Selamat datang

Fanfic SNK


Summary : ...di Hunter Magic Shop! Jika Anda bisa sampai di sini, berarti takdir telah membantu Anda menemukan solusi dalam masalah Anda! Di sini Anda bisa membeli berbagai perlengkapan ajaib yang tak akan bisa Anda temukan di mana pun! Alat-alat sihir yang kami jual dijamin bisa mengalahkan senjata sekuat apa pun dan tak kalah saing dibanding alat Doraemon! Semua senjata ini ditempa oleh Mikasa Ackerman dan ramuan yang diracik sendiri oleh Armin Arlert serta sihir yang saya rancang sendiri! Mau delivery? Tinggal calling ke nomor di papan toko! Pelayanan kami cepat dan pastinya tepat sasaran. Selain itu, kami hanya stay di satu tempat selama tiga hari! Jadi, ada yang bisa saya bantu?

Disclaimer : SNK atau AOT hanya milik dirinya seorang. Siapa? Yang jelas bukan saya~

Warning : *Insert all of warnings around the world* Dari summary kayak humor, tapi sebenarnya rada sedih dan... romens alay -_- Mikasa kayak semacam leluhur Levi di sini. Saya tahu ini aneh... Dan saya kurang tahu tentang kimono, jadi... bleh. Eren punya Heterochromia Iridum.


Day 1

Levi berjalan menyusuri jalan setapak dengan kacamata hitam bertengger gagah di hidung mancungnya. Topi hitam menghalangi wajahnya dari sinar matahari terik dan pandangan orang-orang. Ia mengangkat tudung hoodie cokelat tuanya hingga menutupi kedua sisi wajah tirusnya. Sneakers berwarna senada mengetuk-ngetuk jalan setapak dengan langkah yang tak sabar.

Levi Ackerman, seorang pengusaha muda yang tengah naik daun namanya. Ia adalah seorang pengusaha brilian yang menguasai hampir seluruh cabang perekonomian populer. Dialah pemilik agensi beken yang selalu meluncurkan para entertainer kelas dunia. Dia juga pemilik butik termegah yang sudah sering kali dikunjungi orang-orang yang paling berpengaruh di negaranya. Tak segan-segan, ia juga menguasai dunia maya. Perusahaannya meluncurkan salah satu media sosial yang akhir-akhir ini menjadi hits di kalangan anak muda.

Sudah banyak bidang yang ia lakoni. Ia pun dipuja-puja sebagai salah satu orang paling cemerlang yang pernah ada di muka bumi. Tapi, semua pujian itu tak pernah ia hiraukan. Ia masih merasa ada yang kurang. Selama ini ia berkeliling dunia, hidup di berbagai tempat, menjadi berbagai profesi, semua itu untuk mencari sesuatu. Sesuatu yang entah kenapa ia rasa sudah lama hilang dari dirinya.

Ada yang bilang sesuatu itu adalah pendamping hidup. Mungkin saja. Tapi ia tak pernah tertarik dengan satu orang pun di dunia ini untuk ia jadikan partner hidupnya. Kenapa? Dia sendiri tidak begitu mengerti. Levi sudah memikirkan berbagai kemungkinan, dari yang absurd sampai yang absurdnya kebangetan. Tapi tak ada satu pun alasan yang logis.

Levi terus mempercepat langkahnya, berusaha membuat reporter yang tak sengaja menyadari keberadaannya di kafe tadi kehilangan jejaknya. Levi sedikit melirik ke arah belakang tubuhnya. Mata kelabunya menangkap sosok berkemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan rambut cokelat dengan campuran warna abu-abu di antara kerumunan khalayak umum. Cih, keras kepala. Levi kembali menghadap depan dan berjalan cepat menuju entah-ke-mana.

Kenapa di saat dirinya ingin bersantai dan menghindar dari tumpukan kertas laknat minta dibakar itu selalu saja muncul hal-hal yang tak diinginkan. Apa tak ada kesempatan sekali saja baginya untuk bisa pergi jauh sebentar saja dari kehidupan melelahkan ini?

Levi kembali melihat ke belakang, mencari sosok menjengkelkan yang terus menguntitnya dengan kamera menggantung di leher. Bola mata kelabunya menelusuri keramaian dan tak menemukan sosok itu. Ia menghela napas lega dan berbelok ke dalam sebuah gang yang merupakan jalan pintasnya menuju rumah megahnya.

Pria berambut kayu hitam itu memperhatikan gang yang ia masuki. Entah kenapa suasananya sedikit berbeda dengan biasanya. Entah kenapa udaranya terasa... lebih ringan. Levi melangkahkan kaki perlahan sambil memperhatikan sekitarnya dengan waspada hingga pandangannya jatuh ke sebuah rumah mungil yang desainnya sedikit kuno. Levi mengangkat sebelah alisnya. Seingatnya, ia tak pernah melihat rumah kuno itu selama ia melewati gang ini. Tapi ia menepis pikiran itu dengan beralasan karena ia telah lama mengurung diri di kantor dan tak pernah jogging di daerah ini lagi.

Karena penasaran, sang milyuner muda itu berjalan menuju pekarangan rumah tersebut. Ia membuka pagar bambu dan berjalan perlahan di atas rumput yang tampak sangat terawat. Ada sebuah kolam ikan mungil yang dibatasi batu-batu bundar nan mulus. Ikan-ikan berbagai warna cerah berenang riang di dalamnya dan seakan menyambut sang 'tamu' dengan suka cita. Di atasnya ada bambu yang jika penuh dengan air akan mengalirkan air tersebut ke kolam dengan suara 'tuk' merdu yang konstan, sehingga seperti ketukan musik alam (bayangin aja bambu yang sering ada di kolam orang jepang).

Beberapa menit mengagumi taman mungil yang tertata rapi itu, Levi pun tanpa sadar telah berdiri di depan pintu kayu mulus sang rumah kuno. Kepalanya menengadah dan menemukan sebuah papan dengan tulisan berwarna hilam berkilau.

Hunter Magic Shop

Hn... nama yang aneh. Levi memperhatikan kenop pintu yang terbuat dari perak. Mungkin ini sejenis kafe baru? Ketika tangannya akan meraih kenop, sang kenop telah berputar duluan dan melayang terbuka. Mata Levi sedikit melebar kaget.

Di depannya berdiri manusia paling menawan yang pernah ia lihat. Rambut cokelat tuanya agak berantakan tapi tampak lembut bila disentuh. Poninya dibelah tengah, menampakkan dahinya yang mulus. Dan yang paling mengesankan adalah kedua bola matanya. Mereka memiliki warna yang berbeda. Yang kanan berwarna emas yang menyilaukan dengan sedikit sentuhan jingga di dalamnya, bagaikan matahari di sore hari. Sedangkan yang kiri... warnanya sedikit membingungkan. Sekilas warnanya hijau, tapi bila dilihat dari arah berbeda berubah jadi biru. Dan bila dilihat dari arah yang lain lagi, akan tampak warna keemasan menghias di sekitar pupilnya.

Pandangan Levi turun menuju pakaian yang dikenakannya. Ia menggunakan kimono simple dengan warna hijau dan dihiasi gambar sayap hitam dan putih−yang entah kenapa terasa familiar oleh Levi−lalu di pundaknya tersampir haori warna biru dengan motif serupa. Di obi hijau tuanya terselip sebuah sarung katana dengan warna hitam elegan dan motif bunga sakura merah muda keemasan bersulur perak yang memukau.

Mata Levi kembali naik ke atas. Ia baru menyadari sebuah topeng aneh yang bertengger di sisi kanan kepala orang itu. Topeng mengerikan yang menurutnya agak aneh bila dikenakan pemuda secantik ini. Ia pun kembali bertatapan dengan sepasang bola mata beda warna tersebut. Kedua alis pemuda cantik itu bertautan, lalu hilang dan digantikan senyuman secerah mentari di luar sana. Hati Levi meleleh. Ugh... kenapa aku jadi menjijikkan seperti ini, pikir Levi, ngeri dengan kelakuannya sendiri.

"Selamat datang di Hunter Magic Shop! Jika Anda bisa sampai di sini, berarti takdir telah membantu Anda menemukan solusi dalam masalah Anda! Di sini Anda bisa membeli berbagai perlengkapan ajaib yang tak akan bisa Anda temukan di mana pun! Alat-alat sihir yang kami jual dijamin bisa mengalahkan senjata sekuat apa pun dan tak kalah saing dibanding alat Doraemon! Semua senjata ini ditempa oleh Mikasa Ackerman dan ramuan yang diracik sendiri oleh Armin Arlert serta sihir yang saya rancang sendiri! Mau delivery? Tinggal calling ke nomor di papan toko! Pelayanan kami cepat dan pastinya tepat sasaran. Selain itu, kami hanya stay di satu tempat selama tiga hari! Jadi, ada yang bisa saya bantu?"

Senyum cerah itu masih terkembang manis di wajah cantiknya, tidak merasa bahwa ia telah membuat sang jenius Levi Ackerman speechless akibat perkenalannya yang luar biasa di luar dugaan. Apalagi ini? Alat ajaib? Hidupku benar-benar menyenangkan, pikir Levi sarkartis.

Pemuda itu memiringkan kepala ke samping karena tak ada respon dari sang 'tamu'. "Tuan? Anda punya masalah?"

"Ah..." Levi terpana dengan pancaran keimutan sang pemilik toko. "Mataku perih karena silaunya pancaran kecantikanmu." Oke, aku ngomong apa barusan?

Pemuda itu terpaku sejenak membuat Levi panik setengah mampus hingga terdengar suara kikikan pelan, berubah jadi kekehan, dan akhirnya tanpa malu-malu, pemuda cantik itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Levi lega.

Ha? Kenapa aku lega? Harusnya aku marah dong. Ini namanya pelecehan. Tapi Levi tak bisa menemukan keberanian untuk marah terhadap pemuda yang telah menawan perhatiannya itu. Entah kenapa.

"Huft... Tuan... lucu sekali! Pfftt..." Pemuda itu mengusap air mata di ujung matanya. "Anda... sedikit berbeda."

Levi mengangkat sebelah alisnya heran. "Huh? Berbeda? Bukankah kita baru pertama kali bertemu?"

Ada sedikit sinar kecewa di matanya, membuat Levi merasa bersalah walau sebenarnya tak ada yang salah dengan perkataannya. Karena itulah kenyataannya. Iya 'kan?

"Ah... tidak... Anda hanya mengingatkan saya pada seseorang." Kedua bola mata memukaunya menatap ruang kosong di belakang sang pengusaha muda. "Jadi, apa masalah Anda? Tentunya Anda bisa menemukan tempat ini karena Anda sedang membutuhkan bantuan sihir!" nada ceria itu kembali lagi.

Levi menepis rasa tak nyamannya tadi dan berpikir. Masalah? Apa masalahnya? Memangnya orang bisa datang ke tempat ini kalau lagi bermasalah doang?

Seakan bisa membaca pikirannya, pemuda itu tersenyum lebar. "Benar! Hanya orang bermasalah saja yang bisa menemukan toko keren ini!" kicaunya dengan bibir merah muda manisnya yang rasanya saat itu juga ingin Levi−

Levi menggeleng-gelengkan kepala. Fokus Levi, fokus.

Levi berdeham, berusaha mengusir kecanggungan dalam suaranya. "Jadi... sepertinya kau bisa membaca pikiran. Ada ide kenapa aku bisa berakhir di tokomu?"

"Hmm... mungkin iya, mungkin nggak. Ah, biar kutebak. Anda ingin mencari waktu liburan dari pekerjaan?"

Bola mata kelabunya membulat. Kalau dipikir-pikir, itulah hal terakhir yang terlintas di benaknya sebelum menemukan rumah kuno ini. Jadi, ini memang bukan kebetulan?

"Jadi, memang benar takdir yang mempertemukan kita berdua?" Sial! Kenapa mulut ini terus nyerocos sembarangan!

"Pfftt... Sa-saya punya... kkhh... alat yang te-tepat untuk... A... hihihi... Anda." Setelah mendengus beberapa kali menahan tawa, pemuda manis itu berdeham. Sementara Levi berusaha tetap berwajah datar sebagai pertahanan terakhir harga dirinya, pemuda itu mengangkat tangan kanannya dan mengucapkan mantra, yang sekali lagi terdengar familiar.

Sebuah lagu? Levi bertanya-tanya. Beberapa saat kemudian, muncul cahaya berkilau dari tangan sang pemuda dan muncullah sebuah benda yang akan menyelamatkan Levi dari kertas-kertas terkutuk itu. Sebuah...

...kincir angin dari origami?

"Apa-apaan ini, bocah? kau mempermainkanku, hah?"

"Eh?" Pemuda itu tampak terkejut. Ia mengibas-ngibaskan tangan kirinya di udara, berusaha menyangkal prasangka buruk sang pelanggan. "Bukan! Bukan! Ini beneran barangnya! Kalau Anda membawa ini selalu, Anda bisa terhindar dari semua hal yang menghalangi Anda untuk berlibur!"

"Ha? Mainan balita itu barang sihirnya? Kau bercanda?"

"Ng-nggak! Saya serius, Tuan! Tolong jangan cemarkan nama baik tokoku!" Pemuda itu memejamkan mata dan menangkupkan kedua tangannya, sang kincir angin origami terapit di antaranya.

Levi merasa simpatik melihat pemuda itu memohon dengan sangat menyedihkannya. Ia melirik kincir angin nista itu. Ia menghela napas lelah dan dengan ogah-ogahan mengambil 'alat ajaib' dari tangan mulus si pemuda.

"Baiklah. Biar kucoba benda ini. Tapi kalau tak manjur, kau akan tahu akibatnya," ancam Levi dengan pelototan setengah-setengah. Pemuda itu tersenyum ceria.

"Ya! Senang bisa bertransaksi dengan Anda! Bayarannya bisa dilakukan setelah dirasa pelayanan kami memuaskan!" Pemuda manis itu membungkuk tepat 90 derajat dan memperlihatkan senyum manisnya yang dilengkapi oleh lesung pipi. Ketika pemuda itu akan menutup pintu rumahnya, Levi menahannya.

"Aku Levi Ackerman. Kau?"

Lagi. Kilatan kesedihan kembali muncul di kedua bola mata memikat itu namun kembali hilang dalam sekejap. "Eren. Eren Yeager."


Levi menatap rumah kuno itu lalu melirik kincir angin di tangannya. Ia sebenarnya sedikit ragu dengan benda di tangannya ini. Ia juga heran, kenapa ia mau saja mengabaikan harga dirinya yang tingginya melebihi langit ketujuh itu hanya demi menghilangkan ekspresi negatif di wajah pemuda itu? Tapi, paling tidak, tadi ia sempat merasakan langsung betapa mulusnya kulit pemilik toko aneh itu.

"Eren Yeager, ya? Lumayan juga." Senyum tipis terkembang di wajah yang biasanya datar itu, dengan kincir angin origami di tangan.


Waakkhh! Saya buat cerita baru! Gilak! Fanfic ini hanya terdiri dari 3 chapter (kayaknya). Dan rencananya sih pengin buat prequelnya.

BTW, ini update saya yang terakhir. Setelah ini, saya tak akan update sampai akhir April!

(=RnR =)