Hallo, saya balik lagi ke fandom mantan pacar saya ini! *dirasengan*
Heaa, sebenarnya saya niatnya bikin sekuel buat Ku Menunggu: NaruSasu Edition, tapi kok masih belom dapet feelnya ya? Saya malah kepikiran bikin cerita baru ini.
Saya egois, saya tahu. Nelantarin multichap di fandom lain tp bikin fic multichap baru. Iya, saya tau, tp salahin aja ide yg selalu menghantui saya kapanpun dan dimanapun. Geez -_-v
So, kats-another-krom(?) was proudly presents:
.,.
Disclaimer: I dun own the chara. The chara was belongs to Masashi Kishimoto. Then, I dreaming that Naruto was belongs to me. Guys, I'll change it to be Boys-Love anime and comic, too (◕◡◕)
Pairing: Namikaze-Uzumaki Naruto X Sabaku no Gaara (Main pairing for this chapter), Namikaze-Uzumaki Naruto x Uchiha Sasuke (The REAL main pairing) and others.
Rating: Teens! Teens! Teens! Hanya waktu yg mungkin akan merubah rate ini (?)
Genre: Romance, Friendship, Drama.
Warnings: Modifiate Canon, Boys Love, OOC, typo(s)— CMIIW, guys!, imajinasi liar dan tak terkendali, serta beberapa keabstrakan tulisan author ini hhh._.v
DUN LIKE DUN READ! GET IT, RITE?
YOU CAN CLICK 'BACK' BUTTON IF YOU UNDERSTAND—ITS MEAN YOU DUN LIKE TO READ
.
"Kau tak perlu mengejarnya lagi, Naruto."
Gadis berambut merah muda itu berujar tenang pada seorang pemuda yang tengah berbaring di sebuah ranjang di rumah sakit tempatnya bekerja. Sesekali ia mengeratkan lilitan perban pada luka di lengan kiri Naruto— dan dijawab oleh ringisan pedih oleh si pemuda.
Memang terasa cukup aneh jika Naruto mengalami cedera hanya karena menjalankan misi yang mudah— setara dengan misi tingkat B bagi para chunnin, namun keadaan itu akan berubah jika dalam perjalanan pulang ia malah bertemu Sasuke dan bertarung melawan keturunan klan Uchiha terakhir itu. Seperti biasa, Naruto mengajak Sasuke pulang— dan seperti biasa hanya akan dibalas dengusan sebal atau kata ejekan pedas.
Ironis.
Naruto bisa saja memenangkan pertarungan kalau saja Sasuke tidak memanfaatkan kebaikan pemuda keturunan Uzumaki. Mulanya Sasuke yang sudah kehabisan cakra mendadak limbung dan kontan saja hal ini membuat Naruto panik seketika. Nyatanya, pemuda beriris onyx itu sebenarnya tidak sepenuhnya sekarat, hanya saja tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk melanjutkan pertarungan mereka. Setelah itu, ya bisa ditebak. Sasuke memanfaatkan kelengahan Naruto dengan menebas lengan kirinya— yang untung saja tidak patah— sebelum pergi menghilang begitu saja.
"Licik sekali dia! Kenapa kau harus tertipu juga sih? Pokoknya, lupakan janjimu padaku saat itu. Berhentilah melakukan semua ini, Naruto. Terimalah kenyataan yang ada."
Pemuda bermarga Uzumaki itu hanya menghela napas panjang. Ia hanya mengusap perlahan pelipisnya seakan hal itu bisa menghilangkan beban pikirannya.
Sebut saja Sakura bodoh, karena tak mungkin sahabatnya itu akan menyerah dalam hal ini— hal penting yang menyangkut mantan sahabat terbaik keduanya. Bagi gadis itu, semua yang sudah dilakukan oleh keduanya— terlebih Naruto sendiri sudah sangat cukup. Lebih dari cukup. Tapi ia tahu pemuda pirang itu tak akan pernah... —
"Ya, Sakura-chan. Aku memang mengakhiri semua ini."
—berhenti mengejar Uchiha Sasuke.
...APA?
Naruto yang selalu mengejar dan mengajak Sasuke untuk kembali ke Konoha, akan berhenti mengejarnya?
Naruto yang selalu percaya jika suatu saat nanti Sasuke akan sadar, akan berhenti percaya?
Naruto yang sangat menyayangi Sasuke sebagai teman dan saudaranya, akan melupakannya?
Ia...akan berhenti berharap?
Naruto yang itu?
Sakura hanya mengerjap bingung mendengar pernyataan Naruto yang serasa sangat mustahil untuk diucapkan pemuda itu. "Kau yakin, Naruto?"
Alih-alih menjawab, pemuda pencinta ramen itu malah menolehkan kepalanya ke jendela kamar perawatan tempatnya berada. Mata safirnya menerawang jauh ke arah langit yang berwarna sama dengan matanya.
"Ya. Ia telah memilih jalan yang berbeda denganku— dan denganmu, Sakura-chan, lalu apa hakku untuk melarangnya?"
Choice
Chapter 1:
Ending of Drama and His Beloved
.
"You're on your way. I'm on my own way.
You hate me. But, I'm not.
Just do what do you want and I'll take it, Sasuke."
.
.
Hari ini sudah genap menjadi tiga bulan penuh semenjak ucapan Naruto yang mengatakan bahwa ia tak akan lagi mengejar dan meminta Sasuke untuk pulang. Tidak lagi.
Dan ia membuktikannya.
Selama tiga bulan penuh ini ia tak lagi mencari celah untuk mengikuti misi di tempat yang tengah tersiar kabar bahwa Sasuke bersama tiga orang temannya— yang lebih mirip anak buahnya— sedang mengembara dan berada di tempat itu.
Mulanya tak ada yang percaya dan menganggap Naruto hanya membual belaka— terutama para sahabat dan teman-teman ninjanya, mengingat betapa keras perjuangannya untuk membawa Sasuke pulang ke Konoha, namun nyatanya kini semua orang berbalik mulai mensyukuri perubahan Naruto. Bagi mereka, pria berambut raven itu hanya bagian dari masa lalu dan kini sudah saatnya untuk membuka lembaran baru.
Begitu pula dengan Naruto.
Seperti yang saat ini sedang dilakukannya. Memakan ramen hangat di balkon apartemennya pada pagi hari. Entah sejak kapan ia mulai menjadikan hal itu sebagai kebiasaan paginya. Dan entah kenapa pula, ini semua terasa melankolis.
Hal yang paling sering terbesit di otaknya adalah Sasuke— bahkan sampai sekarang. Ia memang sudah memutuskan untuk tidak 'membawa' Sasuke pulang ke Konoha, tapi bukan berarti ia tak mau memikirkannya. Ia hanya...merasa bimbang dengan keputusannya sendiri.
Sasuke itu sudah seperti saudara kandung, baginya. Mereka mengalami penderitaan yang sama: sendirian. Yah, walaupun dalam hal ini setidaknya Sasuke masih pernah merasakan kehangatan keluarga. Tidak seperti dirinya yang semenjak kecil sudah ditinggal mati orang tuanya— yang bahkan ia sendiri pun tak tahu nama dan identitas orang tuanya. Meskipun Sasuke sendiri harus hidup dalam bayang-bayang kebencian dan dendam untuk Uchiha Itachi, kakak sekaligus pelaku pembantaian seluruh klan Uchiha.
Sasuke, memang bukan teman yang ramah, ceria, murah senyum atau menyenangkan. Ia malah termasuk orang yang ketus, cuek, dingin dan jarang berbicara jika bukan untuk hal yang penting. Ia juga bukan tipe orang yang akan peduli pada orang lain atau akan menjaga perasaan seseorang yang sedang sedih. Ia juga bukan orang yang ekspresif— malah ia lebih sering memasang tampang datar tanpa perubahan mimik yang kentara.
Ia begitu...antisosial.
Berbeda dengan Naruto yang ramah, ceria, murah senyum, konyol dan terlihat begitu bersinar. Ia memang bukan orang jenius seperti Sasuke, malah ia termasuk pemuda yang bodoh dan sering tertidur saat belajar di akademi dulu. Ia juga termasuk orang yang ekspresif, ia susah untuk menyembunyikan ekspresi dan mimiknya dari pandangan orang lain.
Ia...begitu polos dan naif.
Dan sungguh, keduanya bisa saling melengkapi satu sama lain.
Ups, ralat. Itu adalah Uzumaki Naruto yang dulu.
Latihan berat bersama Ero-Sennin Jiraiya selama beberapa tahun yang lalu membuatnya tumbuh sebagai lelaki tangguh dan dewasa. Meskipun ia tak bisa luput dari sikapnya yang tetap konyol, ia telah berubah banyak saat ini. Pemikirannya yang mulai matang, badan tegap dan gagah, perangai bijkasana dan tak lagi menganggap enteng semua masalah.
Diluar semua hal itu, Naruto sekarang ini tetaplah Naruto yang dulu. Ia akan tetap menjadi rival abadi dari Uchiha Sasuke. Ia akan tetap menjadi sahabat terbaik bagi seorang Sasuke yang bahkan pria itu sering menyangkalnya dan Naruto sendiri tidak menyadarinya.
"Naruto?"
Suara itu membuat Naruto bangun dari pemikirannya sendiri. Ia berbalik dan mendapati sesorang yang sangat berarti baginya sedang mengucek matanya dan terlihat seperti baru bangun tidur. Orang itu hanya memakai piama milik Naruto yang pastinya kebesaran kebesaran di tubuh mungilnya sampai-sampai bagian dadanya terekspos banyak karena piama itu terkesan menggantung saja di kedua sisi badannya.
Melihat itu Naruto hanya tertawa renyah, ia membuka lebar-lebar kedua lengannya— seolah mengundang orang yang paling disayanginya untuk memasuki rengkuhannya. "Kemarilah."
Orang itu melangkah perlahan mendekati Naruto dan segera memeluk pemuda berambut jabrik itu erat seakan takut kehilangan.
Naruto tertawa kembali sambil mencium helaian marun dari rambut orang yang disayanginya itu. "Tidurmu nyenyak, Gaara?"
"Ya, sangat nyenyak." Gaara makin menyerukkan wajahnya ke dada bidang nan hangat milik Naruto sambil menghirup aroma jeruk dan citrus alami yang dimiliki kekasihnya itu. Segar dan benar-benar khas, membuat Kazekage itu mabuk kepayang dan kecanduan akan wewangian khusus dari sang Uzumaki.
Kekasih...?
Oh, tunggu, kalian belum tahu?
Ya, Sabaku no Gaara adalah kekasih dari Uzumaki Naruto semenjak dua bulan yang lalu. Sebenarnya, ia sudah menyukai pemuda beriris safir itu sejak Naruto menyelamatkannya saat lepas kendali akan Shukaku yang ada dalam tubuhnya. Namun, kala itu Naruto seakan tak melihatnya dan hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Gaara memang kecewa, tapi setidaknya ia masih dianggap penting oleh Naruto.
Pertamanya, Gaara mengira perasaannya pada Naruto hanya sebatas teman. Lalu ia mulai menyadari perasaan itu terkesan lebih posesif dan ingin memiliki. Sayang. Ia menyayangi Naruto.
Sayangnya, masih ada Uchiha Sasuke di sisi Naruto. Mereka memang bukan sepasang kekasih, namun kedekatan keduanya membuat Gaara merasa kesal juga. Kenapa bukan dia yang dekat dengan Naruto? Kenapa pula harus 'Pantat Ayam' itu?
Dan ketika Sasuke memutuskan untuk mengkhianati Konoha, ada sisi dalam diri Gaara merasa senang karena dengan begitu ia akan lebih mudah untuk mendekati Naruto dan menggantikan posisi orang terpenting di sisi pemuda itu namun ternyata Naruto malah semakin memfokuskan dirinya pada masalah Sasuke itu. Hanya pada Sasuke.
Hingga akhirnya Gaara terpilih sebagai Kazekage walaupun usianya terbilang masih cukup muda. Untungnya, jabatan, segala masalah, urusan dan hal lainnya yang harus ditangani oleh Kazekage sendiri, membuatnya perlahan mengesampingkan— bukannya melupakan soal sakit hatinya.
Terlebih ketika ia mendengar tentang kabar yang menyatakan bahwa Naruto tidak akan lagi mengejar Sasuke. Jika saja Gaara orang yang ekspresif, bisa dipastikan ia sudah berjingkrak ria saking bahagianya.
Ceritanya terasa begitu panjang dan berjalan begitu saja hingga tiba-tiba suatu Minggu pagi, Naruto mendatanginya dan memintanya menjadi kekasih si pirang itu— yang tentunya meskipun masih tidak percaya— langsung diterima dengan suka cita olehnya.
Dan hubungan itu masih berjalan hingga kini. Untung saja tak ada hukum yang melarang adanya pasangan sesama jenis. Lagipula siapa yang akan berani melawan Kazekage Suna dan satu-satunya kandidat calon Hokage?
Untuk urusan melepas rindu, keduanya sering saling mengunjungi. Contohnya Gaara sering menginap di apatemen Naruto begitu pun sebaliknya, Naruto juga menginap di rumah Gaara. Terlebih keduanya juga sudah pernah melakukan hubungan 'ke tahap selanjutnya', jadi pertemuan mereka akan serasa...lebih romantis, mungkin?
"Apa masih terasa sakit?"
Gaara membiarkan Naruto mengelus kepalanya dengan perlahan sambil mengeratkan pelukannya. Kini keduanya tengah berada di balkon— tepat menghadap ke arah matahari terbit. Sakit yang dimaksud Naruto disini adalah sakit karena kegiatan cinta mereka semalam. "Tidak terlalu, tapi masih terasa sakit."
"Maaf ya?"
"Tidak apa-apa. Tenang saja." Gaara tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya— mengelus lembut pipi kanan kekasihnya. "Hah, tak terasa besok aku harus sudah kembali ke Suna." Ia mengerucutkan bibirnya sebal.
Sungguh tak biasa melihat seorang Gaara yang terkenal dingin dan berwibawa berubah menjadi kekanakan seperti ini, tentu saja karena hanya dengan Naruto, ia bisa bebas berekspresi tanpa berpura-pura selalu bersikap dewasa.
Naruto makin mengeratkan pelukannya. Ia juga merasakan kesedihan yang dirasakan kekasihnya. Akhir-akhir ini memang keduanya jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Dan saat mereka bisa bertemu, keduanya hanya punya waktu minimal 4 hari untuk melepas rindu. Tak terasa pula hari ini sudah hari keempat Gaara berada di Konoha dan besok harus kembali ke Suna mengingat posisi Kazekage ia titipkan sebentar pada kakaknya, Kankuro.
Tiba-tiba ada sebuah ide yang terlintas di benak calon Hokage ketujuh itu. "Hei, bagaimana kalau hari ini kita pergi berkencan?"
Gaara masih terdiam, menunggu Naruto yang sepertinya belum menyelesaikan kalimatnya. "Emm, lebih tepatnya hanya berkeliling desa sih tapi tenang saja hari ini aku akan menemanimu seharian tanpa ada yang mengganggu. Setuju?"
Gaara hanya menjawabnya dengan anggukan antusias dan membiarkan Naruto mencium keningnya penuh sayang. Setidaknya, untuk sekarang ini ia tak perlu meragukan cinta pemuda Uzumaki itu— yang hanya untuknya.
Bukan untuk orang lain, terutama Sasuke.
.
His Maroon
.
Naruto memang bukan orang yang mempunyai keyakinan akan pemikiran yang cukup kuat. Maksudnya, terkadang ia bisa merasakan dan mengira-ngira hal apa yang akan terjadi tapi tak mau mempercayainya. Hanya dugaan semata bukan.
Tapi entah darimana dan kenapa, ia mempunyai prasangka yang cukup tidak menyenangkan. Seolah sebentar lagi hidupnya akan terasa kacau karena sebuah masalah yang kompleks.
Tidak. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. 'Huh, aku mikir apa sih? Harusnya aku sekarang hanya memikirkan Gaara seorang! Ingat Naruto, saat ini kau sedang kencan dengannya!'
Naruto kembali memandang lurus ke arah jalanan dengan tangan Gaara yang ada di genggamannya. Tak mereka hiraukan tatapan kagum yang dilayangkan para penduduk saat melihat keduanya. Diluar karakter keduanya, Naruto dan Gaara memang terlihat benar-benar cocok. Sama-sama tampan, kuat, disegani, dihormati dengan ciri khas masing-masing.
Memikirkan itu sebuah tawa getir menggema di sudut hati Naruto. Tawanya dan tawa sang Kyuubi. Padahal dulu baik penduduk Suna maupun Konoha menganggap kedua wadah bijuu itu sebagai monster. Mereka memperolok, merendahkan dan menjauhi kedua pemuda itu. Dan tengoklah ke menit-menit sekarang ini. Perubahan ini bahkan butuh lebih dari satu kata 'signifikan' atau 'luar biasa' untuk menunjukkan betapa besar pengaruh yang terjadi.
Keduanya berjalan terus seolah tak terjadi apa-apa meskipun ketika ada yang menyapa, Naruto akan tersenyum kecil dan Gaara akan menjawabnya mengangguk. Bahkan hanya dengan gerakan kecil seperti itu, para gadis yang akan siap tumbang karena tak tahan akan kharisma dua pemuda itu. Hiperbolis? Sialnya, itu memang kenyataan yang terjadi sekarang.
"Kita mau ke mana?" tanya Gaara memecah keheningan yang sempat tercipta. Mata green jadenya melirik ke arah Naruto yang tampak serius sekali dengan jalan yang ada di depannya.
"Kau mau ke mana dulu?" Pemuda keturunan Uzumaki itu menoleh dan menyengir lebar hingga kedua matanya menyipit. "Sudah kubilang kan, seharian ini...aku milikmu." ucapnya diakhiri dengan seulas senyum lembut.
Oh andaikan saja Gaara seorang gadis perawan yang sedang dimabuk asrama pasti wajahnya akan langsung bersemu kemerahan secara total, melihat senyum lembut yang memancarkan kasih sayang— dari orang yang ia sayangi. Sayang saja dia bukan gadis perawan walaupun untuk masalah dimabuk asmaranya memang benar. Yang dilakukannya hanyalah menggangguk pelan lalu mengedarkan padangan ke seluruh arah. Mencoba mencari tempat mana yang akan mereka kunjungi pertama kali hari ini.
"Ayo Naru!" Merasa menemukan tempatnya, ia segera menarik tangan Naruto dan menyeretnya. Sedang yang menjadi korban dari acara penyeretan itu hanya tersenyum lebar menyadari tenpat apa yang dipilih kekasihnya sebagai tempat pertama yang akan mereka singgahi pada kencan kali itu.
Dan, acara kencan mereka hari itu dimulai dari warung Ramen Paman Ichiraku.
.
His 'ex' friend
.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Sasuke." Juugo menatap datar pada pemuda yang sudah dianggapnya sebagai 'temannya'— sama seperti Suigetsu dan Karin. Ia tahu mungkin Sasuke tak akan mempercayai berita itu, tapi memang itulah kenyataan yang ada.
Berita yang diketahui Juugo saat beberapa hari yang lalu menyelinap ke Konoha untuk membeli bahan makanan.
Sasuke masih terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sekarang tahu kenapa ia begitu merasa kehilangan pada detik-detik yang lalu. Bahkan otak jeniusnya pun saat ini bekerja lambat untuk mencerna berita yang disampaikan oleh Juugo.
Sejenak, ruang bersantai dari sebuah rumah mungil yang sedang mereka sewa untuk sementara waktu itu— mengalami keheningan.
"Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi perlu kau tahu, aku sama sekali tak mendapatkan untung dengan percaya atau tidaknya kau. Oyasumi." Juugo menggeser pintu perlahan dan berjalan menuju kamarnya. Ia tahu sekali jika Sasuke membutuhkan waktu sendiri untuk saat ini.
Sedang Sasuke sama sekali tak menggubris perkataan dan ucapan selamat tidur dari Juugo. Yang hanya ada dipikirannya saat ini adalan berita tadi.
Pantas saja mereka tak pernah bertemu lagi.
Pantas saja Sasuke merasa sangat kehilangan.
Pantas saja Naruto tak pernah lagi bertarung dengannya.
"...Apa kau sudah menyerah dengan semua ini?"
Kenapa? Kenapa ia baru menyadari hal ini sekarang? Bahwa ia membutuhkan Naruto. Sangat butuh. Ia telah terbiasa dengan keberisikan, kecerobohan dan semua hal konyol tentang pemuda itu. Dan kini, ia harus menderita lagi— sendirian. Ia harus merasakan perasaan menyiksa itu lagi karena Naruto telah meninggalkannya— dengan memilih jalan yang berbeda.
Sasuke menumpukkan kedua tangannya di depan dada dan menenggelamkan wajahnya dalam ke tumpukan kedua tangannya tadi. Kepalanya serasa pening dan berdenyut-denyut. Cih, hanya karena mendengar berita seperti ini, seorang Uchiha Sasuke jadi begitu lemah.
Kemudian ia berdiri, mata onyx kelamnya menatap terangnya sinar bulan malam itu. Bahkan ada juga cahaya yang meneruskan biasnya ke jendela. Pemandangan yang seperti itu yang bisa membuatnya lebih rileks.
Kini serasa seluruh kegalauan dan kebimbangan yang sebelumnya tak terucapkan, ingin segera ia keluarkan supaya tak lagi menjadi beban. Ia hanya menyusun semua itu dengan beberapa kata— namun cukup mewakili gejolak akan perasaan yang ia rasakan.
"Menyerah 'kah kau untuk membawaku pulang lagi, Naruto?"
.
.
Tsuzuku
.
Huft, kelar juga akhirnya hehe :D
Ah ya, saya baru sadar, saya disini bikin NaruGaa dan NaruSasu— dan ga sengajanya (ini beneran, saya baru nyadar) porsi untuk peran mereka sama kaya yg di Ku Menunggu: NaruSasu Edition! Men, kenapa baru nyadar ya? Haaaah ._. ato apa perlu saya nyebut ini sebagai 'Unofficial Sekuel of Ku Menunggu: NaruSasu Edition'? Ga usah kali ya *u*
Saya tau ini pendek, saya tau ._. dan saya akan berusaha memanjangkan cerita ini di chapter— ya kalo ada yang pingin saya ngelanjutin cerita ini.
Ehm, saya bikin Gaa-chan posesif disini. Dan ga seperti di Ku Menunggu: NaruSasu Edition yang ada slight pair SaiGaa, disini kemungkinan tidak ada pair itu.
Dan tolong review, kritik, saran dan sebangsanya supanya saya ngerti dimana bolong dan cacatnya ini cerita atau apa saya harus ngelanjutin cerita ini ato malah engga?
Oh ya, buat yang sudah nunggu updet-an fic saya yg lain *emangnya ada? -_-*, diusahakan minggu depan sudah update semua :)
So, wanna gimme some review? *hugs*
