Gundam Seed/Destiny © Bandai, Sunrise—Matsuo Fukuda and team
Tidak ada keuntungan material yang didapat dari cerita ini
LITTLE WIND © 2017 Vereinigte Autoren
KAGUYA, awal Maret. Athrun Zala berjalan melewati jembatan tak bernama menyeberangi sungai Murasame sembari menjejalkan tangan dalam saku mantel dan mengembuskan uap dari helaan napas. Ia berumur tujuh belas, siswa SMA ORB International yang memiliki cukup kredit untuk lulus tahun ini—meski masih di tahun kedua—dan seorang penulis berbakat. Tak banyak siswa SMA yang pernah menulis best-seller—walaupun dengan nama samaran—Athrun punya enam buku dalam lima tahun terakhir. Prospek hidupnya sendiri juga cukup cerah. Keluarganya baik-baik saja—selama kenyataan bahwa hubungan antara ia dan ayahnya yang agak renggang sejak ia memilih pindah dari PLANTs tidak termasuk, karena di sisi lain ibunya mendukung keputusannya dan hubungan mereka baik-baik saja—ia punya beberapa teman di sekolah, dan seorang pacar tetap bernama Cagalli.
Pendek kata, hidupnya tenang dan sempurna. Jika semuanya berjalan lancar, ia mungkin akan menikah dengan Cagalli dan hidup dari royalti bukunya yang sampai saat ini masih terus dicetak ulang—meski sudah masuk cetakan ketiga—di apartemen mewah di tengah kota sembari membantu gadis itu mencari mimpinya. Cagalli pernah berkata ia ingin menjadi balerina, lalu penyanyi, atlet senam lantai, perangkai bunga, aktris, gitaris, perenang, surfer, detektif, dan sebagainya. Tetapi semua itu masih terus berganti, dan Athrun maupun Cagalli sama-sama belum tahu dimana akhirnya.
Hari sudah gelap ketika itu dan ia ingin segera tiba di apartemennya. Ia lelah, tiga ujian dalam satu hari sudah cukup untuk membuat kepalanya serasa mau pecah, dan ia mulai kedinginan. Benaknya membayangkan kentang panggang dan sup borsch yang kemarin dimasaknya bersama Cagalli sewaktu gadis itu main ke tempatnya dan segelas besar teh panas.
Ia lalu berbelok di samping toko buku tua dan masuk ke jalan sepi di belakang distrik perbelanjaan. Senyum tipis menghiasi wajahnya sewaktu matanya menangkap bangunan yang menjadi tempat tinggalnya selama tiga tahun terakhir. Berjalan mendekat, Athrun lalu memasuki lobi dan melangkahkan kaki dengan mantap menuju lift yang terbuka, bersiap naik ke lantai tempat apartemennya berada.
Ia sudah berada di dalam lift yang bergerak naik sewaktu merasakan ponselnya berbunyi dalam saku. Sambil menghela napas, ia meraih benda itu dan membukanya. Tampak sebuah pesan singkat dari Cagalli yang hanya membutuhkan dua detik untuk dibaca karena hanya berisikan: Hai, sudah sampai rumah?
Athrun tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya dan tampak lebih hangat. Di antara hal yang disukainya dari gadis yang sudah menjadi pacarnya setahun belakangan adalah sikapnya yang tidak kemanja-manjaan seperti gadis-gadis pada umumnya. Cagalli menemukan hal ini mengganggu karena mantannya pernah berkata berpacaran dengannya tidak terasa seperti berpacaran dengan perempuan. Athrun tidak sepakat. Ia malah menemukan hal itu menyenangkan karena pada dasarnya, ia tidak pernah suka pada tipe perempuan yang manja. Membuatnya teringat pada sepupunya yang menyebalkan dan suka memintanya berpose sebagai 'pacar' untuk membantunya menyudahi hubungannya dengan beberapa pacarnya di masa lalu—Meer Campbell.
Itu dan satu lagi. Yaitu cara Cagalli mengkhawatirkannya. Ketulusannya. Juga kemampuannya menyatakan perhatian tanpa drama atau semacamnya. Semua itu adalah beberapa hal singkat yang telah membuat dirinya begitu menikmati hubungan mereka. Di samping fakta bahwa seperti halnya ia sendiri, Cagalli juga tumbuh bersama seorang ayah yang menginginkan dirinya meneruskan pekerjaannya, mengikuti jejak langkahnya, hidup dalam bayang-bayang ketenaran, dan nama besarnya.
Tetapi kalau ayah Athrun adalah Patrick Zala, sang ketua Departemen Pertahanan PLANTs yang dikenal berdarah dingin dan ketat luar biasa, ayah Cagalli adalah Uzumi Nara Athha, seorang pewaris pemerintahan ORB. Seorang politisi yang terkenal karena semangat dan transparansinya, dan membuat Cagali—katanya—bahkan mual setiap mendengar kata politik atau sesuatu yang berhubungan dengannya.
Pintu lift terbuka, Athrun melangkah keluar dan mengetikkan balasan pesannya: Sudah, terima kasih. Kau sendiri?
Chapter 1
A Girl
Berjalan di koridor menuju apartemennya, Athrun sama sekali tidak merasakan firasat buruk mengenai apa yang menantinya di depan pintu masuk. Tetapi ketika melihat sesosok makhluk bertubuh mungil berdiri di pintunya dari ujung lorong, ia terpaku. Firasat buruk mulai menjalari benaknya.
Rambut merah muda...
Gadis itu menoleh ke arahnya. "Athrun Zala?"
Mata biru...
Ia memutar tumitnya dan mengangguk sopan."Namaku Lacus Clyne."
Oh, tidak...
"Aku..." ia tak meneruskan ucapannya yang terdengar ragu. Lalu dengan satu helaan napas, Lacus mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya dan mengulurkan benda itu pada Athrun. "Ini, dari ibuku."
"Oh," Athrun melangkah mendekati gadis itu dan menerima benda yang diulurkannya. Yang ternyata adalah sebuah surat yang dilipat rapi, namun tidak diberi amplop. Khas Meer sekali.
Athrun menatap surat di tangannya, gadis itu, dan berkesah panjang. Memikirkan berbagai hal yang mungkin mendasari kedatangan gadis itu namun memilih mengurungkannya. "Masuklah, kita bisa bicara di dalam."
Gadis itu mengerjap dan mengangguk. "Kalau tidak terlalu mengganggu."
Ia menggeleng, lalu membuka pintu dan mengisyaratkan pada gadis itu untuk masuk ke dalam apartemennya. "Tentu saja tidak, silahkan."
Athrun mempersilahkan gadis itu masuk dan mengikutinya. Ia menutup pintu, menggantung mantel, membuat teh, pergi ke kamar untuk berganti pakaian, lalu duduk di meja makan ketika akhirnya membuka surat itu. Lacus—atau siapapun nama gadis itu—duduk di sebelahnya, meneguk teh dengan perlahan sembari memegang cangkir dengan hati-hati—seolah benda itu akan jatuh jika dia tidak melakukannya.
Dear Athrun,
Aku ingin kau menjaga Lacus, sebentar. Oke? Setidaknya sampai aku menemukan orangtua angkat untuknya. Lagipula kau tinggal di ORB kan? Jauh dari pengawasan Paman Pat dan Bibi Len. Mereka tidak akan tahu, begitu juga dengan orangtuaku.
Aku akan menebusnya kali berikutnya kita bertemu. Thanksgiving? Kedengarannya oke. Semoga saja aku sudah bisa menemukan orangtua yang tepat untuk Lacus-ku saat itu. Wish me luck, little cos?
MC
Athrun menghela napas lalu menatap gadis itu sekali lagi. Kali ini dengan pandangan menyelidik. "Jadi... mmm... Lacus?" ia memulai, "Bisa kita ulang lagi perkenalannya? Yang tadi itu, agak..."
"Tidak sopan?" Lacus menatapnya dengan pandangan bersalah. Kedua mata biru-kelabunya membulat dan berkaca-kaca, membuat Athrun hampir tidak yakin kalau gadis di hadapannya ini benar-benar anak perempuan Meer. Sebab seingatnya, Meer adalah tipe gadis yang paling dibencinya. Gadis pesolek manja yang terlalu mudah dan terlalu salah dalam bergaul. Lacus—dan sikapnya yang kelihatan begitu pemalu serta rendah diri—sama sekali tidak cocok dengan definisinya.
"Aku bermaksud mengatakan terlalu singkat," Athrun mengangkat bahu. "Tapi ya... sudahlah."
Kemudian ia mengulurkan tangan. Meski tidak begitu setuju dengan keputusan si sepupu yang seenaknya, tapi Lacus tidak terlihat seperti masalah. Sepertinya ia bisa melakukannya. "Baiklah, aku Athrun Zala, tujuh belas tahun. Sepupu ibumu, mungkin."
Lacus mengangguk, lalu membalas uluran itu hingga mereka saling berjabat tangan. "Lacus Clyne, enam tahun. Nama belakangku diambil dari nama kakek ibu."
"Aku tahu," kata Athrun, "kakek Siegel. Ibumu kesayangannya."
"Mmm... Paman Athrun," ujar gadis kecil itu dengan suara pelan.
"Ya?"
"Aku lapar."
"Oh, benar," Athrun teringat kalau ia sendiri juga belum makan dan kelaparan. Maka iapun bangkit dan langsung menuju dapur, memeriksa kulkas dan berharap punya makanan yang bisa dimakan olehnya, dan oleh si keponakan kecil. "Ada yang kau inginkan?"
Lacus tersenyum singkat dan menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Athrun mengendikkan bahu. "Baiklah," katanya, lalu memutuskan untuk tetap pada rencana awalnya, memanaskan sup borsch sisa kemarin dan memanggang kentang. Ia agak merasa bersalah karena menghidangkan makanan sisa pada seorang gadis kecil berusia enam tahun, tapi merasa tak punya pilihan. Sup borsch sisa kemarin atau makanan cepat saji dari kedai junk food terdekat, kedengarannya lebih sehat sup borsch.
Lima belas menit kemudian dua mangkuk sup sudah jadi. Ia sudah meletakannya di atas meja dan mengisi ulang tehnya. Mereka makan dengan tenang—tidak, terlalu tenang malahan—dan Athrun semakin bertanya-tanya apakah gadis kecil ini benar-benar anak sepupunya.
Sesudahnya ia mencuci piring dan menyuruh Lacus bersiap-siap tidur—mencuci muka, gosok gigi, dan berganti dengan baju tidur, lebih tepatnya. Tidak seperti dugaannya, anak itu begitu patuh. Ia langsung mengerjakan suruhannya pada kali pertama. Dan setelah selesai mencuci piring, Athrun mengajaknya duduk di sofa dekat dapur untuk membicarakan pengaturan tidur.
"Aku bisa tidur di sofa kalau kau tidak keberatan," jawab Lacus tepat setelah ia memulai diskusi mereka.
"Masalahnya aku keberatan, Lacus," alisnya berkerut. Di benaknya Athrun membayangkan gadis kecil itu tidur di sofa sementara ia berbaring nyaman di tempat tidurnya sendiri dan mendadak tak sanggup memikirkannya. Bahkan ayahnya yang ketat dan kadang tidak terlalu manusiawi saja masih membiarkannya tidur di tempat tidur, sekalipun mereka habis bertengkar hebat. "Kau akan tidur di kamar."
"Kamar?" Lacus menaikkan sebelah alis dengan gerakan lembut. "Apa itu artinya kau yang akan tidur di sofa?"
Jeli sekali anak ini, pikir Athrun. Dia bahkan menyadari dengan cepat kalau hanya ada satu kamar di tempat ini.
"Tidak juga," ia menjawabnya. "Kau enam tahun, bukan enam belas. Menurutku kita bisa berbagi tempat tidur. Lagipula kasurku queen-sized."
Kening gadis itu berkerut samar. "Tapi Ibu bilang aku tidak boleh membuatmu repot."
"Aku tidak ingat mengatakan kalau berbagi tempat tidur membuatku repot."
"Oke," kemudian ia kembali ceria. "Aku setuju."
"Kalau begitu sudah diputuskan."
Hello, minna-san.
This fic actually is a collaboration between Erehmi and I—Kaoru Hiyama, and due to the fact that it seems unfair to put it in one of ours, I asked whether or not this story can be put it here.
And... since they say ok. Here it goes.
Let me know what you guys think regarding this. Constructive criticisms are the most welcome~
