Yooo.. saya kembali.. Untuk fict yang dulu, semuanya stuck. Gomen.. mood saya turun naik. Dan tiba-tiba semua draf yang tersusun di otak musnah. Semoga nanti ketemu ide lanjutannya T.T

.

Sekedar warning, ini fict Boy x Boy. Alternative Universal. Dan mengandung MPREG. Tak lupa dibumbui sedikit OOC. Juga terdapat OC yang bernama Aoi Sora Uchiha.

Rate.. M. Chapter ini belum ada lemon. Hanya saja cerita ini memang bertema dewasa.

Genre.. ANGST! Semoga.

Pair.. SasuNaru? Atau ada yang lain? SasuSaku mungkin? |||

Oke! Yang tidak suka dengan hal-hal di atas sebaiknya bergegas menekan tombol back! Dan camkan arti DON'T LIKE DON'T READ!

.

Liaison Amoureuse

By Alluka Niero

Naruto © Masashi Kishimoto

.

Muncul perasaan benci dalam hati pria itu. Benci terhadap suaminya, ia tak ingin bertemu dengannya terlebih menyambutnya seperti biasa. Ia tetap termenung, semua sudah berubah sekarang. Semuanya menjadi berbeda sejak kedatangan wanita bernama Haruno Sakura. Wanita itu datang untuk mengoyak hatinya, menyampaikan kabar tentang perselingkuhan suaminya. Ya, wanita itu terang-terangan mengatakan telah dihamili Uchiha Sasuke.

Sebenci apapun pria pirang bernama Naruto ini masih mencoba untuk menguatkan hati, ia berusaha untuk bersikap sebiasa dan sewajar mungkin. Bukan pertengkaran membabi buta yang diharapkannya, terlebih ia tidak ingin putranya, Aoi Sora Uchiha mengetahui persoalan orang tuanya. Helaan nafas panjang mengiring kaki Naruto melangkah dari kamar, dilihatnya Aoi sedang bercanda dengan tousannya.

Melihat kedatangan Naruto, Sasuke berdiri untuk memcium kening 'istri'nya itu, senyum hangat juga masih tersungging. Sikap Sasuke normal seperti biasanya, tidak ada perubahan sikap yang mencurigakan. Lalu apakah yang dikatakan Sakura itu benar?

"Aoi, sini sayang, tousan pasti lelah, biarkan mandi dulu ya!" kata Naruto membujuk putra kecilnya.

"Ayo, Aoi sama kaasan dulu," sahut Sasuke mendukung keputusan Naruto, diangkatnya tubuh Aoi dari gendongannya dan diberikan ke Naruto.

Naruto tersenyum, bangga akan dirinya yang mampu mengendalikan emosi, mampu bertahan seperti hari-hari sebelumnya. Ia menunggu saat yang tepat untuk menanyakannya. Waktu makan malampun berjalan, dan Aoi seperti biasa merengek meminta Sasuke untuk menidurkannya. Sudah menjadi kebiasaan, Aoi tidak mau tidur jika bukan Sasuke yang menemaninya. Naruto memilih untuk masuk kamar lebih dahulu. Sempat muncul keraguan di hati Naruto untuk membicarakan masalah yang tadi dikatakan oleh Sakura, bukan tidak ingin, tapi ia tidak mampu. Ia terlalu takut jika hal itu akan memperburuk suasana.

"Naruto? Kau kenapa?" tanya Sasuke yang baru saja masuk kamar dan mengunci pintu. "Kau pucat, sayang."

"Tidak, aku tidak apa-apa," Naruto memberi jeda dengan tarikan napas. "Aku ingin bicara denganmu, Sasuke."

Sasuke menatap Naruto lekat, tatap matanya setengah menyelidik. "Kenapa Naruto? Ada masalah?"

"Itu.." memejamkan mata bukan solusi, hatinya tetap saja tersayat. Pedih. "Sasuke masih ingat Sakura? Haruno Sakura?"

"Hn, kenapa?"

"Tadi dia ke sini. Katanya ada janji sama kamu, Sasuke." Suara Naruto mulai bergetar, emosinya semakin bergolak.

"Janji?" kening Sasuke berkerut, "Ketemu dengannya saja aku tidak pernah. Memangnya dia bilang apa?"

"Katanya kau sering ke rumahnya di Oto."

"Ke rumahnya? Yang benar saja Naruto. Temanmu itu mengada-ada! Ketemu saja tidak pernah, apalagi main ke rumahnya. Apa menurutmu itu masuk akal?" jawab Sasuke tenang.

"Ya," kejujuran Sasuke membuatnya bimbang. Ia jadi tidak berani untuk menuduh suaminya ada main dengan Sakura. Dan justru berbalik curiga dengan Sakura itu.

"Terus, ada apa memangnya? Kok tumben dia datang ke rumah kita?" sambung Sasuke sembari melirik Naruto curiga.

Kesulitan untuk menjawab, tapi apa boleh buat, Naruto yang memulai pembicaraan ini dan harus diselesaikan. "Sakura membawa kabar yang mengejutkanku.."

"Kabar apa?" Sasuke semakin curiga.

"Ka—" air mata Naruto mengalir pelan, "Katanya dia hamil.."

"Hn? Kok malah kau yang menangis? Mamangnya siapa yang menghamilinya?"

"DIA HAMIL DENGANMU, SASUKE!" jerit Naruto tak terkendali, dia bahkan lupa kalau-kalau Aoi menjadi terbangun karena suaranya.

"GILA!" Uchiha jelas saja pandai menyembunyikan fakta di balik wajah stoic, tapi walau singkat tertangkap gelagat aneh. "Ini benar-benar keterlaluan!"

Naruto menoleh cepat ke arah Sasuke, mata yang tajam berkilat mengais kejujuran dari warna onyx sasarannya. Kalau tadinya ia masih menyangsikan pernyataan Sakura, dengan kepanikan Sasuke tadi jelas saja sekarang kecurigaannya bertumpu pada suaminya sendiri.

"Sakura tidak mungkin sembarangan mengatakan hal seperti itu kalau tidak ada bukti, Sasuke!" masih dengan nada keras Naruto menghardik Sasuke.

"Ini fitnah, Naruto! Dia mamang sering bersama teman-teman sekerjaku!" Sasuke bersikeras.

"Ya! Tapi siapa? Jelas-jelas dia menuduhmu Sasuke!"

"Salah alamat Naruto! Aku tidak pernah macam-macam dengan siapapun! Wanita itu pasti ingin menghancurkan rumah tangga kita!" semakin lama, Sasuke menjadi tidak nyaman dengan cercaan Naruto.

"Pendusta!"

Dan Sasuke menjadi kesal sendiri karena Naruto semakin ngotot. "Memangnya kenapa?! Apa yang ada dalam pikiranmu?!" Balas Sasuke tajam.

Naruto gelagapan, justru takut akan perubahan Sasuke. Tidak mampu lagi menyahut, hanya menunduk dan menangis.

"Kau pikir bagaimana, hah?!" lanjut Sasuke kesal. "Itu berarti selama ini kau sama sekali tidak mempercayai aku sebagai suamimu?! Aku selalu berusaha bekerja keras untuk membahagiakanmu dan Aoi, tapi kau tidak mempercayai kejujuranku. Lalu kau anggap aku ini apa?"

Naruto masih sesenggukan, "Sakura yang mengatakan kepadaku. Lalu.."

"Lalu kau mempercayainya?!" sambung Sasuke. "Lalu kau menganggapku menghianatimu, benar?!"

"Bukan! Bukan begitu Sasuke, maksudku—"

"Sudah cukup!" potong Sasuke, ia lalu membaringkan tubuhnya di ranjang, memarik selimut dan membelakangi Naruto.

Menyesal, Naruto menghapus air matanya cepat. Tangan kanannya terjulur untuk menyentuh Sasuke, tapi Sasuke tidak mau disentuh begitu saja. Ia menghempaskan tangan Naruto dengan kasar.

"Aku minta maaf Sasuke.."

"Tidak perlu! Mulai sekarang kau harus buktikan ucapanmu!" Sasuke bangkit. "Kalau tidak aku akan mengambil tindakan, aku tidak suka model keluarga yang saling mencurigai seperti ini! Setiap perkataan harus dipertanggungjawabkan! Terserah bagaimana caramu!" setelah mengancam Sasuke keluar dari kamar, pindah tidur di kamar tamu.

Selesai sudah, kemarahan Sasuke yang seperti ini bisa berakibat fatal. Dan Naruto tidak mau terjadi sesuatu terhadap keluarganya gara-gara salah paham. Ia sangat mencintai suaminya, dan tidak ingin bertengkar hanya kerena informasi yang tidak akurat. Harus diluruskan sekarang, atau akan memburuk esok harinya. Akhirnya Naruto berdiri dan bergegas menyusul suaminya.

"Sasuke.."

Yang dipanggil tidak bergerak sedikitpun, tetap memejamkan mata.

"Sasuke.." Naruto mengulangi. "Aku minta maaf.. aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya takut kalau..."

"Cukup!" sekali lagi Sasuke membentak Naruto. "Aku tidak ingin mendengar celotehanmu lagi! Tugasmu sekarang membuktikan ucapanmu yang lancang menuduhku!"

"Tapi.."

Sasuke tidak menyahut. Dan Naruto tidak tahu lagi harus bagaimana. Dengan berat dia kembali ke kamarnya.

--o--o0o--o--

Pagi ini pun menjadi suram. Sasuke yang biasanya mencium Naruto sebelum berangkat ke kantor sekarang mendiamkan 'istri'nya. Jangankan mencium, melirik saja tidak padahal Naruto masih mengantar sampai di depan pintu.

Disanggah seperti apa perang dingin telah dimulai. Tak elak kalau nanti rumah tangga ini akan hancur. Tidak, tidak boleh.. kecemasan Naruto berlebihan, ia terlalu cemas karena Sasuke tidak pernah mendiamkannya. Ia menangis untuk sekedar meluapkan himpitan di dalam hati. Lama Naruto mengurung diri di kamar, sampai telinganya menangkap tangis Aoi dari kamar sebelah. Dengan terburu-buru Naruto menuju kamar putranya.

"Aoi sudah bangun.." Naruto tetap mencoba untuk ceria, ia tak ingin putranya yang baru berusia tiga tahun itu merasakan kalau kaasannya baru saja menangis.

"Kaasan.." Aoi merengek manja.

"Ya?"

"Tousan mana? Aoi mau tousan!" rengekan tadi ditambah dengan sedikit linangan air mata.

"Aoi, tousan kan sudah berangkat kerja." kata Naruto heran, tidak biasanya putranya ini menanyakan Sasuke saat bangun tidur. Ia sudah hafal benar kalau jam segini tousannya tidak mungkin masih di rumah.

"Aoi mau tousan! Pokoknya tousan!" Aoi semakin berteriak.

"Iya, tapi nanti kalau tousan sudah pulang."

"Maunya sekarang!" tangis Aoi akhirnya pecah. Dan terus menjadi, menyulitkan Naruto yang mengendongnya. Entah karena apa, tiba-tiba tangan Naruto melayang dan menampar putranya.

"Diam! Atau kaasan akan memukulmu lagi Aoi!" ancam Naruto.

Wujud Aoi yang sama persis seperti Sasuke bergetar. Mata hitamnya menatap Naruto takut, ia tidak mengeluarkan suara, tapi air matanya terus keluar. Sadar akan perbuatanya Naruto langsung memeluk bocah kecil itu. Dia menyesal. Suasana hatinya memang buruk sekali sekarang.

"Maafkan kaasan ya, makanya Aoi jangan membantah."

Aoi hanya mengangguk saja. Kemudian berjalan keluar bersama Naruto.

"Iruka!" panggil Naruto, "Tolong ya, jaga Aoi. Aku mau pergi, mungkin sampai sore."

"Mau ke mana Naruto?" tanya pelayan rumah itu, yang sudah diangap ayah sendiri oleh Naruto.

"Aku ada urusan." Katanya sambil mengambil kunci mobil dan bergegas pergi.

--o--o0o--o--

Jam sibuk seperti ini jalanan memang sangat ramai, dan Naruto nekat menerobos macet demi mengejar Sakura ke Oto. Ia tahu Sasuke tidak main-main dengan ucapannya, harus dibuktikan dan wanita bernama Sakura itu harus bertanggungjawab. Naruto sudah mengenal Sakura sejak bangku SMA, segala kelakuannyapun Naruto tahu. Mungkin benar wajahnya cantik, tapi juga licik. Tidak mempunyai banyak teman dan dijauhi. Itu adalah Sakura yang dulu. Sekarang? Siapa yang tahu, mungkin saja masih sama.

Meski memakan waktu akhirnya Naruto sampai ditujuan, membuka pagar rumah sederhana itu dan mengetok pintunya. Yang membukakan ternyata pembantu.

"Sakura ada?" tanya Naruto tanpa basa-basi.

"Tuan siapa?" pembantu itu balas bertanya.

"Aku temannya dari Konoha."

"Shizune, siapa yang datang?" terdengar suara dari dalam, dan wanita berambut pink norak pun muncul. "Lho? Naruto? Mari masuklah!"

"Aku datang karena ada yang penting Sakura." kata Naruto serius.

Sakura menatap Naroto lurus, "Ada apa?" tanyannya tidak terlalu paham.

"Soal ucapanmu kemarin.. apa benar yang menghamilimu Sasuke?"

"Dia mengakuinya?" tanya Sakura lagi, kali ini penuh harap.

"Sayangnya tidak, dan aku bertengkar dengan suamiku sekarang, dia menuduh aku macam-macam. Karena itu aku datang ke sini!" Naruto ganti menatap Sakura tajam.

"Jadi begitu, tapi sungguh. Aku tidak membohongimu Naruto. Yang melakukannya memang Sasuke. Sasuke tampaknya munafik dan tidak mau mengakui perbuatannya"

"Tapi katanya pacarmu berganti-ganti." lanjut Naruto.

"Aku tidak tahu lagi bagaimana meyakinkanmu Naruto, tapi memang Sasuke, itulah faktanya.."

"Kau benar-benar hamil kan?"

Sakura hanya mengangguk, membuat Naruto semakin bingung untuk mempercayai siapa. Sakura sama sekali tidak terlihat sedang berbohong, sedangkan Sasuke menolak mentah-mentah tuduhan itu. Harus bagaimana? Sementara Sasukelah yang memegang kendali penuh atas keluarga mereka.

"Sakura, ikut aku. Aku ingin kau mengatakannya langsung pada Sasuke! Dia bilang kau telah memfitnahnya. Buktikan padanya!"

"Untuk apa? Kalau Sasuke sudah menyangkal percuma juga aku datang. Yang ada hanya akan memperuncing keadaan. Dan Sasuke justru berbalik menuduhku ingin menghancurkan rumah tangga kalian."

Naruto memutuskan tak ada lagi yang perlu dibahas, di tempat inipun tidak mendapatkan titik terang.

--o--o0o--o--

Konsentrasi Naruto melayang, ia menyetir tapi pandangannya tidak fokus. Pedal gas diinjaknya semakin dalam. Mobilnya bagai terbang membelah jalanan, beruntung belum memasuki distrik yang ramai. Hidup atau mati baginya tidak masalah, ia tidak tahu jiwanya berada di mana sekarang. Hanya saja, semuanya kosong. Lima tahun sudah ia menikah dengan Sasuke, dan tiga tahun yang lalu dia mengandung Aoi. Membuang uang milyaran untuk membayar ilmuwan terkenal Tsunade dan Orochimaru, merekayasa sel sperma sampai akhirnya Naruto hamil. Kini semua berada di ujung tanduk, sekali lagi Naruto tidak tahu harus mengambil jalan yang mana. Semuanya menunju ke jurang.

DIIIIINNNN!

Saura klakson dari arah depan mengembalikan Naruto ke alam sadar. Tapi konsentrasinya belum kembali, dia kehilangan arah, rem yang dipijak cepat membuat mobilnya terpelanting, berputar dan membentur pembatas jalan.

"Sial!" teriak Naruto, kepalanya yang terbentur dan mengeluarkan darah sama sekali tidak dirasakan. Matahari yang tenggelam sempurnapun menambah keremangan hatinya. "Kenapa? Kenapa jadi begini?!"

Ia berteriak pada langit, tapi tidak ada yang berpihak. Mendung menggantung tebal, satu titik air hujan jatuh menerpa kulit, dua titik, tiga titik, empat, lima, semakin deras. Membuat kepalanya makin pening. Tangan yang tergores terasa perih, mencengkeram dada yang jauh tergores dalam. Naruto mengerti apa yang dimaksud Sakura, paham mencari bukti akan susah, suaminya meminta itu hanya alih-alih untuk membela diri, mensucikan dosanya. Sekarang ia hanya akan bertahan sampai Sasuke mengakuinya sendiri.

.

.

.

Naruto sendiri tidak tahu bagaimana caranya ia pulang, tapi kenyataannya ia telah berdiri mamatung di gerbang rumahnya sendiri. Gontai ia melangkah masuk, tubuhnya mati rasa kerena basah dan kedinginan akan udara malam. Terlebih luka di kepalanya masih meneteskan darah meski sedikit.

"Dari mana sa—" Sasuke terhenyak menyadari kondisi Naruto.

"Dari rumah Sakura.." kata Naruto lemah, namun masih berusaha menghadapi Sasuke.

"Lalu kenapa kau sampai berantakan begini?" Sasuke ingin menyentuh kening Naruto, tapi langsung ditepis. Hatinya tiba-tiba sakit, Naruto terluka jelas membuatnya khawatir. Sedetik kemurkaan pada tuduhan kosong itu hilang.

"Bukan urusanmu! Urus saja selingkuhanmu itu! Kalau kau memang menghamilinya aku akan mundur! Nikahi saja dia!"

Detik berikutnya, murka yang lebih besar menguasai Sasuke. Melupakan fakta kondisi Naruto, "Jadi kau lebih mempercayai Sakura daripada suamimu sendiri?!"

"Asal kau tahu! Aku sekarang memang percaya kalau kau memang berselingkuh dengan wanita itu!!"

Sasuke menatap tajam, berniat mengancam lagi. "Baiklah kalau begitu! Kau akan menyesal Naruto!"

BRAAKK!

Pintu kamar yang terbanting keras hanya sedikit tertangkap oleh telinga Naruto. Ia ambruk tidak sadarkan diri. Ia juga tidak sadar saat Sasuke membopongnya. Tidak mendengar saat Sasuke berteriak panik pada Kakashi untuk segera menyiapkan mobil. Dan menyuruh Iruka untuk tetap di rumah menjaga Aoi. Bahkan dari bibirnya masih terus meyuarakan 'maaf' sampai akhirnya tiba di rumah sakit.

"Naruto!" Sasuke masih berusaha mamanggil.

"Tuan Uchiha, silahkan tunggu di luar, biar kami yang menanganinya!" kata salah satu dokter yang berjalan cepat ke ruang ICU.

Sasuke tak pernah berfikir keluarganya akan jadi seperti ini, sifat egois, mau menang sendiri, memang melekat erat bagi seluruh Uchiha. Tapi kali ini berakibat fatal, seandainya ia bisa berfikir dengan kepala dingin, Naruto tidak akan celaka. Mundurpun percuma, Sasuke tidak pernah memandang ke belakang, ia akan terus maju.

Getaran hanphone di saku mengagetkan pemiliknya, dengan tergesa Sasuke mengangkatnya. "Hn? Besok saja ya.. sampai ketemu."

Perasaannya kini makin galau, batas benar dan salah menjadi kabur. Meski mengatakan harus melangkah maju, apa benar Sasuke akan terus melangkah jika di hadapannya adalah bara api yang menyala merah?

--o--o0o--o--

À Suivre...

--o--o0o--o--

Padahal targetnya 3ribu lebih di tiap chapternya. Tapi ternyata kurang...

Ya sudahlah.. Chap selanjutnya saya usahakan lebih panjang..

.

Terimakasih sudah membaca..

Review?