My Dearest Baby

MinYoon

= A BTS Fanfiction =

Romance, Drama, Family, Hurt/Comfort

Rate M

Warning! BL, typo(s), Major OOC, Language, etc

.

.

BTS © Big Hit Entertaiment

.

.

Story © BabySugarSeoltang


Chapter 1 ; My Baby


-Yoongi-

Aku tidak pernah menyukai musim panas. Angin terus bertiup kencang dan membawa debu ke dalam apartemen kecilku lewat sela bawah pintu, aku perlu membersihkannya berulang kali. Matahari selalu terik di atas, baju yang kupakai menempel tidak nyaman di tubuh karena basah oleh keringat. Lebih lagi, aku masih harus pergi, menjalani rutinitasku di universitas sampai pengumuman libur dikeluarkan pihak universitas dan ditempel di papan pengumuman koridor.

Mataku mengedar ke sekitar kantin universitas, terlalu banyak mahasiswa berkumpul di sini. Sama saja, aku tak dapat menikmati angin yang hari ini bertiup lumayan menyejukkan. Aku memutuskan untuk pulang lebih cepat. Aku akan mengerjakan tugasku di perpustakaan kota saja, lagipula aku tidak dapat berkonsentrasi dengan bisingnya lingkungan universitas. Aku butuh nilai bagus, aku masuk ke universitas ini karena beasiswa, aku tidak bisa bermain-main. Tidak ada waktu untuk bersantai bagiku atau aku akan dikeluarkan rektor saat itu juga.

"Yoongi!"

Aku menoleh, namaku diteriakkan begitu kencang hingga hampir setengah mahasiswa di kantin memperhatikanku. Ya, hampir semua orang mengenal siapa Min Yoongi sang murid beasiswa di universitas ternama yang penuh dengan orang-orang kaya ini.

Sosok Jin-hyung yang berlari kecil dapat aku lihat. Dia berhenti di depanku, mengambil napas sebentar setelah berlari. Tampaknya dia berlari dari gedung sebelah untuk mencariku. Jin-hyung mengambil jurusan kuliah yang berbeda denganku, aku mengambil jurusan arsitektur sedang Jin-hyung mengambil kedokteran. Dia tiga tingkat di atasku, dan Jin-hyung adalah sahabatku yang sudah kuanggap seperti kakakku kandungku. Dia banyak menghiburku sejak dahulu.

"Ada apa, Hyung? Ada perlu?"

Jin mengangguk cepat. Ia masih mencoba mengambil napas, memberiku gestur dengan tangannya agar aku menunggu hingga ia dapat bernapas normal. Aku hanya berdiri seperti patung di depan Jin-hyung, aku memperhatikan rambutnya yang dicat pirang telah menghitam kembali di bagian akar.

Setelah berhasil mengambil napas dia tiba-tiba mencengkeram pundakku kuat dan memandangku dengan mata besarnya. Apa-apaan ini? Apa aku bersalah? Kesalahan apa yang kuperbuat?

"Yoongi! Malam ini temani aku lagi, ya?"

Aku mengerutkan dahiku, Jin-hyung memohon dengan wajah yang memelas. Ia bahkan mengatupkan kedua tangannya di depan mukanya, benar-benar putus asa. "Menemani apa, Hyung? Jangan bilang kau menerima ajakan Namjoon untuk ke club lagi malam ini."

Ia membalas pertanyaanku dengan cengiran lebar, seolah mencoba membuatku melupakan kesalahannya –tentu saja hal itu tidak akan berhasil.

Aku mendecakkan lidahku. "Hyung! Sudah kukatakan untuk tidak main-main ke club lagi, 'kan? Duh, kau mau cari masalah denganku, Hyung? Berbahaya kalau pria secantik kau sampai pergi ke club!"

"Hei, aku tidak cantik! Aku tampan –Ah! tinggalkan itu untuk nanti, kembali ke topik awal! Tapi ini ajakan kencan keduaku! Aku masih belum terbiasa berduaan saja dengan Namjoon, Yoongi. Kumohon, tolong aku!"

Aku memutar mataku malas. Benar-benar kebohongan besar, 'tidak terbiasa' katanya, lalu siapa yang sibuk bercumbu mesra dengan calon kekasihnya ketika mabuk hingga melupakan sahabat yang ia ajak. Aku bahkan harus pulang sendiri naik taksi karena Jin-hyung dan Namjoon sibuk di kamar yang mereka pesan di lantai dua.

"Tidak, tidak. Kau akan melupakanku lagi kalau kau sudah mabuk. Kau pembohong buruk, Hyung. Kau bilang kau tidak terbiasa berduaan, tapi kau malah sudah melakukan seks dengannya malam itu, di kencan pertamamu. Kalian bahkan belum resmi berpacaran malam itu." Aku berucap sembari membereskan laptopku dan memasukkannya ke dalam tas.

Jin-hyung membekap mulutku seketika itu, aku mengerutkan dahiku dan memandangnya kesal. Dia menempelkan telunjuknya di depan bibir untuk menyuruhku diam. Banyak mahasiswa yang mendengar perkataanku sepertinya, mereka menoleh memandang kami. Yah, masa bodoh, lagipula yang kukatakan barusan sudah terlanjur terucap, tidak bisa dilupakan semua orang begitu saja. Jin-hyung dengan rona merah di pipinya menyeretku ke koridor universitas menuju toilet –di sana sepi, kami bisa berbicara lebih bebas.

"Lepaskan, Hyung, kau membuatku sesak napas!"

Jin-hyung melepaskan bekapannya dari mulutku kemudian memandangku lagi, kembali memohon. "Ayolah, Yoongi … yang –yang barusan kau katakan tadi itu hanya berlaku kalau aku sedang mabuk saja. Berbeda cerita kalau aku sedang dalam keadaan sadar!"

Aku menghela napas. Benar-benar pandai mencari alasan. Aku tidak suka pergi ke club, aku telah pergi ke sana sekali, ya waktu Jin-hyung mengajakku. Aku benar-benar langsung membenci club begitu aku menginjakkan kakiku di sana, bau rokok yang menusuk dan membuat tenggorokan tidak nyaman, bau keringat bercampur bau parfum yang menyengat. Aku tidak suka semua tentang club kecuali alkohol. Mereka menyediakan alkohol impor yang enak, aku tidak akan menolak jika Jin-hyung mentraktirku sebotol atau bahkan segelas alkohol saja. Tapi kenyataannya adalah Jin-hyung langsung meninggalkanku sendirian begitu ia duduk bersama Namjoon.

Aku juga tidak tahu di mana Jin-hyung bisa mengenal Namjoon. Namjoon memang senang pergi ke club, tapi sejauh yang aku lihat dia adalah orang yang baik –setidaknya untuk sekarang dan dalam pengawasanku. Namjoon memperhatikan Jin-hyung dengan baik, bahkan aku dapat melihat Jin-hyung dimanjakan olehnya. Pria itu membelikan Jin-hyung benda-benda mahal, entah pakaian, dompet, apapun itu. Aku hanya tahu pekerjaannya adalah rapper dan ia –uh … membuka usaha sendiri kalau aku tidak salah ingat. Aku tak pernah ikut campur terlalu banyak dalam kehidupan percintaan mereka.

"Baik. Ini yang terakhir aku ikut denganmu, Hyung. Setelah itu, kau tidak akan pernah memintaku lagi untuk ikut di kencanmu, oke? Aku jadi merasa bersalah pada Namjoon, ini kencan kalian. Aku tahu dia tidak mengharap kedatangan orang lain, meski itu sahabat kekasihnya sekalipun. Aku tahu dia ingin bebas … mengelus tubuhmu, ia akan melakukannya jika tidak ada aku dalam pandangannya."

Jin-hyung memerah malu. Oh, betapa aku menyukai menggodanya tentang Namjoon. Jin-hyung sekarang tampak seperti gadis SMA yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku hanya menggelengkan kecil kepalaku.

"Uh, ya, aku bisa lihat matanya. Kau tidak perlu mengatakannya dengan jelas seperti itu! Tapi terima kasih ngomong-ngomong. Aku berhutang padamu, Yoongi-ah."

Aku tersenyum lebar. "Segelas alkohol terbaik di bar akan melunasi hutangmu, Hyung."

"Hei, katakan saja kau ingin kutraktir." Jin-hyung mengerucutkan bibirnya, ia mengajakku kembali ke koridor utama.

Aku menggeleng. "Itu kewajibanmu, Hyung. Kau meninggalkanku begitu sampai di club."

"Oke, oke! Aku kalah, kau menang. Maafkan aku, aku akan mentraktirmu menu spesial racikan Ken malam ini, bagaimana?"

"Oh? Jaehwan-hyung ada shift malam ini?"

Jin-hyung mengangguk. "Ya, dia bintang utama di bar, para pelanggan sangat suka dengan minuman khusus buatannya. Kau juga suka, 'kan?"

"Ya, alkohol Jaehwan-hyung yang terbaik. Oke, setuju." Aku menepuk pundak Jin-hyung. "Aku pergi ke perpustakaan kota dulu, ada tugas yang harus kuselesaikan. Sampai ketemu nanti malam, Hyung." Aku berlari secepat mungkin, aku sudah menghabiskan banyak waktu yang dapat kugunakan mengerjakan tugas karena Jin-hyung.

"Aku akan menjemputmu jam sembilan! Pakai baju yang seksi!"

Aku menoleh kepadanya, memberikan tatapan tajam. Astaga, apa dia tidak tahu malu, ini koridor universitas –yah, tapi koridor yang sepi. Aku memutar bola mataku malas dan segera berlari, tidak memperdulikan protes Jin-hyung karena aku tidak mengacuhkannya.

.

.

.

Aku menghela napas panjang. Jin-hyung langsung menarik tanganku begitu kami sampai di depan club. Tapi sikapnya berubah berbanding terbalik begitu kami menghampiri meja Namjoon. Aku duduk agak jauh dari mereka, aku bisa melihat Jin-hyung yang terus bersikap malu-malu di depan Namjoon.

Apa semua orang yang sedang jatuh cinta seperti ini? Aku tidak pernah jatuh cinta selama 20 tahun hidupku, aku tidak tahu bagaimana rasanya.

"Hyung, kau sudah berjanji mentraktirku malam ini."

Aku lelah. Aku mual melihat kemesraan mereka yang menurutku … berlebihan. Aku ingin minum segelas alkohol kemudian duduk di bar dan akhirnya pulang naik taksi. Ya, ini sudah menjadi sebuah kebiasaan bagiku. Tidak apa-apa, aku mandiri dan aku bisa pulang sendiri –tanpa sepengetahuan Jin-hyung. Dia akan memarahiku lagi seperti kejadian sebelumnya. Itu juga tidak apa-apa, aku sudah biasa dimarahi.

Aku melihat Jin-hyung yang memutar bola matanya malas. "Oke, pesan sesukamu. Katakan pada Jaehwan untuk memberikan tagihannya padaku."

Aku menyengir lebar, mengangguk dan segera berlari kecil ke bar tentunya setelah mengucapkan terimakasih. Aku tahu tata krama!

Kursi bar tak banyak terisi malam ini, mungkin jam 10 lebih masih kurang larut bagi pelanggan club. Aku menoleh dan memperhatikan lebih banyak orang yang tertarik untuk turun ke lantai dansa dan menikmati musik yang berdentum kencang. Aku menghela napas dan duduk di hadapan Jaehwan-hyung, dia rapi dengan seragam kemeja hitam dan dasi merahnya.

"Hyung!"

Jaehwan-hyung menoleh karena terkejut. Ia terlalu sibuk membersihkan botol-botol alkohol di rak bar. Dia tersenyum kecil begitu melihat kehadiranku, ini kedua kalinya aku bertemu Jaehwan-hyung dalam shift-nya di bar tapi aku sangat menikmati minuman yang ia buat.

"Oh, Yoongi. Kau bersama Jin lagi?"

Aku mengangguk kecil.

"Dimana dia –oh, tunggu! Biar aku tebak. Dia sedang bermesraan dengan Namjoon?"

Aku mengangguk lagi dengan tawa kecil. Ibu jariku menunjuk meja paling ujung –tempat kesukaan Namjoon untuk bermesraan dengan Jin-hyung–.

Jaehwan-hyung tertawa kecil dan menggeleng."Oke. Kau mau minum apa?"

"Buatkan aku menu spesial andalanmu, Hyung. Aku menyukai minuman yang kau buat kemarin, itu benar-benar enak. Aku ingin sesuatu yang baru hari ini, sesuatu yang manis. Ah, Hyung, jangan lupa untuk menagih minumanku pada Jin-hyung."

Dia tertawa kecil sebelum mengacungkan ibu jarinya kepadaku dan segera beranjak untuk membuatkanku minuman. Aku bersenandung kecil, berusaha mengalihkan rasa bosanku. Tidak ada hal lain yang dapat kulakukan di club selain memesan alkohol. Aku buka penari dan perayu handal, dan aku tidak pernah mencobanya –mungkin tidak akan selamanya. Aku tidak akan mungkin turun ke lantai dansa dan mencari lelaki atau wanita untuk menemaniku semalam. Tidak, tidak, tentu saja tidak –garis bawahi dan cetak tebal kata tidak.

"Ini, minuman coklat dengan sedikit sirup raspberry, sedikit white chocolate liqueur dan baileys. Aku harap kau suka, karena kudengar dari Jin kau suka coklat."

Aku memiringkan kepalaku ke kiri, memperhatikan gelas yang diisi Jaehwan-hyung dengan minuman kesukaanku –coklat. "Kau benar-benar mengerti seleraku, Hyung."

Jaehwan-hyung tersenyum lebar dengan bangga. Dia memang belajar tentang selera pelanggan tetap dengan cepat. Dia selalu ingat kesukaan tiap pelanggan. "Baiklah. Selamat menikmati."

Aku mengangguk kecil dan meraih kaki gelas itu, menikmati isinya dengan perlahan. Rasa manis dari coklat dan pahit alkohol menyebar di mulut, kerongkonganku terasa hangat. Aku tersenyum kecil menikmati rasanya, benar-benar sesuai seleraku. Aku perlu memberi tip lebih untuk Jaehwan-hyung, dia benar-benar bartender yang berbakat.

Sambil menikmati alkohol racikan Jaehwan-hyung, aku mengedarkan mataku ke sekeliling club. Sudah ada banyak orang sekarang di dalam club, sekarang sudah jam setengah sebelas. Semakin malam, semakin ramai pula club. Tentu saja semua orang tahu fakta ini. Aku memperhatikan beberapa lelaki yang berdiri di tepi lantai dansa.

Tunggu.

Aku mengusap mataku beberapa kali dengan kasar. Aku berharap aku hanya terlalu mabuk sehingga aku berhalusinasi. Tapi percuma, apa yang kulihat di depan mataku memang sebuah kenyataan. Aku mendecakkan lidahku kesal, aku meletakkan gelas di atas meja bar dan melangkahkan kakiku dengan hentakkan ke arah tepi lantai dansa.

Seorang lelaki muda di tepi lantai dansa tidak sadar aku sedang menuju ke arahnya, dia baru sadar begitu aku berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, tepat di sampingnya dan orang-orang yang kuduga adalah teman-temannya.

"Park Jimin."

Lelaki itu terlonjak kaget dan menoleh kepadaku. Dia tampak ketakutan tapi di detik berikutnya dia tampak marah. Benar-benar temperamental! Ia ketakutan, kemudian tak sampai 5 detik ia telah memarahiku.

"Kenapa Yoongi-hyung di sini?! Ada masalah denganku pergi ke club?!"

Aku memijit pangkal hidungku kesal. "Kau belum cukup umur. Dari mana kau mendapatkan ijin masuk? ID palsu, hm, Park Jimin?"

Aku meninggikan suaraku. Anak itu terlihat tidak dapat membalas ucapanku beberapa saat. Mungkin dia sedang menyusun kalimat protes berisi makian yang ditujukan kepadaku.

"Lagipula Yoongi-hyung saja sudah minum alkohol sejak SMP. Kenapa Hyung harus memarahiku?!"

Sial. Bagaimana anak ini bisa mengetahui hal yang bahkan tidak diketahui siapapun. Aku memang mulai meminum alkohol di tahun terakhirku di SMP. Alkohol pertamaku adalah sekaleng bir lokal yang kubeli di minimarket dekat rumah –mereka tidak meminta pelanggan menunjukkan ID mereka, aku beruntung.

Aku mendecak kesal.

"Kau bocah nakal, cepat pulang sekarang!"

Jimin semakin marah. Teman-temannya juga tampak marah kepadaku meski mereka tidak melakukan apapun. Matanya melotot tajam kepadaku.

"Hyung tidak berhak memintaku pulang!"

"Oh, ya, tentu aku berhak. Kau mau aku melaporkanmu kepada appa?! Kau lupa, hm? Aku bisa saja menghubungi appa dan eomma kapan saja."

Lihat. Anak itu sekarang tampak gugup, tapi tetap saja memasang tampang marahnya. Aku menggeleng kecil.

"La –laporkan saja! Kalau Hyung berani!"

Aku memandang Jimin tajam, aku langsung mencengkeram pergelangan tangannya erat. "Anak ini. Sekarang kau ikut aku, mau tidak mau. Aku tidak memperdulikan pendapatmu."

"Tidak!"

Jimin berusaha melepaskan genggaman erat tanganku, aku semakin mengeratkannya dan membuat Jimin berteriak kecil karena sakit. Aku langsung menarik Jimin keluar dari club, aku membawanya ke jalan kecil di belakang.

Walaupun aku tidak tega, aku tetap membanting tubuhnya hingga punggung itu menabrak dinding bata merah di belakangnya. Tidak apa-apa, dia lelaki –dia pasti kuat. Aku mencengkeram kedua lengannya agar dia tak dapat kabur.

"Park Jimin! Sekarang diam dan dengarkan aku!"

Jimin menggeleng keras, berusaha menendangku agar aku melepaskannya.

"Tidak! Hyung tidak dapat membuatku mendengarkanmu!"

"Park Jimin! Diam! Dengarkan aku sekarang!"

Anak itu langsung diam. Aku membentaknya begitu kasar dengan keras. Dia tampak begitu marah kepadaku, tatapan matanya tajam seolah menyiratkan kebencian mendalam.

"Ada apa denganmu, hah?! Kau ini masih kecil, tidak bisa sembarangan pergi ke club. Bocah bodoh."

Jimin memberontak lagi. "Tidak! Aku sudah dewasa!"

"Jimin! Kau sudah ada di tahun terakhirmu di SMA, kau akan menghadapi ujian akhir. Pikirkan itu! Apa kau mau dikeluarkan begitu saja dari sekolah jika ketahuan memalsukan ID dan pergi ke club? Kau harus mengulang satu tahun lagi, karena kau tidak akan mungkin mengikuti ujian akhir."

"Appa appa akan membantuku! Dia tidak akan membiarkan aku dikeluarkan. Akan lebih baik kalau aku dipindahkan ke sekolah lain! Ini bukan masalah besar bagiku, Hyung."

Aku terdiam, aku hanya bisa memandangi wajah Jimin. Aku tidak dapat mengatakan apapun yang dapat merubah pendirian dan keyakinannya sekarang ini. Kurasa dia benar-benar mewarisi sifat ayahnya.

"Jimin. Ini bukan bagaimana appa akan menangani masalahmu. Kau mengatakan bahwa kau sudah dewasa, kau harus bisa bertanggungjawab. Appa akan memarahiku kalau kau seperti ini. Appa pasti menganggap aku yang menularkan keburukan kepadamu. Sekarang, kau pulang. Akan kuantar."

Jimin tidak bergerak dari tempatnya ketika aku menarik tangannya. Dia menundukkan kepala, tapi aku dapat melihat air mata menetes.

Aku menghela napas, aku menghampirinya dan memeluk tubuh yang masih lebih pendek dariku itu. "Jangan menangis. Maaf, Hyung memarahimu, hm? Maafkan Hyung. Sekarang kau pulang, Appa dan Eomma akan khawatir mencarimu." Aku mengelus rambutnya, dia benar-benar manja.

"Tidak, appa dan eomma tidak akan mencariku."

Aku menghela napas lagi. Kurasa ada hal yang tidak beres hari ini –seperti hari-hari sebelumnya. Aku menangkup kedua pipi tembamnya di tanganku, membuat dia mendongak dan menatap mataku. "Oke. Ada apa, hm? Mau bercerita pada Hyung?"

Jimin tampak ragu. Dia terdiam dan menarik ujung baju yang kukenakan.

"A –aku mau menginap di apartemen Yoongi-hyung."

Aku memainkan rambutnya. "Jimin, appa dan eomma akan mencarimu. Kau harus pulang."

"Ti –tidak, appa dan eomma sedang tidak ada di rumah. Aku –aku akan menghubungi Kim-ahjussi."

Aku mengangguk kecil. Anak ini selalu punya cara untuk membuatku menuruti keinginannya. Dia kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan menelepon Kim-ahjussi –dia adalah kepala pelayan di kediaman Park.

Melihatnya menelepon Kim-ahjussi, aku juga mengeluarkan ponselku untuk memesan taksi dan menghubungi Jin-hyung.

.

.

.

Kami –Jimin dan aku sama-sama terdiam. Dia duduk manis di atas sofa apartemenku dan aku sedang sibuk menyiapkan makan untuknya. Astaga, dia bahkan belum makan malam. Kurasa dia telah menghabiskan seluruh uang sakunya bulan ini, kemudian karena kesalahannya sendiri dia mengadu dan merengek padaku. Yah, tapi kalau mengetahui seberapa orang tua kami memanjakan Jimin, mereka pasti akan memberi lagi nanti. Tidak masalah kalau begitu, aku tidak perlu khawatir berlebihan.

"Jim, kau sudah mandi?" Aku menoleh, mengaduk sup ayam pedas dalam panci.

Dia menggeleng pelan. Aku menghela napas.

"Sana mandi, nanti kau sakit. Makan malam akan siap setelah kau selesai mandi, jangan lupa pakai air hangat, jangan air dingin! Kau bisa pakai handuk dan pakaianmu yang kau tinggalkan di apartemenku."

Jimin memutar bola matanya dan mendecak. "Yoongi-hyung benar-benar cerewet sekarang, ya?"

"Ya! Bocah kurang ajar! Aku ini memperhatikanmu!"

Jimin menjulurkan lidahnya padaku kemudian berlari ke kamarku, ada 1 kamar mandi pribadi di apartemen ini dan 1 kamar mandi di luar kamar untuk tamu. Anak itu benar-benar membuatku naik darah, kepalaku sakit mengurus anak nakal yang keras kepala itu. Sangat melelahkan, dia tidak seperti ini sewaktu kami masih kecil! Dia anak yang manis dan penurut, dia selalu mengikuti ke mana pun aku pergi waktu kami masih kecil.

Sambil menunggu Jimin selesai, aku sibuk menyiapkan alat makan untuknya. Aku tidak akan makan lagi, ini sudah malam. Makan malam akan mengacaukan dietku. Aku melirik jam dinding di ruang tengah, sekarang sudah tengah malam lewat. Yah, kurasa ini tidak apa-apa sesekali, karena besok adalah hari Minggu. Anak itu terlalu sering tidur pagi karena sibuk bermain game.

"Hyung, aku selesai."

Aku melirik Jimin, dia sudah selesai.

"Cepat sekali? Kau tidak membasuh rambutmu?" Aku kembali mengaduk sup sekali lagi dan mematikan api.

"Mhm, tidak. Aku tidak ingin tidur dengan rambut yang basah. Besok pagi saja aku membasuhnya."

Aku mengangguk. "Duduklah. Aku akan memindahkan supnya dulu."

"Apa yang kau masak, Hyung?"

Aku memindahkan panci ke atas tatakan di atas meja makan. Aku membuat sup terlalu banyak, kurasa aku bisa menjadikannya makan siangku besok.

Jimin mengintip isi panci dan matanya langsung berbinar. Sejak dulu, ketika kedua orang tua kami sibuk, aku sering memasak untuk Jimin. Dia tidak menyukai masakan koki pribadi kami di rumah, dia sering merengek dan memintaku untuk memasak sesuatu. Kurasa hal itu berguna sekarang, karena aku tinggal sendirian.

"Makanlah, setelah itu terserah kau. Besok hari Minggu, kau boleh bermain sepuasnya, tapi jangan tidur terlalu pagi."

Aku membereskan beberapa alat masak dan mengelap tanganku, aku harus pergi menyelesaikan tugas yang tertunda karena undangan Jin-hyung.

"Hyung tidak makan? Yoongi-hyung mau ke mana?"

"Aku harus menyelesaikan tugasku, Jim. Kalau kau mencariku aku ada di kamar. Oh, aku akan meminta penjelasanmu tentang hari ini di club. Jangan lupa, kau tidak bisa kabur dariku. Habiskan dan letakkan saja di tempat cuci, akan kubereskan besok. Setelah itu kita bicara."

Aku langsung meninggalkannya di meja makan. Aku butuh waktu lumayan banyak untuk menyelesaikan tugas ini dengan sempurna. Aku butuh sumber bacaan dari internet dan buku-buku lama di perpustakaan. Setidaknya sebanyak itulah seorang pelajar dengan beasiswa harus bekerja keras.

Tanpa sadar aku telah menghela napas panjang. Tubuhku terasa pegal dan lelah. Aku telah mengerjakan banyak hal hari ini, tapi tugas masih menungguku di atas meja. Aku harus bergerak cepat, dengan begitu aku dapat tidur lebih awal dari biasanya.

"Hyung?"

Aku menoleh, berhenti membalik halaman kertas-kertas hasil dari bahan yang kukumpulkan di perpustakaan kota tadi siang. Jimin mengintip ke dalam kamarku yang gelap, aku lebih suka bekerja dalam gelap. Hanya kepalanya yang dapat kulihat dari dalam kamar. Aku memanggilnya masuk dengan gestur tanganku.

"Duduklah di atas tempat tidur. Kau harus bercerita soal kemarin malam di club." Aku melirik jam digital yang berpendar dengan cahaya merah di nakas samping tempat tidurku.

Jam 1:04

Jimin duduk dan menghela napas perlahan. Aku memutar kursiku agar menghadap sosoknya.

"Jadi, sekarang, berikan aku alasan bagus agar aku dapat memaklumi sikapmu. Kenapa kau harus pergi ke club? Dengan ID palsu."

Jimin menundukkan kepalanya. Kurasa dia tidak memiliki pembelaan apapun.

Aku menghela napas panjang. Aku berdiri dan memeluk Jimin dengan posisiku berdiri di depannya.

"Jimin, kenapa? Kau ada masalah? Ceritalah."

Jimin memeluk pinggangku dan menggenggam ujung bajuku erat, tubuhnya bergetar dan aku merasakan basah pada bajuku. Dia menangis. Kalau sudah seperti ini aku tidak dapat memaksanya untuk bicara, aku mengelus rambut hitamnya agar dia bisa lebih tenang sebelum bercerita.

"Tenang, Jimin … tenang. Berhenti menangis dan berceritalah kepada Hyung."

Aku terus mengelus kepalanya hingga tangisannya reda. Dia masih sesenggukan dan mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

"Sudah, jangan menangis, wajahmu jelek."

Dia memukul ringan tubuhku, bibirnya mengerucut manis. Aku hanya tertawa.

"Tenang dulu, berceritalah kepadaku. Aku tahu benar tentangmu, kau akan lebih baik setelah bercerita kepada orang lain, hm?" Dia mengangguk, aku hanya bisa mengelus punggungnya untuk membuatnya lebih baik.

Jimin memandangku ragu, kemudian dia memandang lantai dengan tatapan kosong. "Ini, ini pertama kalinya appa dan eomma bertengkar hebat, Hyung."

Aku tidak terkejut, sama sekali tidak. Jadi ini kenapa dia tidak mau pulang dan berkata Appa dan Eomma tidak akan mencari dia. Aku lebih kasihan lagi pada Jimin karena dia tidak tahu, ini bukan kali pertama ayah dan ibunya bertengkar hebat. Aku sudah sering menyaksikannya, ini sudah terjadi berulang kali sejak Jimin masih kecil. Aku heran, mereka masih bisa bermain peran di hadapan Jimin selama 11 tahun ini.

"Appa dan eomma bahkan meneriakkan kata 'cerai'. Mereka saling mengancam untuk mengajukan surat cerai ke pengacara masing-masing."

Aku menghela napas lelah. Lingkungan rumah memang bermasalah, ini tidak baik untuk Jimin yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir. Dia juga tidak bisa tinggal di apartemenku, Appa akan memarahiku lagi.

Rambut hitamnya terus memanggilku untuk mengelusnya. Aku memandangi wajah Jimin, matanya sembab dan hidungnya memerah. "Kau tidak apa-apa?"

Bodoh. Ini pertanyaan paling bodoh yang pernah keluar dari bibirku –sejauh ini.

"Tidak. Aku tidak mau pulang, Hyung."

Aku hanya bisa terus menerus menghela napas. Aku tidak tahu tindakan apa yang harus kuambil. Jelas-jelas Appa tidak akan senang anak kesayangannya kubawa tinggal di apartemenku yang kecil dan sempit ini. Tapi Jimin juga akan tertekan jika selalu melihat Appa dan Eomma bertengkar setiap saat.

"Jimin, Hyung tidak dapat membantu."

Astaga. Bagaimana bisa dia memandangku dengan tatapan itu. Aku benar-benar merasa menjadi orang paling brengsek di dunia, bahkan hanya untuk menolong adikku saja aku tidak punya kekuatan. Jimin memandangku dengan tatapan memelas dan penuh harap, seolah aku adalah harapan dia satu-satunya di dunia.

"Jim, aku tidak dapat membantumu, aku serius. Kumohon, jangan menatapku seperti itu. Kau –kau membuatku merasa bersalah."

"Karena itu bantulah aku, Hyung! Hanya kau yang bisa kuandalkan. Aku tidak bisa menyulitkan Taehyung ataupun Jungkook, aku sudah terlalu sering merepotkan mereka. Tapi kita, kita adalah keluarga, Hyung. Tidakkah aku boleh merepotkanmu, sedikit saja?"

Ya ampun. Perkataannya menghantamku telak.

Keluarga. Ya, kami keluarga.

Astaga, apa dia perlu menyakitiku sejauh ini? Apa perlu dia menamparkan kata itu di depan wajahku.

Tanpa aku sadari aku menghembuskan napas dengan keras, aku mengusap wajahku kasar. Aku tidak dapat berpikir dengan jernih sekarang. Kepalaku sakit, aku harus memikirkan jalan keluar terbaik yang tidak akan merugikan siapapun. "Jim, Aku benar-benar tidak dapat membiarkanmu tinggal di sini. Meski hanya sebentar, tidak bisa."

"Kenapa, Hyung? Apa –apa segitu mengganggunya aku? Atau kau begitu membenciku?"

"Astaga! Tidak, tidak. Bukan seperti itu."

Dia berdiri, marah. "Lalu apa?! Alasan apa yang akan kau berikan padaku?!"

"Jim, aku tidak dapat mengatakannya. Aku hanya bisa memberitahu kepadamu, bersembunyilah di bawah selimutmu jika Appa dan Eomma mulai bertengkar, kunci pintu kamarmu dan jangan biarkan siapapun masuk ke dalam. Itu hal yang paling tepat, kumohon. Jangan –jangan membuat hatiku lebih sakit lagi dari ini."

Jimin tampaknya bingung dengan ucapanku barusan. Tidak apa-apa, dia tidak perlu memahaminya. Akan lebih baik jika dia memang tidak mengerti.

Dia terduduk di atas sofa, wajahnya murung. Hatiku serasa diremas kuat, ekspresi sedihnya ikut membuatku sakit. Aku hanya bisa memeluk dia dan memberikan sedikit penghiburan yang mungkin tidak berguna sama sekali. Lebih baik dia pergi tidur sekarang saja.

"Jimin, pergilah tidur. Besok pagi kau harus kembali ke rumah."

Jimin memandangku dengan matanya yang berkaca-kaca. Dia tahu benar bahwa pandangan memelasnya adalah kelemahanku, dia ingin meminta tolong kepadaku. Astaga, kalau sudah seperti ini aku bisa apa? Aku tidak pernah bisa menang dari Jimin.

"Pergilah tidur, kita akan bicara besok pagi. Sekarang, tidurlah."

Dia mengangguk kecil, dia mungkin menganggap masih ada harapan untukya. Dia tahu aku selalu memenuhi keinginannya, sesulit apapun itu. Jimin berdiri dan melangkah untuk berbaring di atas tempat tidurku, menggulung tubuhnya di dalam selimut yang hangat.

Sepertinya aku juga lebih baik tidur. Kami akan berbicara besok pagi secepatnya. Lagipula, sosok Jimin yang menggemaskan itu memanggil sosokku untuk berbaring di sampingnya.

…::***::…

Sudah kuduga akan jadi seperti ini.

Jimin melompat kegirangan, dan aku hanya bisa memikirkan skenario terburuk yang akan terjadi di waktu dekat ini.

Dia lagi-lagi membuatku menuruti keinginannya. Ini semua karena aku terbiasa menuruti semua yang ia inginkan, entah itu sebatang permen, pergi ke taman bermain, memasak, apapun itu. Aku terbiasa memanjakannya sejak kecil. Aku tidak mungkin menolak sosoknya yang berdiri hanya sebatas perutku, dia menarik ujung baju yang kukenakan dan merengek manja sambil membawa boneka beruang kesukaannya. Aku yang saat itu baru berusia 12 tidak dapat menolak pesona Jimin yang memang menggemaskan, sekarang itu semua telah menjadi sebuah kebiasaan buruk –sebenarnya tidak terlalu buruk karena aku dapat melihat senyuman Jimin.

"Hanya sampai ujianmu selesai, oke? Lagipula setelah kau lulus SMA kau bisa pergi dari rumah dan mencari apartemen sendiri. Aku yakin appa akan mengirimmu kuliah di luar negeri."

Begitu saja suasana langsung berubah. Jimin mengerucutkan bibirnya dan duduk di sofa sampingku. "Tidak mau! Aku tidak akan mau kuliah di luar negeri. Aku ingin satu universitas dengan Yoongi-hyung saja."

"Astaga, tidak bisa seperti itu. Aku akan meyakinkan appa untuk mengirim bocah nakal ini ke luar negeri untuk hidup mandiri. Lihat saja nanti."

"Yoongi-hyung tidak mengerti."

Jimin tiba-tiba diam. Dia menunduk memandang lantai.

Oke, apalagi yang aku tidak mengerti?

"Aku kesepian di rumah. Appa dan eomma jarang ada di rumah, sibuk dengan perusahaan masing-masing. Yoongi-hyung juga sudah pindah ke apartemen sendiri sejak tahun pertama di SMA. Kita jarang bertemu, Hyung. Kapan pertemuan terakhir kita sebelum kemarin? Bukankah itu setengah tahun lalu sebelum Hyung masuk universitas?"

Ya ampun. Segitu kesepiannya kah dia? Apa aku menelantarkannya?

"Jimin-ah. Maafkan aku. Hyung tidak bermaksud membuatmu kesepian. Aku tidak bermaksud sama sekali, oke?"

Dia mengangguk kecil tapi matanya berair. Aku langsung memeluk tubuhnya, rasanya ini telah menjadi refleksku.

"Jangan menangis … Aku tidak ingin melihatmu sedih lagi."

Tubuhnya bergetar menahan tangis, aku dapat merasakannya. Tapi aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang hipokrit yang mencoba meyakinkan orang lain bahwa mereka harus percaya mereka tidak sendirian di dunia ini.

.

.

.

To be Continued


Author's note: Ya, saya tahu saya seharusnya menyelesaikan Painfully In Love with You ;_; apa daya saya yang gakuku untuk ngepost fic baru ini. Maaf bagi para readers yang mungkin menunggu PILWY, tapi saya stuck di chapter 14 alias happy end. Rasanya balik kayak ngetik fic di awal-awal, alurnya terlalu cepat TT_TT Kali ini saya nyoba bikin dengan fist person POV, dan jujur aja FP POV itu seru, saya bisa ngembangin cerita dan dialog lebih banyak dibanding author POV. Jadi mungkin fic-fic mendatang saya akan hadir dalam edisi FP POV /apaan/

Mohon saran dan kritik atau masukannya, silakan kirim di kolom review.

Semoga fic ini dinikmati para readers sekalian. Terima kasih dan sampai jumpa di chapter selanjutnya.

-XOXO,

BabySugarSeoltang.

[18 January 2017]