Halo di sana~

Jadi, kami dari Grup Chat KookMination akhirnya meluncurkan sebuah karya bersama, yaitu relay fanfiction xD

Ini proyek berfaedah yang pertama kali diluncurkan sejak dibentuk grup chat khusus KookMin kita.

Nah, berikut beberapa member yang ikut menyumbang waktu, ide, dan untai kata di tiap paragraf:

Gummysmiled

December D

PikaaChuu

ViScarlett

Wandaa_styles

Disunting oleh PikaaChuu, Gummysmiled.

Semoga menikmati dan sudi memberi kritik saran :)

Okay, enjoy our fiction~

.

.

.

.

"Aku tidak mengerti."

Keluhan Jimin mengawali suatu pagi yang lengang di asrama. Pagi di mana ia bisa berbaring malas di atas sofa dengan sebelah tangan menggenggam ponsel.

"Mengapa banyak ARMY yang bilang aku bottom? Aku tidak mengerti!"

Jungkook tidak sengaja melintas di depan Jimin ketika ia mendengar teriakan frustasi kakaknya dan ia nyaris tersedak.

Jungkook menaikkan sebelah alis, pongah, lalu menoleh. "Kau bercanda?"

Jimin melirik sinis Jungkook yang malah beranjak duduk di sebelahnya.

"Aku sangat memenuhi kriteria menjadi seorang top!" Jimin meraung tidak senang, kemudian ia merengut sebal.

Jungkook tidak habis pikir. Bagaimana bisa Jimin mengaku dirinya memenuhi persyaratan untuk menjadi seseorang yang dominan dalam suatu hubungan ketika wajahnya bahkan berkata sebaliknya.

Lihat saja pipi tembam yang mudah bersemu atau senyumnya yang melengkung indah bak bulan sabit di tanggal 5.

"Biar saja, Hyung, imajinasi itu hal paling bebas di dunia." Jungkook menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata, "Lagipula, Hyung itu sebenarnya uuum ..." Jungkook mengerutkan pejamnya, "indah."

Jimin melirik Jungkook dan mencebik tidak senang, "Gombal, eh?" Namun jantungnya berdegup keras.

Jungkook terkekeh, "Hyung, coba lihat cermin. Siapa yang paling cocok sebagai bottom di Bangtan jika itu bukan kau?"

Jimin terdiam. Di dalam hatinya sibuk mengurutkan:

Taehyung itu seperti lambang keseksian dan kekuasaan, baik dia top.

Namjoon tipe-tipe pria dengan pemikiran mendalam dan mengayomi, cocok jadi top.

Jungkook? Ayolah. Tubuhnya saja top seperti itu.

Yoongi mungkin terlihat cuek dan dingin tetapi di balik semua itu dia cukup perhatian pada orang yang dikasihinya dan layak menjadi top.

Seokjin belakangan ini terlihat semakin tampan juga tidak sekanak-kanakan dulu, baik dia juga bisa dijadikan top.

Hoseok yang ceria juga bisa dijadikan top mengingat ekspresinya ketika marah tidak bisa dikategorikan sebagai bottom.

Lalu Jimin? Wajah, tingkah, tubuh ... ah, baiklah.

Jimin mendelik kesal, "Pokoknya aku ini top, Jungkook-ie."

"Yakin sekali, eh?" Jungkook sudah melipat tangan di dada. Satu alis terangkat naik dan itu membuat Jimin merasa ditantang.

"Tentu saja!" Jimin meraih ponsel. Ibu jari bergerak kilat menggeser pola kunci. Lantas mencari icon YouTube.

Ia jatuhkan pantat di dekat Jungkook, berbagi layar ponselnya yang menampilkan sebuah video lawas.

"Lihat! Memang ada sosok bottom yang punya otot perut seperti aku? Bisepku juga bisa dijadikan bukti kalau aku kuat, Jungkook-ie."

Aduh, Jimin itu baru saja merengek dan kenapa pula masih kukuh menganggap diri sendiri sebagai dominan?

Jungkook mendecak, lalu merebut gadget-nya dan melempar ke nakas. Tangannya teralih, memijat-mijat lengan atas Jimin.

"Iya, otot lenganmu masih terasa, Hyung. Aku akui." Lalu tersenyum remeh. "Tapi abs di perut, memang kau masih punya?" Dengan lancang telapaknya meraba bagian perut Jimin.

Muka Jimin sudah mulai terhias semburat-semburat merah samar. Entah malu entah marah. "Astaga! Pokoknya karena aku kuat, aku tidak mungkin jadi bottom!"

Jungkook menghela nafas. Hyung-nya ini sepertinya benar-benar butuh cermin untuk mengerti secara total kondisi diri sendiri.

Dengan cara apa lagi supaya Hyung-nya ini dapat menerima dengan ikhlas gelar bottom yang telah tersemat dari dulu di dirinya? Pembuktian langsung? Tidak mungkin. Kata hati Jungkook mengatakan bahwa ia masih menyukai dada besar wanita. Tapi, yah, memang terkadang, ia sedikit tergoda untuk mencoba pantat bulat penuh laki-laki yang kini tepat berada di depannya ini.

Mata Jungkook kembali pada wajah Jimin yang sudah asyik dengan gadget-nya yang tadi sempat disingkirkan Jungkook. Otaknya terus memikirkan cara yang tepat selain ide pertamanya tadi.

"Hyung... butuh pembuktian?" Ucap Jungkook berat, membuat bulu kuduk Jimin berdiri seketika. Entah mengapa manik matanya masih berani untuk menatap wajah Jungkook demi mencari maksud dari perkataan si paling muda.

Belum sempat berpikir banyak, lengan Jimin sudah ditarik kuat oleh Jungkook.

"Lihatlah namja di hadapanmu, Hyung! Kau itu memang bottom, sudahlah terima saja nasibmu." Jungkook terkekeh.

Dengan mengerutkan dahinya, Jimin memperhatikan dirinya di dalam cermin yang memantulkan sosok pemuda bantet, yang berwajah cantik plus imut plus.

"YA TUHAN! TAPI AKU INI TOP! AKU TIDAK INGIN MENJADI BOTTOM! APA ENAKNYA MENJADI BOTTOM?"

Jungkook menaikan satu alisnya dan sedikit menyeringai.

"Benarkah, Hyung? Kau sungguh bertanya padaku? Haruskah kutunjukkan padamu?"

Glup.

Jimin menelan ludahnya kasar, mendapati Jungkook yang langkahnya semakin lama semakin dekat.

"Yak! A-apa maksudmu?" Napas Jimin tercekat.

"Bukankah kau bertanya padaku, Hyung? Biar aku membantumu untuk mengerti."

Dengan senyuman devil-nya, Jungkook menyudutkan pria manis itu di tembok kamarnya.

"Yak, Jeon Jungkook! A-apa yang kau lakukan? Kau ingin menyapa kepalan tanganku, hmm?"

Sat!

Jungkook dengan cepat menangkap tangan Jimin yang tengah melayang di udara, dan menguncinya di atas kepalanya.

"Ckckckck.. Hyung, diam dan nikmatilah!"

"A-ap-mmmpphh..."

Kalimat Jimin terpotong, karena Jungkook menutup mulut Jimin dengan bibirnya. Kecupan itu kini berubah menjadi lumatan yang lembut yang membuat Jimin larut di dalamnya.

Tidak bisa dipungkiri, Jimin menikmatinya. Sedikit.

Tuhan! Jimin terlalu malu untuk mengatakan bahwa lumatan itu sangat menggugah nafsunya, apalagi di saat lidah seorang Jeon sudah begitu berani menerobos masuk lebih dalam. Meninggalkan Jimin dengan segala erangan kecilnya dan mata tertutup rapat.

"Tu—akh…" setiap kata yang mau dikeluarkan oleh Jimin selalu beralih menjadi erangan hebat saat Jungkook begitu mudah menggigit bibir bawahnya. Salahkan juga tangan kokoh itu yang berani bermain-main dengan kedua belah bokongnya.

Sedikit menelan harga diri, tangan Jimin mulai meremas rambut Jungkook. Menyalurkan rasa kenikmatannya dengan desahan dan jambakan. Jimin benar-benar gila saat Jungkook begitu mahir memporak-porandakan seluruh isi mulutnya, mengabsen setiap deretan gigi, dan tidak lupa pula gigitan-gigitan menyakitkan itu.

Tapi mendadak, Jungkook menarik diri. Menjauh dari Jimin yang sudah kewalahan mengambil nafasnya. Muka Jimin memerah padam, bibirnya membengkak ditambah dengan mata berkaca-kaca.

Jimin gila! Apa dia baru saja nyaris menyerahkan seluruh tubuhnya kepada Jungkook? Hanya karena ciuman?!

"Itu yang namanya top, Hyung? Kau bahkan tidak bisa menyamai alur ciumanku." Jungkook tertawa meledek.

Jimin rasa hatinya dicubit. Harga dirinya tergilas. Egonya tercoreng. Nama baiknya tercederai. Ia merasa terkalahkan oleh pembuktian Jeon Jungkook, merasa malu hingga tubuhnya dingin sampai ke ujung kaki. Otaknya tak temukan pembelaan dalam bentuk frasa apapun untuk tetap bersikukuh. Bibirnya mulai bergetar seiring dengan binar matanya yang meredup. Pupilnya bergerak gamang, dan seketika Jungkook dirundung rasa bersalah yang amat besar.

Pria yang lebih muda dengan sangat hati-hati melepaskan kuncian pada sepasang tangan kecil Jimin, lalu menilik pasang mata kakaknya yang berkilat sedih penuh keraguan.

Jungkook terperangkap dalam kebingungan; ingin melayangkan satu ciuman tanda gemas atau meminta maaf pada sosok di hadapannya ini.

"Hyung. Jangan keras kepala lagi, ya?"

Akhirnya enam kata kurang ajar itu yang terlontar dari belah bibir Jungkook, dan pipi gembul Jimin tidak bisa lebih merah lagi.

"Jangan mengaku top lagi, kau mengerti kau kalah telak, bukan?"

Keparat Jeon Jungkook dan mulut pedasnya. Jimin nyaris melayangkan aksi kriminal; meninju rahang Jungkook, namun sepertinya ia lupa bahwa si bungsu Bangtan ini master dalam olah raga, jadi ia tidak mendapatkan apapun selain seringai nakalnya.

"Kupikir kau keterlaluan, Jungkook. Bukan begitu caranya," Jimin meraba bibirnya, "apa kau tidak tahu?"

Jungkook tersadar. Jimin pernah bercerita bahwa ia bahkan belum pernah berpacaran lalu Jungkook melakukan hal gegabah dengan menciumnya?

"Hyung."

Jimin membuang pandangannya ke lantai, merasa bodoh karena bukannya marah ia justru merasa sedih: Jungkook menciumnya hanya untuk membuktikan ia ada di posisi mana bukan karena memiliki perasaan padanya.

Ia tidak bisa menerima karena demi Tuhan, tidak bisakah Jungkook memahami posisinya? Bahwa getar di tubuhnya atau degup di jantungnya diakibatkan dari satu senyuman yang Jungkook layangkan.

"Kau tidak bisa mencium orang lain seperti itu," Jimin memberanikan diri menatap Jungkook dengan matanya yang basah, "ciuman bukan main-main Jungkook-ah."

"Hyung, maaf bukan maksudku-"

"Itu ciuman pertamaku, Brengsek."

Tak minat lagi berucap kata satu-dua patah, Jimin memilih pergi lebih dulu. Tangisnya ditahan sampai bernafas pun sulit dan tenggorokannya mulai sakit.

"Bocah sialan." Dua kata itu mendadak jadi langganan bibir Jimin, diucapkan terus menerus tanpa jeda.

"Hyung-" Merasa perlu minta maaf, tentu saja Jungkook menyusul.

"Jauh-jauh dariku." Jimin mendesis tak suka. Gurat penuh rasa salah pada paras Jungkook entah kenapa membuatnya jijik.

Niatan membawa topik tentang posisinya sebagai dominan itu tak disangkanya jadi begini. Jungkook biasanya hanya mengejek, lalu Jimin memberi pukulan-pukulan. Setelahnya akan berguling-guling sambil menyeru banyak umpatan hingga Seokjin atau Namjoon melerai dengan malas.

"Kalau hanya untuk mengejekku, jangan lakukan itu lagi. Sakit, kau tahu?"

Jimin terus berjalan menjauh dari Jungkook. Mengabaikan setiap panggilan dari laki-laki itu demi menahannya. Ia lebih memilih berdiam diri di kamar daripada mendengarkan alasan lebih lanjut dari Jungkook.

"Hyung, dengarkan aku dulu-" Ucap Jungkook seraya menarik lengan Jimin lagi hingga mampu membalikkan tubuh yang lebih mungil darinya itu.

Air mata Jimin yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes ketika matanya dipaksakan untuk menatap Jungkook dengan sengit. Seketika itu, Jungkook merasakan hatinya seolah tercubit.

"Apa? Apa yang perlu didengarkan?! Apa kau belum puas mengejekku?! Belum puas membuatku malu di hadapan semua orang ketika kau merendahkanku dengan kedok bercanda?" Teriak Jimin tepat di depan wajah Jungkook. Meluapkan semua kekesalan yang ia tahan selama ini. Membuat Jungkook membeku seketika. Apakah seperti itu ia di pandangan Hyung-nya satu ini?

Jungkook membisu. Membuat Jimin jengah dan memutuskan menghentakkan lengannya dengan kasar supaya lepas dari cengkraman sang maknae. Tapi belum sempat melangkah masuk ke dalam kamar, tubuh Jimin sudah tertarik ke dalam dekapan lengan Jungkook. Ia dapat merasakan deru nafas Jungkook di lehernya.

"Maafkan aku, Hyung... A-aku tak pernah bermaksud seperti itu.." Lirih Jungkook.

Pandangan Jimin kembali memburam tertutupi air mata. Memilih kembali memberontak didalam pelukan itu tetapi dibalas pelukan yang semakin erat dari Jungkook. Lama-kelamaan Jimin memilih berhenti memberontak karna ia tahu tak ada gunanya.

"Kau... Kau hanya tak tahu." Ucap Jimin pelan sambil berusaha menyingkirkan lengan kekar Jungkook.

"Kau hanya tak tahu perasaanku selama ini, Jeon Jungkook." Ucap Jimin terakhir sebelum eksistensinya di mata Jungkook menghilang di balik pintu.

Astaga, Jeon Jungkook brengsek. Hanya kecewa yang ia telan. Tiap napas yang ia hela menambah besar penyesalan, sehingga dadanya sesak seakan paru-parunya mengering. Tidak sekalipun ia mengharapkan akhir yang seperti ini. Bukan amarah Jimin yang ia mau, bukan.

Jungkook tidak mungkin sudi melukai Jimin. Niatannya tidak lebih dari sekadar memberi Jimin sedikit pencerahan mengenai pendapat para fans tentang top-bottom, sekaligus menyadarkan Jimin tentang betapa indah dirinya; sebuah entitas hasil tangan Tuhan yang mahaspektakuler, ciptaan yang mampu memikat, pun menjerat hati jutaan manusia.

Sungguh Jimin perlu tahu, kelakarnya tidak perlu dibalas dengan emosi. Tapi Jungkook memafhumi, perkara ini mungkin tidak bisa digampangkan olehnya.

Jungkook meringis. Memandang pintu yang kini menjadi pembatas Jimin terhadap dirinya.

"Hyung. Kau lebih kekanakan dariku."

Tidak ada sahutan untuk gumamannya, jadi Jungkook memutuskan untuk melanjutkan.

"Aku menciummu bukan tanpa penjelasan, bodoh. Aku pikir aku bisa bermain-main lebih lama, tapi kau bahkan tersinggung seperti anak kecil."

Jungkook akhirnya memilih menyerah. Membongkar misi klandestinnya yang gagal togal. "Aku suka padamu. Dari sisi manapun kau itu bottom, kau yang akan tunduk padaku. Aku berusaha mengungkapkannya dari tadi, masa kau tidak menangkapnya, sih?"

Berdecaklah si bungsu ketika Jimin tak kunjung memberi jawaban. Pengakuannya ini mahal, lho. Ia terpaksa membuang egonya yang selangit, agar Jimin tidak marah padanya.

"Aku minta maaf, jangan begini lagi. Melihatmu menangis adalah hal terakhir yang kuinginkan."

Jungkook membawa senyum kecil seraya melangkah pergi, memilih mendekam saja di kamarnya untuk merencanakan sesuatu agar Jimin mau bicara padanya besok.

Tanpa dirinya tahu, Jimin mematung di balik pintu. Terperangah, lalu memegang kedua pipinya yang panas bagaikan roti bantal yang telah dikukus. Jantungnya berdetak rusuh, seakan memaksa keluar dari kekangan tulang rusuknya.

Jeon Jungkook menyukai Park Jimin?

Sialan, sia-sia saja ia membuang air mata dan ingusnya kalau begitu.

"AKH, JEON JUNGKOOK!"

Lima meter dari kamar Jimin, Jungkook tertawa gemas mendengar erangan kesalnya.

"Kau yang di bawah, sayang."

.

.

.

.

Sedikit catatan kaki :

Hello, this is KookMination

for BTS Jungkook & BTS Jimin (KookMin) shipper.

Terima kasih telah membaca~

Btw, kami terima member baru untuk yang ingin bergabung ke group chat line KookMination. Bisa kirim id Line lewat kotak review. Atau PM juga boleh :)

Harap berikan tanggapan, saran, dan kritik kalian untuk cerita ini ya~

.

.

.

Believe us, once you kookmIN you can't kookmOUT