai buat apa guci itu? Menyembunyikan mayat?—dan... sepasang cangkir milik Sasuke.
...
Aku tidak salah bicara, si Sasuke ini benar-benar membuat dua buah cangkir kembar. Aku jadi penasaran, untuk siapa dia membuat itu? Masa iya dia menggunakan dua cangkir itu? Atau... dia menggunakannya bergantian? Geez... kurang kerjaan.
Intinya sejumlah gerabah tadi dibakar masal di tungku pembakaran di studio belakang sekolah yang sudah lama tidak digunakan semenjak anak Sarutobi-sensei kawin lari dengan salah seorang pengajar wanita di sekolah ini juga. Anak lelaki Sarutobi-sensei adalah pengrajin gerabah. Mungkin karena hal itulah kepala sekolah masih belum turun jabatan, sepertinya dia masih berharap bahwa anaknya akan kembali dan menggantikannya. Kasusnya hampir mirip dengan ayah dan Dei-chan, hanya saja Dei-chan tidak kawin lari. Dei-chan itu lemah dalam olahraga, loh.
Membayangkannya berlari-lari bersama seorang wanita sambil memanggul keramik rasanya aneh sekali.
Tapi aku benar-benar khawatir pada Dei-chan, hidupnya tidak pernah jauh-jauh dari tanah liat dan keramik. Memangnya dia pikir dia mau menjadi apa nantinya? Dia sudah dewasa, loh. Apa tidak pernah terlintas di otaknya untuk berhubungan dengan wanita dan menikah? Masa dia mau hidup seperti ini hingga akhir hayatnya, menikah dan bercinta dengan keramik? Sial, kalimat terakhir tadi benar-benar absurd. Pantas saja ayah bilang jika otak pintarku ini terkadang tidak pada tempatnya.
Lupakan.
Aku memandangi wajah Dei-chan yang bersenandung pelan sembari memilah-milah keramik setengah jadi itu, menaruhnya di atas meja-meja kayu di dalam studio dengan hati-hati. Dia menahan tawa hingga wajahnya memerah saat mengangkat guci raksasa milik Shikamaru. Benar-benar guru yang tidak sopan. Tapi sejujurnya aku juga hendak menyemburkan rasa gelitik di perutku yang sialnya tidak jadi kulakukan karena Dei-chan tertawa terbahak-bahak ketika tiba gilirannya pot bungaku untuk dipindahkan. Kali ini dia benar-benar tidak sopan. Ingin rasanya aku meminjam guci milik Shikamaru dan menghantamkan guci itu di kepala Dei-chan. Akan tetapi, kuurungkan niat busukku itu. Aku masih ingin menyongsong masa depan gemilang daripada harus mendekam di penjara akibat melakukan hal tak bermoral yang dapat menyebabkan Dei-chan menjadi idiot seketika. Kurasa sudah cukuplah kebodohannya selama ini.
"Hei, Bodoh."
Dahiku berkerut. Memang si bodoh yang satu ini, harusnya kujalankan saja rencana tadi. "Apa, Bodoh," balasku.
Dei-chan mendengus, hidungnya mengembang. "Pulang sana."
Tidak sopan sekali dia padaku yang telah merelakan diri membantunya dari tadi. Yah, tidak sepenuhnya membantu, sih. Setidaknya tidak ada keramik yang kupecahkan—meskipun aku tahu betul jika hal itu malah menyenangkan hobi abnormalnya. Aku balas mendengus dan beranjak pergi. Mendadak aku teringat untuk mengatakan sesuatu, aku berbalik tepat di depan pintu. "Dei-chan..."
"Hm?" Dia masih berkutat dengan kegiatan kulinya.
"Sesekali pulanglah."
Dei-chan mematung pada posisi setengah membungkuk. Wajahnya tertutupi oleh poni panjangnya sehingga aku tidak melihatnya mengangguk, bahkan aku sudah melangkahkan kaki keluar dari tempat pengap ini. Terserah dialah, dia kan sudah dewasa. Memangnya mau sampai kapan dia menghindar dari ayah hanya karena masa lalu? Selain kekanakan, terkadang dia juga sangat keras kepala. Dia benar-benar replika ayah.
Walaupun ayah tidak secantik Dei-chan, sih.
###
Dua minggu telah berlalu, akhirnya keramik kami pun telah kembali lagi di pangkuan kami. Sekarang saatnya mendandani keramik polos itu, itu kata Dei-chan. Murid kelas 10-1 serta merta mulai ribut, padahal yang bekerja hanyalah tangan, terkutuklah Kiba dan Naruto yang memulai kebisingan itu. Bahkan Shikamaru yang notabene kalem ikut-ikutan alay. Tsk. Dan yang lebih parahnya, teriakan Dei-chan sama sekali tidak membantu.
"Payah, yang begitu ternyata kakakmu," komentar Sakura. Dalam hati aku menelan pahitnya perkataan Sakura.
Sepertinya Dei-chan mulai kehabisan akal untuk meredakan keributan yang membuat Kakashi-sensei ikut mengamuk ketika beliau tengah numpang lewat di depan ruang praktek ini. Dei-chan beranjak mendekatiku dan Sakura yang tengah asik mengecat keramik masing-masing kemudian dia mulai mengoceh tentang kenaikan harga BBM di Indonesia. Aku mengacuhkannya, bukan karena hal yang diocehkannya itu tidak ada hubungannya denganku—ya iyalah, aku tidak mengendarai mobil dan ini adalah Jepang—tapi lebih karena diriku ini sedang kesal setengah mati padanya.
Bagaimana tidak kesal. Si bodoh ini sama sekali tidak pulang ke rumah barang sekali pun walau sekadar menjenguk ayah. Tampangku saja sudah kecut begini tapi Dei-chan sama sekali tidak menyadarinya. Sepertinya aku memang harus meminjam guci milik Shikamaru, nih.
"Bagaimana, sih, dunia ini jadinya nanti. Benar-benar tidak habis pikir. Ya, 'kan, Haruno?" tanya Dei-chan. Sakura hanya dapat meringis tertahan mendengarnya—dilihat dari tampangnya, sepertinya Sakura merasa jengah.
"Berisik, Bodoh!"
Seisi ruang praktek terdiam, semuanya menatapku dengan tatapan heran. Dalam hati aku mengutuki mulutku yang dengan lantangnya mengucapkan kata-kata tadi. Aku merasa bagai seorang gila ditatapi seperti ini, bahkan Sasuke sampai memelototiku. Hancur sudah imej baikku yang sudah luluh lantak sebelumnya.
Dei-chan berkacak pinggang di hadapanku. "Hah, ternyata kau juga bisa bersikap keterlaluan, Yamana—"
Aku tidak perlu menunggu Dei-chan menyelesaikan perkataannya, telapak tangan kananku yang berlumuran cat telah berpindah ke pipi kirinya dengan kecepatan cahaya. "Memangnya apa yang kautahu tentangku? Apa?"
Dei-chan menganga, sepertinya dia tidak pernah mengira akan mendapat cinderamata berupa tamparan dari adiknya yang telah begitu lama tidak ditemuinya. "Ino..."
"Apa yang kautahu tentangku? Apa yang kautahu tentang ayah? Hah? Tidak ada, sama sekali tidak ada!" Aku berdiri. "Kaupikir cuma dirimu saja yang menderita? Kau tidak tahu bagaimana perasaanku setiap melihat ayah menangisi kesalahannya padamu dan ibumu. Kau egois, orang yang tidak dapat memaafkan adalah orang paling egois di dunia!" lanjutku. Aku tidak peduli lagi jika seisi ruangan ini menganggapku sebagai ababil sakit jiwa yang curhat di depan khalayak umum. Aku juga tidak peduli lagi dengan tampangku yang awut-awutan ini. Kutumpahkan semua emosiku di sini, di tempat ini, saat ini juga. Wajahku telah basah oleh air mata, kurasa teman-teman akan menjauhiku karena ini. Aku benar-benar tidak peduli lagi. Bahkan saat Dei-chan mendekatiku, aku mendorongnya dengan kasar.
Di sinilah kesalahan fatalku. Tubuh Dei-chan menubruk rak berisi puluhan pajangan keramik akibat dorongan mautku dan dengan cepat keributan kembali mewarnai ruang praktek ini. Murid-murid perempuan memekik ngeri saat Dei-chan tertimpa oleh rak kayu dengan beberapa ornamen kacanya. Murid-murid laki-laki berhamburan tak tentu arah, antara panik dan takut ikut menjadi korban. Kiba dan Naruto buru-buru keluar untuk mencari pertolongan sementara diriku yang bodoh ini hanya dapat mematung melihat cairan kental yang mulai menggenangi lantai tempat kecelakaan terjadi, mengenai sepatuku.
Sakura menarikku ke dalam pelukannya dan mengatakan, "Kau tidak sengaja, Pig. Ini bukan salahmu."
Tangisku pecah seketika. Samar-samar terdengar suara sirine, kupikir aku benar-benar akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara kali ini. Semoga saja Dei-chan tidak sampai meninggal, dan jika dia selamat, kumohon jangan menjadikannya idiot. Ayah akan sangat sedih.
###
Doaku didengar oleh Jashin-sama.
Dei-chan tidak meninggal dan juga tidak mengalami luka yang serius—terlebih lagi menjadi idiot—karena terakhir kali aku menjenguknya, dia terlihat sangat sehat meskipun sekujur tubuhnya diperban sedemikian rupa hingga menyerupai mumi. Dan dengan bodohnya dia sempat berkata, "Untung saja wajah gantengku ini tidak terluka! Dan lagi... suara pecahan keramik-keramik itu awesome! Aku sudah lama ingin menghancurkan keramik di rak itu, sih."
Untung juga Sarutobi-sensei tidak mendengar perkataan Dei-chan itu, bisa-bisa dia masuk ruang gawat darurat akibat menjadi korban penganiayaan tingkat lanjut oleh kepala sekolah.
Waktu hanya maju selama seminggu saja semenjak insiden itu—tidak ada yang menyalahkanku—dan selama seminggu ini sepertinya hubungan ayah dan Dei-chan agak membaik. Kemarin saat aku hendak menjenguknya di rumah sakit, aku (tidak sengaja) menguping pembicaraan mereka. Melihat dari senyum Dei-chan yang tulus, aku sudah bisa menarik kesimpulan bahwa dia sudah dapat memaafkan ayah. Ternyata kecelakaan itu ada hikmahnya untuk mereka, dan juga diriku.
Aku jadi lebih berhati-hati dalam bertindak dan belajar mengendalikan emosi. Kedua tanganku ini sudah dua kali hampir membunuh orang-orang terdekatku, dan kedua tanganku ini rasanya seperti menggenggam dosa. Dan sudah dua kali pula aku dimaafkan. Aku ini benar-benar bagaikan malaikat pencabut nyawa.
Dosa pertamaku adalah mendorong ibu tiriku—ibu kandung Dei-chan—hingga terjatuh dari teras saat beliau tengah mengandung anak keduanya. Saat itu umurku sekitar 4 tahun, yang ada di pikiranku hanyalah bermain dan bermain saja. Semua orang mengatakan bahwa itu hanyalah kecelakaan belaka, beliau bahkan mengkhawatirkan keadaanku. Dei-chan tidak tahu-menahu tentang kejadian yang sebenarnya, dia menyalahkan ayah yang terlalu sibuk bekerja sehingga kurang memerhatikan beliau. Ironis sekali, padahal kala itu Dei-chan tidak pernah menerima ayah sebagai ayahnya dan sangat marah pada keputusan ibunya menikah kembali dengan ayah.
Masa lalu memang begitu rumit. Dulu sekali, ayahku pertama kali menikah dengan ibu Dei-chan. Kemudian mereka berpisah karena ayah berselingkuh, waktu itu Dei-chan masih bocah. Beberapa tahun kemudian ayah menikah lagi dengan selingkuhannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibuku. Ya, ibukulah yang menghancurkan keluarga bahagia impian Dei-chan—aku mengetahuinya beberapa tahun yang lalu dari ayah. Ibuku masih begitu muda saat itu, ayah tidak tega meninggalkannya. Ibu bunuh diri akibat tidak tahan dengan gunjingan-gunjingan dari para tetangga. Ayah mengajakku pindah keluar kota setelah kematian ibu. Di Konoha-lah keluarga baruku tercipta, seorang ibu tiri yang baik hati dan seorang kakak laki-laki yang bodoh. Dan beberapa bulan semenjak dosa pertamaku, ibu Dei-chan meninggal akibat komplikasi setelah keguguran pada kehamilan yang lumayan besar.
Rantai dosaku sepertinya telah ada sejak ibu melahirkanku. Dei-chan selalu menderita karena dosaku, tapi si bodoh itu dengan tenangnya terkekeh dan selalu memelukku hingga aku hampir menyusul kedua ibuku ke akhirat.
Ini adalah rahasia terakhirku, rahasia keluargaku.
###
"Ini."
Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mataku, tidak mengerti. Sasuke tengah berdiri di hadapanku sambil menyodorkan sebuah cangkir ungu bergambar beberapa tangkai bunga matahari yang berantakan tepat di wajahku.
"Hah?"
Beberapa murid-murid perempuan yang tengah lewat terkikik geli melihat kecanggungan di antara kami. Terlebih lagi kami tengah berada di sebuah tangga utama, aku memang baru saja dari UKS di lantai 3 dan hendak kembali ke kelasku yang berada di lantai 1.
"Untukmu," ucap Sasuke, memperjelas perkataannya yang sebelumnya. Sebelah tangannya dipakai untuk menggaruk tengkuknya—mungkin dia kutuan? Wajahnya kelihatan risih dipandangi oleh beberapa pasang mata.
"Oh." Bodohnya aku tidak menyadarinya lebih cepat. Cangkir ini kan cangkir yang Sasuke buat untuk praktikum prakarya seni. Tanpa dikomando wajahku memerah, Sasuke dari awal memang ingin memberikan cangkir ini padaku, 'kan? Dan... cangkir ini kan sepasang dengan cangkir yang satu lagi. Jadi, ini artinya...
"Jangan sedih lagi, Yamanaka. Tersenyumlah."
Demi Jashin-sama yang tengah menggelinjang bersama Hidan-sensei, apa aku tidak salah lihat tadi? Barusan Uchiha Sasuke menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat manis dan sangat langka! Astaga, mimpi apa aku tadi malam? Dengan tangan gemetaran aku menerima 'hadiah' itu dan tersenyum lebar-lebar. Sasuke pergi begitu saja meninggalkanku terbengong di tangga seperti Jelangkung yang datang tak dijemput dan pulangnya tak diantar.
Setelah beberapa menit berbengong ria, spontan aku menjerit senang dan merentangkan kedua tanganku yang dilanjut dengan jeritan parau minta tolong oleh seseorang yang sepertinya terpukul oleh tanganku secara tidak sengaja. Ternyata, oh, ternyata. Orochimaru-sensei terguling jatuh dengan kecepatan maksimum tepat di depanku.
Ups.
-tbc-
.
.
Hola! Lagi-lagi pair ini. OAO mendadak ane lagi demen-demennya ama yang dua ini. :3
Btw, karakter Ino di sini benar-benar ababil (abege labil) beud, dah. Mungkin karena dari sudut pandang orang pertama? Atau karena author-nya yang memang labil juga? #pundung
ps. Nih tampang Deidara zerochan(dot)net/577357 masih sama kayak di fic yang sebelumnya, You and I. #malahpromosi
Ps tambahan. Sebenarnya ane rada kurang tahu juga tentang komplikasi akibat keguguran yang menyebabkan kematian. Tapi enyak pernah cerita, sih. Dulu beliau juga pernah keguguran pas hamil besar, en gegara proses 'pembersihan' mayat janin yang kurang bersih, beliau sempat operasi gitu gegara komplikasi apa gitu. En si janin itu harusnya jadi adik cewek ane ya, tapi malah ga sempat lahir ke dunia. :( #curhat
Ps lagi. Berapa kali nama Shikamaru ane tulis? Geez, keknya ane jadi maniak Shikamaru, deh. Brrr!
Mind to review? :)
